Pages - Menu

Pages

Senin, 26 November 2012

Tantrayana, Bhairawa, Rwa Bineda dan Siwa-Buddha



Pengantar

Anda mungkin pernah membaca sepotong ayat yang dikatakan berasal dari kitab Hindu sebagai berikut:
"Apabila orang Sudra kebetulan mendengarkan Kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor timah dan malam dalam kupingnya; apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Weda, maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha untuk membaca Weda, maka raja harus memotong badannya."(Gotama Smrti:12.4-6).
"A once-born man (a Sudra), who insults a twice-born man with gross invective, shall have his tongue cut out; for he is of low origin. If he mentions the names and castes (gati) of the (twice-born) with contumely, an iron nail, ten fingers long, shall be thrust red-hot into his mouth. If he arrogantly teaches Brahmanas their duty, the king shall cause hot oil to be poured into his mouth and into his ears."(Manu Smrti VIII.270-272
Cukilan tersebut diatas adalah benar dan diambil dari bagian kitab Gautama Dharma sastra dan Manu Smerti pada bagian penegakan hukum, aturan dan tradisi di antara 4 golongan pekerjaan/warna di Hindu (lebih “popular” dengan nama kasta). Kutipan sepotong ayat itu dengan mudah ditemukan dalam suatu diskusi di mailing list atau berada pada bagian pengantar kitab-kitab agama Abrahamic. Maksud yang hendak disampaikan mereka dengan mengutip sepotong ayat itu kurang lebihnya adalah:
“Agama hindu adalah sadis, tidak adil, tidak untuk orang dan golongan, atau Veda adalah bacaan “khsusus” bagi golongan brahmana, atau Hindu adalah ajaran kuno yang sudah ketinggalan jaman yang sudah tidak valid lagi tidak seperti ajaran kami(Abrahamic).”
Sesuai dengan Judul tulisan, maka tulisan ini disajikan bukan sekedar untuk menanggapi hal tersebut diatas, namun juga sebagai cerita singkat bercampurnya dua ajaran yaitu Hindu dan Buddha yang kelak di Indonesia dikenal sebagai agama Siwa-Buddha.

Benarkah itu Hindu?

Kitab Hindu pada intinya dibagi dua kelompok besar, yakni: Kitab Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu sabda-sabda Tuhan yang diterima melalui pendengaran dan Kitab Smrti yang bersumber dari ingatan/pikiran Maharsi. Mari kita terlusuri bersama berada dimana sih Gotama Dharma Sastra dan Manu Smrti itu?
Kitab Sruti dibagi menjadi Veda Samhita(Kelompok:Rig-Veda, Sama-Veda, Yajur-Veda, Atharva-Veda dan sebagai Weda kelima adalah Itihasa (sejarah) dan Purana(cerita: yang terbagi dalam lebih dari 18 Purana besar dan lebih dari 21 purana kecil). Kemudian didalamnya jugga Brahmanas, Aranyakas, and Upanishad. Disamping itu ada pula Upaweda(weda kategori kecil/yang lain yaitu Dhanurveda(beladiri dan senjata) Shastrashastra(Politik dan pemerintahan negara), Āyurveda(Kesehatan jasmani & rohani) Gāndharvaveda(seni perang dan menaklukan musuh), Sushruta(ilmu bedah), Bhavaprakasha Sthapatyaveda (arsitektur) dan Shilpa Shastra (seni dan kerajinan tangan). Itu belum semua! Untuk memahami itu semua diperlukan Wedangga atau alat bantu yang dibagi dalam 6 bagian yaitu
Pada bagian Kalpa saja terdiri dari Shrautasutras (14 kitab), Grhya Sutras( 21 kitab) dan terakhir Dharmasutras(19 kitab). Baru di Didalam Dharmassutras itulah kita temukan kitab yang likarang oleh Maharesi Gautama mengarang Gautama Smrti yang terdiri dari 28 bab dan 1000 ayat dan yang dikarang oleh Manu yang terdiri dai 12 Bab dan 2685 sloka/ayat). Manu Smrti awalnya diturunkan sebanyak 100.000 sloka kepada Maharshi Brghu, kemudian setelah diturunkan pada Rshi Narada berdasarkan pertimbangannya dikurangi menjadi 12.000 sloka. Rshi Markandeya menguranginya lagi menjadi 8000 sloka. Rshi Sumanthu, menguranginya lagi menjadi 4000 sloka dan akhirnya, rshi terakhir mengurangi menjadi 2.685 sloka sampai dengan saat ini.
Penting untuk diketahui bahwa Wedangga, dimana smrti merupakan salah satu bagian didalamnya, merupakan alat bantu yang saling kait mengait yang digunakan untuk memahami Veda Sruti. Jadi kitab smerti bersifat tidak permanen atau dapat disesuaikan dengan keadaan jaman dengan tujuan untuk lebih memahami Veda Sruti. Jadi cuplikan itu baru satu cuplikan ayat dari bagian Kalpa saja dan belum yang lainnya.
Anda bisa bayangkan betapa luasnya yang harus diketahui untuk dapat memahami Weda.

Bagaimana? Apakah anda mengikuti penjelasan yang saya sajikan diatas?

Apabila hal ini masih dirasakan terlalu panjang dan bertele-tele maka seharusnya itu juga merupakan petunjuk untuk dapat mengambil kesimpulan sendiri bahwa betapa sok tahunya orang yang mengutip secuil dua cuil dari Kitab Hindu namun sudah merasa Khatam dan paham abis dengan Hindu! (Untuk mengetahui kurang lebih seberapa banyak sih kumpulan Kitab Weda itu...silahkan klik ini karena terlalu panjang daftarnya!!!)
Sankha-Likhita (300 - 100 SM) dan Wikhana mengemukakan bahwa Manawa Dharmashastra adalah ajaran Dharma yang khas untuk Krta Yuga. Sankha-Likhita selengkapnya menyatakan bahwa:
  • Dharmashastranya Manu untuk Krta Yuga,
  • Dharmashastranya Gautama untuk Treta Yuga,
  • Dharmashastranya Sankha-Likhita untuk Dvapara Yuga, dan
  • Dharmashastranya Parasara untuk Kali Yuga,
Hal tersebut senantiasa dilakukan juga oleh Kullukabhatta (120 M), Wiswarupa (800 - 825 M) dan Medhiti (825 - 900 M) Mereka dipandang sebagai reformis prinsipil dalam hukum Hindu, yang disesuaikan menurut kondisi, jaman dan tradisi saat itu. Proses pertumbuhan atau pengembangan ajaran Hukum Manu benar-benar sangat dipengaruhi oleh Wiswarupa dengan menulis Balakrida.

Kembali pada Gotama smerti 12:4-6, sansritnya adalah sebagai berikut:

"atha hāsya vedam upaśṛṇvatas trapujatubhyāṃ śrotrapratipūraṇam udāharaṇe jihvāchedo dhāraṇe śarīrabhedaḥ
āsanaśayanavākpathiṣu samaprepsur daṇḍyaḥ
śataṃ kṣatriyo brāhmaṇākrośe
"

Sloka diatas, artinyapun dapat pula menjadi seperti ini:

"Bagi warna sudra (para pekerja) yang ingin mempelajari Weda, supaya berhasil dengan baik yakni dengan mendekatkan pendengarannya mulai dari awal pengertian-pengertian, bahasa dan ucapannya dengan menutup pengaruh dari luar, badan duduk dengan tenang (asana) ditempat belajar dan ucapan diulang-ulang terus menerus sampai akhir"

Ini membuat anda akan makin memahami, bahwa tidaklah sesederhana itu memahami suatu ajaran, bukan?!

Dua Individu terpenting yang mengembalikan Arah Veda

Krishna

Krishna (Devanagari कृष्ण;dilafalkan Krsna). Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM. Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati.
Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Krishna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Lakshmi.
Menurut Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM. Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi, Matsyapurana menyatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk dimana setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun. Pemerintahan semasa Pandawa itu dinyatakan sebagai saat-saat permulaan Kali Yuga. Dapat dikatakan juga bahwa Kali Yuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima. Ini berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kali Yuga.
Kisah meninggalnya Krishna merupakan bagian yang tidak kalah menariknya dan selalu dihubungkan dengan kutukan dari Gandari (ibu para Kurawa yang tewas semua saat perang BhrataYudha). Gandhari adalah wanita yang berasal dari daerah Afganistan, saat mengetahui calon suaminya adalah seorang buta, ia bertata “Kalau suamiku tidak dapat melihat, lalu buat apa aku melihatnya” maka sejak itu lah ia menutup matanya. Seumur hidupnya ia hanya membuka matanya dua kali.
Yang pertama saat ia diperintahkan suaminya Dhastarata, untuk menganugrahi Duryodana dan saudara-saudaranya tubuh yang keras seperti Baja sehingga tidak mempan senjata. Caranya adalah Duryodana dan saudara-saudaranya harus dilihat oleh mata ibunya dalam posisi telanjang. Krishna, mengetahui bahwa kebenaran dari kekuatan kesetiaan seorang wanita dapat membuat Duryodana kuat dan kebal seperti Baja maka Ia sengaja berpaspasan dengan Duryodana. Duryodana yang memang tidak mengetahui hal ini, memberitahukan bahwa ia diminta datang untuk menghadap ibunya dalam keadaan telanjang bulat. Duryodana yang sudah merasa dewasa-pun enggan bertelanjang bulat dan berpendapat bahwa telanjang bulat merupakan hal yang kurang pantas saat menghadapi Ibunda. Pertemuan dan tanyajawab dengan Krisna-lah yang makin memantapkan pikiran Duryodana, sehingga ia tetap mematuhi perintah Ayahandanya dengan bertelanjang namun menutupi sekeliling area kemaluan sampai paha dengan kain. Al hasil, daya guna anugrah itu tidak mencapai hasil yang sempurna.
Yang kedua kalinya yaitu setelah perang dikuruksetra berakhir, pada berlangsung upacara pembakaran Mayat, dimana hadir pada upacara itu Gandhari, Kunti (Ibu Pandawa), Pandawa, Krishna dan para rakyat yang merasa sedih karena kehilangan saudara mereka. Semua anak menantu Gandari dan juga Gandhari menangis sedih. Saat itu Krishna berkata: “Mengapa Ibunda bersedih? Inilah dunia, Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. Lalu mengpa menangis?”, Gandhari menjawab, “Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini, maka semua anakku akan hidup, tidak terbunuh begini”. Krishna menjawab,” Aku datang untuk menegakan kebenaran dan untuk menghancurkan kepapaan(dosa) bukan mencegah perang. Aku adalah alat untuk itu” Lalu Gandhari berkata, ”Krsna, paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa melperlu melakukan pertempuran”. Tidak ada yang salah dengan ucapan Gandari, namun kebenaran yang dikatakan oleh Gandhari adalah menurut kepentingan dan keperluannya saat itu. Krshna mngetahui hal ini, tidak menjawab dan berkata apapun juga. Melihat hal itu Gandhari-pun mengucapkan sumpahnya,” Seperti halnya para anggota keluargaku yang mengalami kehancuran didepan mataku demikian hendaknya seluruh anggota keluarga Paduka mengalami kehancuran didepan mata paduka sendiri“. Mendengar hal itu, Krisna tersenyum dan menjawab, “Semoga demikian”. Ia tidak menolak kutukan itu, Ia menjunjung tinggi kepribadian Gandhari. Ia ingin menunjukan bahwa kekuatan moral mempunyai nilai didalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya. Ia telah mengetahui bahwa bangsa Yadawa/Wresni, dan Andhaka akan menjadi sombong, takabur dan senang minum minuman keras sampai mabuk setelah perang tersebut. Kresna menerima kutukan tersebut dengan senyuman dan sadar bahwa Wangsa Wresni tidak akan terkalahkan kecuali oleh sesamanya. Sehingga Kutukan itu adalah sejalan dengan rancanganNya sendiri.
Dalam MosalaParwa (Kitab ke 16 dalam mahabharata) diceritakan bagaimana musnahnya Bangsa Yadawa. Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk namun beberapa bagian dari senjata tersebut ternyata sangat sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak mau menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Saat itulah Kresna kemudian mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Semua keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra.
Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara memohon maaf dengan sangat. Kresna kemudian tersenyum dan menghiburnya, "Kesalahan-kesalahan sedemikian ini memang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Kalau seandainya aku adalah engkau, tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukan kekeliruan ini. Janganlah dipikirkan. Kamu tidak tahu aku berada ditempat ini. Kamu tidak boleh dihukum secara hukum ataupun secara moral, karena kesalahan-kesalahan seperti ini cenderung dilakukan oleh orang-orang di dunia ini. Aku mengampuni engkau. Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Akupun sudah menyelesaikan hidupku". Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan kesedihannya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Iapun sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Krishna merupakan aspek dari Brahman. Krishna disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan sebagai perwujudan Dewa Wisnu, sebagai salah satu dari avatar Brahman. Definisi Brahman(bukan Brahma) meliputi manifestasi Sinar(Div, Dewa), dimana dalam BhagavadGita disebutkan:
Kshetragna (The Knower of the Field):
"Without pride, without pomposity, absence of cruelty, tolerance, straight forwardness, service to Acharya (the spiritual master), cleanliness, stability (of the mind), self-control, Vairagya (absence of any feeling) towards the objects of the senses, absence of egoism, constant reflection of the pain and drawbacks inherent in the birth, death, old age and disease, disinterestedness, detached from the son, wife, home and the like, always even minded in both desirable and undesirable conditions, devoted to God only, without engaging in other yogas (activities) and evil pursuits, living in solitary places, disinterested in seeking the company of people, always absorbed in self knowledge, engaged in the study of philosophy and spirituality -all this is declared as knowledge and the rest is ignorance" (13-7)
Purusha (The Supreme Self)
The eternal Supreme Brahman is neither sat nor asat, it is said. He has hands and feet every where. He has everywhere eyes, heads, faces and ears. He envelops everything without moving. He is the source of all the senses and qualities, but devoid of any senses, detached but bearer of all, without qualities but partaker of the qualities. He is within and without all beings, moving and unmoving, very subtle and incomprehensible, far away but also very nearer. Though Undivided, He is also situated in the beings as divided. Bearer of beings but is also known as the devourer and the illuminator. Among the illuminated He is the very illumination and also said to be beyond the darkness. He is the knowledge that is known, the knowledge that is yet to be known and also the end of all knowledge. He resides in the hearts of all. It is said that Prakriti is for the purpose of performing actions , but Purusha is to enjoy the pleasure and pain. Indeed He is said to be The Overseer, Regulator, Bearer, Enjoyer, the Great Lord, the Supreme Soul. He is Purusha, the transcendental Soul (13.12-22)
Divine Qualities
Fearlessness, excessive Sattva (purity), interested in the study of spiritual knowledge, charity, self-control, rituals and worship, study of scriptures, penance and simplicity, non-cruelty, truthfulness, without anger, self-sacrificing nature, peace of mind, being non-critical, compassionate to all beings, without greed, gentle, modest, firm-minded intelligence, forgiving nature, fortitude, cleanliness, without envy, without egoistic pride- these are the virtues of those born with divine nature (16.1-3)
Kurang lebih berarti :
Beliau memiliki tangan, kaki, mata, kepala, dan muka yang berada dimana-mana, dan Beliau memiliki telinga di segala penjuru. Ia berada dalam segala sesuatu dan meliputi alam semesta. Beliau sumber asli segala indria, namun tanpa memiliki indria. Beliau tidak terikat, walau Beliau memelihara semua makhluk. Beliau melampaui sifat-sifat alam, dan pada waktu yang sama Beliau adalah penguasa semua sifat alam material. Beliau berada di luar dan di dalam segala insan, tidak bergerak namun senantiasa bergerak, Beliau di luar daya pemahaman indria material. Beliau amat jauh, namun juga begitu dekat kepada semua makhluk. Walaupun Beliau terbagi di antara insani, namun Beliau tidak dapat dibagi. Beliau mantap sebagai Yang Maha Tunggal. Beliau pemelihara segala makhluk, dan Beliau menciptakan sekaligus memusnahkan mereka. Beliau adalah sumber dari segala benda yang bercahaya. Baliau di luar kegelapan alam dan tidak terwujud. Beliau adalah pengetahuan dan tujuan pengetahuan. Beliau bersemayam di dalam hati sanubari segala makhluk
Nama lain dari Krisna yaitu: Achyuta (Acyuta, yang tak pernah gagal), Arisudana (penghancur musuh), Bhagavān (Bhagawan, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa), Gopāla (Pengembala sapi), Govinda (Gowinda, yang memberi kebahagiaan pada indria-indria), Hrishikesa (Hri-sikesa, penguasa indria), Janardana (juru selamat umat manusia), Kesava (Kesawa, yang berambut indah), Kesinishūdana (Kesi-nisudana, pembunuh raksasa Kesi), Mādhava (Madawa, suami Dewi Laksmi), Madhusūdana (Madu-sudana, penakluk raksasa Madhu), Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa), Mahāyogi (Maha-yogi, rohaniawan besar), Purushottama (Purusa-utama, manusia utama, yang berkepribadian paling baik), Varshneya (Warsneya, keturunan wangsa Wresni), Vāsudeva (Wasudewa, putera Basudewa), Vishnu (Wisnu, penitisan Batara Wisnu), Yādava (Yadawa, keturunan dinasti Yadu), Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin)

Bhagawad Gita

Bhagawad Gita(Sansekerta भगवद् गीता) atau Bhagawad Gītā atau Bhagawad Gîtâ, artinya adalah Nyanyian sang Bagawan. Bhagawad Gita adalah bagian dari Bhismaparwa pada Mahabarata dalam bentuk syair dialog. Yaitu saat permulaan perang diKurusetra (Bharatayuddha). Saat itu Arjuna berdiri di antara dua pasukan (Pandawa dan Kurawa) di atas bukit dan memandang ke bawah, ke tempat seberang di mana berada para Korawa dan sekutu-sekutu mereka. Arjuna harus memerangi mereka semua, tetapi Ia dilanda kesedihan dan kebimbangan. Karena meskipun mereka pernah berbuat jahat terhadapnya, mereka tetap saudara-saudari dan sahabat-sahabat yang sudah Ia kenal dan dikasihinya. Lalu Ia diberi wejangan dan nasehat-nasehat oleh Kresna yang bertindak sebagai sais Arjuna.
Śrī bhagavān uvāca: imam vivasvate yogam proktāvan aham avyayam vivasvān manave prāha manur iksvāke ‘bravit (Bhagavad Gītā, 4.1)
Arti:
Sri Bhagawan (Kresna) bersabda: Aku telah mengajarkan ilmu pengetahuan yang abadi ini kepada Dewa matahari, Vivasvan. Vivasvan mengajarkan ilmu ini kepada Manu, ayah manusia. Manu mengajarkan ilmu ini kepada Iksvaku.
Bhagawad Gita merupakan intisari Veda yang meliputi keenam aliran Hindu atau sad darsana, terutama dari aliran Samkhya, Yoga dan Wedanta.

Samkhya

Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kāpila, beliau yang menulis Samkhyasūtra. Di dalam sastra Bhagavatapurāna disebutkan nama Maharsi Kāpila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Samkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakrisna. Ajaran Samkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatnya ajaran Samkhya dalam sastra-sastra Śruti, Smrti, Itihasa dan Purana.
Kata Samkhya berarti: ceminan/pantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Samkhya secara tajam membedakan antara ciptaan (tidak memiliki kesadaran namun aktif) dan jiwa(memiliki kesadaran namun tidak aktif). Setiap jiwa dapat dipengaruhi oleh indria dalam kondisi tercerahkan maka Jiwa yang mengontorol Indria. Hal ini disebut juga sebagai realistas dualistis. Karena terdapat dua realitas yang berbeda namun menyatu, yaitu purusa dan prakrti.
Penderitaan dan keterikatan muncul ketika seseorang gagal membedakan antara kesadaran rohani dan produk dari pertimbangan Intelektual, otak, ego, rasa, dan raga. Kegagalan terhadap kesadaran tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai aktifitas indria yang mengendalikan jiwa bukan sebaliknya sehingga tidak mendapatkan pencerahan dan terus menerus menderita dan berinkarnasi dari satu bentuk material ke bentuk material lainnya. Badan lahiriah(Intelektual, otak , ego, rasa, dan raga), adalah paduan dari dari 3 untaian dasar yang saling mengikat. bahasa sangsekertanya disebut Guna (kualitas atau sifat).
Jadi badan lahiriah/material merupakan campuran dari sifat2 gunas dengan proporsi yang bervariasi yang terdiri dari Satwa: kecerdasan / kemurnian / kehalusan / teratur / kepatuhan / seimbang / terang / kesatuan; Rajas: dinamis / energi / aktifitas / perubahan / mutasi / hasrat / gairah / kelahiran / penciptaan; Tamas: yaitu kegelapan / lamban / perusakan / kematian / pengabaian / kecerobohan / penolakan/ pengabaian / halangan dan batasan/ enggan untuk berubah.
Samkya menegaskan terjadinya sebab dan akibat dan hubungan sebab dan akibat, yaitu Sebab menjadi akibat dan akibat menjadi sebab berikutnya dan akibt seterusnya yang merupakan hal yang lain.
Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan/penyatuan, yang bermakna "penyatuan dengan alam" atau "penyatuan dengan Sang Pencipta atau bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran, di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan.
Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada.
Mimamsa
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda.
Nyaya
Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.
Vaisiseka
Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisisekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya.

Vedanta

Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti Akhir dari Weda yaitu kembali dan menuju kepada Brahman. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa
Bentuk penegasan sekaligus koreksi yang dilakukan dalam mengembalikan pemahaman yang benar dalam Veda adalah seperti yang dinyatakan dalam Bhagavad Gita dalam adhyaya IV sloka 11 dan adhyaya VII sloka 21 yang berbunyi sebagai berikut:
Ye yatha mam prapadyante tams tathaiva bhajamy aham, mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah
Yo-yo yam-yam tanum bhaktah sraddhayarcitum icchati, tasya-tasya calam sraddham tam eva vidadhamy aham
Artinya :
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana - mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera
Sloka diatas dengan tegas menyatakan tidak penting jalan manapun yang ditempuh untuk mencapai pencerahan atau mencapai Yang teragung, karena akan sama diterima olehNya. Jalan yang dimaksud adalah melalui: Hatha Yoga, Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, and Raja Yoga..

Buddha Gautama

Siddhartha Gautama, pendiri agama Buddha. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan diyakini sebagai salah satu penjelmaan (Awatara) Tuhan. Sebagaimana disebut dalam kitab Purana (Susastra Hindu), Beliau adalah Awatara kesembilan dari Dasa Awatara Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau disebut sebagai Awatara kedua puluh empat dari dua puluh lima Awatara Wisnu. Kata Buddha berarti “Dia yang mendapat pencerahan”. Buddha dilahirkan didinasti Surya, dimana Rama Avatara juga dilahirkan. Terdapat beberapa kebetulan menarik misalnya Wismamitra adalah salah satu Guru dari Rama ketika menjalani hidup di hutan. Dan pada Jaman Buddha Terdapat pula nama Wiswamistra adalah Guru bagi Sidhartha Gautama.
Menurut kepercayaan umat Hindu, pada masa Kali Yuga, orang-orang mulai melupakan ajaran agama dan tindakan mereka melenceng atau tidak sesuai dengan Veda. Maka dari itu, Sang Buddha muncul untuk menyempurnakan kembali tindakan yang melenceng dari Veda dan menolak untuk menerapkan pengorbanan hewan.
Sakyamuni(Sidharta Gautama) adalah seorang Hindu, yang lahir wangsa dikerajaan dimana Rama Avatar juga dilahirkan. Hindu menerima Sang Buddha sebagai Tuhan. Sakyamuni hadir sebagai penyempurna dan meluruskan persepsi tentang bagaimana menjalani jalan menuju “pembebasan” dengan jalan Hatta Yoga, Jnana Yoga dan Raja Yoga. Seperti yang selalu disinggung dalam kitab BhagawadGita bahwa Jalan menuju Tuhan adalah Melalui Hatta, Bhakti, Kharma, Jnana Yoga dan Raja Yoga.
Siddharta memperbaiki kekeliruan cara penerapan system golongan (lebih popular dengan nama “kasta”) yang dijadikan sebagai alat turun temurun dan bukan karena pekerjaan/jalan yang digelutinya untuk mencapai pencerahan. Ia menyatakan bahwa setiap individu memungkinkan untuk mencapai pencerahan. Sebagai contoh, Pertapa tidak serta merta disebut sebagai Brahmana dan Gembala tidak dapat diartikan Sudra, namun ia yang mempelajari dengan tekun Ajaran Dharma adalah Kaum Brahmana. Pembaharuan lain yang dilakukan adalah dalam hal pengorbanan terhadap binatang-binatang untuk keperluan upacara-upacara pada masa itu. Ia menyatakan bahwa darah binatang kurban tidak serta merta melenyapkan dosa dan karma serta memperbaiki tingkat kesucian.
Ia menekankan bahwa pencapai pembebasan dari penderitaan adalah merupakan usaha diri sendiri bukan karena pemberian Tuhan. Ia menyatakan meminta keselamatan kepada Dewa/Tuhan tidak akan membebaskan manusia dari penderitaan dan reinkarnasi. Konsep Tujuan akhir kehidupan dan juga merupakan konsep “ketuhanan” dalam ajaran Buddha adalah mengikuti apa yang tercantum dalam Khuddaka-Nikaya dalam Sutta Pitaka Udana VIII.1-4:
O, bhikkhu, ada keadaan di mana tidk ada tanah, tidak ada air, tidak ada api, dan tidak ada udara; tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan kesadaran, tidak ada dasar dari kekosongan, tidak ada dasar yang terdiri dari bukan presepsi dan tidak bukan presepsi; tidak ada dunia ini atau dunia lain ataupun dua dunia itu; tidak ada matahari atau rembulan. Di sini, O, bhikkhu, saya katakan tidak ada kedatangan, tidak ada kepergian, tidak ada yang tinggal, tidak ada kematian, tidak ada kemunculan. Tidak terpancang, tidak dapat digerakkan, tidak mempunyai penyangga. Inilah akhir dari penderitaan.
Yang tidak terpengaruh sulit untuk diketahui, Kebenaran tidak mudah dilihat; Nafsu keinginan akan ditembus oleh orang yang tahu, Tidak ada penghalang bagi orang yang melihat.
O. bhikkhu, ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, yang tidak berkondisi. Jika seandainya saja, O, bhikkhu, tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak tercipta, yang tidak berkondisi; maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, oemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak tercipta, yang tidak berkondisi; maka ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Bagi yang ditopang, ada ketidakstabilan, bagi yang tidak ditopang, tidak ada ketidak-stabilan, bila tidak ada ketidakstabilan ada ketenangan; bila ada ketenangan tidak ada sikap takluk; bila tidak ada sikap takluk tidak ada datang-dan-pergi; dan bila tidak ada atang-dan-pergi tidak ada kematian dan kemunculan; bila tidak ada kematian-dan-kemeunculan, tidak ada “di sini” atau “diluar sana” ataupun “di antara keduanya”. Inilah akhir dari penderitaan.
Buddha mengajarkan bahwa tujuan dari pembebasan adalah mencapai Nibana. Agama-agama yang menggantungkan pentingnya terhadap adanya kata “pencipta” terwakili dengan sifat nibana yang dituju yaitu tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta dan tidak berkondisi. [Penggunaan maksud tidak berkondisi adalah merujuk pada ungkapan "semua yang berkondisi adalah tidak memuaskan"]
Arti Nibbana [Pali]; Sanskerta= Nirvana-s [nir; nis = "tidak ada, lenyap, habis'; + va = "meniup"] = "Musnah, Lenyap, Padam, memadamkan".
Jadi, Merupakan suatu keadaan/kondisi padamnya nafsu keinginan dan BUKAN merupakan Alam atau tempat atau Tuhan.
Buddha menolak anggapan bahwa semua yang diperbuat dan dialami seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk tidak lain merupakan kehendak tuhan. Dengan tegas dibantah Buddha. Semua perbuatan dan semua yang dialami seseorang bukan merupakan kehendak tuhan, yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri. (Tittha Sutta; Anguttara Nikaya 3.61.)
Begitu juga dalam Devadaha Sutta, Majjhima Nikaya 101 yang mengatakan
Apabila, O para bhikkhu, makhluk-makhluk mengalami penderitaan dan kebahagiaan sebagai hasil atau sebab dari ciptaan Tuhan (Issaranimmanahetu), maka para petapa telanjang ini tentu juga diciptakan oleh satu Tuhan yang jahat/nakal (Papakena Issara), karena mereka kini mengalami penderitaan yang sangat mengerikan.
Kemudian dalam Bhuridatta Jataka, Jataka 543:
”Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan; Mengapa Brahma itu tidak menciptakan secara baik? Bila kekuatannya demikian tak terbatas, mengapa tangannya begitu jarang memberkati? Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata? Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela? Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal? Saya menganggap, Brahma adalah ketak-adilan. Yang membuat dunia yang diatur keliru.”
Dalam Samyutta Nikaya I, 227, Sang Buddha bersabda “Sesuai dengan benih yang kita tabur, begitulah buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan dan pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan.”
Yang diatas itu adalah satu dari duapuluh empat hukum sebab, di dalam Abhidhamma Vatara 54, dan Digha Nikaya Atthakatha II-432 dijelaskan bahwa Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari dua puluh empat sebab (paccaya 24)

Selama kekuatan kamma masih ada, selalu akan terjadi tumimbal lahir(mundul kembali ke alam). Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena yang tidak langgeng ini. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kekuatan kamma yang telah menggerakkannya sampai sekarang ini belum hilang. Karena kekuatan kamma tidak terganggu oleh kehancuran badan jasmani, maka datangnya saat pikiran kematian ( Cuti Citta ) sekarang ini mempersiapkan kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya.
Kamma yang berakar pada kebodohan dan nafsu keinginan menjadi syarat bagi tumimbal lahir. Kamma lampau menentukan kelahiran sekarang dan kamma sekarang bergabung dengan kamma lampau, menentukan kelahiran berikutnya. Keadaan sekarang adalah akibat dari keadaan yang lalu dan menjadi sebab dari akibat yang akan datang. Sebab menjadi akibat dan akibat menjadi sebab. Dalam suatu lingkaran sebab akibat,
Sang Buddha selanjutnya menyatakan: “Sebab dari kamma ini adalah avijja atau ketidaktahuan tentang Empat Kebenaran Mulia . Karena itu kebodohan merupakan sebab kelahiran dan kematian; pengetahuan ( vijja ) tentang Empat Kebenaran Mulia berakibat berhentinya proses kelahiran dan kematian ini.
Seperti dikatakan diatas bahwa “Sesuai dengan benih yang kita tabur, begitulah buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan dan pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan.”. Maka bagi mereka yang masih dipengaruhi Karma dapat bertumimbal lahir atau reinkarnasi di 31 alam sebagai berikut:
I. ALAM LINGKUP INDERA (11 alam)
A. Alam menderita
1. Neraka (tak terbatas)
2. Binatang (tak terbatas)
3. Hantu/Jin (tak terbatas)
4. Raksasa/Setan (tak terbatas)
B. Alam Bahagia
5. Manusia (tak terbatas)
6. Empat raja besar (500 ts)
7. 33 Dewa (1.000 ts)
8. Yama (2.000 ts)
9. Tusita (4.000 ts)
10. Bergembira dlm ciptaan makhluk lain (8.000 ts)
11. Penguasa ciptaan para makhluk lain (16.000 ts)
II. ALAM BENTUK (16 alam)
A. Alam Jhana pertama
12. Pengikut-pengikut Brahma (1/3 ak)
13. Menteri-menteri Brahma (1/2 ak)
14. Mahabrahma (1 ak)
B. Alam Jhana kedua
15. Cahaya terbatas (2 mk)
16. Cahaya tak terukur (4 mk)
17. Cahaya gemerlap (8 mk)
C. Alam Jhana ketiga
18. Keagungan terbatas (16 mk)
19. Keagungan tak terukur (32 mk)
20. Keagungan yang memancar (64 mk)
D. Alam Jhana keempat
21. Pahala besar (500 mk)
22. Non persepsi (500 mk)
23. Kediaman tak bergerak (1.000 mk)
24. Kediaman Suci (2.000 mk)
25. Kediaman Indah (4.000 mk)
26. Kediaman Pandangan terang (8.000 mk)
27. Kediaman murni tertinggi (16.000 mk)
III. ALAM TANPA BENTUK (4 alam)
28. Ruang tanpa batas (20.000 mk)
29. Kesadaran tanpa batas (40.000 mk)
30. Ketiadaan (60.000 mk)
31. Bukan persepsi bukan pula non persepsi (84.000 mk)
MK= MAHA KAPPA
AK= ASANKHEYYA KAPPA
TS= TAHUN SURGAWI= 1 hari = 1000 tahun bumi.
Antarakalpa 1(kalpa kecil): mulai dari 84,000 tahun umur manusia, s/d 10 tahun
Antarakalpas 2-19: mulai 10 tahun, meningkat menjadi 84,000, kembali ke 10
Antarakalpa 20: mulai 10, berakhir di 804,000
Satu Maha Kalpa = Penjadian, Penempatan, Kerusakan, Kehampaan semesta (4.320 Juta tahun)
Untuk mengenal lebih dalam lagi mengenai Ajaran Buddha silahkan klik link ini:
Beberapa tokoh Hindu menganggap Buddha merupakan seorang tokoh yang memperbaharui ajaran Veda. Untuk lebih mengenal Buddha Gautama silahkan klik link ini:
Bukankah sekarang, semua ulasan diatas lamat-lamat membuat anda semakin merasakan bahwa memang aneh apabila hanya berdasar dari satu atau dua buah ayat sudah merasa sangat mengerti pada suatu ajaran. Untuk mendapatkan pemahaman butuh pengetahuan yang luas tentang agama bukan sekedar mengenal huruf saja. Pemahaman yang kurang akan membuat terjadinya penyelewengan arti dan maksud yang terkandung didalam Veda. Ulasan-ulasan sebelumnya merupakan pengantar dalam mengenal aliran Bhairawa (Hebat/dahsyat) dan Tantrayana(tan=luas, tra=bebas, yana=kendaraan, jadi artinya adalah ajaran untuk mencapai kebebasan yang seluas-luasnya) dimana ajaran ini disatu pihak berkembang begitu sangat mengerikan dan menjerumuskan serta dilain pihak adalah begitu Indah dan sangat dalam.

Bhairawa, Tantra dan Tantrayana

Sekarang bayangkan contoh ini:
Suatu Arca dengan sikap dahsyat berwajah wajah kejam yaitu dengan mimik yang berada di puncak kemarahan, garang dan sedang menari-nari di atas mayat manusia, di suatu tempat penimbun mayat sebelum dibakar. Pada tangan kanannya terdapat wajra atau petir, pada tangan kirinya memegang mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak, Kadang Lidahnya digunakan sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang dibawanya.Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan sebagainya menekan pada badannya, seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak. Telinganya menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula., tertawa-tawa ria yang melampui batas, mengeluarkan bunyi mendengus seperti suara banteng. Melaksanakan Panca Ma itu: Mada (mabuk-mabuka), Mamsa (makan daging bagaikan hewan buas), Matsya (Makan Ikan), Mudra (melakukan gerak-gerik tangan seperti menari dalam ilmu hitam) dan Maituna (melakukan hubungan seks secara erotis),.
Yang diatas adalah gambaran yang ditemukan dalam upacara dari sekte Bhairawa tantrayana, atau biasanya disebutkan sebagai Tantrayana kiri. Setelah membaca dan membayangkan hampir dipastikan anda akan mengatakan: “Sangat menjijikan!, pemujaan berbau Iblis dan tidak berperikemanusiaan!!!!”.
Seperti telah dikemukakan pada pengantar bahwa contoh diatas merupakan akibat dari yang bukan ahlinya dan memang tidak menguasai sepenuhnya Veda melakukan penafsiran dan bahkan parahnya tidak memakai alat-alat bantu yang harus digunakan. Makanya telah disebutkan Sudra (Yang pekerjaan sehari-harinya jauh dari alat tulis menulis dan lebih menggunakan tenaga kasar daripada pikiran) tidak diperkenankan untuk melihat, mendengar dan membaca dan bukan cuma itu saja.,golongan Sudra bahkan akan dikenakan hukuman apabila melanggar karena untuk dapat memahami membutuhkan kedalaman pengertian dan kompilasi dari berbagai sumber dan bahan di Veda. Akibat dari ketidakpahaman ini adalah tidak tercapailah maksud Veda yaitu untuk mencapai pencerahan namun malah menjauhkan dan menenggelamkannya dari kebenaran itu sendiri.
Bhairawa adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari mazhab Tantrayana yang termasuk kedalam Sekta Sakta atau Saktiisme, dari mazab Siva (Siva Paksa). Disebut Saktiisme, karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah Sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi, sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of bala or strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain Sakti juga disamakan dengan energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as “Kala” or time). (Das Gupta, ibid).
Dasar-Dasar paham Tantra timbul di India sebelum bangsa Arya datang di India dan merupakan kepercayaan India Kuno. Pada peradaban Lembah Sungai Sindu, dasar-dasar paham Tantra ini telah terlihat, yaitu dalam bentuk pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada salah satu sloka lagu pujaan, sakti digambarkan sebagai penjelmaan kekuatan, penyokong alam semesta. Dengan demikian Saktiisme sama dengan Kalaisme. Sekte keagamaan “Kalaisme” disebut juga “Kalamukha” atau “Kalikas” dan disebut juga “Kapalikas”. Sekte ini sejenis dengan aliran “Bhairawa”. Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari pendekatan Anthropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut Dynamisme.
Orang-orang Arya masuk ke Barat Daya Benua India melalui Pegunungan Indukus sampai di Lembah Sungai Sindu di wilayah Harappa dan Mahenjo Daro, pada tahun 3000 - 1500 SM. Pemujaan terhadap dewi atau sakti didapati juga pada pendahuluan pustaka suci Rg Weda. Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka jadi juga disebut “Sudra kapalikas”. Pengikut ini tidak mengikuti sistem dan aturan yang berlaku mengenai “kasta” dan Canon Veda. Dalam melaksanakan ajarannya pengikut melaksanakan “Panca Ma” yang berubah arti dan pemahamannya menjadi bersifat bersifat pemuasan nafsu dan akhirnya aliran ini dikucilkan dari Veda. Aliran ini pada prinsipnya memuja Devi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga ataupun Kali) yaitu “Super matrial power”.
Beberapa orang Indoloog beranggapan, bahwa ada hubungan antara kosepsi - DEWI ( Mother Goddes). Dari Konsepsi - Dewi itu munculah saktiisme, yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada Sakti, yang merupakan suatu kekuatan dari pada Dewa. Para pemuja sakti ini disebut dengan "Sakta" yang bukti buktinya terdapat didalam suatu zeal di lembah Sindhu di India, dengan konsepsi maha Nirwana Tantra, yang berpangkal kepada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sadaciwa, yang kemudian membentangkan turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan prilaku.
Dalam beberapa sumber, Dewi Durga juga disebut Candi. Dari sinilah pada mulanya timbul istilah candi (Candikagrha) Untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja Dewa dan Arwah yang telah dianggap suci. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran dari moral dan Prilaku disebut "KALIMOSADA" ( Kali - Maha - Husada ) yang artinya Dewi Durga adalah Obat yang paling Mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan prilaku, sedangkan misi beliau turun ke Bumi disebut "KALIKA DHARMA"
Tetapi dalam bentuk sekarang, paham Tantra terkenal di daerah Assam dan Bengal Timur, di ujung timur buana India. Walaupun dasar-dasarnya sudah ada di barat laut buana India tahun 3000-1500 SM, ternyata dasar itu tidak lenyap dan muncul di tenggara buana India pada abad ke-5 Masehi itu, sekaligus memengaruhi ajaran Siwa dan Buddha, terlihat dalam bentuk pemujaan terhadap Dewi Durga atau Kali sebagai sakti Dewa Siwa atau Mahakala.
Dalam masa peperangan antara suku bangsa Arya dan non-Arya(Dravida), lahirlah seorang agung. Namanya Sadashiva, artinya "dia yang selalu terserap dalam kesadaran" dan "dia yang sumpah satu-satunya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua kehidupan". Sadashiva, dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang Guru rohani yang istimewa. Meskipun Tantra sudah dipraktekkan sejak sebelum kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara rohani secara sistimatis bagi umat manusia.
Bukan saja beliau adalah seorang guru spiritual, namun beliau juga pelopor sistim musik dan tari India, dari sebab itu beliau terkadang dikenal pula sebagai Nataraj (Tuhan Penata Tari). Shiva juga merupakan pelopor ilmu pengobatan India, dan menurunkan suatu sistim yang terkenal dengan nama Vaedya Shastra. Dalam bidang sosial Shiva juga memainkan peranan penting. Beliau memelopori sistim pernikahan, yaitu kedua mempelai menerima saling tanggung jawab demi keberhasilan perkawinan, tanpa memandang kasta atau suku. Shiva sendiri melakukan perkawinan campur, dan dengan mengawini seorang putri Arya beliau membantu menyatukan berbagai pihak di India yang sedang saling berperang dan memberikan bagi mereka suatu sudut pandang sosial yang lebih universal. Karena kepeloporan sosial ini Shiva dikenal juga sebagai "Bapa peradaban manusia".
Sumbangan terbesar dari Shiva pada kelahiran peradaban yang baru adalah pengenalan konsep dharma. Dharma adalah suatu kata Sansekerta yang berarti "sifat dari sananya" milik sesuatu hal. Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan manusia? Shiva menerangkan bahwa manusia selalu menginginkan lebih, lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan inderawi. Beliau mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman atau binatang karena apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu adalah tujuan hidup manusia, dan ajaran rohani Shiva ditujukan untuk memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu.
Seperti halnya dengan berbagai ajaran kuno lainnya, ajaran Shiva disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru kemudian dituliskan ke dalam buku. Isteri Shiva, Parvati, sering bertanya pada beliau mengenai berbagai pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya, dan kumpulan tanya jawab ini dikenal sebagai Tantra Shastra (kitab suci Tantra). Ada dua macam buku. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktek-prakteknya dalam buku Agama.
Sebagian buku-buku kono itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi, Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali kurang lebih ada 64 macam antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb
Dalam berbagai ulasan mengenai Tantra Shastra dan dalam bukunya mengenai kehidupan dan ajaran Shiva, Shrii Shrii Anandmurti mengemukakan beberapa pemikiran dasar bersumber dari ajaran-ajaran kuno itu. Salah satu unsur utama dalam Tantra adalah hubungan antara Guru dan murid. Guru berarti "seseorang yang dapat menyingkirkan kegelapan" dan Shiva menjelaskan bahwa agar diperolehnya keberhasilan rohani harus ada seorang guru yang baik dan seorang murid yang baik.
Shiva menjelaskan bahwa ada tiga jenis Guru. Golongan pertama adalah guru yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindaklanjuti pengajarannya. Jadi mereka pergi dan meninggalkan murid tanpa pengarahan. Kelompok kedua atau tingkat menengah adalah mereka yang mengajar dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa yang diperlukan murid untuk mencapai tujuan akhirnya. Jenis guru yang paling baik menurut Tantra adalah yang memberikan pengajaran dan kemudian mengupayakan terus menerus agar muridnya mengikuti semua petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.
Ciri guru yang istimewa ini lebih jauh diperinci dalam Tantra Shastra. Guru adalah yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati, dan berpakaian sederhana. Dia memperoleh penghidupannya secara layak, dan berkeluarga. Dia fasih dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni meditasi. Dia juga tahu teori dan praktik pengajaran meditasi. Dia mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang demikian disebut Mahakoala.
Namun meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada sesorang yang dapat menyerap pelajarannya. Tantra Shastra menguraikan tiga kelompok murid. Jenis pertama dapat dibandingkan dengan sebuah gelas yang dibenamkan ke air dengan mulut kebawah. Meskipun berada di dalam air dan tampak penuh, namun bila dikeluarkan dari air akan tetap kosong. Ini seolah seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak dapat menerapkan pelajarannya dalam keseharian.
Kelompok murid kedua adalah seperti gelas yang dicelupkan miring ke dalam air. Tampaknya memang penuh saat terbenam namun ketika diangkat akan kehilangan banyak air. Murid seperti ini adalah yang tekun saat kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan meninggalkan latihannya sama sekali.
Kelompok murid yang terbaik dilambangkan dengan gelas yang dibenamkan dalam air dengan posisi tegak. Saat dalam air gelas itu penuh dan saat diangkat keluar air tetap penuh. Murid seperti ini tekun berlatih di hadirat gurunya dan terus bertekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari gurunya.
Hubungan guru murid sangat penting dan merupakan ciri kunci dalam Tantra. Jalan rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si murid pada setiap tahap upayanya.
Shiva adalah Mahakoala, namun sejak kematiannya tak ada guru yang sepadan lagi dengannya dan Tantra mengalami surut. Berbagai ajarannya hilang dan sebagian lagi terpelintir. Dalam perkembanganya lebi lanjut daripada saktiisme ini, maka munculah Tantriisme, yaitu suatu paham yang memuja sakti secara ekstrim, para penganut paham ini disebut dengan "TANTRAYANA". Kini Tantra terselubung misteri dan banyak sekali salah pengertian mengenainya.
Setelah abad ke-5 paham Tantrayana ini muncul di Tenggara Benua India di daerah Bengal dan Assam. Ajaran Tantrayana itu bergerak ke timur menuju Nepal dan Tibet, dan akhirnya sampai ke Indonesia, masuk ke Sumatera, Jawa, dan Bali.
Di Indonesia masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana diberikan pesaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan tibet.
Dalam perkembangan agama Buddha selanjutnya, pengaruh paham Tantra ini terlihat dalam pemujaan sakti dari Boddhisatwa dan pemujaan terhadap kekuatan gaib dari Dhyani Buddha. Pada perkembangan Buddhisme, ini biasanya dilukiskan dalam bentuk Vajrayana yang terdapat di Tibet dan Nepal, kemudian ke Indonesia sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi.
Pemujaan yang dilakukan oleh para sadhaka/bhakta terdiri atas dua tingkat. Tingkat ini disesuikan dengan tingkat evolusi kesadaran yang dimiliki, mulai dari eksternal (lahiriah, eksoteris) menuju pemujaan yang lebih tinggi, enternal atau esoteris. Praktik pemujaan yang bergerak ke luar disebut nivertimarga, sedangkan yang mengarah ke dalam disebut prawertimarga. Fase transisional antara pemujaan eksternal menuju pemujaan yang lebih tinggi, yaitu esoteris yaitu Tantra sadhaka (pengikut Tantra) yang berada pada level ini mulai melatih konsentrasi dan meditasi, fase kedua yaitu Prawetimarga dimulai dengan Wamacara dengan melakukan latasadhana, yang diawali dengan ritual mada, matsya, mangsa, mudra, dan mathuna (lima M)…Inilah yang sering menyebabkan jatuhnya para pencari kesadaran tersebut sehingga dalam pelatihannya harus didampingi seorang seorang guru atau yang mengerti betul tentang agama. Kitab Nitya Tantra menentang ritual ini dan menggantinya dengan alternatif lima M lain kemudian Siddhantacara adalah hasil akhir setelah sadhaka mahir dalam seluruh rangkaian pemujaan (eksternal dan internal) yang diringkas ke dalam praktik astanggayoga di mana rahasia yoga telah diungkap melalui yogadiksa, maka samadi akhirnya tercapai. Dualisme pun berakhir sudah. Tingkatan ini disebut Kaulacara.
Ajaran Tantrayana pada hakikatnya berdasarkan pada bhakti marga yoga yang memberikan penghormatan utama pada karma marga yoga dan jnana marga yoga. Dalam ajarannya menerima filsafat sankhya dan yoga dengan teori purusa dan prakerti, menekankan pada ilmu gaib raja marga yoga. Ajaran Tantrayana asas wanita diwujudkan dan sangat diutamakan pemujaannya sebagai dewi, sedangkan kedudukan dewa-dewa lebih di bawah.

Siapakah Mahamaya/Durga/kali/Devi itu?

Semua itu adalah nama yang sama, yang dipuja sebagai Ibu segala Dewa, Ibu segala semesta. Kepercayaan terhadap Ibu segala semesta ini sudah dikenal pada jaman dahulu kala yaitu 24.000-20.000 SM diberbagai tempat diseluruh dunia dalam kebudayaan kuno mereka baik di Mesir Sumeria, Mesopotamian, yunani dan tentunya juga India. Dalam Rig Veda dikenal sebagai shaktinya Siwa dan dikenal dengan nama Mahimata, Viraj, Aditi, Ambhirini, Durga(Inkarnasi Mahimata/Mahamaya), Kali/Chamunda/Chamundi/ (inkarnasi Durga), parwati, mahadevi, laksmi, saraswati, vavadurga, mahavidya, Sita, radha, matrika, Brahmi(sakti Brahma), Vaishnavi (Sakti Vishnu), Maheshvari/ Raudri (Sakti Maheshvara (Shiva)), Aindrī or Indrani/Mahendri(Sakti Indra), Kumari/Kaumarī/Karttikeyani (sakti Kumara (Kartikeya), Narasimhi (sakti Narasimha). Dalam Devi-Bhagavata Purana(VII.33.13-15)
"I am Manifest Divinity, Unmanifest Divinity, and Transcendent Divinity. I am Brahma, Vishnu and Shiva, as well as Saraswati, Lakshmi and Parvati. I am the Sun and I am the Stars, and I am also the Moon. I am all animals and birds, and I am the outcaste as well, and the thief. I am the low person of dreadful deeds, and the great person of excellent deeds. I am Female, I am Male, and I am Neuter."
Akulah manifestasi dari keilahian, kegelapan dan yang terilahi dari yang ilahi. Akulah yang disebut Brahma, wisnu dan Siwa/Iswara seperti juga akulah Saraswati, laskmi dan Parwati. Aku adalah matahari, bintang dan bulan. Akulah binatang dan burung, Akulah juga berada diluar golongan dan yang terahasia. Akulah yang serendah-rendahnya orang yang melakukan perbuatan yang mengerikan dan seagung-agungnya orang yang melakukan kebaikan. Akulah bentuk perempuan, pria dan bukan keduanya
Dibali konsep itu dikenal dengan Rwa Bhineda (dua sisi baik dan buruk, gelap dan terang), biasanya dilakukan setiap Purnama Tilem. Begitu pula halnya dengan suka dan duka, digolongkan sebagai Rwa Bhineda (dua sisi yang berbeda). Purnama Tilem mengingatkan manusia akan adanya dua sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan ini. Yaitu adanya gelap dan terang, kehidupan dan kematian, baik dan buruk, cinta dan benci, jahat dan baik, bersih dan kotor dan sebagainya.
Makna Purnama Tilem adalah agar jiwa tenang dan stabil ketika menghadapi suka dan duka kehidupan. Kestabilan jiwa itu penting dimiliki oleh manusia. Sebab di dunia ini semua orang akan pernah mengalami suka dan duka, apapun status sosialnya di masyarakat. Apakah dia orang kaya, orang miskin, orang berpangkat, petani, pedagang dan sebagainya.
Durga dalam versi Tantra adalah Ibu Kebajikan, dipuja tidak saja oleh para dewa bahkan Iblis dan setan pun memujanya. Dari kisah Ramayana, dikabarkan bahwa Rama memuja Durga untuk dapat membunuh Rahwana.
Kemudian dalam Mahabrata, Kresna memuja Durga untuk dapat mengalahkan Kurawa, Vaishnavas juga memuja Durga sebagai Yoga Maya-nya Wisnu, dan Siwa sendiri memuja Durga sebagai Shakti. Bahkan juga dipercaya, Durga adalah Mahamaya, akar sebab dan bentuk dunia. Dan dalam Durga Saptathi, Durga memiliki 108 nama diyakini sebagai Ibu Pencipta.
Menurut markendya Purana Bab 81-93, Tiga belas bab tersebut dibagi dalam tiga buah cerita, Mahakali (bab 1), Mahalakshmi (bab 2-4) dan Mahasaraswati (bab 5-13)
Cerita pertama
Dewi Mahatmya. Dewi dilukiskan dalam bentuk universal sebagai Shakti. Disini Dewi sebagai kunci keberhasilan pada mitologi penciptaan. Ia membuat Vishnu tidur pulas di samudra jagatraya disaat antara sebelum penciptaan dunia yang terus menerus diciptakan dan dilebur. Vishnu tengah berbaring di nāgashesha selama yoganidra. Tiba-tiba dua Iblis muncul dari badan Wisnu akibat bentuk pikiran tidurnya Vishnu dimana dua Iblis itu mencoba menggangu dan menaklukkan Brahma yang tengah bersiap untuk membuat cycle berikutnya. Brahma kewalahan dan memohon kepada Dewi Yang Agung dengan menyanyikan syair yang beriksi memohon bantuan Dewi untuk menarik Vishnu terbangun dari TidurNya dan membunuh Iblis tersebut. Dewi Setuju dan menarik Vishnu sehingga terbangun dan menaklukkan Iblis tersebut. Disini fungsi Dewi adalah sebagai pihak yang menentukan pembentukan ulang jagatraya
Cerita kedua
Dikisahkan dalam Markandeya Purana yang menceritakan Mahishasura yang dapat berubah bentuk apapun dan tidak dapat dikalahkan oleh Manusia dan Dewa karena mendapatkan anugrah dari Brahma sehingga dengan kekuatan itu ia mengancam Alam Sejagat. Seluruh dewa-dewi gagal menumpaskannya lalu meminta pertolongan daripada dewa Siva. Dewa Siva menasihati bahwa ia tidak dapat dimusnahkan karena mendapatkan anugrah tidak terbunuhkan oleh bentuk pria maka disarankan semua dewa-dewa untuk mengabungkan shakti mereka. semua dewa mengeluarkan cahaya dari mulut mereka.
Kumpulan cahaya ini perlahan menjadi seorang dewi yang sangat cantik. Kemudian oleh Rama diberi rambut hitam panjang, oleh Wisnu diberi dua tangan, lalu Bulan memberi payudara, Indra memberi bagian tubuh tengah, paha diberikan oleh Baruna, pantatnya dari Dewa Surya, kaki dari Dewa Pertiwi, jari kaki dari Matahari, jari-jari tangan para penjaga delapan penjuru, dan matanya didapat dari tiga kepala Agni. Kemudian ia berperang dengan mahishasura dan memenggal kepalanya
Cerita ketiga
Mengisahkan bahwa terjadi peperangan dewa dengan Iblis yang bernama Chanda and Munda. Kali lahir seketika dari mata ketiga Dewi Mahamaya, kemudian Ia memotong kepala Iblis tersebut dan menyerahkan kepada Dewi Mahamaya, kemudian Ia berperang dengan raksasa Raktabija dan uniknya raksasa Raktabija berdarah maka setiap darah tersebut menjadi wujud raksasa baru dengan kekuatan yang sama/ Kali kemudian menggunakan llidahnya ia menyedot habis darah raksasa Raktabija. Cerita berlanjut, Dewi Mahamaya, Kali dan Matrika (7/8 Dewi yang lahir yang juga berasal dari siwa/Mahamaya) melawan Shumbha dan Nishumbha. Ketika melawan Shumbha maka DewiMahamaya menyatukan diri dengan Kali dan Matrika dan mengalahkan Shumbha. Kemudian setelah kemenangan itu Dewi Mahamaya menari dan menari sehingga membuat para Dewa khawatir akan kehancuran Dunia, sehingga mereka meminta pertolongan Siwa. Siwa setuju namun ia tidak ingin menggangu tarian Dewi Mahamaya dan juga tidak ingin jagatraya ini hancur saat itu sehingga ia membaringkan badannya dibawah Dewi Mahamaya dan membiarkan Dewi Mahamaya menikmati tariannya itu sepuasnya dan dunia terselamatkan. Dewi Mahamaya pun tersadar dari tariannya ketika Siwa tersebut.
Pada Shiva Maha-Purana, dikisahkan ketika pencipataan Brahma dari Teratai yang keluar dari Pusar Wisnu, kemudian lama ia memanjat teratai itu namun tidak pernah keluar dan selagi ia dalam kebingungannya Wisnu memunculkan diri dihadapannya, kemudian dalam tanya jawab itu ia meminta Wisnu menyembahNya karena ia yang pertama kali hadir disitu, kemudian mereka bertempur dan dalam pertempuran itu. Kejadian ini membuat Siwa murka dan munculah Bhairawa dalam kemurkaan itu memotong kepada Brahma yang ke 5 dan menjinjing kepala itu kemana-mana. Jadi Bhairawa adalah salah satu Shakti dari Siwa/Mahamaya.

Apanya Yang Salah Kaprah?

sa tayā śraddhayā yuktas tasyārādhanam īhate labhate ca tatah kaman mayaiva vihitān hi tān (Bhagavad Gītā, 7.22)
Arti:
Setelah diberi kepercayaan tersebut, mereka berusaha menyembah Dewa tertentu dan memperoleh apa yang diinginkannya. Namun sesungguhnya hanya Aku sendiri yang menganugerahkan berkat-berkat tersebut.
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitā te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam (Bhagavad Gītā, IX.23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
"Orang yang menyembah dewa akan dilahirkan di tengah masyarakat dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk seperti itu, dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku." (Bhagavad-gita 9.25)
Dalam kitab Maha Nirwana Tantra dinyatakan bahwa menghadapi kemelut hidup di Kali Yuga ini dengan memprioritaskan pemujaan Sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti adalah Tuhan. Karena pada zaman Kali ini semakin kuat sinergi antara Guna Rajah dan Guna Tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya hedonis artinya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malas. Artinya gaya hidup enak tanpa kerja.
Sementara Tantrayana itu mengajarkan hidup enak ini baik tetapi jangan seenaknya. Capailah hidup enak tetapi dengan kerja keras. Seseorang akan bisa kerja keras apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Beragama dengan menguatkan potensi diri itulah yang disebut dengan Niwrti Marga sebagai konsep beragama yang ditekankan dalam ajaran Hindu Tantrayana.
Melalui Markandeya Purana dapat diketahui bahwa Durga adalah simbol semua kekuatan penciptaan dan kekuatan gabungan ini akan muncul jika kekuatan jahat mengancam keberadaan ciptaan. Jadi, Durga bertugas menghancurkan ketidakharmonisan dan menciptakan harmoni. Kelahiran Durga adalah untuk menciptakan aturan Dharma.
Dalam jejak sejarah pemahaman dan pelakonannya memang ada kecenderungan paham pemujaan terhadap Ibu Dewi Sakti itu terbelah dua, satu ke kiri, dan satu lagi ke kanan. Yang memuja Ibu Sakti dalam aspek "kiri" mencitrakan Ibu Sakti mengerikan, menyeramkan, pemangsa, penghancur, sebagai Kali. Namun yang memilih aspek "kanan" mencitrakan Ibu Sakti sangat positif: mulia, lemah lembut, megah, indah., cantik, kreatif. Maka dalam tradisi India, aspek Ibu Sakti yang menyeramkan dinamakan Kali, Karala, Durga, Candi, Mundi, camundi, Mahisasuramardini, Tripurasundari, Sambhawi. Sedangkan dalam aspek bentuk yang penuh cinta kasih Ibu Sakti dinamakan Uma, Aditi, Usha, Brahmi, Maheswari, Katyayani, Annapurneswari, Minakshi, Durga.
Istilah Sakti ini sampai saat ini masih ada kesalahpahaman dalam masyarakat Hindu pada umumnya. Sakti diartikan sangat negatif. Kalau ada orang bisa menjadi siluman monyet, ular, kambing, nyala api (endih) atau rangda, dll. itu disebut orang sakti.
Dalam kitab ''Wrehaspati Tattwa'' rumusan Sakti dinyatakan sbb: Sakti ngarania sang sarwa jnyana muang sang sarwa karya. Artinya: Sakti adalah orang banyak ilmunya dan banyak kerjanya. Jadinya orang sakti itu adalah orang yang rajin belajar dan banyak kerja mengamalkan ilmu yang didapatkan dari rajin belajar itu. Karena ajaran Tantrayana itu Ista Dewatanya adalah Sakti atau Dewi seperti Dewi Uma atu Dewi Durgha, maka timbulah kesalahpahaman tentang pengertian Sakti dalam ajaran Hindu Tantrayana.
Sakti itu dikait-kaitkan dengan ajaran ilmu hitam. Orang-orang yang menganut ajaran Hindu Tantrayana sering dipojokkan negatif dalam masyarakat. Demikian juga praktik upacara Tantrayana dengan konsep Maka Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan Panca Ma atau Malima yang juga salah artikan.
Panca Ma itu adalah Mada, mamsa, matsya, Mudra dan Maituna. Mamsa diartikan makan daging bagaikan hewan buas. Mada diterjemahkan mabuk-mabukan. Maituna diterjemahkan melakukan hubungan seks secara erotis, dst. Padahal ajaran tersebut tidaklah sesederhana itu dan mengandung arti ganda(kiri dan kanan, kasar dan halus dan dalam). Lebih diarahkan kepada konsep dari Karma marga, Bakti yoga, Jnana Marga menuju Raja Yoga atau menggerakan posisi kundalini menuju kesaktian tertinggi yaitu bersatu dengan Tuhan.Misalnya:
Mada/Madya(Kebingungan/tengah/dua, Akasa/ruang), sehingga artinya jelas buka mabuk/minuman, atau berada pada ketidaksadaran, namum lebih kepada jalan tengah, tidak terlalu banyak atau kurang, tidak terlalu keras atau lemah atau dengan kata lain secukupnya tidak berlebihan Kata ini berarti mengetahui baik dan buruk justru sadar secara penuh!
Mamsa (mam=aku, sa = dia, pertiwi/tanah) artinya bukanlah berarti otot atau daging, namun lebih kepada tercapai paham bahwa tidak ada perbedaan, kata ini berarti mengandung arti memadamkan nafsu dan keinginan atau penuh dan stabil, atau dengan kata lain mematikan semua indra.
Matsya(nyaman, luwes Air/mengalir) bukanlah memakan ikan, namun lebih kepada keluawesan pergerakan, merasakan (empati dan simpati), tidak kaku, merasakan senang apabila pihak lain merasa senang, begitu pula sebaliknya. Dalam latihan yoga ini disebut juga Pranayama, aliran dalam kedua jalur itu dikendalikan dan pikiran menjadi tenang agar mudah meditasi
Mudra(gerak(an), bayu/tekad/angin/jiwa) bukan untuk melakukan gerak-gerik tangan untuk belajar ilmu hitam. Mudra adalah penjiwaan yang mendalam, penuh tekad, pelaksanaan tindakan dan pembuktian yaitu memelihara hubungan dengan semua yang membantu memperoleh kemajuan rohani dan menghindarkan diri dari kehadiran semua hal yang dapat mengganggu kemajuan kita.
Maithuna(persatuan, api/siwa/panas/menghancurkan/melumatkan)bukan berarti persetubuhan namum lebih menyatakan menyatukan pikiran kepada kosmis, menghancurkan pikiran tenggelam kepada kehampaan, atau mencapai kebebasan pikiran.
Samaduhkhasukham dhiram, somrtatvaaya kalpate. Bhagawad Gita II.15
Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Mereka yang demikian itulah yang akan mencapai kehidupan yang kekal.
Ia yang pikirannya tidak digoyahkan dalam keadaan dukacita dan bebas dari keinginan-keinginan ditengah-tengah kesukacitaan, ia yang dapat mengatasi nafsu, kesesatan dan kemarahan, ia disebut seorang yang bijaksana” (Bhagawad Gita II-56)
Seorang Yogin harus tetap memusatkan pikirannya kepada atma yang maha besar (Tuhan), tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, bebas dari angan-angan dan keinginan untuk memilikinya” (Bhagawad Gita VI-10)
Karena kebahagiaan tertinggi datang pada Yogin, yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih dan bersatu dengan Tuhan (Moksa)” (Bhagawad Gita VI-27)
Kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana itu sampai saat ini masih banyak yang terjadi. Mungkin zaman Kerajaan Singosari saat Raja Kerta Negara memerintah ajaran Maha Kama Pancaka itu pernah dipratikkan secara keliru sampai mentradisi. Dari tradisi yang keliru itulah menimbulkan kesalahpahaman sampai saat ini.
Meskipun di beberapa tempat di India dan juga di Bali kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana pelan-pelan sudah mulai berubah ke arah konsep yang benar sesuai dengan ajaran Tantrayana.

Tantrayana Versi Buddha

Buddha terdapat dua kelompok aliran yaitu sutrayana dan tantrayana, Sutrayana seperti Hinayana(theravada) dan Mahayana lebih bersifat teoritikal serta Tantrayana merupakan perpaduan puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana. Mazhab ini berkembang pesat diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta benua Eropa, Australia hingga benua Amerika.
Menurut dr. W. Kumara D. yang dikutip dari literature literature mazhab Tantrayana, kata tantra itu sendiri dapat juga berarti Sadhana (sarana mengerjakan). Mazhab Tantrayana memiliki akar-akar pandanga yang sama dengan Mahayana khususnya Yogacara. Namun demikian, Tantrayana memiliki perbedaan dengan Mahayana dalam hal tujuan,wujud manusia yang telah mencapai tujuan tantrayana dan cara pengajarannya.
Tantra Timur berkembang di China pada abad VII, ketika dikunjungi oleh tiga orang Maha Acharya Tantrayana dari India, yakni: Subhakarsinha (637-735M), Vajra Bodhi (663-725M), Amoghavajra (705-784 M)
Kalau Tantra Barat adalah tantra yang berkembang di Tibet dan sekitar pegunungan Himalaya batas antara China dan India, yang sebenarnya hanya dalam letak geografis saja. Daerah ini memiliki tradisi dan sejenis kepercayaan yang disebut Bon-Pa. Dan orang-orang Tibet umumnya memiliki kemampuan untuk menguasai roh-roh halus. Di samping symbol dari jenis rupang Buddha sedikit ada perbedaan. Bila dilihat Tantra Barat lebih bercorak naturalis terlihat jelas pada anggota tubuhnya, yakni bersifat feminisme (dalam bentuk wanita). Terdapat pula rupang angkara murka, seperti Angry Vajra (Vajravarahi dalam wajah murka).
Pada tahun 747 masehi, Maha Guru Padma Sambhava menjalankan misi ke Tibet. Beliau pada masa mudanya adalah seorang pangeran dan sangat menyenangi hal-hal yang bersifat magis. Beliau memiliki kemampuan supranatural yang dipadukan dengan ajaran-ajaran Hyang Buddha. Berkat kemampuan beliaulah, dukun-dukun Tibet dapat ditundukkan dan memperoleh simpati dari bangsa Tibet.
Tantrayana di Tibet berkembang hingga menjadi tiga periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini).
Banyak sekali kritikan-kritikan yang muncul mengatakan bahwa aliran Tantrayana mencampur adukan konsep "polyties" dari agama Brahmanisme ke dalam ajaran Buddha Dharma. Bahkan ada pula yang menuduh bahwa aliran ini adalah bagian dari Brahmanisme. Adalagi yang berkomentar ritual ini yaitu hanya melatih Prana, Nadi dan Bindu bukanlah ajaran Buddha. Dan semua itu disamakan dengan pelatihan Chi Kung, peredaran siklus besar(peredaran 12 meridian didalam tubuh) dan siklus kecil (peredaran meridian Ren dan Tu), yakni melatih sari, prana, semangat dari ajaran non Buddhis. Sehingga kritikan diarahkan dengan mengatakan bahwa pelatihan Prana, Nadi dan Bindu bukanlah ajaran Buddhis.
Disamping itu ada pula yang mengkritik bahwa aliran Tantrayana merupakan ajaran "Yoga yang dirahasiakan" dan sering disebut dalam kategori sebagai ajaran sempalan. Semua tulisan-tulisan yang mengkritik itu sangatlah banyak, terutama kritikan yang diarahkan kepada upacara persembahan Api dalam upacara Homa, disama artikan dengan upacara penyembahan api dalam agama tertentu (hindu).
Ajaran Tantrayana adalah salah satu aliran dari ajaran agama Buddha yang begitu dalam, sehingga tidaklah mudah diperuntukkan bagi setiap orang bagi yang belum mengerti serta memahami lebih dulu ajaran dasar agama Buddha Mazhab Theravada dan Mazhab Mahayana. Oleh karena itu disebut ajaran Esoteris.
ajaran tentang polyteis dalam Tantrayana adalah ajaran analisis internal pembuktian perlindungan dharma. Seperti mempelajari segala bentuk bentuk latihan untuk Prana, Nadi dan Bindu. Sedangkan Tantra Yoga adalah Dharma untuk membersihkan dan mensucikan dari hati nurani, pikiran dan perbuatan badan jasmani.
Persembahan Api dalam upacara Homa adalah Dharma untuk memancarkan Cahaya Terang. Dari semua bentuk proses latihan-latihan yang dikembangkan dalam Tantrayana adalah untuk mengikis karma buruk dan untuk meningkatkan kebijaksanaan,selanjutnya akan terlahir sebagai seorang suci. Kekuatannya sangat besar dan apabila anda mengkritik aliran Tantrayana, berarti anda mengkritik "Dharmakaya Tathagata Vairocana". Karena pada awal tujuh hari setelah Sang Buddha Sakyamuni mencapai penerangan, beliau pernah memberikan kotbah 'Ajaran tentang Pembuktian Internal', dan kotbah itu lebih dikenal yang disebut "Vairocana Sutra".

SIWA-BUDDHA

Vedavyasa adalah penggubah Kitab Mahabharata. Beliau menggubah lima Sloka dalam kitab Mahabharata yang tersusun menjadi kitab Mahapurana (Purana Utama). Purana ini beliau susun dari naskah asli kitab purana yang dikenal dengan purana Samhita. Purana memiliki lima karakteristik yang disebut Panca Laksana yang melukiskan lima hal yang berbeda yaitu : Sarga (penciptaan alam semesta), Pratisarga (peleburan & penciptaan kembali), Manvantara (berbagai periode jaman), Vamsa (silsilah raja-raja), Vamsanu Carita (sislsilah umat manusia). Purana merupakan pengetahuan suci merupakan pengetahuan dasar untuk selanjutnya mempelajari kitab Veda dan Upanisad, karena cerita ini berasal dari pura kala (jaman dahulu) dan merupakan pelengkap (purana) dari pengetahuan Veda.
Menurut Kitab Purana, alam semesta memiliki tiga sifat yaitu: Satwa: kecerdasan / kemurnian / kehalusan / teratur / kepatuhan / seimbang / terang / kesatuan; Rajas: dinamis / energi / aktifitas / perubahan / mutasi / hasrat / gairah / kelahiran / penciptaan; Tamas: yaitu kegelapan / lamban / perusakan / kematian / pengabaian / kecerobohan / penolakan/ pengabaian / halangan dan batasan/ enggan untuk berubah. Purana pun digolongkan kedalam Sattvika Purana, Rajasika Purana dan Tamasika Purana dan Siva purana merupakan purana yang termasuk dalam tamasika purana, Siva Purana merupakan Purana keempat dari delapan belas mahapurana yang secara umum lebih memulyakan nama Siva dari dari dewa lain atau karisma Sivalah yang banyak terkandung dalam Siva Purana. Menurut tradisi yang tercantum di Vāyaviya Samhitā (the Venkateshvara Press edition), Teks aslinya dikenal sebagai Śaiva Purāna, berisikan 12 Samhitās dan 100,000 ślokas. Oleh Vedavyasa, dipilah dan di padatkan menjadi 24.000 ślokas. Ia mengajarkan kepada muridnya Romaharshana (Lomaharshana).
Terkait dengan proses penciptaan, didalam kitab Siva Purana dinyatakan bahwa pada awal penciptaan alam semesta masih kosong hanya terdapat Brahman (Esensi ilahi) yang bersifat nirguna menyebar dimana-mana. Kemudian air memenuhi semesta Visnu dalam wujud Narayana tidur dilautan maha luas lalu muncullah sekuntum teratai dari pusar beliau dan lahirlah Brahma dari teratai itu. Brahma yang bingung akan keberadaan dirinya dan semesta yang masih kosong menjelajahi tangkai teratai itu namun beliau tidak menemukan sel itu hingga akhirnya menyerah. Suara gaib memerintahkan beliau untuk bermeditasi. Setelah 12 tahun berlalu Visnu yang bertangan empat menampakkan diri dan menyebut Brahma dengan “Nak”. Brahma tidak mengenali Visnu dan Visnu menjelaskan bahwa Brahma tercipta dari tubuh beliau. Brahma tidak puas mendengar hal itu dan bertarung melawan Visnu. Lalu muncullah sebuah linga ( wujud Siva) diantara mereka. Karena heran Brahma dengan wujud angsa menelususri puncak linga sedangkan Visnu dengan wujud babi hutan menelusuri dasarnya. Mereka mencari hingga 4000 tahun, namun tidak berhasil menemukan ujung pangkalnya. Mereka lalu berdoa ditempat semula dan setelah 100 tahun terdengarlah suara suci “OM” dilantunkan, seiring munculnya Siva dengan lima kepala dan sepuluh tangan. Visnu menanyakan tentang keberadaan Siva dan Siva menjelaskan bahwa mereka bertiga merupakan satu kesatuan yang dibagi menjadi tiga. Brahma sebagai pencipta, Visnu pemelihara dan Siva sendiri penghancur, Rudra adalah mahluk yang akan muncul dari tubuh Siva tapi Siva dan Rudra adalah satu. Maka Brahma ditugasi untuk mencipta dan Sivapun menghilang. Brahma dan Visnu kembali ke wujud asalnya.
Persatuan wujud Wisnu dan Siwa tercantum Visnu Purana, Bahgavata Purana(4.30.23, 5.17.22-23, 10.14.19), Brahma-Samhita 5.45, dan Siva Purana menyebutkan pada saat terbangunnya Wisnu menjadi Brahma saat menciptakan dunia dan Siwa saat melebur kembali, Siwa juga di katakana sebagai Manifestasi Wisnu dalama bhagavata Purana, dan dalam Siva purana Siwa berperan dalam menciptakan, memeliharan dan melebur dunia dan dikatakan bahawa Baik Wisnu maupun Siwa berasal dari manifestasi Siwa. Namun perpaduan yang tampak terlihat adalah dalam bentuk Harihara sebagai bentuk Wisnu(Hari) dan Shiva(Hara) dua bentuk ini juga dinamakan Harirudra yang muncul dalam Epik Mahabharata dan juga sebagai Mahabalesiwara atau Kekuatan dari segala Kekuatan pada kisah dimana Rahwana mendapatkan anugrah Siva lingga dari Siva dengan syarat ia harus membawa kemanapun ia pergi. Saat ia hampir dekat dengan daerah Deoghar di Bihar ia berhenti sejenak untuk melepas lela ia berhenti sejenak untuk membersihkan diri dan bertemu dengan Winsu yang tengah menyamar menjadi seorang pertapa dan menitipkan sejenak lingga itu. Setelah Rahwana Pergi. Kemudian Wisnu menaruhnya ditanah dan melenyapkannya ketanah. Saat Rahwana kembali Ia tidak dapat memindahkan Lingga itu dan tetap demikian samapai dengan saat ini. Demikian dari sudut Purana dan Samhita.

Nusantara

Awal mula perpaduan Agama Siwa Buddha tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram kuno yang terdiri dua dinasti, yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.

Wangsa Syailendra

Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Di setiap tingkatan Borobudur dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.

Wangsa Sanjaya

Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/ Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, raja kerajaan Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA dari Kalingga, di Jepara.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dilengserkan dari tahta Galuh oleh PURBASORA.
Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Raja Tarusbawa. Ironis sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanagara, sehingga kerajaan Tarumanagara terpecah dua menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'
Di kemudian hari, Sanjaya, yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723 - 732M), sehingga bekas wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan kembali dalam satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M[. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan Mataram (Hindu). Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini mempengaruhi berbagai keputusan politik pada masa-masa selanjutnya (misalnya saat penaklukan Nusantara oleh Majapahit).
Kekuasaan di Jawa Barat lalu diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana, putri Raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda, yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban sedangkan penerus Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban / Tamperan adalah saudara seayah tapi lain ibu.
Pemimpin Mataram selanjutnya adalah, berturut-turut, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung memiliki anak yaitu Rakai Pikatan.
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.
Empu Sendok adalah raja Mataram terkahir, Mpu Sendok(929-947M) menghasilkan dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Pada jaman pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Penyatuan Siwa dan Buddha adalah juga karena toleransinya yang sangat besar dan juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan.Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
  • Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala)
  • Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
  • Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)
Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Disamping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat itu masyarakat Majapahit sudah amat plural. Hindu sendiri terdiri dari tiga agama besar. Agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Syiwa. Lalu ada Buddha, Tantrayana, Syiwa Buddha dan Buddha Bhairawa. Semua mendapat tempat di Majapahit tanpa diskriminasi. Penganut animisme juga banyak. Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama asli warisan nenek moyang. Kerajaan besar ini amat toleran dengan keberagamaan karena belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Pelajaran dari masa lalui lah yang membuat Majapahit menjadi negara besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap agama yang amat baru dan aneh.
Di era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan, sebagian masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang berumur 14 abad sedang mengalami puncak kejayaan. Islam yang lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat. Kemaharajaan Ottoman menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katolik banyak berdiri. Saat itulah seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit. Orang bule dengan agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik. Setelah kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi.

Siwa-Buddha di Bali

Di bali, Siwa-Buddha dan Wainawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di bali oleh Mpu Kuturan.
Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.
Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami istri Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga (orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali Aga dan Bali) yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama orang-orang Indu dari berbagai “paksa”(sekte). Yang terbanyak adalah dari sekte Indra disampung yang menganut sekte Bayu, Khala, Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekte yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
  • Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
  • Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
  • Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
  • Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Adapun Mpu Semeru yang berparhyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel, karena beliau “Nyukla Brahmacari” maka keduanya tidak mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di Cilayukti sebagai “Swala Brahmacari” mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya (Calon Arang, aku tambahin) yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu Bahula.
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
  • Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
  • Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
  • Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
  • Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
  • Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
  • Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya
  • Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan firman raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:
  • Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta dari tahun caka 910 sampai dengan 933(988-1011M) menerbitkan prasasti pertama dan kedua
  • Cri Adnyadani yang bertahta dari tahun caka 933 sampai 928 (1011-1016M) menerbitkan prasasti yang ketiga
  • Cri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano Tunggadewa, yang bertahta dari tahun caka 938 sampai 962 (1016-1040M) menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh
Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga factor penyebab yaitu:
  • Memenuhi permintaan raja suami istri yang disebut diatas, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adapt dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
  • Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
  • Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsure tiga kekuatan pada saat itu, yaitu
  • Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
  • Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
  • Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama
  • Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (tuhan)
  • Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
  • Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “desa adapt”, dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tsb semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.
Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.
Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha.
Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana. Jejak-jejak kebuddhaan yang lain berupa tempat pemujaan Buddha di sejumlah pura di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar