Pages - Menu

Pages

Rabu, 28 November 2012

Para Tokoh Budhist

Biografi Santideva



Santideva (Tib. Zhi-ba-lha)


Santideva dilahirkan di desa Saurastra[1], wilayah utara Bodh Gaya. Anak dari Raja Kusalavarma[2] dan Ratu Vajrayogini.[3] Semenjak kanak-kanak, pangeran muda Santideva (nama yang diberikan sejak lahir) telah menujukkan kemampuan luar biasa dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia 6 tahun, ia bertemu seorang yogi dan menerima inisiasi pertama dan pelajaran tentang praktik Manjushri. Sebagai hasil berlatih praktik ini, Santideva mampu melihat Manjushri (Deiti kebijaksaan) dan menerima banyak pelajaran dari Manjushri secara langsung.

Pangeran Santideva merupakan satu-satunya anak tunggal raja yang akan mewariskan tahta kerajaan; ketika baginda raja meninggal, semua persiapan untuk naik tahta telah dipersiapkan. Satu malam sebelum upacara penobatan raja, Manjushri muncul dalam mimpinya, Manjushri duduk di atas tahta kerajaan dan berujar, ”Tahta ini milikku, karena aku adalah gurumu, sangat tidak pantas apabila kita berdua duduk di tahta yang sama.”

Pada malam yang sama juga, Tara muncul dalam mimpinya dalam wujud ibundanya. Ibundanya mencurahkan air panas mendidih ke-kepalanya dan mengatakan, ”Kekuasaan Raja bagaikan air mendidih di neraka; kondisi beginilah yang akan engkau terima nanti.” Ketika pangeran terbangun, ia melihat kerajaan yang akan datang penuh dengan pohon beracun dan seketika itu juga ia kabur dari istana.

Dua puluh satu hari setelah pelariannya, Santideva merasa sangat haus dan mencari-cari air. Ia menemukan sebuah mata air di tengah hutan belantara, ketika ia ingin meneguk air itu, seorang gadis muncul dan memperingatkan Santideva agar jangan minum air yang mengandung racun itu. Gadis itu memberikan air murni untuk menghilangkan kehausannya, gadis itu juga yang membawa Santideva bertemu seorang yogi yang hidup di sebuah hutan. Yogi ini memberikan inisiasi sehingga membuka banyak pintu kebijaksanaan dan konsentrasi. Yogi itu merupakan manifestasi Manjushri dan gadis itu adalah manifestasi Tara.

Ketika Santideva meninggalkan hutan itu, ia membawa sebilah pedang kayu, pedang ini merupakan simbol pedang kebijaksaan Manjushri. Ia berkelana hingga tibalah di Kerajaan Pancamasimha. Raja dari kerajaan ini mengakui Santideva sebagai orang yang penuh kebijaksanaan agung dan sangat mahir dalam berbagai bidang pengetahuan duniawi, raja mengangkat Santideva sebagai salah satu menteri kerajaan. Santideva menerima jabatan itu, selama masa jabatannya, Santideva memperkenalkan berbagai keterampilan tangan.

Walaupun Santideva selalu menjalankan tugas kenegaraan sesuai dharma, menteri lain sangat iri, ada menteri yang melaporkan kepada raja bahwa Santideva bertindak tidak benar. Pada kenyataanya, pedang yang dibawa Santideva adalah terbuat dari kayu, menteri itu mengklaim bahwa ada bukti atas kasus itu. Untuk menyelidiki kebenaran laporan itu, raja menginstruksikan semua menteri untuk menujukkan pedangnya masing-masing. Santideva memperingatkan raja bahwa kilauan dari pedangnya akan menyebabkan bahaya bagi raja, baginda raja tetap tidak percaya dan memaksa Santideva untuk menuruti perintah kerajaan. ”kalau begitu, baiklah”, Santideva berkata kepada Raja, ”Mohon baginda untuk menutup mata kanan dan hanya melihat dengan mati kiri saja.” Raja menuruti kehendak Santideva, ketika melihat pancaran sinar yang berasal dari pedang Santideva, mata kiri raja jatuh, Santideva secepat kilat memungut mata raja dan menempelkannya kembali ke rongga matanya, dan mata raja segera sembuh kembali. Raja baru sadar bahwa Santideva adalah seorang maha siddha, keyakinan besar muncul dalam hati raja. Raja memberikan banyak persembahan dan memohon Santideva tetap tinggal di kerajaan itu, namun Santideva menolak. Ia memohon raja untuk selalu memerintah kerajaan sesuai dengan dharma, Santideva menasihati raja untuk membangun 21 organisasi dharma. Santideva kemudian meninggalkan kerajaan itu dan menuju pusat monastik di Nalanda.

Di Nalanda, ia menerima pentahbisan penuh oleh kepala biara, Jayadeva[4] dan diberi nama Santideva. Selama tinggal di Nalanda, ia menerima banyak pelajaran dari Manjushri dan merealisasikan bagian-bagian penting sutra dan tantra, dengan mengatasi semua gangguan mental internal maupun eksternal, ia mencapai realisasi tertinggi jalur bertahap.

Tampak luar, Santideva hanyalah seseorang yang sehari makan lima kali, tidak bekerja, belajar, maupun meditasi. Karena kejadian seperti itu, beberapa biksu menjulukinya Bhu-Su-Ku, yang berarti: ”Orang yang hanya makan, tidur, dan buang air besar.” Karena beberapa biksu itu tidak memiliki kekuatan batin, mereka tidak tahu tingkat pencapaian realisasi Santideva, sesama mereka menggosipkan, ”Santideva tidak pernah berlatih tiga aktivitas yang merupakan kewajiban setiap biksu. Ia seharusnya diusir dari monastri.” Namun tidak mudah untuk mengusir Santideva, oleh karena itu mereka berencana untuk mempermalukan Santideva di depan umum, jadi ia akan pergi sendiri tanpa harus diusir. Rencana beberapa biksu itu adalah memohon setiap biksu untuk melafalkan Sutra Pratimoksa, mereka yakin bahwa Santideva tidak akan bisa melafalkannya dan oleh karena itu ia malu dan akan pergi dari monastri.

Awalnya, Santideva menolak permohonan mereka, namun mereka tetap bersikeras. Kemudian, Santideva bilang ia akan melafalkan Sutra Pratimoksa apabila dibuatkan tahta. Mereka setuju untuk membuat tahta, mereka membuat tahta yang sangat tinggi tanpa tangga, mereka berpikir Santideva tidak akan bisa naik dan duduk di atas tahta. Ketika Santideva mendekati tahta itu, ia menjulurkan salah satu tangannya untuk menekan tahta itu dengan kekuatan magisnya dan duduk di atas tahta itu, kemudian tahta itu juga dengan mudah naik kembali. Dengan nada anggun ia menanyakan kepada seluruh pesamuhan yang hadir, apakah mereka ingin ia melafalkan sutra yang sudah pernah dilafalkan sebelumnya atau mereka ingin mendegarkan sesuatu yang baru? Mereka semua ingin Santideva melafalkan sesuatu yang belum pernah mereka dengarkan sebelumnya. Oleh karena itu ia melafalkan Bodhisattva- carya-avatara[5], ia membuka dengan bait berikut ini:

Dengan penuh rasa hormat, aku bersujud di hadapan Sugata
Engkau yang terberkahi dengan Dharmakaya[6],
Begitu juga semua anak mulia Sugata
dan aku juga bersujud kepada semua yang patut di hormati

Ketika sampai pada bab ke sembilan, tentang kebijaksaan dan penjelasan pandangan mendalam kekosongan, Santideva tiba-tiba melayang ke udara, ketika semakin tinggi dan tinggi lagi, tubuhnya tiba-tiba hilang dari pandangan namun suaranya masih terdengar jelas.

Mereka yang memiliki kekuatan batin dalam hal mendengar dan mereka yang memiliki dharani ingatan sempurna-lah yang mampu merekam kata-kata Santideva. Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam versi-versi yang ada. Versi sentral India (Magadha) mengandung seribu stanza, versi Negara Bengal barat tidak melebihi delapan ratus stanza (disebutkan bahwa versi ini kekurangan bab pengakuan dan kebijaksaan) , dan versi Kashmiri mencatat lebih dari seribu stanza (tanpa bait penghormatan) . Saat itu belum ada kepastian versi manakah yang mencatat dengan tepat semua kata-kata dari Santideva.

Setelah mengetahui bahwa Santideva tinggal di Sri Daksina[7] Kalinga (bagian dari Trilinga), tiga orang pundit pergi bertemunya. Mereka mengundang Santideva untuk kembali ke Nalanda, namun Santideva menolak. Mereka juga menanyakan versi Bodhisattva- carya-avatara manakah yang paling tepat, Santideva menjawab bahwa versi sentral India (Magadha)-lah yang telah mencatat semua kata-katanya dengan benar. Mereka juga bertanya tentang naskah Siksasamuccaya[8] yang pernah ia usulkan kepada mereka untuk dipelajari. Santideva memberitahu mereka bahwa naskah itu bisa ditemukan di rak rumah tua tempat ia tinggal di Nalanda. Kemudian Santideva memberikan mereka pelajaran dua naskah itu.

Pada hutan yang sama tempat tinggal Santideva, terdapat sebuah monastri yang didalamnya hidup sebanyak 500 orang biksu. Beberapa orang biksu melihat banyak binatang masuk ke gua tempat tinggal Santideva namun tidak pernah lihat binatang itu keluar lagi, mereka menduga Santideva membunuh para binatang itu. Namun dikemudian hari, setelah mereka memeriksa dengan teliti, mereka melihat semua binatang keluar dengan kondisi sehat. Mereka merasa menyesal karena berpikir buruk tentang Santideva. Mereka memohon Santideva untuk tetap tinggal di hutan itu dan memberikan pelajaran dharma, namun Santideva melepaskan jubah biksunya dan pergi ke India selatan dan menjalankan hidup sebagai pertapa pengembara.

Suatu ketika Santideva berjalan lewat, seorang perumah tangga membuang air cuciannya ke pintu depan. Air itu mengenai kaki Santideva dan tiba-tiba air itu mendidih bagaikan air yang diteteskan di atas besi panas. Perumah tangga itu terperanjat kaget dan merasa sangat malu atas kejadian itu. Pada waktu yang bersamaan juga, seorang guru non-buddhis bernama Sankaradeva ingin menantang pundit buddhis, ia pergi bertemu dengan Raja Khatibidhari yang merupakan penguasa regional itu. Sankaradeva mengajukan persyaratan untuk kompetisi, siapa yang kalah dalam dalam kompetisi itu harus mengikuti ajaran orang yang menang dan semua tempat ibadah orang yang kalah harus dihancurkan. Ia meminta raja sebagai saksinya untuk kompetisi itu. Raja setuju dan mengirimkan utusan ke komunitas buddhis untuk menerima tantangan itu. Komunitas buddhis membalas bahwa tidak ada satupun dari mereka yang siap menerima tantangan itu, Raja Khatibidhari merasa sangat kecewa dan kehilangan harapan.

Seketika itu juga, perumah tangga yang membuang air dan mengenai kaki Santideva itu tiba di kerajaan dan memberitahu kejadian itu kepada raja, raja sangat ingin tahu siapakah gerangan pertapa misterius itu. Setelah mengerti cerita itu, raja segera mengirimkan pewarta pesan ke seluruh penjuru kota untuk mencari pertapa buddhis itu. Setelah sekian lama mencari, Santideva ditemukan duduk di bawah sebuah pohon sebagai seorang pengemis. Santideva menerima tantangan non-buddhis itu dan meminta disediakan satu pot air, beberapa pakaian dan api, agar ia bisa merapikan dirinya untuk menghadiri kompetisi itu.

Rakyat berbondong-bondong datang melihat perdebatan itu. Masing-masing kontestan duduk di tahta masing-masing di tengah. Raja Khatibidhari duduk di salah satu sisi dengan para menterinya di bagian kiri dan pundit yang lain duduk di sebelah kanan. Debat pun mulai. Santideva tidak perlu waktu terlalu lama untuk mengalahkan Sankaradeva. Sankaradeva kemudian menantang untuk menunjukkan kekuatan magis dan ia melukis mandala siva yang sangat besar di udara. Setelah Sankaradeva selesai melukis gerbang selatan mandala, Santideva mencerapkan diri dalam samadhi angin destruktif, muncul angin kencang berhembus. Raja dan para menteri terhempas angin, area itu tertutupi oleh debu. Sankaradeva terangkat tinggi dan mandalanya hancur bagaikan burung yang terhempas angin hujan badai. Area itu tiba-tiba menjadi gelap, kemudian Santideva memancarkan cahaya terang dari titik di antara kedua alisnya, angin kencang itu langsung berhenti. Semua orang sembuh kembali, dan semua tempat itu tertata rapi dan bersih kembali serta semua orang selamat. Untuk memenuhi persyaratan yang telah dibuat oleh sankaradeva, biara non-buddhis ditutup, dan mereka menjadi penganut buddhis. Kota tempat perdebatan itu sampai saat ini dikenal dengan ”Kekalahan non-buddhis.”

Suatu ketika pemikir filosofi non-buddhis mengalamai kesulitan dalam penghidupan mereka, Santideva mendatangkan makanan dengan kemampuan magisnya dan secara perlahan-lahan membawa mereka pada praktik buddhadharma. Pada kejadian lain, terjadi bencana kelaparan, ribuan orang meninggal karena kelaparan. Santideva menyelamatkan mereka dengan memberikan dharma yang membuat mereka hidup sederhana dan merasa puas dengan apa adanya. Di timur Ariboshana, hidup seorang raja yang disekelilingnya banyak orang yang ingin menjatuhkannya. Santideva menyingkirkan semua penghalangnya dan membawa raja dan pengikutnya ke jalur kebaikan. Waktu lain, Santideva mencegah terjadinya perang dengan membabarkan dharma suci dan menunjukkan kepada dua belah pihak yang bertikai itu tentang arti sesungguhnya dari kebahagiaan.

Di atas hanya beberapa contoh dari perbuatan kebajikan luar biasa yang dilakukan oleh bodhisattva agung, Santideva, dalam kehidupannya, dan karena itulah ia dianggap sebagai Pundit India termasyur sepanjang masa.

Senin, 06 Februari 2012

Master Kuang Chin (1892-1986)




廣欽老和尚


“Tidak datang juga tidak pergi, tidak ada masalah.”
Jejak agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya
Dari Taipei, Chang (70) dengan didampingi cucu perempuannya menuju Vihara Miao Tung, Kaohsiung, Taiwan. Setiba di sana ternyata relik telah habis ‘diserbu’ para umat. Ia menangis di depan tungku pembakaran kremasi, lalu meraup abu kremasi dan membungkusnya dengan sapu tangan. Selama perjalanan kembali ke Taipei, ia tak hentinya Nianfo (melafalkan Amituofo). Sesampai di rumah, terjadilah keajaiban, di dalam abu kremasi itu ditemukan 30 butir relik berukuran besar dan kecil. Ada pula seorang umat yang bersujud di depan tungku pembakaran kremasi selama satu malam, saat fajar merekah ia menemukan sebutir relik yang cukup besar di dekat lututnya.
Dua hal di atas adalah sebagian dari keajaiban yang terjadi seputar relik Master Kuang Chin (baca: Kuang Jin).
Master Kuang Chin, atau lebih akrab disebut Kuang Lao, salah satu sesepuh Buddhisme Tiongkok kontemporer dengan kisah hidup yang sangat patut dijadikan tauladan. Kuang Lao hidup dalam kesederhanaan, praktisi pelatihan diri yang keras dan disiplin,13 tahun sebagai “Manusia Goa”, menjinakkan harimau buas, monyet mempersembahkan buah bagi beliau, dhyana (meditasi khusuk) selama beberapa bulan sehingga hampir saja dianggap meninggal, tahu akan datangnya angin taifun, membebaskan makhluk alam preta dari penderitaan (Chao Du), dikenal sebagai “Bhiksu Buah” (hanya makan buah selama usia 55-84 tahun), tidak tidur berbaring serta sebelumnya mengetahui hari wafat beliau.
Kuang Lao lahir tahun 1892 (Imlek tanggal 26 bulan 10) di Hui An, Fujian. Usia 4 tahun dijual pada keluarga marga Li demi menutup biaya pernikahan kakaknya. Si kecil Kuang Lao bertubuh lemah dan sakit-sakitan, namun memiliki akar kebijaksanaan, sejak usia 7 tahun mengikuti sang ibu memeluk Buddhisme dan vegetarian. Tahun 1900, ibu angkat meninggal. Dua tahun kemudian, ayah angkat juga meninggal. Sanak famili menganjurkannya ke Nanyang untuk belajar mandiri. Di sana ia bekerja sebagai tukang sapu, penanak nasi dan pekerjaan kasar lainnya. Kuang Lao menyadari betapa tidak kekalnya kehidupan ini, oleh sebab itu ia kemudian menghibahkan sawah ladang yang diwariskan orang tua angkatnya kepada para sanak famili dan menuju Vihara Cheng Tian, Quanzhou, Fujian untuk menjadi bhiksu.
Tahun 1911, menerima Trisarana dan menjadi bhiksu di bawah bimbingan Master Rui Fang, seorang praktisi pelatihan diri yang ketat. Kuang Lao berlatih diri dengan ketat, memakan makanan yang tidak dimakan oleh manusia awam, tidak tidur berbaring dan tekun dalam Nianfo. Tahun 1933 setelah menerima penahbisan penuh dari Master Miao Yi, Kuang Lao menetap di sebuah goa di lereng Gunung Qingyuan, Quanzhou, Fujian. Beliau berlatih meditasi Chan dan Nianfo. Setelah bekal beras habis, maka ubi dan buah-buahan hutan menjadi alternatif pengganjal perut. Selama kurun waktu inilah terjalin tali persahabatan dengan monyet dan harimau gunung.
Suatu kali penduduk desa menemukan Kuang Lao sudah berbulan-bulan tidak makan ataupun beraktivitas. Mereka menemukannya duduk bermeditasi, tidak bergerak dan tanpa nafas. Master Hong Yi yang sedang membabarkan Dharma di sekitar wilayah itu beserta Master Zhuan Chen, pimpinan Vihara Cheng Tian, segera naik gunung. Ternyata Kuang Lao dalam keadaan samadhi (Ru Ding). Dengan tiga kali ketukan jari, Master Hong Yi memanggil Kuang Lao agar keluar dari kondisi samadhi.
1945, Kuang Lao kembali menetap di Vihara Cheng Tian. 1947, tiba di Taiwan. Akhir tahun yang sama sering menetap di Vihara Fa Hua di Taipei. Beliau melakukan Chao Du bagi beberapa makhluk alam preta (hantu) warga Jepang yang berada di dalam vihara itu. 1948, mendirikan Vihara Kuang Ming. 1950, mendirikan Vihara Kuang Cao. 1952-1955, menetap di Ri Yue Tong (Goa Mentari Rembulan), seekor ular raksasa menerima Trisarana dari Kuang Lao. 1960-1965, merampungkan pembangunan Vihara Cheng Tian (Chan). 1969, mendirikan Vihara Kuang Cheng Yan. 1982, mengutus murid pendamping beliau, Master Chuan Wen, membangun Vihara Miao Tung di Liu Kui, Kaohsiung.

9 Feb (1 Imlek) 1986 dini hari, menyampaikan amanat terakhir di depan seluruh siswa dan penghuni Vihara Cheng Tian, berpesan agar pada nantinya abu kremasi ditempatkan terpisah di tiga tempat, yakni Vihara Cheng Tian, Kuang Yan dan Miao Tung. Pagi hari itu juga beliau menuju Vihara Miao Tung.
Setiba di Vihara Miao Tung, Kuang Lao Nianfo siang dan malam. 13 Feb 1986 sekitar pukul 2 sore, tiba-tiba berucap: “Tidak datang juga tidak pergi, tidak ada masalah.” Kuang Lao menganggukkan kepala pada para siswa, lalu duduk bermeditasi dengan memejamkan mata. Beberapa waktu kemudian para siswa baru menyadari bahwa beliau telah ‘pergi’ dalam iringan alunan suara Nianfo.
Kuang Lao adalah tokoh Buddhis yang low profile, hal ini terlihat dari metode pelatihan diri yang beliau lakukan. Pun meski dikenal dekat dengan pemerintah Taipei, khususnya almarhum Presiden Chiang Ching Kuo (putra Chiang Kai Shek), namun Kuang Lao tidak pernah memanfaatkan hubungan ini demi kepentingan diri sendiri. Salah satu nasehat beliau bagi Chiang adalah: “Segala kekuatan muncul dari ‘konsentrasi’, namun hanya dalam kondisi ‘tenang’ baru dapat ‘berkonsentrasi’. Seseorang yang dapat menenangkan diri di lingkungan yang tenang, ini tidak dapat dikatakan sebagai ‘konsentrasi’. Di waktu dalam belitan masalah namun mampu menenangkan diri, inilah yang disebut konsentrasi.”
Membaca riwayat hidup Kuang Lao membuat kita teringat akan satu kemiripan dengan Master Hui Neng (Sesepuh Chan Tiongkok ke-6). Persamaan kedua tokoh besar ini adalah: buta huruf, jarang mempelajari ataupun membabarkan Sutra. Kuang Lao mengatakan, “Tidak perlu membaca Sutra, makin banyak membaca makin bingung. Dalam menghadapi setiap hal hanya satu ucapan: Amituofo, baik dalam keadaan gembira ataupun sedang dibelit masalah. Jauhkan diri dari pertengkaran, juga satu ucapan Amituofo. Lakukan Nianfo dengan hati yang tenang. Nianfo hingga tertidur juga baik. Satu pelafalan (satu pikiran tidak muncul) dapat terbebas dari tiga alam (Nafsu, Rupa, Arupa); satu pelafalan (melafalkan namun tanpa pelafalan) akan tiba di Sukhavati. Berlatih diri adalah mata seakan-akan tidak melihat, telinga tidak mendengar (tidak melihat dan mendengar hal-hal yang memunculkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, red), Nianfo dengan tulus. Sekarang mata kalian semua terbuka lebar-lebar dan perhatikan dengan seksama. Berlatih diri adalah makin tidak dikenal orang makin baik.”
Tetapi hendaknya jangan salah paham akan maksud ucapan Kuang Lao. Seorang bhiksu bertanya, “Pembabaran Buddha Dharma di zaman kini harus menggunakan metode apa sebagai jalan tengah?” Kuang Lao, “Ai! Tadi baru saja diucapkan. Kalian membabarkan Dharma dengan metode pendidikan dan penelitian, sedang saya dengan metode Nianfo. Keduanya sama pentingnya.”
Kuang Lao juga mengatakan, “Sutra itu di mana? Sutra berada dalam hati kita. Tetapi ini bisa kalau kebijaksanaan telah terbuka, bila tidak, membaca Sutra bisa membuat kita bingung. Bila kebijaksanaan terbuka maka Sutra yang kita baca terasa seakan sangat kita kenali, bahkan dapat (membawa kita) mengalami pencerahan akan hal yang lain.” Dalam kesempatan lain Kuang Lao menjelaskan: “Bila ada waktu gunakan untuk membaca Sutra. Sutra adalah untuk dimengerti, tahu bagaimana mempraktikkannya, bukan sekedar diucapkan kembali. Ada orang yang membaca Sutra seperti layaknya masyarakat awam, tidak ada tambatan perlindungan, akibatnya banyak membaca tambah bingung.” Kuang Lao sendiri menyarankan kita banyak membaca Sutra Intan agar terbebas dari kemelekatan.
Yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah: Kuang Lao adalah praktisi Chan atau Sukhavati? Beliau adalah praktisi keduanya. Jelasnya, setelah mengalami Nianfo Sanmei (Samadhi Nianfo) barulah Kuang Lao melakukan praktik Chan. Tahun 1933 Kuang Lao mengikuti retret Foqi (Nianfo tujuh hari) di Gushan, Fuzhou. Saat tenggelam dalam alunan suara Nianfo, tiba-tiba tubuh dan pikiran terasa damai, serasa berada di tempat lain, yang terlihat adalah suara burung, harumnya bunga, tiupan angin, dan rumput yang bergoyang, yang kesemuanya sedang melafalkan Buddha, Dharma dan Sangha. Penglihatan ini berlangsung terus menerus tanpa henti selama 3 bulan. Kuang Lao, yang sering menganjurkan para siswa untuk Nianfo, menuturkan pengalaman Nianfo Sanmei ini pada Doctor King dari USA, “Itu benar-benar nyaman. Hanya saja ini adalah pengalaman dalam pikiran saya, apa benar Nianfo Sanmei, ini adalah referensi dari saya untuk Anda. Saya rasa ini adalah Nianfo Sanmei, bagaimana anggapan Anda, itu adalah urusan Anda.”

Seorang praktisi luhur telah meninggalkan kita secara jasmaniah, namun wejangan-wejangan praktis beliau tetap akan hadir dalam hati kita semua. Kini bagaimana kita harus bertingkah laku agar wejangan Guru Buddha dan para Sesepuh itu tidaklah menjadi sia-sia? Mungkin kita bisa mengikuti petunjuk Kuang Lao yang diberikan bagi para siswa non-perumah tangga: “Bangun tidur pertama-tama usaplah kepala, mengapa meninggalkan kehidupan rumah tangga? Demi terbebas dari proses kelahiran dan kematian. Oleh sebab itu tingkatkanlah semangat menempuh Jalan Suci.”
Setelah mengenal jejak agung Kuang Lao, sebagai seorang siswa perumah tangga yang baik, sudah sewajarnya bila setiap bangun tidur kita juga belajar mengusap dada dan bertanya pada diri sendiri: “Mengapa menjadi siswa Buddha?” Dan sebelum membicarakan (keburukan) orang lain, rundingkan lebih dulu dengan ini (menunjuk ke hati), seperti yang diajarkan Kuang Lao.

Minggu, 05 Februari 2012

Master Yijing (635 – 713 M)


Merangkai Segitiga Dharma: Tiongkok – Sriwijaya - India

Sergapan Bandit
Ia adalah orang Shandong yang perkasa, namun serangan demam dan jalanan gunung yang mendaki membuatnya semakin tertinggal jauh di belakang rombongan. Tiba-tiba muncul 7-8 orang lelaki kekar bersenjatakan pisau dan panah. Ia terperanjat. “Amituofo! Tak terduga harus meninggal di tempat ini!” Benar, ia tak menyangka bakal mengalami hal ini di tanah suci yang diimpikannya semenjak kecil.
Tak menemukan harta benda yang bisa diambil, para bandit itu mengalihkan sasaran ke pakaian yang dikenakannya. Ia ditinggalkan dalam keadaan telanjang bulat. Ia lalu melumuri tubuhnya dengan lumpur dan menutupnya dengan dedaunan. Dengan bertumpu pada tongkatnya, ia memaksakan tubuhnya yang lemah dan sakit itu untuk meneruskan perjalanan mengejar rombongannya. Malam pun jatuh. Dalam keadaan gelap gulita tanpa penerangan, tiba-tiba terdengar teriakan: “Yijing…!” Dashengdeng beserta beberapa bhiksu Nalanda muncul dengan obor di tangan.
Demikianlah salah satu pengalaman mendebarkan yang dialami Maha Bhiksu Yijing dalam perjalanan menggali permata Vinaya Pitaka di India.
Bagi kita yang hidup di zaman modern, perjalanan ke India kedengarannya sangat sepele, namun tidak bagi para praktisi di zaman dahulu. Tak sedikit aral rintangan dan bahaya yang dihadapi para bhiksu yang menuju India, sehingga tak heran bila hanya beberapa saja dari ratusan bhiksu ‘petualang’ yang berhasil kembali dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Dalam 2.000 tahun perjalanan sejarah agama Buddha di Tiongkok, tercatat tiga orang bhiksu yang berhasil menembus India dan kembali ke Tiongkok yang berlangsung dalam periode abad 4-8 M. Mereka adalah Faxian (Fa Hsian, Fa Hien), Xuanzang (Hsuan Tsang) dan Yijing (I Tsing). Xuanzang dan Yijing dikenal pula sebagai 2 di antara 5 tokoh penerjemah Sutra Buddhis terbesar di Tiongkok.
Sergapan bandit yang dialami Yijing adalah salah satu bentuk bahaya yang dapat mengakhiri hidupnya. Faxian dan Xuanzang juga mengalami bahaya yang serupa. Hanya mereka yang berani dan pantang menyerah demi kebahagiaan semua makhluk yang dapat mengalahkan semua rintangan itu. Merekalah para Bodhisattva sejati.
Sepasang Mutiara Memasuki Gerbang Dharma
Yijing (Zhang Wenming) lahir tahun 635 di keluarga petani Buddhis sederhana di Licheng (sekarang kota Jinan, Shandong). Sejak usia 4 tahun Yijing telah dilatih untuk menghafal Sutra Intan (Jin-gang Jing) oleh ayahnya.
Saat Yijing berusia 5 tahun penanggalan Imlek, terjadi bencana kemarau. Para bhiksu dari Vihara Tuku membagikan bahan makanan bagi penduduk sekitar. Bahan makanan itu ada yang didatangkan dari Vihara Shentong, Tai Shan (Gunung Tai). Si kecil Yijing diajak sang ayah menuju Vihara Tuku. Di sana Yijing mendapat pujian dari dua Master Vihara Shentong, Shanyu dan Huizhi.
Bencana kemarau tahun itu adalah bencana terbesar yang pernah terjadi dalam seratus tahun terakhir. Jadi selain bantuan makanan dari vihara, tetap diperlukan dukungan dana dari umat. Ayah Yijing mendanakan sebutir mutiara sebesar ibu jari yang merupakan warisan leluhur keluarga mereka. Saat itu pula ayah Yijing berpikir, bagaimana kalau beliau juga mempersembahkan Yijing bagi Buddha Dharma? Demikianlah, akhirnya sepasang mutiara itu (harta pusaka dan Yijing) memulai babak baru mereka menapak memasuki Gerbang Dharma.Dua tahun kemudian setelah genap berusia 7 tahun, Yijing menetap di Vihara Shentong menjadi murid Master Shanyu dan Master Huizhi. Yijing dididik langsung oleh Shanyu, yang menekankan pada pendidikan literatur Buddhis. Tahun 646, ketika Yijing berusia 12 tahun, Shanyu berpesan agar Yijing tidak terpaku secara harafiah dalam memahami Sutra Buddhis, serta mengatakan tiga hari lagi akan mangkat. Tiga hari kemudian Shanyu wafat. Sejak itu Yijing dididik oleh Huizhi yang menitikberatkan pada meditasi, Sila dan pelantunan Sutra.
Kala itu, untuk menjadi bhiksu harus lulus ujian negara. Namun kekaisaran Tang waktu itu sudah sekian lamanya tidak menyelenggarakan ujian kebhiksuan. Sebab itu, meski menetap bertahun-tahun di vihara, Yijing tetap bukan sramanera. Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Tahun 645, Xuanzang kembali ke Tiongkok dari perjalanan panjangnya ke India. Beliau mengusulkan pada kaisar untuk merekrut generasi muda Sangha yang berkualitas dari seluruh negeri. Tahun 648, Yijing berhasil lulus ujian kebhiksuan dan resmi menjadi sramanera.
Berikrar Mengikuti Jejak Faxian dan Xuanzang
Tak perlu waktu lama bagi Yijing untuk membaca habis Fo Guo Ji (Catatan Negara Buddha) yang merupakan catatan perjalanan Faxian ke India. Dengan gembira ia memberitahukan hal ini pada Huizhi, namun ia hanya menerima sebuah senyuman dari Huizhi. Yijing yang cerdas paham makna senyuman itu, dalam kebisuan sang guru menyatakan tidaklah cukup bila hanya membaca satu kali saja.
Setahun kemudian, entah untuk ke berapa kalinya membaca Fo Guo Ji, barulah Yijing paham akan maksud Huizhi yang sebenarnya. Sebagai seorang anggota Sangha yang relatif sangat muda, ia harus mulai mencanangkan cita-cita luhur yakni mengembangkan Buddha Dharma. Namun dengan cara apa ia merealisasikan cita-cita itu? Pahamlah Yijing. Ia harus mengikuti jejak Faxian dan Xuanzang belajar Dharma hingga ke negeri India.
Menekuni Vinaya Pitaka
Tahun 655, Yijing menerima penahbisan penuh sebagai bhiksu muda.Huizhi memberi nasehat tentang pentingnya pelaksanaan Sila. Huizhi sendiri merupakan praktisi Vinaya Pitaka. Meski Faxian telah berjasa besar dengan membawa Vinaya Pitaka dari tiga aliran besar Buddhis waktu itu di India, namun tak banyak tokoh yang mampu memahami dan menerapkannya dengan baik. Inilah yang mendorong Yijing untuk tekun mempelajari Vinaya Pitaka yang kemudian membawanya menuju kota Luoyang dan Chang-an.
Belajar di Dua Ibu Kota, Dekrit Bhiksu Bersujud pada Kaisar
Luoyang adalah ibu kota baru yang terletak di bagian timur, sedang Chang-an adalah ibu kota lama di sebelah barat. Tahun 660 Yijing tiba di Luoyang. Menjelang akhir tahun ia menuju Chang-an. Di Chang-an ia belajar Vinaya dari Master Daoxuan. Yijing juga sempat mengikuti arak-arakan relik Buddha yang akan dikembalikan ke Vihara Famen setelah 7 hari ditempatkan di istana.
Di saat itu pula muncul dekrit dari kaisar yang mengharuskan bhiksu untuk bersujud pada kaisar. Dekrit ini mendapat penolakan dari anggota Sangha. Akhirnya diselenggarakanlah forum dengar pendapat yang dihadiri oleh petinggi kerajaan dan perwakilan anggota Sangha. Tiga hari kemudian diperoleh hasil pemungutan suara: 539 suara menolak, 354 suara mendukung dan beberapa suara abstain. Akhirnya kaisar pun mencabut dekrit itu.
Perjalanan ke Sumatra
Tahun 664, Master Tripitaka Xuanzang wafat. Yijing mengikuti upacara pemakaman yang berlangsung di luar kota Chang-an. Kepergian Xuanzang mendorong Yijing untuk merealisasikan cita-cita yang sudah terpendam sekian lama. Ia menyampaikan keputusannya ini pada beberapa rekan bhiksu yang lain. Semuanya mendukung dan menyatakan kesediaan untuk mengiringinya pergi ke India.
Setelah berpamitan dengan gurunya, Huizhi, Yijing kembali ke Chang-an dan berkenalan dengan seorang bhiksu muda bernama Shanxing yang kemudian menjadi muridnya. Tak terduga, justru Shanxing inilah yang kemudian benar-benar mendampinginya memulai perjalanan ke India, sedang beberapa rekan yang sebelumnya menyatakan bersedia ikut, satu demi satu berhalangan.Lalu rute mana yang harus ditempuh? Saat itu terjadi peperangan dengan beberapa suku di perbatasan, oleh sebab itu mustahil menempuh jalan darat. Satu-satunya adalah melalui jalur laut. Tahun 671 berangkatlah Yijing dan Shanxing menuju Yangzhou. Dengan bantuan seorang pejabat bernama Feng Xiaoquan, dari Yangzhou mereka berangkat menuju Jiangning (sekarang Nanjing). Di Jiangning Yijing berkenalan dengan Xuankui, seorang bhiksu yang juga ingin ke India. Disepakati untuk bertemu di Vihara Zhizhi, Guangzhou, dan kemudian bersama-sama bertolak ke India. Tak dinyana Xuankui akhirnya juga berhalangan karena terserang penyakit.
Menjelang akhir tahun 671, berlayarlah Yijing dan Shanxing dengan sebuah kapal Persia. 12 hari kemudian kapal mereka merapat di Sriwijaya. Yijing memutuskan untuk menetap sementara waktu di Sriwijaya, di samping mempelajari bahasa Sansekerta sebagai persiapan ke India, pun karena Shanxing dalam kondisi sakit. Namun karena kondisi Shanxing semakin parah, akhirnya diputuskan untuk memulangkannya ke Tiongkok. Berpisahlah guru dan murid itu, sebuah perpisahan yang tak mempertemukan mereka lagi.
Mencapai India
6 bulan kemudian Yijing berangkat dengan sebuah kapal kerajaan Sriwijaya. Awal tahun 673 tibalah di Tamralipti (sekarang wilayah Bangladesh). Di sini berjumpa dengan Dashengdeng (Pelita Mahayana), seorang bhiksu aliran Chan yang berasal dari Buzhou (sekarang Vietnam). Dashengdeng adalah murid Xuanzang. Yijing kemudian memperdalam kemampuan bahasa Sansekertanya di bawah bimbingan Dashengdeng.
Satu setengah tahun berlalu, Yijing menyatakan keinginan untuk berkunjung ke tempat-tempat suci Buddhis di India Tengah. Demi keamanan, mereka bergabung dengan sebuah rombongan berjumlah 500-600 orang. Dalam perjalanan inilah Yijing sakit dan dirampok oleh sekelompok bandit.
Akhirnya mereka tiba di Vihara Nalanda. Berbeda dengan vihara di Tiongkok, Nalanda mirip kota benteng bertembok tinggi dengan sebuah pintu gerbang yang di dalamnya terdapat 8 bangunan utama dan lebih dari 100 stupa. Di Nalanda ini mereka berjumpa dengan Xuanzhao, seorang bhiksu yang diutus kaisar Tiongkok untuk mencari obat panjang usia. Meski
berhasil mendapatkan ramuan obat panjang usia, namun Xuanzhao dan dua bhiksu pengiringnya tak dapat kembali ke Tiongkok karena peperangan yang memutuskan jalan penghubung India - Tiongkok. Xuanzhao mengantar Yijing berdua mengunjungi Gunung Grdhrakuta (Kepala Burung Nazar).
Dari Nalanda, Yijing dan Dashengdeng kemudian melanjutkan perjalanan mengunjungi vihara dan tempat-tempat suci Buddhis lainnya. Namun setiba di Kusinagara, Dashengdeng yang telah mendekati usia 60 tahun memutuskan untuk menetap di lokasi suci tempat Buddha ber-Parinirvana itu. Akhirnya Yijing seorang diri kembali ke Nalanda.
Belajar di Nalanda
10 tahun lamanya Yijing belajar di Nalanda, khususnya mengenai penerapan Vinaya yang ketat. Dalam kurun waktu itu, Xuanzhao wafat di Nalanda, sedang Dashengdeng wafat di Kusinagara. Sebelum wafat, Dashengdeng sempat mengirimkan pesan terakhir bagi Yijing agar bagaimanapun juga harus pulang dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Akhirnya Yijing memutuskan untuk kembali ke Tiongkok. Dengan membawa beberapa peti berisi Sutra, Vinaya Pitaka, patung, dan relik suci, Yijing menuju Tamralipti. Entah kebetulan atau matangnya buah karma, Yijing kembali bertemu dengan para bandit di tempat yang sama. Untungnya para bandit itu hanya mengambil bekal makanan, uang, dan beberapa benda berharga lainnya. Mereka tidak mengusik Yijing dan benda-benda suci Buddhis dalam peti.
Kembali ke Sriwijaya
Tahun 687, kapal yang dinaiki Yijing bersandar di pelabuhan Sriwijaya. 15 tahun sudah Yijing meninggalkan Sriwijaya. Berita kepulangan Yijing tersebar dengan cepat. Yijing disambut oleh Bhiksu Ketua Vihara Kerajaan, Sakyajilidhi, dan dikunjungi oleh Raja Sriwijaya.
Keinginan Yijing untuk secepatnya berlayar kembali ke Tiongkok menjadi tertunda setidaknya 3 bulan karena harus menunggu datangnya angin selatan. Setelah angin selatan datang bertiup, Raja baru mengungkapkan keinginan agar Yijing menetap selamanya di Sriwijaya. Berselang beberapa hari kemudian, Sakyajilidhi memberitakan bahwa di Tiongkok terjadi ketegangan politik perebutan kekuasaan antara Ratu Wuzetian dengan keturunan kaisar. Yijing disarankan untuk tidak pulang lebih dahulu.
Dua minggu kemudian, seorang pedagang dari Guangzhou berhasil ”menculik” Yijing dan membawanya kembali berlayar ke Tiongkok. Sesampai di Guangzhou, Yijing mempersiapkan alat-alat tulis dan mencari asisten untuk membantu proyek penerjemahan Sutra. Menjelang akhir tahun, Yijing untuk ketiga kalinya kembali ke Sriwijaya dengan membawa beberapa asisten yakni Master Vinaya Zhen-gu, dua bhiksu muda (Daohong dan Falang), serta Sramanera Huaiye.
Tahun 690, Wuzetian memproklamirkan dirinya sebagai Kaisar dinasti yang baru, Zhou, menggantikan dinasti Tang. Tahun 691, rombongan duta persahabatan yang diutus Wuzetian tiba di Sriwijaya. Salah satu anggota rombongan adalah Master Dajin. Saat kembali ke Tiongkok, Dajin membawa surat Yijing yang ditujukan pada kaisar.
Pulang ke Tiongkok
Dua tahun kemudian, tahun 694, Yijing beserta Zhen-gu dan Daohong kembali ke Tiongkok meninggalkan Sriwijaya selamanya. Falang
meninggal di Sriwijaya, sedang Huaiye menetap di Sriwijaya mengikuti Master Sakyajilidhi. Berakhirlah sudah perjalanan akbar yang memakan waktu lebih dari 20 tahun itu. Mendengar berita kepulangan Yijing, penerus jejak Xuanzang, Kaisar Wuzetian mengirim utusan ke Guangzhou untuk menjemput Yijing. Tahun 695, tibalah Yijing di Luoyang, ibu kota Timur yang ditinggalkannya lebih dari 30 tahun yang lalu.
Yijing dielu-elukan oleh penduduk dan pejabat kota Luoyang, serta disambut langsung di pintu gerbang timur istana oleh Kaisar Wanita Wuzetian. Kaisar Wu menganugerahkan gelar ”Master Tripitaka” pada Yijing. Saat itu gelar ini hanya dimiliki empat orang bhiksu. Hanya Yijing yang merupakan satu-satunya bhiksu asal Tiongkok.
Bersama dengan Sikshananda, Yijing menerjemahkan Sutra Avatamsaka (Huayan Jing). Selain itu juga banyak menerjemahkan Sutra, Vinaya, dan Sastra, antara lain: Vinaya Saravanabhava, Sutra Avadana, dan Sutra Suvarnaprabhasa.
Tahun 705, Kaisar Wu tumbang, putra mahkota naik tahta dengan nama Kaisar Zhongzong, dengan demikian pulihlah kembali nama dinasti Tang.
Tahun 704, Yijing diundang ke Vihara Shaolin untuk melakukan prosesi Vinaya sesuai aturan yang ditetapkan oleh Buddha Sakyamuni.
Tugas mulia penerjemahan selama tahun 713 yang dilakukan Yijing berlangsung di beberapa vihara, yakni Vihara Dafuxian di Luoyang, Vihara Ximing di Chang-an, istana kaisar di Luoyang, Vihara Dajianfu di Chang-an, dan di istana kaisar di Chang-an selama masa varsa di tahun 707. Selama masa varsa itu, Kaisar Zhongzong meminta Yijing untuk menerjemahkan Sutra Bhaishajyaguru, sedang kaisar sendiri menjadi asisten Yijing.
Tahun 713, Master Tripitaka Yijing wafat di Vihara Dajianfu di Chang-an. Seperti halnya Faxian dan Xuanzang, selain menerjemahkan Tripitaka, Yijing juga meninggalkan karya tulis, yakni: Warisan Dharma Dalam yang Dikirim Kembali dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifachuan) dan Riwayat Bhiksu Mulia Dinasti Tang Pencari Dharma di India (Datang Xiyu Qiufa Gaosengzhuan) yang di dalamnya mengisahkan perjalanan lebih dari 60 bhiksu dinasti Tang yang menuju India, salah satunya adalah Huining yang sempat menetap selama 3 tahun di Jawa (664-667). Perlu diketahui, Huining ini bukanlah Huineng, Sesepuh ke-6 Chan.
Karya tulis Yijing sangat berjasa bagi penelitian jalur transportasi dan kebudayaan antara Tiongkok dan India. Selain itu, Yijing juga berjasa dalam lahirnya kamus Sansekerta-Mandarin yang pertama di Tiongkok.
Sebagai penutup Jejak Agung ini, penulis kutipkan petuah terakhir Yijing yang antara lain berbunyi: “Mereka yang mempelajari Vinaya, harus memulainya dari bagian yang paling kecil; mereka yang mempelajari Sutra dan Sastra, terlebih dulu harus membedakan antara yang lurus dan sesat. Sila, konsentrasi, dan kebijaksanaan, ketiganya harus dipelajari dan dilatih dengan sebaik-baiknya, bila hanya menguasai satu di antaranya, tak dapat dikatakan sebagai hal yang sempurna...”
Dapat mengikuti jejak agung Yijing adalah kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan Buddha Dharma dan kebahagiaan semua makhluk. Dan untuk dapat merealisasikan ikrar mulia ini, sudah tentu kita harus mampu melaksanakan petuah terakhir Yijing.***

Jejak Agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya

Kamis, 02 Februari 2012

MASTER KUMARAJIVA (343 - 413)



鸠摩罗什大师

Guru Besar Penerjemah Kitab Suci dari Tujuh Buddha Masa Lalu.
Jejak Agung ini di persembahkan oleh : Tjahyono Wijaya.
Sekilas Master Kumarajiva
Jauh sebelum abad ke 5 Masehi, ratusan kitab suci agama Buddha telah di alihbahasakan ke dalam bahasa Tionghoa. Namun pada masa-masa itu makna sejati Buddha Dharma masih belum benar-benar terserap secara signifikan bagi perkembangan Buddhisme di Tiongkok. Hasil setiap terjemahan belum merefleksikan makna ajaran Buddha secara tepat karena sistem transliterasinya masih banyak mengadopsi dari terminologi Taoisme dan Konfusianisme. Dengan kata lain, pemaknaan Dharma yang diinterpretasikan melalui sudut pandang Taoisme/Konfusianisme masih sangat kental. Namun sistem itu kemudian mengalami perubahan drastis
setelah kedatangan seorang tokoh besar yang dengan kepiawaiannya merestrukturisasi dan mereformasi sistem penerjemahan hingga menjadikan agama Buddha mengalami titik balik bagi kemajuannya di Tiongkok. Bagi orang yang telah sering membaca kitab suci Mahayana, nama tokoh ini tidak asing lagi, dialah, Kumarajiva.
Kumarajiva, lahir pada tahun 343 Masehi (ada juga yang menyebut tahun 344 M), adalah Master Tripitaka terkemuka pada era antara Dinasti Jin-
Timur di Tiongkok Selatan hingga Qin-Belakangan di Tiongkok Utara.
Beliau merupakan salah satu tokoh besar penerjemah kitab suci Buddha bahasa Tionghoa yang sejajar dengan Paramartha (499- 569), Xuanzang (sekitar 600-664), Amoghasiddhi (705-774) dan Yijing (635-713).
Ditilik dari proses pembelajaran Dharma, pada awalnya Kumarajiva adalah seorang praktisi tradisi Sarvastivada, kemudian beralih ke tradisi Mahayana
mendalami filosofi Madhyamika dari Nagarjuna.
Lahirnya tradisi Sanlun (Tiga Shastra), Tiantai, Jingtu (Tanah Murni), bahkan Chan (Zen) di Tiongkok, tak terlepas dari kontribusi Kumarajiva yang mana Sutra dan Shastra (Sastra) acuan beberapa tradisi itu merupakan hasil terjemahan beliau.
Lidah Tetap Utuh Setelah Kremasi
Sebagai seorang guru dan penerjemah kitab suci, kemampuan Kumarajiva menempati reputasi yang tinggi. Di samping karena fakta dunia cendekiawan Buddhis lebih banyak menggunakan acuan terjemahan beliau, terdapat satu kejadian unik yang mencerminkan kejeniusan Kumarajiva bukan tanpa alasan. Saat menjelang kemangkatannya (413), di
hadapan para siswa, beliau berkata, “Dengan segala ketulusan, saya berikrar: bila Sutra dan Sastra yang saya terjemahkan benar-benar sesuai dengan makna sejati Buddha, maka setelah tubuh saya diperabukan, lidah saya tidak akan hancur!” Alhasil, ternyata setelah dikremasikan, lidah Kumarajiva tetap utuh bahkan tampak merah berkilau.
Lebih-lebih lagi, Kumarajiva juga diyakini sebagai penerjemah Kitab Suci dari tujuh Buddha masa lalu. Dikisahkan pada masa Dinasti Tang, Master
Daoxuan, seorang praktisi Vinaya (tradisi Lu) di Gunung Zhongnan, menerima persembahan makanan setiap hari dari para dewa karena keteguhannya mempraktikkan Vinaya. Suatu ketika Daoxuan yang telah berusia lanjut tiba-tiba terjatuh. Putra Dewa Vaisravana (satu dari Empat Maha Raja Dewa di konstelasi utara) segera memapahnya.
Pada kesempatan itu Daoxuan bertanya, “Mengapa para umat senang membaca Sutra hasil terjemahan Master Kumarajiva?”
Sang dewa menjawab, “Master Kumarajiva adalah penerjemah kitab suci dari tujuh Buddha masa lalu – Sutra yang diwejangkan oleh tujuh Buddha diterjemahkan oleh beliau– karena dalam setiap kehidupan beliau selalu
berikrar: ‘Bila ada Buddha muncul di dunia, saya akan datang menerjemahkan Kitab Suci!’
Selama munculnya tujuh Buddha dari masa lalu hingga saat ini, Kumarajiva selalu menjadi guru penerjemah Kitab Suci. Karena itu, Kitab Suci yang diterjemahkan beliau tidak memiliki sedikit kesalahan pun.”
[Tujuh Buddha yang dimaksud adalah Buddha Vipasyin, Sikhin, Visvabhu, Krakucchanda,Kanahamuni, Kasyapa dan Sakyamuni.]
Begitu tinggi reputasi Kumarajiva, bahkan dikisahkan juga bahwa para penguasa pun rela menggerakkan ribuan pasukan untuk mendapatkan beliau.
Ramalan Tentang Tokoh Bijaksana dari India
Mengapa para penguasa begitu haus mendapatkan Kumarajiva? Sebelumnya kita perlu memahami secara singkat gambaran sejarah agama Buddha dan peta politik Tiongkok pada akhir abad ke-3 Masehi hingga abad ke-5.
Pada masa-masa ini, Tiongkok menghadapi periode yang penuh gejolak. Setelah kematian Kaisar Jin Wudi (290 M), Dinasti Jin-Barat memasuki masa gelap. Berbagai pemberontakan muncul di mana-mana. Wilayah utara Tiongkok pun terpecah menjadi 16 kerajaan. Lantas, di antara 16 kerajaan ini, terdapat kerajaan yang wilayah kekuasaan dan pengaruhnya cukup besar, seperti Zhao-Belakangan, Qin-Awal, Qin-Belakangan dan Liang-Utara. Di kerajaan-kerajaan inilah, agama Buddha mendapat sokongan yang cukup
besar dari para penguasanya. Penguasa Qin-Belakangan, yakni Raja Fujian adalah salah satu contoh dari raja yang sangat menghargai para bhiksu dan cendekiawan bijak bagaikan pusaka kerajaan. Tahun 378 M, Fujian mengerahkan pasukan menaklukkan kota Xiangyang demi
memboyong pusaka Buddhis, Master Dao-an –pencetus marga Shi (Sakya) bagi bhiksu Tiongkok, ke ibukota Chang’an.
Suatu ketika, seorang ahli perbintangan berkata kepada Raja Fujian: “Di India sekarang ini terdapat seorang maha bijaksana yang kelak akan datang ke Zhendan (Tiongkok) untuk melindungi Zhendan. Orang maha bijaksana
ini adalah Kumarajiva. Di India, orang-orang sangat menghormatinya karena ia memiliki kebijaksanaan...” Demikianlah ramalan ini diucapkan hingga membuat Raja Fujian menjadi sangat ambisius untuk mendapatkan pusaka berikutnya, Kumarajiva.
Cuma saja, Fujian mati terbunuh sebelum sempat bertemu dengan Kumarajiva.
Keluarga yang Luar Biasa
Kumarajiva berasal dari keluarga aristokrat. Ayah beliau, Kumarayana, adalah putra seorang perdana menteri sebuah kerajaan di India.
Kumarayana yang seharusnya mewarisi jabatan perdana menteri menurut adat waktu itu, justru memilih kehidupan monastik untuk menjadi bhiksu. Demi tugas menyebarkan Buddha Dharma, Kumarayana meninggalkan India menuju Kerajaan Kucha (sekarang wilayah Xinjiang, Tiongkok).
Setelah tiba di kerajaan yang terletak di Asia Tengah ini, adik perempuan Raja Kucha, yakni Putri Jiva, langsung jatuh hati pada Kumarayana
pada pandangan pertama. Raja Kucha lalu memaksa Kumarayana menanggalkan jubah untuk menikahi adiknya.
Anak Bijaksana dalam Kandungan
Saat mengandung Kumarajiva, sang ibu mengalami hal yang ajaib. Berubah menjadi lebih cerdas, dengan cepat memahami Buddha Dharma, mampu berbahasa Sansekerta, pun tangkas berdebat dalam Buddha Dharma.
Seorang Arhat (Arahat) di masa itu mengatakan bahwa anak dalam kandungan Jiva pasti adalah seorang yang sangat bijaksana seperti halnya Sariputra yang saat masih dalam kandungan membantu meningkatkan kebijaksanaan sang ibu.
Mati atau Menjadi Bhiksuni
Tak lama setelah kelahiran Kumarajiva,Sang ibu, Jiva, malah ingin menjadi bhiksuni.Namun keinginan ini ditentang oleh Kumarayana.
Tiga tahun kemudian Jiva melahirkan putra ke-2. Suatu saat ketika meninggalkan istana, Jiva melihat setumpukan tengkorak di lokasi makam
tak terurus, ini semakin menguatkan tekadnya untuk menjadi bhiksuni. Tetapi Kumarayana mati-matian menentangnya. Sangat ironis! Pada awalnya Kumarayana seorang bhiksu yang dipaksa menikahi
Jiva, kini justru Kumarayana yang menentang Jiva menjadi bhiksuni.
Tekad yang teguh mendorong Jiva melakukan aksi mogok makan dan minum demi tercapainya tujuan mulia. Menginjak hari ke- 6, hati Kumarayana akhirnya luluh. Tak lama setelah menjadi bhiksuni, Jiva mencapai kesucian Srotapanna.
Mengikuti Jejak Sang Ibu
Tahun 350, Kumarajiva yang baru berusia 7 tahun mengikuti jejak sang ibu, ia menjadi sramanera. Dua tahun kemudian ibunya membawanya ke Kashmir dan belajar di bawah bimbingan Bhiksu Bhandhudatta, guru ternama dari tradisi Sarvastivada. Kumarajiva mempelajari Sutra Agama (Dirghagama, Madhyamagama, Samyuktagama). Di Kashmir ini Kumarajiva
memenangkan perdebatan dengan para tokoh agama non-Buddhis.
Mempelajari Tradisi Mahayana
Tahun 355, dalam perjalanan pulang kembali ke Kucha, Kumarajiva dan
ibunya berjumpa dengan seorang Arhat di wilayah Kerajaan Kushan
(Asia Tengah). Arhat itu mengatakan bahwa Kumarajiva akan berjasa
mengembangkan Buddha Dharma bila hingga usia 35 tahun tidak
melanggar Sila.
Setiba di Kashgar, Kumarajiva mempelajari Abhidharmapitaka dari tradisi Sarvastivada dari seorang guru berkebangsaan Kashmir bernama Buddhayasa. Bukan itu saja, Kumarajiva juga belajar pengetahuan yang berasal dari India seperti: Kitab Veda, sastra, ilmu pengobatan, kesenian, perbintangan dan ilmu meramal.
Suatu ketika dalam kegiatan membabarkan Dharma, Kumarajiva bertukar pandangan dengan Suryasoma, bhiksu dari Shache (Yarkand). Kumarajiva kemudian menjadi murid Suryasoma mendalami Sunyavada dari Nagarjuna yang merupakan tradisi Mahayana.
Guru adalah Murid, Murid adalah Guru
Ketika Kumarajiva dan ibunya melanjutkan perjalanan hingga ke Turfan, Raja Kucha mengirim utusan menjemput mereka kembali ke Kucha.
Tahun 363, datanglah seorang bhiksu dari Kashmir bernama Vimalaksa, praktisi Vinayapitaka tradisi Sarvastivada. Kumarajiva ditahbiskan menjadi bhiksu penuh dan menjalankan Vinaya di bawah bimbingan Vimalaksa. Kelak setelah menetap di Chang-an, Tiongkok, Kumarajiva mengundang Vimalaksa
untuk bersama-sama mengajar dan menerjemahkan Vinayapitaka Sarvastivada.
Tidak lama setelah itu, sang ibu meninggalkan Kumarajiva
menuju India dan pada akhirnya mencapai kesucian Anagami. Bila sang ibu berjodoh dengan India, maka Kumarajiva berjodoh dengan Tiongkok.
Suatu hari datanglah Bhandhudatta, guru Kumarajiva semasa di Kashmir. Akhirnya hubungan guru dan murid itu berbalik menjadi hubungan murid dan guru. Bila sebelumnya Bhandhudatta menjadi guru Kumarajiva mengajarkan tradisi Sarvastivada, kini Kumarajiva menjadi guru Bhandhudatta mengajarkan tradisi Mahayana.
Inilah kebesaran jiwa penerapan anatta yang diteladankan oleh dua guru mulia bagi kita semua.
Penghinaan dalam Bentuk Kehidupan Perumahtangga
Kabar popularitas dan reputasi Kumarajiva akhirnya berhembus hingga ke Tiongkok. Raja Fujian, yang kala itu menguasai wilayah utara Tiongkok, tahun 382 mengirim seratus ribu pasukan di bawah pimpinan Jendral Luguang menuju Kucha. Bukan untuk invasi, melainkan bermaksud mendapatkan Kumarajiva yang dianggap sebagai pusaka kerajaan.
Kumarajiva menasehati Raja Kucha untuk tidak melawan, namun tak digubris. Perlawanan dari Raja Kucha dan koalisi kerajaan disekitarnya berhasil dipatahkan Luguang. Luguang yang tidak mempercayai Buddha Dharma sangat tidak menghormati Kumarajiva.
Ia bahkan memaksa Kumarajiva menikahi putri raja Kucha. Demi merealisasikan tujuan mulia menuju Tiongkok, Kumarajiva bersabar
diri mengikuti kehendak Luguang.
Saat peristiwa pelanggaran Sila ini terjadi, Kumarajiva telah melampaui
usia 35 tahun.
Tahun 385, Kerajaan Qin- Awal runtuh setelah Sang Raja- Fujian - terbunuh dalam kudeta yang dilancarkan oleh Yaochang, lalu berdirilah Kerajaan Qin-Belakangan.
Di pihak Jenderal Luguang sendiri, karena mengetahui kabar jatuhnya kekuasaan Fujian, maka dia sendiri kemudian memproklamirkan diri sebagai raja di Liangzhou. Saat itu Luguang mengangkat Kumarajiva sebagai penasehat. Di pihak Raja Yaochang, beliau juga mengirim utusan untuk mengundang Kumarajiva, namun permintaan ini ditolak oleh Luguang.
Tahun 394 M, Yaochang meninggal dan digantikan putranya, Yaoxing. Sedangkan tahun 399 M Luguang juga meninggal, dan terjadilah perebutan kekuasaan hingga akhirnya Lulong menjadi raja. Di tahun 401 M, pasukan Yaoxing berhasil menaklukkan Raja Lulong, dan Kumarajiva akhirnya
diboyong ke Chang-an yang mana pada saat itu usianya telah menginjak
58 tahun. Berakhirlah sudah aral rintangan yang menghambat Kumarajiva menginjakkan kaki ke tanah Tiongkok.
Kegiatan Penerjemahan yang Mulia dan Akbar
Setelah menetap di ibukota Chang’an, Raja Yaoxing memperlakukan
Kumarajiva dengan penuh hormat dan mengangkatnya sebagai Guru
Kerajaan (Guoshi). Kumarajiva segera mengorganisir kegiatan penerjemahan Kitab Suci Buddhis yang melibatkan 800 personil. Antara tahun 401-413, Beliau berhasil menyelesaikan terjemahan kitab sebanyak 74 judul dengan total 384 jilid.
Beberapa Sutra terjemahan beliau yang tidak asing bagi kita adalah
Sutra Intan, Sutra Saddharmapundarika,Sutra Amitabha, Sutra Vimalakirti,
Sutra Brahmajala (Sila Bodhisattva),Sutra Maitreyavyakarana, Sutra
Shurangama-samadhi, Sutra Prajnaparamita, Shastra Madhyamaka,
Shastra Shatika, Mahaprajnaparamita Upadesha, Riwayat Nagarjuna,
Riwayat Asvaghosa, Vinayapitaka Sarvastivada (Ten Category Vinaya)
dan Sutra Agama.
Selain menggores tinta intan dalam Sutra bahasa Tionghoa,
Kumarajiva juga mencetak beberapa murid kenamaan, antara lain:
Daosheng, Sengzhao, Daorong dan Sengrui. Master Huiyan - patriak
pertama mazhab Jingtu – yang menetap di Gunung Lu juga sering
mengutus siswanya untuk belajar pada Kumarajiva, dan Huiyan sendiri juga
sering berdiskusi dengan Kumarajiva melalui surat.
Penghormatan dalam Bentuk Kehidupan Perumahtangga
Raja Yaoxing merasa saying jika Kumarajiva yang sangat bijaksana
tidak memiliki keturunan, sebab itu ia menginginkan Kumarajiva menikahi 10 orang dayang istana. Bila pernikahan semasa Luguang adalah penghinaan, maka pernikahan kali ini adalah bentuk penghormatan. Menghadapi kenyataan ini, Kumarajiva berucap,
“Saya sering merasa ada dua orang anak berdiri di atas pundak saya
menghambat pelatihan diri.” Dua anak yang dimaksud adalah Luguang
dan Yaoxing.
Beberapa bhiksu lain juga berkeiginan meninggalkan hidup selibat mengikuti jejak Kumarajiva.
Suatu ketika saat makan bersama,Kumarajiva mengatakan, “Jika kalian
sanggup makan semangkok paku seperti saya, maka saya mengizinkan
kalian beristri.” Kumarajiva lalu memakan habis semangkok paku itu.
Melihat kejadian ini, para bhiksu itu mau tidak mau membatalkan keinginan
rendah mereka.
Petik Teratai, Jangan Ambil Lumpur Bau
Sesungguhnya batin Kumarajiva juga sangat menderita atas berlangsungnya dua kali pernikahan paksaan yang dilakukan beliau. Oleh karena itu beliau menasihati para murid agar dalam dunia yang keruh ini “memetik teratai, tapi jangan mengambil lumpur yang bau”.
Kisah hidup Kumarajiva sangat mengiris hati. Demi menggenapi ikrar sebagai penerjemah beliau harus melampaui banyak aral rintangan. Karena beliaulah maka jatuh korban di negeri Kucha; demi misi mulia penerjemahan Sutra dan perkembangan Buddha Dharma, beliau dipaksa oleh situasi untuk menodai Vinaya kebhiksuan. Namun semua pengorbanan itu akhirnya melahirkan terjemahan yang membangkitkan Buddha Dharma pasca era kemusnahan di India.
Bagaimana kita harus membalas budi dan meneladani jejak agung Kumarajiva ini? Seperti yang dianjurkan alm. Master Hsuan Hua
(City of Ten Thousand Buddhas):
Kita harus berikrar untuk mengembangkan Buddha Dharma, juga menerjemahkan Kitab Suci, sebagai bentuk pelestarian semangat Master Tripitaka Kumarajiva!


 Kumarajiva Pagoda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar