Arti "Namo Buddhaya"
Sikap Anjali
Buddhistzone.com - Sebagai seorang umat Buddha, kita tentu akrab dengan ungkapan "Namo Buddhaya". Saat ini, kita mengenalnya sebagai salam yang diucapkan bila bertemu dengan sesama umat Buddha. Ungkapan itu juga sering dipakai sebelum pandita atau pemberi Dhammadesana memulai pembabaran Dhamma. Apakah memang "Namo Buddhaya" merupakan sebuah 'salam resmi'-nya umat Buddha? Sejak kapan? Berasal dari mana? Apa artinya?
Semua pertanyaan mengenai asal usul penggunaan ungkapan "Namo Buddhaya" mudah-mudahan bisa terjawab dengan penjelasan singkat dari Y.M. Uttamo Thera, Y.M. Bhikkhu Dhammadiro, dan Selamat Rodjali di bawah ini.
- Menurut Y.M. Uttamo Thera:
Arti "Namo Buddhaya" adalah 'Terpujilah semua Buddha'. Hal ini adalah merupakan suatu ajakan kita kepada orang lain untuk memuji para Buddha. Saat ini, ajakan memuji ini dijadikan sebagai salam Buddhis.
Arti "Namo Buddhaya" adalah 'Terpujilah semua Buddha'. Hal ini adalah merupakan suatu ajakan kita kepada orang lain untuk memuji para Buddha. Saat ini, ajakan memuji ini dijadikan sebagai salam Buddhis.
- Menurut Y.M. Bhikkhu Dhammadiro:
Kata 'Namo Buddhâya' adalah suatu kalimat yang diucapkan oleh mereka yang menaruh hormat dan yakin pada Sang Buddha (artinya bukan sabda Buddha sendiri). Dan tidak ada dijumpai dalam Tipitaka. Dalam tingkat Atthakathâ pun kata ini mungkin belum populer, terbukti dengan tidak tercantumkannya di dalamnya. Kata ini baru disebut-sebut dalam kitab penjelasan tatabahasa Pâli (Saddanîti-pakarana) yang disusun di Srilanka kira-kira 1000 tahun yang lalu (ini hanya perkiraan secara kasaran, saya tidak bisa memastikan waktunya. Di sini, yang saya maksudkan adalah penggubahan kitab itu dilakukan jauh setelah disusunnya kitab Atthakathâ dan Kitab Tatabahasa Pâli era awal).
Kata 'Namo Buddhâya' adalah suatu kalimat yang diucapkan oleh mereka yang menaruh hormat dan yakin pada Sang Buddha (artinya bukan sabda Buddha sendiri). Dan tidak ada dijumpai dalam Tipitaka. Dalam tingkat Atthakathâ pun kata ini mungkin belum populer, terbukti dengan tidak tercantumkannya di dalamnya. Kata ini baru disebut-sebut dalam kitab penjelasan tatabahasa Pâli (Saddanîti-pakarana) yang disusun di Srilanka kira-kira 1000 tahun yang lalu (ini hanya perkiraan secara kasaran, saya tidak bisa memastikan waktunya. Di sini, yang saya maksudkan adalah penggubahan kitab itu dilakukan jauh setelah disusunnya kitab Atthakathâ dan Kitab Tatabahasa Pâli era awal).
Sementara itu, ada bentuk kalimat yang lain dari kalimat tersebut, yakni: "Namo Buddhassa". Kalimat ini memang telah ada sejak jaman Atthakathâ. Dan, tradisi Theravâda di Burma lebih banyak menggunakan kata ini daripada kata "Namo Buddhâya". Lebih dari itu, baik kata "Namo Buddhâya" maupun "Namo Buddhassa" tidak umum dipakai dalam tradisi Theravâda di Thailand.
- Menurut Selamat Rodjali:
"Namo Buddhaya" bukanlah salam, tetapi ungkapan penghormatan seseorang kepada Buddha. Artinya adalah Terpujilah Buddha (yang telah merealisasi pencerahan Agung). Ungkapan ini amat umumnya diucapkan sebelum membabarkan Dhamma atau tulisan Dhamma. Di Indonesia, umat Buddha sering mengucapkannya sebagai salam Buddhis. Jadi sungguh sangat salah kaprah dan keluar dari makna sesungguhnya.
"Namo Buddhaya" bukanlah salam, tetapi ungkapan penghormatan seseorang kepada Buddha. Artinya adalah Terpujilah Buddha (yang telah merealisasi pencerahan Agung). Ungkapan ini amat umumnya diucapkan sebelum membabarkan Dhamma atau tulisan Dhamma. Di Indonesia, umat Buddha sering mengucapkannya sebagai salam Buddhis. Jadi sungguh sangat salah kaprah dan keluar dari makna sesungguhnya.
Saya pun seringkali memulai tulisan kepada teman Buddhist, dengan kata "Namo Buddhaya", tapi bukan sebagai salam, melainkan sebagai ungkapan penghormatan kepada Buddha, dan diharapkan menginspirasikan kualitas Buddha kepada teman yang saya tulisi.
Mengapa tidak menggunakan "Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa" saja? "Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa", pertama kali diucapkan bukan oleh Buddha, tapi oleh Brahmana yang mengagumi Sang Buddha saat itu, dan kita menirunya. "Namo Buddhaya", dipakai oleh beberapa orang Buddhist di Burma dan Sri Lanka, dan kita menirunya. Yang jelas semuanya itu secara ke-bahasa-an tidak salah, bedanya, "Namo Buddhaya" tak pernah ada di Tipitaka, sedangkan yang pertama ada.
Penggunaan istilah "Namo Buddhaya" di Indonesia, dimulai dari para muridnya Ashin Jinarakkhita ketika masih belum ada Buddhayana, sedangkan Ashin Jinarakkhita sendiri pada mulanya juga menggunakan "Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar