Biografi Santideva
Santideva (Tib. Zhi-ba-lha)
Santideva dilahirkan di desa
Saurastra[1], wilayah utara Bodh Gaya. Anak dari Raja Kusalavarma[2] dan Ratu
Vajrayogini.[3] Semenjak kanak-kanak, pangeran muda Santideva (nama yang
diberikan sejak lahir) telah menujukkan kemampuan luar biasa dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia 6 tahun, ia bertemu seorang yogi dan
menerima inisiasi pertama dan pelajaran tentang praktik Manjushri. Sebagai
hasil berlatih praktik ini, Santideva mampu melihat Manjushri (Deiti
kebijaksaan) dan menerima banyak pelajaran dari Manjushri secara langsung.
Pangeran Santideva merupakan
satu-satunya anak tunggal raja yang akan mewariskan tahta kerajaan; ketika
baginda raja meninggal, semua persiapan untuk naik tahta telah dipersiapkan.
Satu malam sebelum upacara penobatan raja, Manjushri muncul dalam mimpinya,
Manjushri duduk di atas tahta kerajaan dan berujar, ”Tahta ini milikku, karena
aku adalah gurumu, sangat tidak pantas apabila kita berdua duduk di tahta yang
sama.”
Pada malam yang sama juga, Tara
muncul dalam mimpinya dalam wujud ibundanya. Ibundanya mencurahkan air panas
mendidih ke-kepalanya dan mengatakan, ”Kekuasaan Raja bagaikan air mendidih di
neraka; kondisi beginilah yang akan engkau terima nanti.” Ketika pangeran
terbangun, ia melihat kerajaan yang akan datang penuh dengan pohon beracun dan
seketika itu juga ia kabur dari istana.
Dua puluh satu hari setelah
pelariannya, Santideva merasa sangat haus dan mencari-cari air. Ia menemukan
sebuah mata air di tengah hutan belantara, ketika ia ingin meneguk air itu,
seorang gadis muncul dan memperingatkan Santideva agar jangan minum air yang
mengandung racun itu. Gadis itu memberikan air murni untuk menghilangkan
kehausannya, gadis itu juga yang membawa Santideva bertemu seorang yogi yang
hidup di sebuah hutan. Yogi ini memberikan inisiasi sehingga membuka banyak
pintu kebijaksanaan dan konsentrasi. Yogi itu merupakan manifestasi Manjushri
dan gadis itu adalah manifestasi Tara.
Ketika Santideva meninggalkan
hutan itu, ia membawa sebilah pedang kayu, pedang ini merupakan simbol pedang
kebijaksaan Manjushri. Ia berkelana hingga tibalah di Kerajaan Pancamasimha.
Raja dari kerajaan ini mengakui Santideva sebagai orang yang penuh
kebijaksanaan agung dan sangat mahir dalam berbagai bidang pengetahuan duniawi,
raja mengangkat Santideva sebagai salah satu menteri kerajaan. Santideva
menerima jabatan itu, selama masa jabatannya, Santideva memperkenalkan berbagai
keterampilan tangan.
Walaupun Santideva selalu
menjalankan tugas kenegaraan sesuai dharma, menteri lain sangat iri, ada
menteri yang melaporkan kepada raja bahwa Santideva bertindak tidak benar. Pada
kenyataanya, pedang yang dibawa Santideva adalah terbuat dari kayu, menteri itu
mengklaim bahwa ada bukti atas kasus itu. Untuk menyelidiki kebenaran laporan
itu, raja menginstruksikan semua menteri untuk menujukkan pedangnya
masing-masing. Santideva memperingatkan raja bahwa kilauan dari pedangnya akan
menyebabkan bahaya bagi raja, baginda raja tetap tidak percaya dan memaksa
Santideva untuk menuruti perintah kerajaan. ”kalau begitu, baiklah”, Santideva
berkata kepada Raja, ”Mohon baginda untuk menutup mata kanan dan hanya melihat
dengan mati kiri saja.” Raja menuruti kehendak Santideva, ketika melihat
pancaran sinar yang berasal dari pedang Santideva, mata kiri raja jatuh,
Santideva secepat kilat memungut mata raja dan menempelkannya kembali ke rongga
matanya, dan mata raja segera sembuh kembali. Raja baru sadar bahwa Santideva
adalah seorang maha siddha, keyakinan besar muncul dalam hati raja. Raja
memberikan banyak persembahan dan memohon Santideva tetap tinggal di kerajaan
itu, namun Santideva menolak. Ia memohon raja untuk selalu memerintah kerajaan
sesuai dengan dharma, Santideva menasihati raja untuk membangun 21 organisasi
dharma. Santideva kemudian meninggalkan kerajaan itu dan menuju pusat monastik
di Nalanda.
Di Nalanda, ia menerima
pentahbisan penuh oleh kepala biara, Jayadeva[4] dan diberi nama Santideva.
Selama tinggal di Nalanda, ia menerima banyak pelajaran dari Manjushri dan
merealisasikan bagian-bagian penting sutra dan tantra, dengan mengatasi semua
gangguan mental internal maupun eksternal, ia mencapai realisasi tertinggi
jalur bertahap.
Tampak luar, Santideva hanyalah
seseorang yang sehari makan lima kali, tidak bekerja, belajar, maupun meditasi.
Karena kejadian seperti itu, beberapa biksu menjulukinya Bhu-Su-Ku, yang
berarti: ”Orang yang hanya makan, tidur, dan buang air besar.” Karena beberapa
biksu itu tidak memiliki kekuatan batin, mereka tidak tahu tingkat pencapaian
realisasi Santideva, sesama mereka menggosipkan, ”Santideva tidak pernah
berlatih tiga aktivitas yang merupakan kewajiban setiap biksu. Ia seharusnya
diusir dari monastri.” Namun tidak mudah untuk mengusir Santideva, oleh karena
itu mereka berencana untuk mempermalukan Santideva di depan umum, jadi ia akan
pergi sendiri tanpa harus diusir. Rencana beberapa biksu itu adalah memohon setiap
biksu untuk melafalkan Sutra Pratimoksa, mereka yakin bahwa Santideva tidak
akan bisa melafalkannya dan oleh karena itu ia malu dan akan pergi dari
monastri.
Awalnya, Santideva menolak
permohonan mereka, namun mereka tetap bersikeras. Kemudian, Santideva bilang ia
akan melafalkan Sutra Pratimoksa apabila dibuatkan tahta. Mereka setuju untuk
membuat tahta, mereka membuat tahta yang sangat tinggi tanpa tangga, mereka
berpikir Santideva tidak akan bisa naik dan duduk di atas tahta. Ketika
Santideva mendekati tahta itu, ia menjulurkan salah satu tangannya untuk
menekan tahta itu dengan kekuatan magisnya dan duduk di atas tahta itu,
kemudian tahta itu juga dengan mudah naik kembali. Dengan nada anggun ia
menanyakan kepada seluruh pesamuhan yang hadir, apakah mereka ingin ia
melafalkan sutra yang sudah pernah dilafalkan sebelumnya atau mereka ingin
mendegarkan sesuatu yang baru? Mereka semua ingin Santideva melafalkan sesuatu
yang belum pernah mereka dengarkan sebelumnya. Oleh karena itu ia melafalkan
Bodhisattva- carya-avatara[5], ia membuka dengan bait berikut ini:
Dengan penuh rasa hormat, aku
bersujud di hadapan Sugata
Engkau yang terberkahi dengan
Dharmakaya[6],
Begitu juga semua anak mulia
Sugata
dan aku juga bersujud kepada
semua yang patut di hormati
Ketika sampai pada bab ke
sembilan, tentang kebijaksaan dan penjelasan pandangan mendalam kekosongan,
Santideva tiba-tiba melayang ke udara, ketika semakin tinggi dan tinggi lagi,
tubuhnya tiba-tiba hilang dari pandangan namun suaranya masih terdengar jelas.
Mereka yang memiliki kekuatan
batin dalam hal mendengar dan mereka yang memiliki dharani ingatan sempurna-lah
yang mampu merekam kata-kata Santideva. Namun, terdapat beberapa perbedaan
dalam versi-versi yang ada. Versi sentral India (Magadha) mengandung seribu
stanza, versi Negara Bengal barat tidak melebihi delapan ratus stanza
(disebutkan bahwa versi ini kekurangan bab pengakuan dan kebijaksaan) , dan
versi Kashmiri mencatat lebih dari seribu stanza (tanpa bait penghormatan) .
Saat itu belum ada kepastian versi manakah yang mencatat dengan tepat semua
kata-kata dari Santideva.
Setelah mengetahui bahwa
Santideva tinggal di Sri Daksina[7] Kalinga (bagian dari Trilinga), tiga orang
pundit pergi bertemunya. Mereka mengundang Santideva untuk kembali ke Nalanda,
namun Santideva menolak. Mereka juga menanyakan versi Bodhisattva-
carya-avatara manakah yang paling tepat, Santideva menjawab bahwa versi sentral
India (Magadha)-lah yang telah mencatat semua kata-katanya dengan benar. Mereka
juga bertanya tentang naskah Siksasamuccaya[8] yang pernah ia usulkan kepada
mereka untuk dipelajari. Santideva memberitahu mereka bahwa naskah itu bisa
ditemukan di rak rumah tua tempat ia tinggal di Nalanda. Kemudian Santideva
memberikan mereka pelajaran dua naskah itu.
Pada hutan yang sama tempat
tinggal Santideva, terdapat sebuah monastri yang didalamnya hidup sebanyak 500
orang biksu. Beberapa orang biksu melihat banyak binatang masuk ke gua tempat
tinggal Santideva namun tidak pernah lihat binatang itu keluar lagi, mereka
menduga Santideva membunuh para binatang itu. Namun dikemudian hari, setelah
mereka memeriksa dengan teliti, mereka melihat semua binatang keluar dengan
kondisi sehat. Mereka merasa menyesal karena berpikir buruk tentang Santideva.
Mereka memohon Santideva untuk tetap tinggal di hutan itu dan memberikan
pelajaran dharma, namun Santideva melepaskan jubah biksunya dan pergi ke India
selatan dan menjalankan hidup sebagai pertapa pengembara.
Suatu ketika Santideva berjalan
lewat, seorang perumah tangga membuang air cuciannya ke pintu depan. Air itu
mengenai kaki Santideva dan tiba-tiba air itu mendidih bagaikan air yang
diteteskan di atas besi panas. Perumah tangga itu terperanjat kaget dan merasa
sangat malu atas kejadian itu. Pada waktu yang bersamaan juga, seorang guru
non-buddhis bernama Sankaradeva ingin menantang pundit buddhis, ia pergi
bertemu dengan Raja Khatibidhari yang merupakan penguasa regional itu.
Sankaradeva mengajukan persyaratan untuk kompetisi, siapa yang kalah dalam
dalam kompetisi itu harus mengikuti ajaran orang yang menang dan semua tempat
ibadah orang yang kalah harus dihancurkan. Ia meminta raja sebagai saksinya
untuk kompetisi itu. Raja setuju dan mengirimkan utusan ke komunitas buddhis
untuk menerima tantangan itu. Komunitas buddhis membalas bahwa tidak ada
satupun dari mereka yang siap menerima tantangan itu, Raja Khatibidhari merasa
sangat kecewa dan kehilangan harapan.
Seketika itu juga, perumah tangga
yang membuang air dan mengenai kaki Santideva itu tiba di kerajaan dan
memberitahu kejadian itu kepada raja, raja sangat ingin tahu siapakah gerangan
pertapa misterius itu. Setelah mengerti cerita itu, raja segera mengirimkan
pewarta pesan ke seluruh penjuru kota untuk mencari pertapa buddhis itu.
Setelah sekian lama mencari, Santideva ditemukan duduk di bawah sebuah pohon
sebagai seorang pengemis. Santideva menerima tantangan non-buddhis itu dan
meminta disediakan satu pot air, beberapa pakaian dan api, agar ia bisa
merapikan dirinya untuk menghadiri kompetisi itu.
Rakyat berbondong-bondong datang
melihat perdebatan itu. Masing-masing kontestan duduk di tahta masing-masing di
tengah. Raja Khatibidhari duduk di salah satu sisi dengan para menterinya di
bagian kiri dan pundit yang lain duduk di sebelah kanan. Debat pun mulai.
Santideva tidak perlu waktu terlalu lama untuk mengalahkan Sankaradeva.
Sankaradeva kemudian menantang untuk menunjukkan kekuatan magis dan ia melukis
mandala siva yang sangat besar di udara. Setelah Sankaradeva selesai melukis
gerbang selatan mandala, Santideva mencerapkan diri dalam samadhi angin
destruktif, muncul angin kencang berhembus. Raja dan para menteri terhempas
angin, area itu tertutupi oleh debu. Sankaradeva terangkat tinggi dan
mandalanya hancur bagaikan burung yang terhempas angin hujan badai. Area itu
tiba-tiba menjadi gelap, kemudian Santideva memancarkan cahaya terang dari
titik di antara kedua alisnya, angin kencang itu langsung berhenti. Semua orang
sembuh kembali, dan semua tempat itu tertata rapi dan bersih kembali serta
semua orang selamat. Untuk memenuhi persyaratan yang telah dibuat oleh
sankaradeva, biara non-buddhis ditutup, dan mereka menjadi penganut buddhis.
Kota tempat perdebatan itu sampai saat ini dikenal dengan ”Kekalahan
non-buddhis.”
Suatu ketika pemikir filosofi
non-buddhis mengalamai kesulitan dalam penghidupan mereka, Santideva
mendatangkan makanan dengan kemampuan magisnya dan secara perlahan-lahan
membawa mereka pada praktik buddhadharma. Pada kejadian lain, terjadi bencana
kelaparan, ribuan orang meninggal karena kelaparan. Santideva menyelamatkan
mereka dengan memberikan dharma yang membuat mereka hidup sederhana dan merasa
puas dengan apa adanya. Di timur Ariboshana, hidup seorang raja yang
disekelilingnya banyak orang yang ingin menjatuhkannya. Santideva menyingkirkan
semua penghalangnya dan membawa raja dan pengikutnya ke jalur kebaikan. Waktu
lain, Santideva mencegah terjadinya perang dengan membabarkan dharma suci dan
menunjukkan kepada dua belah pihak yang bertikai itu tentang arti sesungguhnya
dari kebahagiaan.
Di atas hanya beberapa contoh
dari perbuatan kebajikan luar biasa yang dilakukan oleh bodhisattva agung,
Santideva, dalam kehidupannya, dan karena itulah ia dianggap sebagai Pundit
India termasyur sepanjang masa.
Senin, 06 Februari 2012
Master Kuang Chin (1892-1986)
“Tidak
datang juga tidak pergi, tidak ada masalah.”
Jejak agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya
Dari Taipei, Chang (70) dengan didampingi cucu
perempuannya menuju Vihara Miao Tung, Kaohsiung, Taiwan. Setiba di sana
ternyata relik telah habis ‘diserbu’ para umat. Ia menangis di depan tungku
pembakaran kremasi, lalu meraup abu kremasi dan membungkusnya dengan sapu
tangan. Selama perjalanan kembali ke Taipei, ia tak hentinya Nianfo (melafalkan
Amituofo). Sesampai di rumah, terjadilah keajaiban, di dalam abu kremasi itu
ditemukan 30 butir relik berukuran besar dan kecil. Ada pula seorang umat yang
bersujud di depan tungku pembakaran kremasi selama satu malam, saat fajar
merekah ia menemukan sebutir relik yang cukup besar di dekat lututnya.
Dua hal di atas adalah sebagian dari keajaiban yang
terjadi seputar relik Master Kuang Chin (baca: Kuang Jin).
Master Kuang Chin, atau lebih akrab disebut Kuang Lao,
salah satu sesepuh Buddhisme Tiongkok kontemporer dengan kisah hidup yang
sangat patut dijadikan tauladan. Kuang Lao hidup dalam kesederhanaan, praktisi
pelatihan diri yang keras dan disiplin,13 tahun sebagai “Manusia Goa”, menjinakkan harimau
buas, monyet mempersembahkan buah bagi beliau, dhyana (meditasi khusuk) selama
beberapa bulan sehingga hampir saja dianggap meninggal, tahu akan datangnya
angin taifun, membebaskan makhluk alam preta dari penderitaan (Chao Du),
dikenal sebagai “Bhiksu Buah” (hanya makan buah selama usia 55-84 tahun), tidak
tidur berbaring serta sebelumnya mengetahui hari wafat beliau.
Kuang Lao lahir tahun 1892 (Imlek tanggal 26 bulan 10)
di Hui An, Fujian. Usia 4 tahun dijual pada keluarga marga Li demi menutup
biaya pernikahan kakaknya. Si kecil Kuang Lao bertubuh lemah dan sakit-sakitan,
namun memiliki akar kebijaksanaan, sejak usia 7 tahun mengikuti sang ibu
memeluk Buddhisme dan vegetarian. Tahun 1900, ibu angkat meninggal. Dua tahun
kemudian, ayah angkat juga meninggal. Sanak famili menganjurkannya ke Nanyang
untuk belajar mandiri. Di sana ia bekerja sebagai tukang sapu, penanak nasi dan
pekerjaan kasar lainnya. Kuang Lao menyadari betapa tidak kekalnya kehidupan
ini, oleh sebab itu ia kemudian menghibahkan sawah ladang yang diwariskan orang
tua angkatnya kepada para sanak famili dan menuju Vihara Cheng Tian, Quanzhou,
Fujian untuk menjadi bhiksu.
Tahun 1911, menerima Trisarana dan menjadi bhiksu di
bawah bimbingan Master Rui Fang, seorang praktisi pelatihan diri yang ketat.
Kuang Lao berlatih diri dengan ketat, memakan makanan yang tidak dimakan oleh
manusia awam, tidak tidur berbaring dan tekun dalam Nianfo. Tahun 1933 setelah
menerima penahbisan penuh dari Master Miao Yi, Kuang Lao menetap di sebuah goa
di lereng Gunung Qingyuan, Quanzhou, Fujian. Beliau berlatih meditasi Chan dan
Nianfo. Setelah bekal beras habis, maka ubi dan buah-buahan hutan menjadi
alternatif pengganjal perut. Selama kurun waktu inilah terjalin tali
persahabatan dengan monyet dan harimau gunung.
Suatu kali penduduk desa menemukan Kuang Lao sudah
berbulan-bulan tidak makan ataupun beraktivitas. Mereka menemukannya duduk
bermeditasi, tidak bergerak dan tanpa nafas. Master Hong Yi yang sedang
membabarkan Dharma di sekitar wilayah itu beserta Master Zhuan Chen, pimpinan
Vihara Cheng Tian, segera naik gunung. Ternyata Kuang Lao dalam keadaan samadhi
(Ru Ding). Dengan tiga kali ketukan jari, Master Hong Yi memanggil Kuang Lao
agar keluar dari kondisi samadhi.
1945, Kuang Lao kembali menetap di Vihara Cheng Tian.
1947, tiba di Taiwan. Akhir tahun yang sama sering menetap di Vihara Fa Hua di
Taipei. Beliau melakukan Chao Du bagi beberapa makhluk alam preta (hantu) warga
Jepang yang berada di dalam vihara itu. 1948, mendirikan Vihara Kuang Ming.
1950, mendirikan Vihara Kuang Cao. 1952-1955, menetap di Ri Yue Tong (Goa
Mentari Rembulan), seekor ular raksasa menerima Trisarana dari Kuang Lao.
1960-1965, merampungkan pembangunan Vihara Cheng Tian (Chan). 1969, mendirikan
Vihara Kuang Cheng Yan. 1982, mengutus murid pendamping beliau, Master Chuan
Wen, membangun Vihara Miao Tung di Liu Kui, Kaohsiung.
9 Feb (1 Imlek) 1986 dini hari, menyampaikan amanat
terakhir di depan seluruh siswa dan penghuni Vihara Cheng Tian, berpesan agar
pada nantinya abu kremasi ditempatkan terpisah di tiga tempat, yakni Vihara
Cheng Tian, Kuang Yan dan Miao Tung. Pagi hari itu juga beliau menuju Vihara
Miao Tung.
Setiba di Vihara Miao Tung, Kuang Lao Nianfo siang dan
malam. 13 Feb 1986 sekitar pukul 2 sore, tiba-tiba berucap: “Tidak datang juga
tidak pergi, tidak ada masalah.” Kuang Lao menganggukkan kepala pada para siswa,
lalu duduk bermeditasi dengan memejamkan mata. Beberapa waktu kemudian para
siswa baru menyadari bahwa beliau telah ‘pergi’ dalam iringan alunan suara
Nianfo.
Kuang Lao adalah tokoh Buddhis yang low profile, hal
ini terlihat dari metode pelatihan diri yang beliau lakukan. Pun meski dikenal
dekat dengan pemerintah Taipei, khususnya almarhum Presiden Chiang Ching Kuo
(putra Chiang Kai Shek), namun Kuang Lao tidak pernah memanfaatkan hubungan ini
demi kepentingan diri sendiri. Salah satu nasehat beliau bagi Chiang adalah:
“Segala kekuatan muncul dari ‘konsentrasi’, namun hanya dalam kondisi ‘tenang’
baru dapat ‘berkonsentrasi’. Seseorang yang dapat menenangkan diri di
lingkungan yang tenang, ini tidak dapat dikatakan sebagai ‘konsentrasi’. Di
waktu dalam belitan masalah namun mampu menenangkan diri, inilah yang disebut
konsentrasi.”
Membaca riwayat hidup Kuang Lao membuat kita teringat
akan satu kemiripan dengan Master Hui Neng (Sesepuh Chan Tiongkok ke-6).
Persamaan kedua tokoh besar ini adalah: buta huruf, jarang mempelajari ataupun
membabarkan Sutra. Kuang Lao mengatakan, “Tidak perlu membaca Sutra, makin
banyak membaca makin bingung. Dalam menghadapi setiap hal hanya satu ucapan:
Amituofo, baik dalam keadaan gembira ataupun sedang dibelit masalah. Jauhkan
diri dari pertengkaran, juga satu ucapan Amituofo. Lakukan Nianfo dengan hati
yang tenang. Nianfo hingga tertidur juga baik. Satu pelafalan (satu pikiran
tidak muncul) dapat terbebas dari tiga alam (Nafsu, Rupa, Arupa); satu
pelafalan (melafalkan namun tanpa pelafalan) akan tiba di Sukhavati. Berlatih
diri adalah mata seakan-akan tidak melihat, telinga tidak mendengar (tidak
melihat dan mendengar hal-hal yang memunculkan keserakahan, kebencian, dan
kebodohan batin, red), Nianfo dengan tulus. Sekarang mata kalian semua terbuka
lebar-lebar dan perhatikan dengan seksama. Berlatih diri adalah makin tidak
dikenal orang makin baik.”
Tetapi hendaknya jangan salah paham akan maksud ucapan
Kuang Lao. Seorang bhiksu bertanya, “Pembabaran Buddha Dharma di zaman kini harus
menggunakan metode apa sebagai jalan tengah?” Kuang Lao, “Ai! Tadi baru saja
diucapkan. Kalian membabarkan Dharma dengan metode pendidikan dan penelitian,
sedang saya dengan metode Nianfo. Keduanya sama pentingnya.”
Kuang Lao juga mengatakan, “Sutra itu di mana? Sutra
berada dalam hati kita. Tetapi ini bisa kalau kebijaksanaan telah terbuka, bila
tidak, membaca Sutra bisa membuat kita bingung. Bila kebijaksanaan terbuka maka
Sutra yang kita baca terasa seakan sangat kita kenali, bahkan dapat (membawa kita)
mengalami pencerahan akan hal yang lain.” Dalam kesempatan lain Kuang Lao
menjelaskan: “Bila ada waktu gunakan untuk membaca Sutra. Sutra adalah untuk
dimengerti, tahu bagaimana mempraktikkannya, bukan sekedar diucapkan kembali.
Ada orang yang membaca Sutra seperti layaknya masyarakat awam, tidak ada
tambatan perlindungan, akibatnya banyak membaca tambah bingung.” Kuang Lao
sendiri menyarankan kita banyak membaca Sutra Intan agar terbebas dari
kemelekatan.
Yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah: Kuang
Lao adalah praktisi Chan atau Sukhavati? Beliau adalah praktisi keduanya.
Jelasnya, setelah mengalami Nianfo Sanmei (Samadhi Nianfo) barulah Kuang Lao
melakukan praktik Chan. Tahun 1933 Kuang Lao mengikuti retret Foqi (Nianfo
tujuh hari) di Gushan, Fuzhou. Saat tenggelam dalam alunan suara Nianfo,
tiba-tiba tubuh dan pikiran terasa damai, serasa berada di tempat lain, yang
terlihat adalah suara burung, harumnya bunga, tiupan angin, dan rumput yang
bergoyang, yang kesemuanya sedang melafalkan Buddha, Dharma dan Sangha.
Penglihatan ini berlangsung terus menerus tanpa henti selama 3 bulan. Kuang
Lao, yang sering menganjurkan para siswa untuk Nianfo, menuturkan pengalaman
Nianfo Sanmei ini pada Doctor King dari USA, “Itu benar-benar nyaman. Hanya saja
ini adalah pengalaman dalam pikiran saya, apa benar Nianfo Sanmei, ini adalah
referensi dari saya untuk Anda. Saya rasa ini adalah Nianfo Sanmei, bagaimana
anggapan Anda, itu adalah urusan Anda.”
Seorang praktisi luhur telah meninggalkan kita secara
jasmaniah, namun wejangan-wejangan praktis beliau tetap akan hadir dalam hati
kita semua. Kini bagaimana kita harus bertingkah laku agar wejangan Guru Buddha
dan para Sesepuh itu tidaklah menjadi sia-sia? Mungkin kita bisa mengikuti
petunjuk Kuang Lao yang diberikan bagi para siswa non-perumah tangga: “Bangun
tidur pertama-tama usaplah kepala, mengapa meninggalkan kehidupan rumah tangga?
Demi terbebas dari proses kelahiran dan kematian. Oleh sebab itu tingkatkanlah
semangat menempuh Jalan Suci.”
Setelah mengenal jejak agung Kuang Lao, sebagai seorang
siswa perumah tangga yang baik, sudah sewajarnya bila setiap bangun tidur kita
juga belajar mengusap dada dan bertanya pada diri sendiri: “Mengapa menjadi
siswa Buddha?” Dan sebelum membicarakan (keburukan) orang lain, rundingkan
lebih dulu dengan ini (menunjuk ke hati), seperti yang diajarkan Kuang Lao.
Minggu, 05 Februari 2012
Master Yijing (635 – 713 M)
Merangkai
Segitiga Dharma: Tiongkok – Sriwijaya - India
Sergapan
Bandit
Ia adalah orang Shandong yang perkasa, namun serangan
demam dan jalanan gunung yang mendaki membuatnya semakin tertinggal jauh di
belakang rombongan. Tiba-tiba muncul 7-8 orang lelaki kekar bersenjatakan pisau
dan panah. Ia terperanjat. “Amituofo! Tak terduga harus meninggal di tempat
ini!” Benar, ia tak menyangka bakal mengalami hal ini di tanah suci yang
diimpikannya semenjak kecil.
Tak menemukan harta benda yang bisa diambil, para
bandit itu mengalihkan sasaran ke pakaian yang dikenakannya. Ia ditinggalkan
dalam keadaan telanjang bulat. Ia lalu melumuri tubuhnya dengan lumpur dan
menutupnya dengan dedaunan. Dengan bertumpu pada tongkatnya, ia memaksakan
tubuhnya yang lemah dan sakit itu untuk meneruskan perjalanan mengejar
rombongannya. Malam pun jatuh. Dalam keadaan gelap gulita tanpa penerangan,
tiba-tiba terdengar teriakan: “Yijing…!” Dashengdeng beserta beberapa bhiksu
Nalanda muncul dengan obor di tangan.
Demikianlah salah satu pengalaman mendebarkan yang
dialami Maha Bhiksu Yijing dalam perjalanan menggali permata Vinaya Pitaka di
India.
Bagi kita yang hidup di zaman modern, perjalanan ke
India kedengarannya sangat sepele, namun tidak bagi para praktisi di zaman
dahulu. Tak sedikit aral rintangan dan bahaya yang dihadapi para bhiksu yang
menuju India, sehingga tak heran bila hanya beberapa saja dari ratusan bhiksu
‘petualang’ yang berhasil kembali dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Dalam 2.000 tahun perjalanan sejarah agama Buddha di
Tiongkok, tercatat tiga orang bhiksu yang berhasil menembus India dan kembali
ke Tiongkok yang berlangsung dalam periode abad 4-8 M. Mereka adalah Faxian (Fa
Hsian, Fa Hien), Xuanzang (Hsuan Tsang) dan Yijing (I Tsing). Xuanzang dan
Yijing dikenal pula sebagai 2 di antara 5 tokoh penerjemah Sutra Buddhis
terbesar di Tiongkok.
Sergapan bandit yang dialami Yijing adalah salah satu
bentuk bahaya yang dapat mengakhiri hidupnya. Faxian dan Xuanzang juga
mengalami bahaya yang serupa. Hanya mereka yang berani dan pantang menyerah
demi kebahagiaan semua makhluk yang dapat mengalahkan semua rintangan itu.
Merekalah para Bodhisattva sejati.
Sepasang
Mutiara Memasuki Gerbang Dharma
Yijing (Zhang Wenming) lahir tahun 635 di keluarga
petani Buddhis sederhana di Licheng (sekarang kota Jinan, Shandong). Sejak usia
4 tahun Yijing telah dilatih untuk menghafal Sutra Intan (Jin-gang Jing) oleh
ayahnya.
Saat Yijing berusia 5 tahun penanggalan Imlek, terjadi
bencana kemarau. Para bhiksu dari Vihara Tuku membagikan bahan makanan bagi
penduduk sekitar. Bahan makanan itu ada yang didatangkan dari Vihara Shentong,
Tai Shan (Gunung Tai). Si kecil Yijing diajak sang ayah menuju Vihara Tuku. Di
sana Yijing mendapat pujian dari dua Master Vihara Shentong, Shanyu dan Huizhi.
Bencana kemarau tahun itu adalah bencana terbesar yang
pernah terjadi dalam seratus tahun terakhir. Jadi selain bantuan makanan dari
vihara, tetap diperlukan dukungan dana dari umat. Ayah Yijing mendanakan
sebutir mutiara sebesar ibu jari yang merupakan warisan leluhur keluarga
mereka. Saat itu pula ayah Yijing berpikir, bagaimana kalau beliau juga
mempersembahkan Yijing bagi Buddha Dharma? Demikianlah, akhirnya sepasang
mutiara itu (harta pusaka dan Yijing) memulai babak baru mereka menapak
memasuki Gerbang Dharma.Dua tahun kemudian setelah genap berusia 7 tahun,
Yijing menetap di Vihara Shentong menjadi murid Master Shanyu dan Master
Huizhi. Yijing dididik langsung oleh Shanyu, yang menekankan pada pendidikan
literatur Buddhis. Tahun 646, ketika Yijing berusia 12 tahun, Shanyu berpesan
agar Yijing tidak terpaku secara harafiah dalam memahami Sutra Buddhis, serta
mengatakan tiga hari lagi akan mangkat. Tiga hari kemudian Shanyu wafat. Sejak
itu Yijing dididik oleh Huizhi yang menitikberatkan pada meditasi, Sila dan
pelantunan Sutra.
Kala itu, untuk menjadi bhiksu harus lulus ujian
negara. Namun kekaisaran Tang waktu itu sudah sekian lamanya tidak
menyelenggarakan ujian kebhiksuan. Sebab itu, meski menetap bertahun-tahun di
vihara, Yijing tetap bukan sramanera. Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Tahun
645, Xuanzang kembali ke Tiongkok dari perjalanan panjangnya ke India. Beliau
mengusulkan pada kaisar untuk merekrut generasi muda Sangha yang berkualitas
dari seluruh negeri. Tahun 648, Yijing berhasil lulus ujian kebhiksuan dan
resmi menjadi sramanera.
Berikrar
Mengikuti Jejak Faxian dan Xuanzang
Tak perlu waktu lama bagi Yijing untuk membaca habis Fo
Guo Ji (Catatan Negara Buddha) yang merupakan catatan perjalanan Faxian ke
India. Dengan gembira ia memberitahukan hal ini pada Huizhi, namun ia hanya
menerima sebuah senyuman dari Huizhi. Yijing yang cerdas paham makna senyuman
itu, dalam kebisuan sang guru menyatakan tidaklah cukup bila hanya membaca satu
kali saja.
Setahun kemudian, entah untuk ke berapa kalinya membaca
Fo Guo Ji, barulah Yijing paham akan maksud Huizhi yang sebenarnya. Sebagai
seorang anggota Sangha yang relatif sangat muda, ia harus mulai mencanangkan
cita-cita luhur yakni mengembangkan Buddha Dharma. Namun dengan cara apa ia
merealisasikan cita-cita itu? Pahamlah Yijing. Ia harus mengikuti jejak Faxian
dan Xuanzang belajar Dharma hingga ke negeri India.
Menekuni
Vinaya Pitaka
Tahun 655, Yijing menerima penahbisan penuh sebagai
bhiksu muda.Huizhi memberi nasehat tentang pentingnya pelaksanaan Sila. Huizhi
sendiri merupakan praktisi Vinaya Pitaka. Meski Faxian telah berjasa besar
dengan membawa Vinaya Pitaka dari tiga aliran besar Buddhis waktu itu di India,
namun tak banyak tokoh yang mampu memahami dan menerapkannya dengan baik.
Inilah yang mendorong Yijing untuk tekun mempelajari Vinaya Pitaka yang
kemudian membawanya menuju kota Luoyang dan Chang-an.
Belajar
di Dua Ibu Kota, Dekrit Bhiksu Bersujud pada Kaisar
Luoyang adalah ibu kota baru yang terletak di bagian
timur, sedang Chang-an adalah ibu kota lama di sebelah barat. Tahun 660 Yijing
tiba di Luoyang. Menjelang akhir tahun ia menuju Chang-an. Di Chang-an ia
belajar Vinaya dari Master Daoxuan. Yijing juga sempat mengikuti arak-arakan
relik Buddha yang akan dikembalikan ke Vihara Famen setelah 7 hari ditempatkan
di istana.
Di saat itu pula muncul dekrit dari kaisar yang
mengharuskan bhiksu untuk bersujud pada kaisar. Dekrit ini mendapat penolakan
dari anggota Sangha. Akhirnya diselenggarakanlah forum dengar pendapat yang
dihadiri oleh petinggi kerajaan dan perwakilan anggota Sangha. Tiga hari
kemudian diperoleh hasil pemungutan suara: 539 suara menolak, 354 suara
mendukung dan beberapa suara abstain. Akhirnya kaisar pun mencabut dekrit itu.
Perjalanan
ke Sumatra
Tahun 664, Master Tripitaka Xuanzang wafat. Yijing
mengikuti upacara pemakaman yang berlangsung di luar kota Chang-an. Kepergian
Xuanzang mendorong Yijing untuk merealisasikan cita-cita yang sudah terpendam
sekian lama. Ia menyampaikan keputusannya ini pada beberapa rekan bhiksu yang
lain. Semuanya mendukung dan menyatakan kesediaan untuk mengiringinya pergi ke
India.
Setelah berpamitan dengan gurunya, Huizhi, Yijing
kembali ke Chang-an dan berkenalan dengan seorang bhiksu muda bernama Shanxing
yang kemudian menjadi muridnya. Tak terduga, justru Shanxing inilah yang
kemudian benar-benar mendampinginya memulai perjalanan ke India, sedang
beberapa rekan yang sebelumnya menyatakan bersedia ikut, satu demi satu
berhalangan.Lalu rute mana yang harus ditempuh? Saat itu terjadi peperangan
dengan beberapa suku di perbatasan, oleh sebab itu mustahil menempuh jalan
darat. Satu-satunya adalah melalui jalur laut. Tahun 671 berangkatlah Yijing
dan Shanxing menuju Yangzhou. Dengan bantuan seorang pejabat bernama Feng
Xiaoquan, dari Yangzhou mereka berangkat menuju Jiangning (sekarang Nanjing).
Di Jiangning Yijing berkenalan dengan Xuankui, seorang bhiksu yang juga ingin
ke India. Disepakati untuk bertemu di Vihara Zhizhi, Guangzhou, dan kemudian
bersama-sama bertolak ke India. Tak dinyana Xuankui akhirnya juga berhalangan
karena terserang penyakit.
Menjelang akhir tahun 671, berlayarlah Yijing dan
Shanxing dengan sebuah kapal Persia. 12 hari kemudian kapal mereka merapat di
Sriwijaya. Yijing memutuskan untuk menetap sementara waktu di Sriwijaya, di
samping mempelajari bahasa Sansekerta sebagai persiapan ke India, pun karena
Shanxing dalam kondisi sakit. Namun karena kondisi Shanxing semakin parah,
akhirnya diputuskan untuk memulangkannya ke Tiongkok. Berpisahlah guru dan
murid itu, sebuah perpisahan yang tak mempertemukan mereka lagi.
Mencapai
India
6 bulan kemudian Yijing berangkat dengan sebuah kapal
kerajaan Sriwijaya. Awal tahun 673 tibalah di Tamralipti (sekarang wilayah
Bangladesh). Di sini berjumpa dengan Dashengdeng (Pelita Mahayana), seorang
bhiksu aliran Chan yang berasal dari Buzhou (sekarang Vietnam). Dashengdeng
adalah murid Xuanzang. Yijing kemudian memperdalam kemampuan bahasa
Sansekertanya di bawah bimbingan Dashengdeng.
Satu setengah tahun berlalu, Yijing menyatakan
keinginan untuk berkunjung ke tempat-tempat suci Buddhis di India Tengah. Demi
keamanan, mereka bergabung dengan sebuah rombongan berjumlah 500-600 orang.
Dalam perjalanan inilah Yijing sakit dan dirampok oleh sekelompok bandit.
Akhirnya mereka tiba di Vihara Nalanda. Berbeda dengan
vihara di Tiongkok, Nalanda mirip kota benteng bertembok tinggi dengan sebuah
pintu gerbang yang di dalamnya terdapat 8 bangunan utama dan lebih dari 100
stupa. Di Nalanda ini mereka berjumpa dengan Xuanzhao, seorang bhiksu yang
diutus kaisar Tiongkok untuk mencari obat panjang usia. Meski
berhasil mendapatkan ramuan obat panjang usia, namun
Xuanzhao dan dua bhiksu pengiringnya tak dapat kembali ke Tiongkok karena
peperangan yang memutuskan jalan penghubung India - Tiongkok. Xuanzhao
mengantar Yijing berdua mengunjungi Gunung Grdhrakuta (Kepala Burung Nazar).
Dari Nalanda, Yijing dan Dashengdeng kemudian
melanjutkan perjalanan mengunjungi vihara dan tempat-tempat suci Buddhis
lainnya. Namun setiba di Kusinagara, Dashengdeng yang telah mendekati usia 60
tahun memutuskan untuk menetap di lokasi suci tempat Buddha ber-Parinirvana
itu. Akhirnya Yijing seorang diri kembali ke Nalanda.
Belajar
di Nalanda
10 tahun lamanya Yijing belajar di Nalanda, khususnya
mengenai penerapan Vinaya yang ketat. Dalam kurun waktu itu, Xuanzhao wafat di
Nalanda, sedang Dashengdeng wafat di Kusinagara. Sebelum wafat, Dashengdeng
sempat mengirimkan pesan terakhir bagi Yijing agar bagaimanapun juga harus
pulang dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Akhirnya Yijing memutuskan untuk kembali ke Tiongkok.
Dengan membawa beberapa peti berisi Sutra, Vinaya Pitaka, patung, dan relik
suci, Yijing menuju Tamralipti. Entah kebetulan atau matangnya buah karma,
Yijing kembali bertemu dengan para bandit di tempat yang sama. Untungnya para
bandit itu hanya mengambil bekal makanan, uang, dan beberapa benda berharga lainnya.
Mereka tidak mengusik Yijing dan benda-benda suci Buddhis dalam peti.
Kembali
ke Sriwijaya
Tahun 687, kapal yang dinaiki Yijing bersandar di
pelabuhan Sriwijaya. 15 tahun sudah Yijing meninggalkan Sriwijaya. Berita kepulangan
Yijing tersebar dengan cepat. Yijing disambut oleh Bhiksu Ketua Vihara
Kerajaan, Sakyajilidhi, dan dikunjungi oleh Raja Sriwijaya.
Keinginan Yijing untuk secepatnya berlayar kembali ke
Tiongkok menjadi tertunda setidaknya 3 bulan karena harus menunggu datangnya
angin selatan. Setelah angin selatan datang bertiup, Raja baru mengungkapkan
keinginan agar Yijing menetap selamanya di Sriwijaya. Berselang beberapa hari
kemudian, Sakyajilidhi memberitakan bahwa di Tiongkok terjadi ketegangan
politik perebutan kekuasaan antara Ratu Wuzetian dengan keturunan kaisar.
Yijing disarankan untuk tidak pulang lebih dahulu.
Dua minggu kemudian, seorang pedagang dari Guangzhou
berhasil ”menculik” Yijing dan membawanya kembali berlayar ke Tiongkok.
Sesampai di Guangzhou, Yijing mempersiapkan alat-alat tulis dan mencari asisten
untuk membantu proyek penerjemahan Sutra. Menjelang akhir tahun, Yijing untuk
ketiga kalinya kembali ke Sriwijaya dengan membawa beberapa asisten yakni
Master Vinaya Zhen-gu, dua bhiksu muda (Daohong dan Falang), serta Sramanera Huaiye.
Tahun 690, Wuzetian memproklamirkan dirinya sebagai
Kaisar dinasti yang baru, Zhou, menggantikan dinasti Tang. Tahun 691, rombongan
duta persahabatan yang diutus Wuzetian tiba di Sriwijaya. Salah satu anggota
rombongan adalah Master Dajin. Saat kembali ke Tiongkok, Dajin membawa surat
Yijing yang ditujukan pada kaisar.
Pulang
ke Tiongkok
Dua tahun kemudian, tahun 694, Yijing beserta Zhen-gu
dan Daohong kembali ke Tiongkok meninggalkan Sriwijaya selamanya. Falang
meninggal di Sriwijaya, sedang Huaiye menetap di
Sriwijaya mengikuti Master Sakyajilidhi. Berakhirlah sudah perjalanan akbar
yang memakan waktu lebih dari 20 tahun itu. Mendengar berita kepulangan Yijing,
penerus jejak Xuanzang, Kaisar Wuzetian mengirim utusan ke Guangzhou untuk
menjemput Yijing. Tahun 695, tibalah Yijing di Luoyang, ibu kota Timur yang
ditinggalkannya lebih dari 30 tahun yang lalu.
Yijing dielu-elukan oleh penduduk dan pejabat kota
Luoyang, serta disambut langsung di pintu gerbang timur istana oleh Kaisar
Wanita Wuzetian. Kaisar Wu menganugerahkan gelar ”Master Tripitaka” pada
Yijing. Saat itu gelar ini hanya dimiliki empat orang bhiksu. Hanya Yijing yang
merupakan satu-satunya bhiksu asal Tiongkok.
Bersama dengan Sikshananda, Yijing menerjemahkan Sutra
Avatamsaka (Huayan Jing). Selain itu juga banyak menerjemahkan Sutra, Vinaya,
dan Sastra, antara lain: Vinaya Saravanabhava, Sutra Avadana, dan Sutra
Suvarnaprabhasa.
Tahun 705, Kaisar Wu tumbang, putra mahkota naik tahta
dengan nama Kaisar Zhongzong, dengan demikian pulihlah kembali nama dinasti
Tang.
Tahun 704, Yijing diundang ke Vihara Shaolin untuk
melakukan prosesi Vinaya sesuai aturan yang ditetapkan oleh Buddha Sakyamuni.
Tugas mulia penerjemahan selama tahun 713 yang
dilakukan Yijing berlangsung di beberapa vihara, yakni Vihara Dafuxian di
Luoyang, Vihara Ximing di Chang-an, istana kaisar di Luoyang, Vihara Dajianfu
di Chang-an, dan di istana kaisar di Chang-an selama masa varsa di tahun 707.
Selama masa varsa itu, Kaisar Zhongzong meminta Yijing untuk menerjemahkan Sutra
Bhaishajyaguru, sedang kaisar sendiri menjadi asisten Yijing.
Tahun 713, Master Tripitaka Yijing wafat di Vihara
Dajianfu di Chang-an. Seperti halnya Faxian dan Xuanzang, selain menerjemahkan
Tripitaka, Yijing juga meninggalkan karya tulis, yakni: Warisan Dharma Dalam
yang Dikirim Kembali dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifachuan) dan Riwayat
Bhiksu Mulia Dinasti Tang Pencari Dharma di India (Datang Xiyu Qiufa Gaosengzhuan)
yang di dalamnya mengisahkan perjalanan lebih dari 60 bhiksu dinasti Tang yang
menuju India, salah satunya adalah Huining yang sempat menetap selama 3 tahun
di Jawa (664-667). Perlu diketahui, Huining ini bukanlah Huineng, Sesepuh ke-6
Chan.
Karya tulis Yijing sangat berjasa bagi penelitian jalur
transportasi dan kebudayaan antara Tiongkok dan India. Selain itu, Yijing juga
berjasa dalam lahirnya kamus Sansekerta-Mandarin yang pertama di Tiongkok.
Sebagai penutup Jejak Agung ini, penulis kutipkan
petuah terakhir Yijing yang antara lain berbunyi: “Mereka yang mempelajari
Vinaya, harus memulainya dari bagian yang paling kecil; mereka yang mempelajari
Sutra dan Sastra, terlebih dulu harus membedakan antara yang lurus dan sesat.
Sila, konsentrasi, dan kebijaksanaan, ketiganya harus dipelajari dan dilatih
dengan sebaik-baiknya, bila hanya menguasai satu di antaranya, tak dapat
dikatakan sebagai hal yang sempurna...”
Dapat mengikuti jejak agung Yijing adalah kontribusi
yang sangat besar bagi pengembangan Buddha Dharma dan kebahagiaan semua
makhluk. Dan untuk dapat merealisasikan ikrar mulia ini, sudah tentu kita harus
mampu melaksanakan petuah terakhir Yijing.***
Jejak Agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya
Kamis, 02 Februari 2012
MASTER KUMARAJIVA (343 - 413)
鸠摩罗什大师
Guru Besar Penerjemah Kitab Suci dari Tujuh Buddha Masa
Lalu.
Jejak Agung ini di persembahkan oleh : Tjahyono Wijaya.
Sekilas Master
Kumarajiva
Jauh
sebelum abad ke 5 Masehi, ratusan kitab suci agama Buddha telah di alihbahasakan
ke dalam bahasa Tionghoa. Namun pada masa-masa itu makna sejati Buddha Dharma
masih belum benar-benar terserap secara signifikan bagi perkembangan Buddhisme
di Tiongkok. Hasil setiap terjemahan belum merefleksikan makna ajaran Buddha secara
tepat karena sistem transliterasinya masih banyak mengadopsi dari terminologi
Taoisme dan Konfusianisme. Dengan kata lain, pemaknaan Dharma yang
diinterpretasikan melalui sudut pandang Taoisme/Konfusianisme masih sangat
kental. Namun sistem itu kemudian mengalami perubahan drastis
setelah
kedatangan seorang tokoh besar yang dengan kepiawaiannya merestrukturisasi dan
mereformasi sistem penerjemahan hingga menjadikan agama Buddha mengalami titik
balik bagi kemajuannya di Tiongkok. Bagi orang yang telah sering membaca kitab
suci Mahayana, nama tokoh ini tidak asing lagi, dialah, Kumarajiva.
Kumarajiva,
lahir pada tahun 343 Masehi (ada juga yang menyebut tahun 344 M), adalah Master
Tripitaka terkemuka pada era antara Dinasti Jin-
Timur
di Tiongkok Selatan hingga Qin-Belakangan di Tiongkok Utara.
Beliau
merupakan salah satu tokoh besar penerjemah kitab suci Buddha bahasa Tionghoa
yang sejajar dengan Paramartha (499- 569), Xuanzang (sekitar 600-664),
Amoghasiddhi (705-774) dan Yijing (635-713).
Ditilik
dari proses pembelajaran Dharma, pada awalnya Kumarajiva adalah seorang
praktisi tradisi Sarvastivada, kemudian beralih ke tradisi Mahayana
mendalami
filosofi Madhyamika dari Nagarjuna.
Lahirnya
tradisi Sanlun (Tiga Shastra), Tiantai, Jingtu (Tanah Murni), bahkan Chan (Zen)
di Tiongkok, tak terlepas dari kontribusi Kumarajiva yang mana Sutra dan
Shastra (Sastra) acuan beberapa tradisi itu merupakan hasil terjemahan beliau.
Lidah Tetap Utuh
Setelah Kremasi
Sebagai
seorang guru dan penerjemah kitab suci, kemampuan Kumarajiva menempati reputasi
yang tinggi. Di samping karena fakta dunia cendekiawan Buddhis lebih banyak
menggunakan acuan terjemahan beliau, terdapat satu kejadian unik yang mencerminkan
kejeniusan Kumarajiva bukan tanpa alasan. Saat menjelang kemangkatannya (413),
di
hadapan
para siswa, beliau berkata, “Dengan segala ketulusan, saya berikrar: bila Sutra
dan Sastra yang saya terjemahkan benar-benar sesuai dengan makna sejati Buddha,
maka setelah tubuh saya diperabukan, lidah saya tidak akan hancur!” Alhasil,
ternyata setelah dikremasikan, lidah Kumarajiva tetap utuh bahkan tampak merah
berkilau.
Lebih-lebih
lagi, Kumarajiva juga diyakini sebagai penerjemah Kitab Suci dari tujuh Buddha
masa lalu. Dikisahkan pada masa Dinasti Tang, Master
Daoxuan,
seorang praktisi Vinaya (tradisi Lu) di Gunung Zhongnan, menerima persembahan
makanan setiap hari dari para dewa karena keteguhannya mempraktikkan Vinaya.
Suatu ketika Daoxuan yang telah berusia lanjut tiba-tiba terjatuh. Putra Dewa Vaisravana
(satu dari Empat Maha Raja Dewa di konstelasi utara) segera memapahnya.
Pada
kesempatan itu Daoxuan bertanya, “Mengapa para umat senang membaca Sutra hasil terjemahan
Master Kumarajiva?”
Sang
dewa menjawab, “Master Kumarajiva adalah penerjemah kitab suci dari tujuh Buddha
masa lalu – Sutra yang diwejangkan oleh tujuh Buddha diterjemahkan oleh beliau–
karena dalam setiap kehidupan beliau selalu
berikrar:
‘Bila ada Buddha muncul di dunia, saya akan datang menerjemahkan Kitab Suci!’
Selama
munculnya tujuh Buddha dari masa lalu hingga saat ini, Kumarajiva selalu
menjadi guru penerjemah Kitab Suci. Karena itu, Kitab Suci yang diterjemahkan
beliau tidak memiliki sedikit kesalahan pun.”
[Tujuh
Buddha yang dimaksud adalah Buddha Vipasyin, Sikhin, Visvabhu, Krakucchanda,Kanahamuni,
Kasyapa dan Sakyamuni.]
Begitu
tinggi reputasi Kumarajiva, bahkan dikisahkan juga bahwa para penguasa pun rela
menggerakkan ribuan pasukan untuk mendapatkan beliau.
Ramalan Tentang
Tokoh Bijaksana dari India
Mengapa
para penguasa begitu haus mendapatkan Kumarajiva? Sebelumnya kita perlu memahami
secara singkat gambaran sejarah agama Buddha dan peta politik Tiongkok pada akhir
abad ke-3 Masehi hingga abad ke-5.
Pada
masa-masa ini, Tiongkok menghadapi periode yang penuh gejolak. Setelah kematian
Kaisar Jin Wudi (290 M), Dinasti Jin-Barat memasuki masa gelap. Berbagai
pemberontakan muncul di mana-mana. Wilayah utara Tiongkok pun terpecah menjadi
16 kerajaan. Lantas, di antara 16 kerajaan ini, terdapat kerajaan yang wilayah kekuasaan
dan pengaruhnya cukup besar, seperti Zhao-Belakangan, Qin-Awal, Qin-Belakangan dan
Liang-Utara. Di kerajaan-kerajaan inilah, agama Buddha mendapat sokongan yang
cukup
besar
dari para penguasanya. Penguasa Qin-Belakangan, yakni Raja Fujian adalah salah
satu contoh dari raja yang sangat menghargai para bhiksu dan cendekiawan bijak
bagaikan pusaka kerajaan. Tahun 378 M, Fujian mengerahkan pasukan menaklukkan
kota Xiangyang demi
memboyong
pusaka Buddhis, Master Dao-an –pencetus marga Shi (Sakya) bagi bhiksu Tiongkok,
ke ibukota Chang’an.
Suatu
ketika, seorang ahli perbintangan berkata kepada Raja Fujian: “Di India
sekarang ini terdapat seorang maha bijaksana yang kelak akan datang ke Zhendan
(Tiongkok) untuk melindungi Zhendan. Orang maha bijaksana
ini
adalah Kumarajiva. Di India, orang-orang sangat menghormatinya karena ia
memiliki kebijaksanaan...” Demikianlah ramalan ini diucapkan hingga membuat
Raja Fujian menjadi sangat ambisius untuk mendapatkan pusaka berikutnya,
Kumarajiva.
Cuma
saja, Fujian mati terbunuh sebelum sempat bertemu dengan Kumarajiva.
Keluarga yang Luar
Biasa
Kumarajiva
berasal dari keluarga aristokrat. Ayah beliau, Kumarayana, adalah putra seorang
perdana menteri sebuah kerajaan di India.
Kumarayana
yang seharusnya mewarisi jabatan perdana menteri menurut adat waktu itu, justru
memilih kehidupan monastik untuk menjadi bhiksu. Demi tugas menyebarkan Buddha
Dharma, Kumarayana meninggalkan India menuju Kerajaan Kucha (sekarang wilayah
Xinjiang, Tiongkok).
Setelah
tiba di kerajaan yang terletak di Asia Tengah ini, adik perempuan Raja Kucha,
yakni Putri Jiva, langsung jatuh hati pada Kumarayana
pada
pandangan pertama. Raja Kucha lalu memaksa Kumarayana menanggalkan jubah untuk
menikahi adiknya.
Anak Bijaksana
dalam Kandungan
Saat
mengandung Kumarajiva, sang ibu mengalami hal yang ajaib. Berubah menjadi lebih
cerdas, dengan cepat memahami Buddha Dharma, mampu berbahasa Sansekerta, pun
tangkas berdebat dalam Buddha Dharma.
Seorang
Arhat (Arahat) di masa itu mengatakan bahwa anak dalam kandungan Jiva pasti
adalah seorang yang sangat bijaksana seperti halnya Sariputra yang saat masih
dalam kandungan membantu meningkatkan kebijaksanaan sang ibu.
Mati atau Menjadi
Bhiksuni
Tak
lama setelah kelahiran Kumarajiva,Sang ibu, Jiva, malah ingin menjadi bhiksuni.Namun
keinginan ini ditentang oleh Kumarayana.
Tiga
tahun kemudian Jiva melahirkan putra ke-2. Suatu saat ketika meninggalkan
istana, Jiva melihat setumpukan tengkorak di lokasi makam
tak
terurus, ini semakin menguatkan tekadnya untuk menjadi bhiksuni. Tetapi
Kumarayana mati-matian menentangnya. Sangat ironis! Pada awalnya Kumarayana
seorang bhiksu yang dipaksa menikahi
Jiva,
kini justru Kumarayana yang menentang Jiva menjadi bhiksuni.
Tekad
yang teguh mendorong Jiva melakukan aksi mogok makan dan minum demi tercapainya
tujuan mulia. Menginjak hari ke- 6, hati Kumarayana akhirnya luluh. Tak lama setelah
menjadi bhiksuni, Jiva mencapai kesucian Srotapanna.
Mengikuti Jejak
Sang Ibu
Tahun
350, Kumarajiva yang baru berusia 7 tahun mengikuti jejak sang ibu, ia menjadi
sramanera. Dua tahun kemudian ibunya membawanya ke Kashmir dan belajar di bawah
bimbingan Bhiksu Bhandhudatta, guru ternama dari tradisi Sarvastivada.
Kumarajiva mempelajari Sutra Agama (Dirghagama, Madhyamagama, Samyuktagama). Di
Kashmir ini Kumarajiva
memenangkan
perdebatan dengan para tokoh agama non-Buddhis.
Mempelajari Tradisi
Mahayana
Tahun
355, dalam perjalanan pulang kembali ke Kucha, Kumarajiva dan
ibunya
berjumpa dengan seorang Arhat di wilayah Kerajaan Kushan
(Asia
Tengah). Arhat itu mengatakan bahwa Kumarajiva akan berjasa
mengembangkan
Buddha Dharma bila hingga usia 35 tahun tidak
melanggar
Sila.
Setiba
di Kashgar, Kumarajiva mempelajari Abhidharmapitaka dari tradisi Sarvastivada
dari seorang guru berkebangsaan Kashmir bernama Buddhayasa. Bukan itu saja,
Kumarajiva juga belajar pengetahuan yang berasal dari India seperti: Kitab
Veda, sastra, ilmu pengobatan, kesenian, perbintangan dan ilmu meramal.
Suatu
ketika dalam kegiatan membabarkan Dharma, Kumarajiva bertukar pandangan dengan Suryasoma,
bhiksu dari Shache (Yarkand). Kumarajiva kemudian menjadi murid Suryasoma
mendalami Sunyavada dari Nagarjuna yang merupakan tradisi Mahayana.
Guru adalah Murid,
Murid adalah Guru
Ketika
Kumarajiva dan ibunya melanjutkan perjalanan hingga ke Turfan, Raja Kucha
mengirim utusan menjemput mereka kembali ke Kucha.
Tahun
363, datanglah seorang bhiksu dari Kashmir bernama Vimalaksa, praktisi
Vinayapitaka tradisi Sarvastivada. Kumarajiva ditahbiskan menjadi bhiksu penuh dan
menjalankan Vinaya di bawah bimbingan Vimalaksa. Kelak setelah menetap di
Chang-an, Tiongkok, Kumarajiva mengundang Vimalaksa
untuk
bersama-sama mengajar dan menerjemahkan Vinayapitaka Sarvastivada.
Tidak
lama setelah itu, sang ibu meninggalkan Kumarajiva
menuju
India dan pada akhirnya mencapai kesucian Anagami. Bila sang ibu berjodoh
dengan India, maka Kumarajiva berjodoh dengan Tiongkok.
Suatu
hari datanglah Bhandhudatta, guru Kumarajiva semasa di Kashmir. Akhirnya
hubungan guru dan murid itu berbalik menjadi hubungan murid dan guru. Bila sebelumnya
Bhandhudatta menjadi guru Kumarajiva mengajarkan tradisi Sarvastivada, kini
Kumarajiva menjadi guru Bhandhudatta mengajarkan tradisi Mahayana.
Inilah
kebesaran jiwa penerapan anatta yang diteladankan oleh dua guru mulia bagi kita
semua.
Penghinaan dalam
Bentuk Kehidupan Perumahtangga
Kabar
popularitas dan reputasi Kumarajiva akhirnya berhembus hingga ke Tiongkok. Raja
Fujian, yang kala itu menguasai wilayah utara Tiongkok, tahun 382 mengirim
seratus ribu pasukan di bawah pimpinan Jendral Luguang menuju Kucha. Bukan
untuk invasi, melainkan bermaksud mendapatkan Kumarajiva yang dianggap sebagai pusaka
kerajaan.
Kumarajiva
menasehati Raja Kucha untuk tidak melawan, namun tak digubris. Perlawanan dari
Raja Kucha dan koalisi kerajaan disekitarnya berhasil dipatahkan Luguang.
Luguang yang tidak mempercayai Buddha Dharma sangat tidak menghormati
Kumarajiva.
Ia
bahkan memaksa Kumarajiva menikahi putri raja Kucha. Demi merealisasikan tujuan
mulia menuju Tiongkok, Kumarajiva bersabar
diri
mengikuti kehendak Luguang.
Saat
peristiwa pelanggaran Sila ini terjadi, Kumarajiva telah melampaui
usia
35 tahun.
Tahun
385, Kerajaan Qin- Awal runtuh setelah Sang Raja- Fujian - terbunuh dalam
kudeta yang dilancarkan oleh Yaochang, lalu berdirilah Kerajaan Qin-Belakangan.
Di
pihak Jenderal Luguang sendiri, karena mengetahui kabar jatuhnya kekuasaan
Fujian, maka dia sendiri kemudian memproklamirkan diri sebagai raja di
Liangzhou. Saat itu Luguang mengangkat Kumarajiva sebagai penasehat. Di pihak
Raja Yaochang, beliau juga mengirim utusan untuk mengundang Kumarajiva, namun
permintaan ini ditolak oleh Luguang.
Tahun
394 M, Yaochang meninggal dan digantikan putranya, Yaoxing. Sedangkan tahun 399
M Luguang juga meninggal, dan terjadilah perebutan kekuasaan hingga akhirnya Lulong
menjadi raja. Di tahun 401 M, pasukan Yaoxing berhasil menaklukkan Raja Lulong,
dan Kumarajiva akhirnya
diboyong
ke Chang-an yang mana pada saat itu usianya telah menginjak
58
tahun. Berakhirlah sudah aral rintangan yang menghambat Kumarajiva menginjakkan
kaki ke tanah Tiongkok.
Kegiatan
Penerjemahan yang Mulia dan Akbar
Setelah
menetap di ibukota Chang’an, Raja Yaoxing memperlakukan
Kumarajiva
dengan penuh hormat dan mengangkatnya sebagai Guru
Kerajaan
(Guoshi). Kumarajiva segera mengorganisir kegiatan penerjemahan Kitab Suci
Buddhis yang melibatkan 800 personil. Antara tahun 401-413, Beliau berhasil
menyelesaikan terjemahan kitab sebanyak 74 judul dengan total 384 jilid.
Beberapa
Sutra terjemahan beliau yang tidak asing bagi kita adalah
Sutra
Intan, Sutra Saddharmapundarika,Sutra Amitabha, Sutra Vimalakirti,
Sutra
Brahmajala (Sila Bodhisattva),Sutra Maitreyavyakarana, Sutra
Shurangama-samadhi,
Sutra Prajnaparamita, Shastra Madhyamaka,
Shastra
Shatika, Mahaprajnaparamita Upadesha, Riwayat Nagarjuna,
Riwayat
Asvaghosa, Vinayapitaka Sarvastivada (Ten Category Vinaya)
dan
Sutra Agama.
Selain
menggores tinta intan dalam Sutra bahasa Tionghoa,
Kumarajiva
juga mencetak beberapa murid kenamaan, antara lain:
Daosheng,
Sengzhao, Daorong dan Sengrui. Master Huiyan - patriak
pertama
mazhab Jingtu – yang menetap di Gunung Lu juga sering
mengutus
siswanya untuk belajar pada Kumarajiva, dan Huiyan sendiri juga
sering
berdiskusi dengan Kumarajiva melalui surat.
Penghormatan dalam
Bentuk Kehidupan Perumahtangga
Raja
Yaoxing merasa saying jika Kumarajiva yang sangat bijaksana
tidak
memiliki keturunan, sebab itu ia menginginkan Kumarajiva menikahi 10 orang
dayang istana. Bila pernikahan semasa Luguang adalah penghinaan, maka
pernikahan kali ini adalah bentuk penghormatan. Menghadapi kenyataan ini,
Kumarajiva berucap,
“Saya
sering merasa ada dua orang anak berdiri di atas pundak saya
menghambat
pelatihan diri.” Dua anak yang dimaksud adalah Luguang
dan
Yaoxing.
Beberapa
bhiksu lain juga berkeiginan meninggalkan hidup selibat mengikuti jejak
Kumarajiva.
Suatu
ketika saat makan bersama,Kumarajiva mengatakan, “Jika kalian
sanggup
makan semangkok paku seperti saya, maka saya mengizinkan
kalian
beristri.” Kumarajiva lalu memakan habis semangkok paku itu.
Melihat
kejadian ini, para bhiksu itu mau tidak mau membatalkan keinginan
rendah
mereka.
Petik Teratai,
Jangan Ambil Lumpur Bau
Sesungguhnya
batin Kumarajiva juga sangat menderita atas berlangsungnya dua kali pernikahan paksaan
yang dilakukan beliau. Oleh karena itu beliau menasihati para murid agar dalam
dunia yang keruh ini “memetik teratai, tapi jangan mengambil lumpur yang bau”.
Kisah
hidup Kumarajiva sangat mengiris hati. Demi menggenapi ikrar sebagai penerjemah
beliau harus melampaui banyak aral rintangan. Karena beliaulah maka jatuh
korban di negeri Kucha; demi misi mulia penerjemahan Sutra dan perkembangan
Buddha Dharma, beliau dipaksa oleh situasi untuk menodai Vinaya kebhiksuan.
Namun semua pengorbanan itu akhirnya melahirkan terjemahan yang membangkitkan Buddha
Dharma pasca era kemusnahan di India.
Bagaimana
kita harus membalas budi dan meneladani jejak agung Kumarajiva ini? Seperti
yang dianjurkan alm. Master Hsuan Hua
(City
of Ten Thousand Buddhas):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar