Naskah ini disusun sebagai upaya untuk memberikan gambaran singkat tentang salah satu dari 4 tradisi besar agama Buddha Tibet yang masih bertahan hingga sekarang. Sebuah tradisi yang terkenal karena menghasilkan banyak cendikiawan Buddhis ini sebenarnya juga menekankan pentingnya praktik meditasi dan tidak hanya mengandalkan intelekualisme belaka dalam usaha untuk mencapai pencerahan sempurna. Naskah ini disusun oleh Tim Naskah Kadam Choe Ling Bandung pada bulan Juli 2001. Diedit pertama kali oleh Surya, Agustus 2001. Naskah ini bersumber dari situs www.tibet.com dan www.tsongkhapa.org.
Tradisi Kadam yang didirikan oleh Dromtonpa, siswa dari Guru Buddhis India yang termasyur., Athisa - atau Acharya Dipankara Sri Jnana - adalah sumber inspirasi langsung dalam pendiran tradisi Gelug. Secara harafiah Gelug berarti Golongan / Orde yang Berbudi Luhur ( Virtuous Order). Tradisi Gelug ini didirikan oleh Jey Tsongkhapa (1357-1419) pada awal abad 15. Aliran ini juga popular dengan sebutan Sekte Topi Kuning, karena para Lama tradisi ini menggunakan topi kuning seperti topi yang digunakan para pandita di India. Topi ini digunakan saat dilangsungkan upacara-upacara tertentu.
Salah satu tujuan utama dari ajaran, tulisan, maupun praktik dari Jey Tsongkhapa adalah untuk mereformasi Buddhisme Tibetan. Beliau sangat concern (peduli) dengan sesuatu yang beliau pandang sebagai penyelewengan disiplin ke-vihara-an (Vinaya), pemikiran yang tidak jelas pada topik ajaran umum maupun ajaran rahasia, dan kemunduran praktik Tantra. Sebagian dari program beliau adalah menciptakan orde / golongan baru, yang seperti pendirinya, secara tradisional menekankan pada pentingnya menaati dengan ketat peraturan Vinaya, pentingnya studi/ belajar yang mendalam tentang pemikiran Buddhis, dan praktik tantric yang direformasi sesuai dengan sumpah Biksu (Vinaya).
Jey Tsongkhapa mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan Mansjushri. Kemampuan ini diperoleh pada akhir usia 30 tahun. Suatu ketika beliau diberitahu oleh Manjushri bahwa Tsongkhapa telah mencerap kesunyataan secara langsung dan beliau tidak perlu lagi untuk meminta nasehat kepada Manjushri mengenai hal ini. Kemudian Manjushri menyarankan kepada Tsongkhapa untuk terus mengajar berdasarkan system yang disusun oleh Nagarjuna dan Atisha. Segera setelah kejadian ini. Tsongkhapa pergi ke daerah Selatan Lhasa. Di sana beliau bertemu dengan Gyeltsab Darma Rinchen yang kelak akan menjadi salah satu murid utamanya. Saat itu Gyeltsab adalah seorang cendikiawan dan ahli debat dari tradisi Sakya.
Pertemuan pertama tersebut terjadi ketika Tsongkhapa sedang bersiap-siap untuk memberikan ajaran. Gyeltsab secara terbuka menantang Tsongkhapa dengan duduk di atas tahta yang telah dipersiapkan bagi Tsongkhapa. Tetapi saat Tsongkhapa mulai bicara, Gyeltsab menyadari bahwa pemahaman sang guru tersebut jauh melebihi yang ia miliki. Dia menemukan bahwa Tsongkhapa telah menjawab pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Semakin lama ia semakin menyadari tindakannya yang sombong, merebut tahta Tsongkhapa. Kemudian ia segera bernamaskara tiga kali dengan rendah lalu duduk di tempat para pendengar lainnya.
Tsongkhapa akhirnya wafat pada usia 60 tahun pada tanggal 25 bulan ke 10, penanggalan Tibetan. Beliau mewariskan tahtanya di Ganden kepada Gyeltsab. Maka dimulailah suatu tradisi yang terus bertahan hingga sekarang, Gyeltsab bersama dengan Kedrup meneruskan sistem yang dibangun oleh Jey Tsongkhapa dan melembagakannya, memastikan bahwa tradisi ini akan terus berlanjut dan berkembang.
Kerja Tsongkhapa diteruskan oleh kedua siswa utamanya, Kedrup dan Gyeltsab. Gyeltsab memegang tahta Ganden selama 12 tahun, hingga ia meninggal. Selama hidupnya, Gyeltsab menulis banyak risalah penting, dan kumpulan karyanya ini termuat dalam 8 jilid. Kemudian Gyeltsab diganti oleh Kedrup yang memegang tahta selama 7 tahun sampai beliau meninggal pada usia 54 tahun. Dua Lama ini dipandang sebagai "putra spiritual" dari Tsongkhapa dan sering digambarkan duduk di kedua sisi dari guru mereka di tangka-tangka dan lukisan religious lainnya. Penerus ke 99 dari tahta Ganden ini adalah Ven Yeshi Dhondrup. Sedangkan penerus ke 100 dari tahta yang sekaligus juga adalah pemimpin resmi dari tradisi Gelug ini adalah YM Jetsun Lobsang Nyima. Pewaris tahta Ganden ini sering juga disebut dengan Ganden Tripa. Jadi pemimpin tradisi Gelug sering disebut dengan Ganden Tripa Rinpoche.
Tsongkhapa mempunyai ide untuk menyelenggarakan festival religious tahunan yang dimulai saat tahun baru Tibetan. Festival doa besar atau Mom Lam Chen Mo ini sampai sekarang masing dirayakan dalam komunitas Tibetan dan merupakan salah satu acara religious penting setiap tahunnya. Setelah Mon Lam pertama diselenggarakan, beberapa siswa Tsongkhapa memohon beliau untuk mengurangi aktivitasnya. Saat itu beliau berusia 52 tahun. Mereka merencanakan untuk membuat vihara bagi beliau, dan beliau setuju. Tsongkhapa berdoa di hadapan gambar Sakyamuni untuk memohon nasehat mengenai tempat yang tepat. Beliau akhirnya 'diberitahu' untuk membangun vihara tersebut dekat Lhasa, dalam area Drokri. Vihara tersebut diberi nama Ganden. Ganden adalah bahasa Tibet dari kata Sansekerta Tushita. Tushita adalah tempat tinggal Maitriya, Buddha yang akan datang.
Tsongkhapa kemudian pergi ke tempat tersebut bersama dengan siswanya, Gendun Druba, yang kemudian dikenali sebagai Dalai Lama Pertama. Gendun Druba menunjuk dua siswa lainnya untuk mengawasi pembuatan vihara tersebut. Vihara tersebut resmi dibuka pada tahun 1409 dan kemudian menjadi kompleks vihara yang megah. Kemudian Vihara tersebut terbagi menjadi 2 kampus, Shartsey dan Jangtsey.
Selama berabad-abad berikutnya, tradisi ini berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan karena mereka terus menerus menghasilkan banyak cendikiawan yang gemilang dan ahli tantra. Banyak Vihara dibangun, diantaranya adalah Vihara Drenpung yang didirikan oleh Jamyang Choje Tashi Pelden pada tahun 1416. Pada awalnya, kampus tersebut mempunyai 7 cabang dan kemudian disatukan kembali menjadi 4 , yaitu Loseling, Gomang, Deyang, dan Ngagpa. Putra Spiritual Jey Rinpoche yang lain, Jamchen Choey Shakya, mendirikan Vihara Sera pada tahun 1419. Vihara ini mula-mula juga mempunyai 5 kampus yang di kemudian hari, disatukan menjadi dua, yaitu Sera-Jey dan Sera-Mey. Dengan cara yang sama, Gyatwa Gendun Drup, Dalai Lama pertama, mendirikan Vihara Tashi Lhunpo di Shigatse pada tahun 1447, yang di kemudian hari menjadi tempat kedudukan para pemegang silsilah Panchen Lama. Para Panchen Lama ini, seperti halnya para Dalai Lama, sangat dihormati para Gelugpa. (Penganut Tradisi Gelug). Awalnya Vihara tersebut mempunyai 4 Universitas.
Ketika vihara tersebut, Ganden, Drenpung, dan Sera kelak menjadi tiga vihara utama dan berpengaruh dari sekte Gelug. Namun sayangnya, ketiga vihara tersebut dirusak oleh tentara Cina pada tahun 1959.
Universitas Tantrik Tingkat Rendah, didirikan oleh Jey Sherab Sengey pada tahun 1440 dan Universitas Tantrik Tingkat Tinggi Gyuto didirikan oleh Gyuchen Dhondrup pada tahun 1474. Pada masa kejayaannya, terdapat lebih dari 5000 biksu di setiap kampus di sekitar Lhasa, Ganden, Drenpung, dan Sera, dan terdapat sedikitnya 500 biksu pada setiap universitas tantrik. Para pemuda dari tiga wilayah di Tibet berdatangan untuk mendaftar di berbagai universitas ini sebagai biksu dengan tujuan untuk mendapatkan pendidikan dan latihan spiritual. Tradisi Gelug ini memberikan penekanan khusus pada etika/Sila, seperti yang tercermin pada disiplin ke-vihara-an/Vinaya, sebagai dasar yang ideal untuk pendidikan serta praktik spiritual. Konsekuensinya, sebagian besar para Lama dari tradisi Gelug ini adalah biksu dan jarang terdapat guru yang bukan biksu. Terlebih lagi, tradisi Gelug ini menekankan penjelasan ilmiah yang logis sebagai syarat untuk meditasi konstruktif (membangun), maka ajaran dari Sutra maupun Tantra dianalisis secara mendalam melalui debat dialetik (peribahasa dan penalaran dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah).
Secara umum, kurikulum di kampus-kampus tersebut meliputi 5 topik utama : Paramita, Logika, Madhyamika, Abidharma, Vinaya. Kelima topik ini dipelajari secara cermat dengan metode dialektikal menggunakan teks-teks yang berasal dar India, juga dari komentar-komentar yang dibuat oleh para guru-guru dari India dan dari Tibet Sendiri. Seringkali buku teks (textbooks) yang digunakan berbeda-beda dan menjadi ciri khas dari masing-masing tradisi vihara yang bersangkutan. Lamanya pendidikan berkisar antara 15 sampai 20 tahun. Setelah menyelesaikan latihan ini, para siswa tersebut dianugerahi salah satu dari tiga tingkatan derajat geshe. Dari ketiga tingkatan, Lharampa adalah yang tertinggi, setelah itu baru Tsogrampa, dan terakhir Dorampa.
Program berikutnya, jika sang Geshe ingin mempelajari Tantra, ia dapat bergabung dengan salah satu dari universitas tantrik yang ada. Maka lengkaplah sudah studi formalnya. Jika tidak, ia dapat kembali ke vihara asalnya untuk mengajar atau mengasingkan diri untuk melakukan meditasi yang intensif. Seorang biksu yang telah menyelesaikan pendidikan Geshe nya dihormati sebagai seorang yang sangat berkualitas serta sebagai guru spiritual yang patut untuk dimuliakan serta ditaati.
Selain Jey Tsongkhapa dan para siswa utamanya, antara lain Gyeltsab Dharma Rinchen (1364-1432), Gyalwa Gendun Drup (1391-1474), Jamchen Chojey Shakya Yeshe, Jey Sherab Sengey, dan Kunga Dhondup (1354-1438), cendikiawan Gelug yang terkenal lainnya adalah Jamyang Shayba (1648-1721). Beliau menulis beberapa literatur pelajaran Gelug. Reinkarnasi beliau, Gonchok Jigme Wangpo (1728-1791), yang terkenal atas karyanya, 'Untaian Pedomanan yang Berharga' (Precious Garland of Tenets) dan karya 'seminal'nya tentang tingkatan Bodhisatwa yang Indah dari Tiga Kendaraan (Presentation of the Levels and Path, Beautiful Ornament of the Three Vehicles). Selain itu juga Jang Gya (1717-1786), yang sebuah komentar yang penting dari Untaian Pedoman yang Berharga karya Jamyang Shayba, dan juga Pabongka Rinpoche. Dagpo Rinpoche yang pada awal Februari 2001, dating ke kota Bandung, juga termasuk salah satu guru besar tradisi ini.
Tradisi ini tetap dinamis bahkan hingga ketika tiba di pengungsian (Mereka mengungsi ke India karena inovasi Cina dan Tibet). Vihara Gelugpa yang utama, Sera, Drepung, Ganden, dan Tashi Lhunpo, serta Universitas Tantrik Gyumey telah didirikan kembali di berbagai tempat pemukiman kaum Tibetan di Karnataka, dan Universitas Tantrik Gyuto telah dibangun kembali di Bomdila, Arunachal Pradesh. Semua ini terletak di India. Tidak hanya di Tibet saja, sekarang ini, tradisi Gelug juga berkembang di Eropa dan Amerika.
Tradisi dari Jey Tsongkhapa ini, yang memadukan antara intelektual dan latihan meditasi ini sejak dasawarsa terakhir juga mulai tumbuh berkembang di Indonesia, khususnya di kota Jakarta, Surabaya, Bali, dan Bandung. Di kota Bandung, Kadam Choe Ling berusaha untuk membantu menyebarluaskan ajaran yang dulunya pernah berkembang pesat di bumi nusantara ini. Kadam Choe Ling Bandung, di bawah bimbingan Dagpo Rinpoche, adalah tempat untuk mempraktikkan serta menyebarluaskan ajaran Jey Tsongkhapa ini, seperti juga ajaran dari Atisha, serta para guru-guru Kadampa dan Gelugpa lainnya.
Dedikasi :
Semoga sejarah dan teladan yang diberikan oleh para guru tradisi Gelug ini membawa inspirasi bagi mereka yang membacanya, untuk mau mempraktikkan Dharma Agung dari Buddha Sakyamuni ini. Semoga dengan kebajikan yang diperoleh dari menyusun, membaca, dan menyebarluaskan tulisan ini dapat membawa kita terhindar dari kelahiran di tiga alam rendah dan menyebabkan kita dapat segera mencapai pencerahan sempurna demi kebahagiaan semua mahluk.
Minggu, 28 Oktober 2012
Tradisi Gelugpa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar