Pengantar
Anda mungkin pernah membaca sepotong ayat yang dikatakan berasal dari kitab Hindu sebagai berikut:
"Apabila orang Sudra kebetulan mendengarkan Kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor timah
dan malam dalam kupingnya; apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra
Weda, maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha untuk
membaca Weda, maka raja harus memotong badannya."(Gotama Smrti:12.4-6).
"A
once-born man (a Sudra), who insults a twice-born man with gross
invective, shall have his tongue cut out; for he is of low origin. If he
mentions the names and castes (gati) of the (twice-born) with
contumely, an iron nail, ten fingers long, shall be thrust red-hot into
his mouth. If he arrogantly teaches Brahmanas their duty, the king
shall cause hot oil to be poured into his mouth and into his ears."(Manu
Smrti VIII.270-272
Cukilan
tersebut diatas adalah benar dan diambil dari bagian kitab Gautama
Dharma sastra dan Manu Smerti pada bagian penegakan hukum, aturan dan
tradisi di antara 4 golongan pekerjaan/warna di Hindu (lebih “popular”
dengan nama kasta). Kutipan sepotong ayat itu dengan mudah ditemukan
dalam suatu diskusi di mailing list atau berada pada bagian pengantar
kitab-kitab agama Abrahamic. Maksud yang hendak disampaikan mereka
dengan mengutip sepotong ayat itu kurang lebihnya adalah:
“Agama
hindu adalah sadis, tidak adil, tidak untuk orang dan golongan, atau
Veda adalah bacaan “khsusus” bagi golongan brahmana, atau Hindu adalah
ajaran kuno yang sudah ketinggalan jaman yang sudah tidak valid lagi
tidak seperti ajaran kami(Abrahamic).”
Sesuai
dengan Judul tulisan, maka tulisan ini disajikan bukan sekedar untuk
menanggapi hal tersebut diatas, namun juga sebagai cerita singkat
bercampurnya dua ajaran yaitu Hindu dan Buddha yang kelak di Indonesia
dikenal sebagai agama Siwa-Buddha.
- Benarkah Itu Hindu?
- Dua Individu terpenting yang mengembalikan arah Veda
- Bhairawa, Tantra dan Tantrayana
- Siapakah Mahamaya atau Durga atau Kali atau Bhairawa tantra itu
- Apanya yang salah kaprah?
- Tantrayana Versi Buddha
- Siwa Buddha
- Siwa Buddha di bali
- Daftar Pustaka
- Resume kitab2 Veda
Benarkah itu Hindu?
Kitab
Hindu pada intinya dibagi dua kelompok besar, yakni: Kitab Sruti, yang
artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu sabda-sabda Tuhan yang
diterima melalui pendengaran dan Kitab Smrti yang bersumber dari
ingatan/pikiran Maharsi. Mari kita terlusuri bersama berada dimana sih Gotama Dharma Sastra dan Manu Smrti itu?
Kitab Sruti dibagi menjadi Veda Samhita(Kelompok:Rig-Veda, Sama-Veda, Yajur-Veda, Atharva-Veda dan sebagai Weda kelima adalah Itihasa (sejarah) dan Purana(cerita: yang terbagi dalam lebih dari 18 Purana besar dan lebih dari 21 purana kecil). Kemudian didalamnya jugga Brahmanas, Aranyakas, and Upanishad. Disamping itu ada pula Upaweda(weda kategori kecil/yang lain yaitu Dhanurveda(beladiri dan senjata) Shastrashastra(Politik dan pemerintahan negara), Āyurveda(Kesehatan jasmani & rohani) Gāndharvaveda(seni perang dan menaklukan musuh), Sushruta(ilmu bedah), Bhavaprakasha Sthapatyaveda (arsitektur) dan Shilpa Shastra (seni dan kerajinan tangan). Itu belum semua! Untuk memahami itu semua diperlukan Wedangga atau alat bantu yang dibagi dalam 6 bagian yaitu
- Siksha (śikṣā): fonetika dan fonologi (sandhi).
- Chanda (chandas): irama.
- Vyakarana (vyākaraṇa): tata bahasa.
- Nirukta (nirukta): etimologi.
- Jyotisha (jyotiṣa): astrologi and astronomi.
- Kalpa (kalpa): Ilmu mengenai upacara keagamaan.
Pada
bagian Kalpa saja terdiri dari Shrautasutras (14 kitab), Grhya Sutras(
21 kitab) dan terakhir Dharmasutras(19 kitab). Baru di Didalam
Dharmassutras itulah kita temukan kitab yang likarang oleh Maharesi
Gautama mengarang Gautama Smrti yang terdiri dari 28 bab dan 1000 ayat
dan yang dikarang oleh Manu yang terdiri dai 12 Bab dan 2685
sloka/ayat). Manu Smrti awalnya diturunkan sebanyak 100.000 sloka
kepada Maharshi Brghu, kemudian setelah diturunkan pada Rshi Narada
berdasarkan pertimbangannya dikurangi menjadi 12.000 sloka. Rshi
Markandeya menguranginya lagi menjadi 8000 sloka. Rshi Sumanthu,
menguranginya lagi menjadi 4000 sloka dan akhirnya, rshi terakhir
mengurangi menjadi 2.685 sloka sampai dengan saat ini.
Penting
untuk diketahui bahwa Wedangga, dimana smrti merupakan salah satu
bagian didalamnya, merupakan alat bantu yang saling kait mengait yang
digunakan untuk memahami Veda Sruti. Jadi kitab smerti bersifat tidak
permanen atau dapat disesuaikan dengan keadaan jaman dengan tujuan untuk
lebih memahami Veda Sruti. Jadi cuplikan itu baru satu cuplikan ayat
dari bagian Kalpa saja dan belum yang lainnya.
Anda bisa bayangkan betapa luasnya yang harus diketahui untuk dapat memahami Weda.
Bagaimana? Apakah anda mengikuti penjelasan yang saya sajikan diatas?
Apabila hal ini masih dirasakan terlalu panjang dan bertele-tele maka seharusnya itu juga merupakan petunjuk untuk dapat mengambil kesimpulan sendiri bahwa betapa sok tahunya orang yang mengutip secuil dua cuil dari Kitab Hindu namun sudah merasa Khatam dan paham abis dengan Hindu! (Untuk mengetahui kurang lebih seberapa banyak sih kumpulan Kitab Weda itu...silahkan klik ini karena terlalu panjang daftarnya!!!)
Bagaimana? Apakah anda mengikuti penjelasan yang saya sajikan diatas?
Apabila hal ini masih dirasakan terlalu panjang dan bertele-tele maka seharusnya itu juga merupakan petunjuk untuk dapat mengambil kesimpulan sendiri bahwa betapa sok tahunya orang yang mengutip secuil dua cuil dari Kitab Hindu namun sudah merasa Khatam dan paham abis dengan Hindu! (Untuk mengetahui kurang lebih seberapa banyak sih kumpulan Kitab Weda itu...silahkan klik ini karena terlalu panjang daftarnya!!!)
Sankha-Likhita
(300 - 100 SM) dan Wikhana mengemukakan bahwa Manawa Dharmashastra
adalah ajaran Dharma yang khas untuk Krta Yuga. Sankha-Likhita selengkapnya menyatakan bahwa:
- Dharmashastranya Manu untuk Krta Yuga,
- Dharmashastranya Gautama untuk Treta Yuga,
- Dharmashastranya Sankha-Likhita untuk Dvapara Yuga, dan
- Dharmashastranya Parasara untuk Kali Yuga,
Hal
tersebut senantiasa dilakukan juga oleh Kullukabhatta (120 M),
Wiswarupa (800 - 825 M) dan Medhiti (825 - 900 M) Mereka dipandang
sebagai reformis prinsipil dalam hukum Hindu, yang disesuaikan menurut
kondisi, jaman dan tradisi saat itu. Proses pertumbuhan atau
pengembangan ajaran Hukum Manu benar-benar sangat dipengaruhi oleh
Wiswarupa dengan menulis Balakrida.
Kembali pada Gotama smerti 12:4-6, sansritnya adalah sebagai berikut:
"atha hāsya vedam upaśṛṇvatas trapujatubhyāṃ śrotrapratipūraṇam udāharaṇe jihvāchedo dhāraṇe śarīrabhedaḥ
āsanaśayanavākpathiṣu samaprepsur daṇḍyaḥ
śataṃ kṣatriyo brāhmaṇākrośe"
Sloka diatas, artinyapun dapat pula menjadi seperti ini:
"Bagi warna sudra (para pekerja) yang ingin mempelajari Weda, supaya berhasil dengan baik yakni dengan mendekatkan pendengarannya mulai dari awal pengertian-pengertian, bahasa dan ucapannya dengan menutup pengaruh dari luar, badan duduk dengan tenang (asana) ditempat belajar dan ucapan diulang-ulang terus menerus sampai akhir"
Ini membuat anda akan makin memahami, bahwa tidaklah sesederhana itu memahami suatu ajaran, bukan?!
Kembali pada Gotama smerti 12:4-6, sansritnya adalah sebagai berikut:
"atha hāsya vedam upaśṛṇvatas trapujatubhyāṃ śrotrapratipūraṇam udāharaṇe jihvāchedo dhāraṇe śarīrabhedaḥ
āsanaśayanavākpathiṣu samaprepsur daṇḍyaḥ
śataṃ kṣatriyo brāhmaṇākrośe"
Sloka diatas, artinyapun dapat pula menjadi seperti ini:
"Bagi warna sudra (para pekerja) yang ingin mempelajari Weda, supaya berhasil dengan baik yakni dengan mendekatkan pendengarannya mulai dari awal pengertian-pengertian, bahasa dan ucapannya dengan menutup pengaruh dari luar, badan duduk dengan tenang (asana) ditempat belajar dan ucapan diulang-ulang terus menerus sampai akhir"
Ini membuat anda akan makin memahami, bahwa tidaklah sesederhana itu memahami suatu ajaran, bukan?!
Dua Individu terpenting yang mengembalikan Arah Veda
Krishna
Krishna (Devanagari कृष्ण;dilafalkan Krsna). Kepercayaan
tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan
astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun
3228 SM. Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan
orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati.
Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura,
sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka
semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan
tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan
Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri
bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Krishna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Lakshmi.
Menurut Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita,
Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM. Ini berdasarkan deskripsi bahwa
Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi, Matsyapurana menyatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk dimana setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun. Pemerintahan semasa Pandawa itu dinyatakan sebagai saat-saat permulaan Kali Yuga. Dapat dikatakan juga bahwa Kali Yuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima. Ini berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kali Yuga.
Kisah
meninggalnya Krishna merupakan bagian yang tidak kalah menariknya dan
selalu dihubungkan dengan kutukan dari Gandari (ibu para Kurawa yang
tewas semua saat perang BhrataYudha). Gandhari adalah wanita yang
berasal dari daerah Afganistan, saat mengetahui calon suaminya adalah
seorang buta, ia bertata “Kalau suamiku tidak dapat melihat, lalu buat
apa aku melihatnya” maka sejak itu lah ia menutup matanya. Seumur
hidupnya ia hanya membuka matanya dua kali.
Yang
pertama saat ia diperintahkan suaminya Dhastarata, untuk menganugrahi
Duryodana dan saudara-saudaranya tubuh yang keras seperti Baja sehingga
tidak mempan senjata. Caranya adalah Duryodana dan saudara-saudaranya harus dilihat oleh mata ibunya
dalam posisi telanjang. Krishna, mengetahui bahwa kebenaran dari
kekuatan kesetiaan seorang wanita dapat membuat Duryodana kuat dan kebal
seperti Baja maka Ia sengaja berpaspasan dengan Duryodana. Duryodana
yang memang tidak mengetahui hal ini, memberitahukan bahwa ia diminta
datang untuk menghadap ibunya dalam keadaan telanjang bulat. Duryodana
yang sudah merasa dewasa-pun enggan bertelanjang bulat dan berpendapat
bahwa telanjang bulat merupakan hal yang kurang pantas saat menghadapi
Ibunda. Pertemuan dan tanyajawab dengan Krisna-lah yang makin
memantapkan pikiran Duryodana, sehingga ia tetap mematuhi perintah
Ayahandanya dengan bertelanjang namun menutupi sekeliling area kemaluan
sampai paha dengan kain. Al hasil, daya guna anugrah itu tidak mencapai
hasil yang sempurna.
Yang
kedua kalinya yaitu setelah perang dikuruksetra berakhir, pada
berlangsung upacara pembakaran Mayat, dimana hadir pada upacara itu
Gandhari, Kunti (Ibu Pandawa), Pandawa, Krishna dan para rakyat yang
merasa sedih karena kehilangan saudara mereka. Semua
anak menantu Gandari dan juga Gandhari menangis sedih. Saat itu Krishna
berkata: “Mengapa Ibunda bersedih? Inilah dunia, Ibupun pada suatu
ketika akan meninggalkan dunia ini. Lalu mengpa menangis?”, Gandhari
menjawab, “Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini, maka semua anakku
akan hidup, tidak terbunuh begini”. Krishna menjawab,” Aku datang untuk
menegakan kebenaran dan untuk menghancurkan kepapaan(dosa) bukan
mencegah perang. Aku adalah alat untuk itu” Lalu Gandhari berkata,
”Krsna, paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka
bisa mengubah pikiran mereka tanpa melperlu melakukan pertempuran”.
Tidak ada yang salah dengan ucapan Gandari, namun kebenaran yang
dikatakan oleh Gandhari adalah menurut kepentingan dan keperluannya saat
itu. Krshna mngetahui hal ini, tidak menjawab dan berkata apapun juga.
Melihat hal itu Gandhari-pun mengucapkan sumpahnya,” Seperti halnya para
anggota keluargaku yang mengalami kehancuran didepan mataku demikian
hendaknya seluruh anggota keluarga Paduka mengalami kehancuran didepan
mata paduka sendiri“. Mendengar hal itu, Krisna tersenyum dan menjawab,
“Semoga demikian”. Ia tidak menolak kutukan itu, Ia menjunjung tinggi
kepribadian Gandhari. Ia ingin menunjukan bahwa kekuatan moral mempunyai
nilai didalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya. Ia telah
mengetahui bahwa bangsa Yadawa/Wresni, dan Andhaka
akan menjadi sombong, takabur dan senang minum minuman keras sampai
mabuk setelah perang tersebut. Kresna menerima kutukan tersebut dengan
senyuman dan sadar bahwa Wangsa Wresni tidak akan terkalahkan kecuali oleh sesamanya. Sehingga Kutukan itu adalah sejalan dengan rancanganNya sendiri.
Dalam MosalaParwa (Kitab ke 16 dalam mahabharata) diceritakan bagaimana musnahnya Bangsa Yadawa. Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi
berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu
untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi
yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata,
"Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan
kesaktiannya. Kalian adalah para
resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian
mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau
perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena,
senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk namun beberapa
bagian dari senjata tersebut ternyata sangat sulit dihancurkan sehingga
menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak.
Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai dan
dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki
daun yang amat tajam bagaikan pedang.
Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor
ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang
pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil
dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa
menjadi anak panah.
Atas saran Kresna,
para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju
Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di
pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak mau menghilangkan
kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan
mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi
dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan
tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa
ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga
kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka
yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman
tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata
tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak
peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya,
tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Saat itulah Kresna kemudian mencabut segenggam rumput eruka
dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah
putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya
ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut
meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Semua keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra.
Kresna
tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan
bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa
yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru disuruh untuk melindungi
para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberitahu
berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga
dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan
naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna
mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia
berbaring di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak
sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong besi yang berasal
dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa,
Jara memohon maaf dengan sangat. Kresna kemudian tersenyum dan
menghiburnya, "Kesalahan-kesalahan sedemikian ini memang dilakukan oleh
manusia pada umumnya. Kalau seandainya aku adalah engkau, tentu akupun
melakukan kesalahan itu. Kamu
tidak dengan sengaja melakukan kekeliruan ini. Janganlah dipikirkan.
Kamu tidak tahu aku berada ditempat ini. Kamu tidak boleh dihukum secara
hukum ataupun secara moral, karena kesalahan-kesalahan seperti ini
cenderung dilakukan oleh orang-orang di dunia ini. Aku mengampuni
engkau. Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Akupun sudah
menyelesaikan hidupku". Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama
Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka
telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih
bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih
tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna
mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan
janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan
memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa
yang sedang lunglai. Setelah menceritakan kesedihannya kepada Arjuna,
Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna
mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra,
rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan
Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut.
Iapun sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa
orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Krishna merupakan aspek dari Brahman. Krishna disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan sebagai perwujudan Dewa Wisnu,
sebagai salah satu dari avatar Brahman. Definisi Brahman(bukan Brahma)
meliputi manifestasi Sinar(Div, Dewa), dimana dalam BhagavadGita
disebutkan:
Kshetragna (The Knower of the Field):
"Without
pride, without pomposity, absence of cruelty, tolerance, straight
forwardness, service to Acharya (the spiritual master), cleanliness,
stability (of the mind), self-control, Vairagya (absence of any feeling)
towards the objects of the senses, absence of egoism, constant
reflection of the pain and drawbacks inherent in the birth, death, old
age and disease, disinterestedness, detached from the son, wife, home
and the like, always even minded in both desirable and undesirable
conditions, devoted to God only, without engaging in other yogas
(activities) and evil pursuits, living in solitary places, disinterested
in seeking the company of people, always absorbed in self knowledge,
engaged in the study of philosophy and spirituality -all this is
declared as knowledge and the rest is ignorance" (13-7)
Purusha (The Supreme Self)
The
eternal Supreme Brahman is neither sat nor asat, it is said. He has
hands and feet every where. He has everywhere eyes, heads, faces and
ears. He envelops everything without moving. He is the source of all the
senses and qualities, but devoid of any senses, detached but bearer of
all, without qualities but partaker of the qualities. He is within and
without all beings, moving and unmoving, very subtle and
incomprehensible, far away but also very nearer. Though Undivided, He is
also situated in the beings as divided. Bearer of beings but is also
known as the devourer and the illuminator. Among the illuminated He is
the very illumination and also said to be beyond the darkness. He is the
knowledge that is known, the knowledge that is yet to be known and also
the end of all knowledge. He resides in the hearts of all. It is said
that Prakriti is for the purpose of performing actions , but Purusha is
to enjoy the pleasure and pain. Indeed He is said to be The Overseer,
Regulator, Bearer, Enjoyer, the Great Lord, the Supreme Soul. He is
Purusha, the transcendental Soul (13.12-22)
Divine Qualities
Fearlessness,
excessive Sattva (purity), interested in the study of spiritual
knowledge, charity, self-control, rituals and worship, study of
scriptures, penance and simplicity, non-cruelty, truthfulness, without
anger, self-sacrificing nature, peace of mind, being non-critical,
compassionate to all beings, without greed, gentle, modest, firm-minded
intelligence, forgiving nature, fortitude, cleanliness, without envy,
without egoistic pride- these are the virtues of those born with divine
nature (16.1-3)
Kurang lebih berarti :
Beliau
memiliki tangan, kaki, mata, kepala, dan muka yang berada dimana-mana,
dan Beliau memiliki telinga di segala penjuru. Ia berada dalam segala
sesuatu dan meliputi alam semesta. Beliau sumber asli segala indria,
namun tanpa memiliki indria. Beliau tidak terikat, walau Beliau
memelihara semua makhluk. Beliau melampaui sifat-sifat alam, dan pada
waktu yang sama Beliau adalah penguasa semua sifat alam material. Beliau
berada di luar dan di dalam segala insan, tidak bergerak namun
senantiasa bergerak, Beliau di luar daya pemahaman indria material.
Beliau amat jauh, namun juga begitu dekat kepada semua makhluk. Walaupun
Beliau terbagi di antara insani, namun Beliau tidak dapat dibagi.
Beliau mantap sebagai Yang Maha Tunggal. Beliau pemelihara segala
makhluk, dan Beliau menciptakan sekaligus memusnahkan mereka. Beliau
adalah sumber dari segala benda yang bercahaya. Baliau di luar kegelapan
alam dan tidak terwujud. Beliau adalah pengetahuan dan tujuan
pengetahuan. Beliau bersemayam di dalam hati sanubari segala makhluk
Nama lain dari Krisna yaitu: Achyuta (Acyuta, yang tak pernah gagal), Arisudana (penghancur musuh), Bhagavān (Bhagawan, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa), Gopāla (Pengembala sapi), Govinda (Gowinda, yang memberi kebahagiaan pada indria-indria), Hrishikesa (Hri-sikesa, penguasa indria), Janardana (juru selamat umat manusia), Kesava (Kesawa, yang berambut indah), Kesinishūdana (Kesi-nisudana, pembunuh raksasa Kesi), Mādhava (Madawa, suami Dewi Laksmi), Madhusūdana (Madu-sudana, penakluk raksasa Madhu), Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa), Mahāyogi (Maha-yogi, rohaniawan besar), Purushottama (Purusa-utama, manusia utama, yang berkepribadian paling baik), Varshneya (Warsneya, keturunan wangsa Wresni), Vāsudeva (Wasudewa, putera Basudewa), Vishnu (Wisnu, penitisan Batara Wisnu), Yādava (Yadawa, keturunan dinasti Yadu), Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin)
Bhagawad Gita
Bhagawad Gita(Sansekerta भगवद् गीता) atau Bhagawad Gītā atau Bhagawad Gîtâ,
artinya adalah Nyanyian sang Bagawan. Bhagawad Gita adalah bagian dari
Bhismaparwa pada Mahabarata dalam bentuk syair dialog. Yaitu saat
permulaan perang diKurusetra (Bharatayuddha). Saat itu Arjuna berdiri di
antara dua pasukan (Pandawa dan Kurawa) di atas bukit dan memandang ke
bawah, ke tempat seberang di mana berada para Korawa dan sekutu-sekutu
mereka. Arjuna harus memerangi mereka semua, tetapi Ia dilanda kesedihan
dan kebimbangan. Karena meskipun mereka pernah berbuat jahat
terhadapnya, mereka tetap saudara-saudari dan sahabat-sahabat yang sudah
Ia kenal dan dikasihinya. Lalu Ia diberi wejangan dan nasehat-nasehat
oleh Kresna yang bertindak sebagai sais Arjuna.
Śrī bhagavān uvāca: imam vivasvate yogam proktāvan aham avyayam vivasvān manave prāha manur iksvāke ‘bravit (Bhagavad Gītā, 4.1)
Arti:
Sri
Bhagawan (Kresna) bersabda: Aku telah mengajarkan ilmu pengetahuan yang
abadi ini kepada Dewa matahari, Vivasvan. Vivasvan mengajarkan ilmu ini
kepada Manu, ayah manusia. Manu mengajarkan ilmu ini kepada Iksvaku.
Bhagawad Gita merupakan intisari Veda yang meliputi keenam aliran Hindu atau sad darsana, terutama dari aliran Samkhya, Yoga dan Wedanta.
Samkhya
Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kāpila, beliau yang menulis Samkhyasūtra. Di dalam sastra Bhagavatapurāna
disebutkan nama Maharsi Kāpila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran
Samkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Samkhya yang kini
dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakrisna. Ajaran Samkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatnya ajaran Samkhya dalam sastra-sastra Śruti, Smrti, Itihasa dan Purana.
Kata
Samkhya berarti: ceminan/pantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran
Samkhya secara tajam membedakan antara ciptaan (tidak memiliki kesadaran
namun aktif) dan jiwa(memiliki kesadaran namun tidak aktif). Setiap
jiwa dapat dipengaruhi oleh indria dalam kondisi tercerahkan maka Jiwa
yang mengontorol Indria. Hal ini disebut juga sebagai realistas
dualistis. Karena terdapat dua realitas yang berbeda namun menyatu,
yaitu purusa dan prakrti.
Penderitaan
dan keterikatan muncul ketika seseorang gagal membedakan antara
kesadaran rohani dan produk dari pertimbangan Intelektual, otak, ego,
rasa, dan raga. Kegagalan terhadap kesadaran tersebut mengakibatkan
terjadinya berbagai aktifitas indria yang mengendalikan jiwa bukan
sebaliknya sehingga tidak mendapatkan pencerahan dan terus menerus
menderita dan berinkarnasi dari satu bentuk material ke bentuk material
lainnya. Badan lahiriah(Intelektual, otak , ego, rasa, dan raga), adalah
paduan dari dari 3 untaian dasar yang saling mengikat. bahasa
sangsekertanya disebut Guna (kualitas atau sifat).
Jadi badan lahiriah/material merupakan campuran dari sifat2 gunas dengan proporsi yang bervariasi yang terdiri dari Satwa: kecerdasan / kemurnian / kehalusan / teratur / kepatuhan / seimbang / terang / kesatuan; Rajas: dinamis / energi / aktifitas / perubahan / mutasi / hasrat / gairah / kelahiran / penciptaan; Tamas:
yaitu kegelapan / lamban / perusakan / kematian / pengabaian /
kecerobohan / penolakan/ pengabaian / halangan dan batasan/ enggan untuk
berubah.
Samkya
menegaskan terjadinya sebab dan akibat dan hubungan sebab dan akibat,
yaitu Sebab menjadi akibat dan akibat menjadi sebab berikutnya dan akibt
seterusnya yang merupakan hal yang lain.
Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran
yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga
berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan/penyatuan, yang bermakna
"penyatuan dengan alam" atau "penyatuan dengan Sang Pencipta atau
bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa).
Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu
penghentian gerak pikiran, di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan.
Kitab Yogasutra,
yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194
sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua
disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang
terakhir disebut: Kailvalyapada.
Mimamsa
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini,
disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti
penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara
khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra.
Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60 pada
atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda.
Nyaya
Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.
Vaisiseka
Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisisekasutra.
Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun
dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya.
Vedanta
Ajaran
Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan
yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanisad. Kata
Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti Akhir dari
Weda yaitu kembali dan menuju kepada Brahman. Sumber ajaran ini adalah
kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa
Bentuk
penegasan sekaligus koreksi yang dilakukan dalam mengembalikan
pemahaman yang benar dalam Veda adalah seperti yang dinyatakan dalam
Bhagavad Gita dalam adhyaya IV sloka 11 dan adhyaya VII sloka 21 yang
berbunyi sebagai berikut:
Ye yatha mam prapadyante tams tathaiva bhajamy aham, mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah
Yo-yo yam-yam tanum bhaktah sraddhayarcitum icchati, tasya-tasya calam sraddham tam eva vidadhamy aham
Yo-yo yam-yam tanum bhaktah sraddhayarcitum icchati, tasya-tasya calam sraddham tam eva vidadhamy aham
Artinya :
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana - mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta
Apapun
bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku
perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera
Sloka
diatas dengan tegas menyatakan tidak penting jalan manapun yang
ditempuh untuk mencapai pencerahan atau mencapai Yang teragung, karena
akan sama diterima olehNya. Jalan yang dimaksud adalah melalui: Hatha Yoga, Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, and Raja Yoga..
Buddha Gautama
Siddhartha Gautama, pendiri agama Buddha. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan diyakini sebagai salah satu penjelmaan (Awatara) Tuhan. Sebagaimana disebut dalam kitab Purana (Susastra Hindu), Beliau adalah Awatara kesembilan dari Dasa Awatara Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau disebut sebagai Awatara kedua puluh empat dari dua puluh lima Awatara Wisnu. Kata Buddha
berarti “Dia yang mendapat pencerahan”. Buddha dilahirkan didinasti
Surya, dimana Rama Avatara juga dilahirkan. Terdapat beberapa kebetulan
menarik misalnya Wismamitra adalah salah satu Guru dari Rama ketika
menjalani hidup di hutan. Dan pada Jaman Buddha Terdapat pula nama Wiswamistra adalah Guru bagi Sidhartha Gautama.
Menurut kepercayaan umat Hindu, pada masa Kali Yuga,
orang-orang mulai melupakan ajaran agama dan tindakan mereka melenceng
atau tidak sesuai dengan Veda. Maka dari itu, Sang Buddha muncul untuk
menyempurnakan kembali tindakan yang melenceng dari Veda dan menolak
untuk menerapkan pengorbanan hewan.
Sakyamuni(Sidharta
Gautama) adalah seorang Hindu, yang lahir wangsa dikerajaan dimana Rama
Avatar juga dilahirkan. Hindu menerima Sang Buddha sebagai Tuhan.
Sakyamuni hadir sebagai penyempurna dan meluruskan persepsi tentang
bagaimana menjalani jalan menuju “pembebasan” dengan jalan Hatta Yoga,
Jnana Yoga dan Raja Yoga. Seperti yang selalu disinggung dalam kitab
BhagawadGita bahwa Jalan menuju Tuhan adalah Melalui Hatta, Bhakti,
Kharma, Jnana Yoga dan Raja Yoga.
Siddharta
memperbaiki kekeliruan cara penerapan system golongan (lebih popular
dengan nama “kasta”) yang dijadikan sebagai alat turun temurun dan bukan
karena pekerjaan/jalan yang digelutinya untuk mencapai pencerahan. Ia
menyatakan bahwa setiap individu memungkinkan untuk mencapai pencerahan.
Sebagai contoh, Pertapa tidak serta merta disebut sebagai Brahmana dan
Gembala tidak dapat diartikan Sudra, namun ia yang mempelajari dengan
tekun Ajaran Dharma adalah Kaum Brahmana. Pembaharuan lain yang
dilakukan adalah dalam hal pengorbanan terhadap binatang-binatang untuk
keperluan upacara-upacara pada masa itu. Ia menyatakan bahwa darah
binatang kurban tidak serta merta melenyapkan dosa dan karma serta
memperbaiki tingkat kesucian.
Ia
menekankan bahwa pencapai pembebasan dari penderitaan adalah merupakan
usaha diri sendiri bukan karena pemberian Tuhan. Ia menyatakan meminta
keselamatan kepada Dewa/Tuhan tidak akan membebaskan manusia dari
penderitaan dan reinkarnasi. Konsep Tujuan akhir kehidupan dan juga
merupakan konsep “ketuhanan” dalam ajaran Buddha adalah mengikuti apa
yang tercantum dalam Khuddaka-Nikaya dalam Sutta Pitaka Udana VIII.1-4:
O,
bhikkhu, ada keadaan di mana tidk ada tanah, tidak ada air, tidak ada
api, dan tidak ada udara; tidak ada dasar yang terdiri dari
ketidak-terbatasan kesadaran, tidak ada dasar dari kekosongan, tidak ada
dasar yang terdiri dari bukan presepsi dan tidak bukan presepsi; tidak
ada dunia ini atau dunia lain ataupun dua dunia itu; tidak ada matahari
atau rembulan. Di sini, O, bhikkhu, saya katakan tidak ada kedatangan,
tidak ada kepergian, tidak ada yang tinggal, tidak ada kematian, tidak
ada kemunculan. Tidak terpancang, tidak dapat digerakkan, tidak
mempunyai penyangga. Inilah akhir dari penderitaan.
Yang
tidak terpengaruh sulit untuk diketahui, Kebenaran tidak mudah dilihat;
Nafsu keinginan akan ditembus oleh orang yang tahu, Tidak ada
penghalang bagi orang yang melihat.
O.
bhikkhu, ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak
tercipta, yang tidak berkondisi. Jika seandainya saja, O, bhikkhu, tidak
ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak tercipta, yang
tidak berkondisi; maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, oemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi karena
ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak tercipta, yang
tidak berkondisi; maka ada jalan keluar kebebasan kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Bagi
yang ditopang, ada ketidakstabilan, bagi yang tidak ditopang, tidak ada
ketidak-stabilan, bila tidak ada ketidakstabilan ada ketenangan; bila
ada ketenangan tidak ada sikap takluk; bila tidak ada sikap takluk tidak
ada datang-dan-pergi; dan bila tidak ada atang-dan-pergi tidak ada
kematian dan kemunculan; bila tidak ada kematian-dan-kemeunculan, tidak
ada “di sini” atau “diluar sana” ataupun “di antara keduanya”. Inilah
akhir dari penderitaan.
Buddha
mengajarkan bahwa tujuan dari pembebasan adalah mencapai Nibana.
Agama-agama yang menggantungkan pentingnya terhadap adanya kata
“pencipta” terwakili dengan sifat nibana yang dituju yaitu tidak
dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta dan tidak berkondisi.
[Penggunaan maksud tidak berkondisi adalah merujuk pada ungkapan "semua yang berkondisi adalah tidak memuaskan"]
Arti Nibbana [Pali]; Sanskerta= Nirvana-s [nir; nis = "tidak ada, lenyap, habis'; + va = "meniup"] = "Musnah, Lenyap, Padam, memadamkan".
Jadi, Merupakan suatu keadaan/kondisi padamnya nafsu keinginan dan BUKAN merupakan Alam atau tempat atau Tuhan.
Buddha
menolak anggapan bahwa semua yang diperbuat dan dialami seseorang pada
masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk tidak lain merupakan
kehendak tuhan. Dengan tegas dibantah Buddha. Semua perbuatan dan semua
yang dialami seseorang bukan merupakan kehendak tuhan, yang
mengakibatkan seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan
menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan
akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian
diri. (Tittha Sutta; Anguttara Nikaya 3.61.)
Begitu juga dalam Devadaha Sutta, Majjhima Nikaya 101 yang mengatakan
Apabila,
O para bhikkhu, makhluk-makhluk mengalami penderitaan dan kebahagiaan
sebagai hasil atau sebab dari ciptaan Tuhan (Issaranimmanahetu), maka
para petapa telanjang ini tentu juga diciptakan oleh satu Tuhan yang
jahat/nakal (Papakena Issara), karena mereka kini mengalami penderitaan
yang sangat mengerikan.
Kemudian dalam Bhuridatta Jataka, Jataka 543:
”Dengan
mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan; Mengapa Brahma itu
tidak menciptakan secara baik? Bila kekuatannya demikian tak terbatas,
mengapa tangannya begitu jarang memberkati? Mengapa dia tidak memberi
kebahagiaan semata? Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan
merajalela? Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan
keadilan gagal? Saya menganggap, Brahma adalah ketak-adilan. Yang
membuat dunia yang diatur keliru.”
Dalam Samyutta Nikaya I, 227, Sang Buddha bersabda “Sesuai dengan benih
yang kita tabur, begitulah buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan
akan memperoleh kebahagiaan dan pembuat kejahatan akan memperoleh
penderitaan.”
Yang diatas itu adalah satu dari duapuluh empat hukum sebab, di dalam
Abhidhamma Vatara 54, dan Digha Nikaya Atthakatha II-432 dijelaskan
bahwa Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari dua puluh empat
sebab (paccaya 24)
Selama kekuatan kamma masih ada, selalu akan terjadi tumimbal lahir(mundul kembali ke alam). Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena yang tidak langgeng ini. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kekuatan kamma yang telah menggerakkannya sampai sekarang ini belum hilang. Karena kekuatan kamma tidak terganggu oleh kehancuran badan jasmani, maka datangnya saat pikiran kematian ( Cuti Citta ) sekarang ini mempersiapkan kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya.
Selama kekuatan kamma masih ada, selalu akan terjadi tumimbal lahir(mundul kembali ke alam). Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena yang tidak langgeng ini. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kekuatan kamma yang telah menggerakkannya sampai sekarang ini belum hilang. Karena kekuatan kamma tidak terganggu oleh kehancuran badan jasmani, maka datangnya saat pikiran kematian ( Cuti Citta ) sekarang ini mempersiapkan kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya.
Kamma
yang berakar pada kebodohan dan nafsu keinginan menjadi syarat bagi
tumimbal lahir. Kamma lampau menentukan kelahiran sekarang dan kamma
sekarang bergabung dengan kamma lampau, menentukan kelahiran berikutnya.
Keadaan sekarang adalah akibat dari keadaan yang lalu dan menjadi sebab
dari akibat yang akan datang. Sebab menjadi akibat dan akibat menjadi
sebab. Dalam suatu lingkaran sebab akibat,
Sang Buddha selanjutnya menyatakan: “Sebab dari kamma ini adalah avijja atau ketidaktahuan tentang Empat Kebenaran Mulia . Karena itu kebodohan merupakan sebab kelahiran dan kematian; pengetahuan ( vijja ) tentang Empat Kebenaran Mulia berakibat berhentinya proses kelahiran dan kematian ini.
Seperti
dikatakan diatas bahwa “Sesuai dengan benih yang kita tabur, begitulah
buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan
dan pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan.”. Maka bagi mereka
yang masih dipengaruhi Karma dapat bertumimbal lahir atau reinkarnasi di
31 alam sebagai berikut:
I. ALAM LINGKUP INDERA (11 alam)
A. Alam menderita
1. Neraka (tak terbatas)
2. Binatang (tak terbatas)
3. Hantu/Jin (tak terbatas)
4. Raksasa/Setan (tak terbatas)
1. Neraka (tak terbatas)
2. Binatang (tak terbatas)
3. Hantu/Jin (tak terbatas)
4. Raksasa/Setan (tak terbatas)
B. Alam Bahagia
5. Manusia (tak terbatas)
6. Empat raja besar (500 ts)
7. 33 Dewa (1.000 ts)
8. Yama (2.000 ts)
9. Tusita (4.000 ts)
10. Bergembira dlm ciptaan makhluk lain (8.000 ts)
11. Penguasa ciptaan para makhluk lain (16.000 ts)
5. Manusia (tak terbatas)
6. Empat raja besar (500 ts)
7. 33 Dewa (1.000 ts)
8. Yama (2.000 ts)
9. Tusita (4.000 ts)
10. Bergembira dlm ciptaan makhluk lain (8.000 ts)
11. Penguasa ciptaan para makhluk lain (16.000 ts)
II. ALAM BENTUK (16 alam)
A. Alam Jhana pertama
12. Pengikut-pengikut Brahma (1/3 ak)
13. Menteri-menteri Brahma (1/2 ak)
14. Mahabrahma (1 ak)
12. Pengikut-pengikut Brahma (1/3 ak)
13. Menteri-menteri Brahma (1/2 ak)
14. Mahabrahma (1 ak)
B. Alam Jhana kedua
15. Cahaya terbatas (2 mk)
16. Cahaya tak terukur (4 mk)
17. Cahaya gemerlap (8 mk)
15. Cahaya terbatas (2 mk)
16. Cahaya tak terukur (4 mk)
17. Cahaya gemerlap (8 mk)
C. Alam Jhana ketiga
18. Keagungan terbatas (16 mk)
19. Keagungan tak terukur (32 mk)
20. Keagungan yang memancar (64 mk)
18. Keagungan terbatas (16 mk)
19. Keagungan tak terukur (32 mk)
20. Keagungan yang memancar (64 mk)
D. Alam Jhana keempat
21. Pahala besar (500 mk)
22. Non persepsi (500 mk)
23. Kediaman tak bergerak (1.000 mk)
24. Kediaman Suci (2.000 mk)
25. Kediaman Indah (4.000 mk)
26. Kediaman Pandangan terang (8.000 mk)
27. Kediaman murni tertinggi (16.000 mk)
21. Pahala besar (500 mk)
22. Non persepsi (500 mk)
23. Kediaman tak bergerak (1.000 mk)
24. Kediaman Suci (2.000 mk)
25. Kediaman Indah (4.000 mk)
26. Kediaman Pandangan terang (8.000 mk)
27. Kediaman murni tertinggi (16.000 mk)
III. ALAM TANPA BENTUK (4 alam)
28. Ruang tanpa batas (20.000 mk)
29. Kesadaran tanpa batas (40.000 mk)
30. Ketiadaan (60.000 mk)
31. Bukan persepsi bukan pula non persepsi (84.000 mk)
29. Kesadaran tanpa batas (40.000 mk)
30. Ketiadaan (60.000 mk)
31. Bukan persepsi bukan pula non persepsi (84.000 mk)
MK= MAHA KAPPA
AK= ASANKHEYYA KAPPA
TS= TAHUN SURGAWI= 1 hari = 1000 tahun bumi.
AK= ASANKHEYYA KAPPA
TS= TAHUN SURGAWI= 1 hari = 1000 tahun bumi.
Antarakalpa 1(kalpa kecil): mulai dari 84,000 tahun umur manusia, s/d 10 tahun
Antarakalpas 2-19: mulai 10 tahun, meningkat menjadi 84,000, kembali ke 10
Antarakalpa 20: mulai 10, berakhir di 804,000
Satu Maha Kalpa = Penjadian, Penempatan, Kerusakan, Kehampaan semesta (4.320 Juta tahun)
Untuk mengenal lebih dalam lagi mengenai Ajaran Buddha silahkan klik link ini:
Antarakalpas 2-19: mulai 10 tahun, meningkat menjadi 84,000, kembali ke 10
Antarakalpa 20: mulai 10, berakhir di 804,000
Satu Maha Kalpa = Penjadian, Penempatan, Kerusakan, Kehampaan semesta (4.320 Juta tahun)
Untuk mengenal lebih dalam lagi mengenai Ajaran Buddha silahkan klik link ini:
Beberapa tokoh Hindu menganggap Buddha merupakan seorang tokoh yang memperbaharui ajaran Veda. Untuk lebih mengenal Buddha Gautama silahkan klik link ini:
Bukankah
sekarang, semua ulasan diatas lamat-lamat membuat anda semakin
merasakan bahwa memang aneh apabila hanya berdasar dari satu atau dua
buah ayat sudah merasa sangat mengerti pada suatu ajaran. Untuk
mendapatkan pemahaman butuh pengetahuan yang luas tentang agama bukan
sekedar mengenal huruf saja. Pemahaman yang kurang akan membuat
terjadinya penyelewengan arti dan maksud yang terkandung didalam Veda.
Ulasan-ulasan sebelumnya merupakan pengantar dalam mengenal aliran
Bhairawa (Hebat/dahsyat) dan Tantrayana(tan=luas, tra=bebas,
yana=kendaraan, jadi artinya adalah ajaran untuk mencapai kebebasan yang
seluas-luasnya) dimana ajaran ini disatu pihak berkembang begitu sangat
mengerikan dan menjerumuskan serta dilain pihak adalah begitu Indah dan
sangat dalam.
Bhairawa, Tantra dan Tantrayana
Sekarang bayangkan contoh ini:
Suatu Arca dengan sikap dahsyat berwajah wajah kejam yaitu dengan mimik yang berada di puncak kemarahan, garang dan sedang menari-nari di atas mayat manusia, di suatu tempat penimbun mayat sebelum dibakar. Pada tangan kanannya terdapat wajra atau petir, pada tangan kirinya memegang
mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak,
Kadang Lidahnya digunakan sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok
darah yang dibawanya.Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan sebagainya menekan pada badannya, seluruh
kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak. Telinganya
menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula., tertawa-tawa ria yang melampui batas, mengeluarkan bunyi mendengus seperti suara banteng. Melaksanakan Panca Ma itu: Mada (mabuk-mabuka), Mamsa (makan daging bagaikan hewan buas), Matsya (Makan Ikan), Mudra (melakukan gerak-gerik tangan seperti menari dalam ilmu hitam) dan Maituna (melakukan hubungan seks secara erotis),.
Yang
diatas adalah gambaran yang ditemukan dalam upacara dari sekte
Bhairawa tantrayana, atau biasanya disebutkan sebagai Tantrayana kiri.
Setelah membaca dan membayangkan hampir dipastikan anda akan mengatakan:
“Sangat menjijikan!, pemujaan berbau Iblis dan tidak
berperikemanusiaan!!!!”.
Seperti
telah dikemukakan pada pengantar bahwa contoh diatas merupakan akibat
dari yang bukan ahlinya dan memang tidak menguasai sepenuhnya Veda
melakukan penafsiran dan bahkan parahnya tidak memakai alat-alat bantu
yang harus digunakan. Makanya telah disebutkan Sudra (Yang pekerjaan
sehari-harinya jauh dari alat tulis menulis dan lebih menggunakan tenaga
kasar daripada pikiran) tidak diperkenankan untuk melihat, mendengar
dan membaca dan bukan cuma itu saja.,golongan Sudra bahkan akan
dikenakan hukuman apabila melanggar karena untuk dapat memahami
membutuhkan kedalaman pengertian dan kompilasi dari berbagai sumber dan
bahan di Veda. Akibat dari ketidakpahaman ini adalah tidak tercapailah
maksud Veda yaitu untuk mencapai pencerahan namun malah menjauhkan dan
menenggelamkannya dari kebenaran itu sendiri.
Bhairawa
adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari mazhab Tantrayana yang
termasuk kedalam Sekta Sakta atau Saktiisme, dari mazab Siva (Siva
Paksa). Disebut Saktiisme, karena yang dijadikan obyek persembahannya
adalah Sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi, sumber kekuatan atau
tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the
symbol of bala or strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain
Sakti juga disamakan dengan energi atau kala (This sakti or energi is
also regarded as “Kala” or time). (Das Gupta, ibid).
Dasar-Dasar
paham Tantra timbul di India sebelum bangsa Arya datang di India dan
merupakan kepercayaan India Kuno. Pada peradaban Lembah Sungai Sindu,
dasar-dasar paham Tantra ini telah terlihat, yaitu dalam bentuk pemujaan
Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada salah satu sloka lagu pujaan, sakti
digambarkan sebagai penjelmaan kekuatan, penyokong alam semesta. Dengan demikian Saktiisme sama dengan Kalaisme. Sekte keagamaan “Kalaisme” disebut juga “Kalamukha” atau “Kalikas” dan disebut juga “Kapalikas”. Sekte ini sejenis dengan aliran “Bhairawa”.
Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida,
penduduk asli India, dari pendekatan Anthropologi budaya, kepercayaan
sejenis ini disebut Dynamisme.
Orang-orang
Arya masuk ke Barat Daya Benua India melalui Pegunungan Indukus sampai
di Lembah Sungai Sindu di wilayah Harappa dan Mahenjo Daro, pada tahun
3000 - 1500 SM. Pemujaan terhadap dewi atau sakti didapati juga pada
pendahuluan pustaka suci Rg Weda. Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka jadi juga disebut “Sudra kapalikas”. Pengikut ini tidak mengikuti sistem dan aturan yang berlaku mengenai “kasta” dan Canon Veda. Dalam melaksanakan ajarannya pengikut melaksanakan “Panca Ma”
yang berubah arti dan pemahamannya menjadi bersifat bersifat pemuasan
nafsu dan akhirnya aliran ini dikucilkan dari Veda. Aliran ini pada
prinsipnya memuja Devi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga ataupun Kali)
yaitu “Super matrial power”.
Beberapa
orang Indoloog beranggapan, bahwa ada hubungan antara kosepsi - DEWI (
Mother Goddes). Dari Konsepsi - Dewi itu munculah saktiisme, yaitu suatu
paham yang mengkhususkan pemujaan kepada Sakti, yang merupakan suatu
kekuatan dari pada Dewa. Para pemuja sakti ini disebut dengan "Sakta"
yang bukti buktinya terdapat didalam suatu zeal di lembah Sindhu di
India, dengan konsepsi maha Nirwana Tantra, yang berpangkal kepada
percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sadaciwa, yang kemudian
membentangkan turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk
menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan prilaku.
Dalam
beberapa sumber, Dewi Durga juga disebut Candi. Dari sinilah pada
mulanya timbul istilah candi (Candikagrha) Untuk menamai bangunan suci
sebagai tempat memuja Dewa dan Arwah yang telah dianggap suci. Peran
Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran dari moral
dan Prilaku disebut "KALIMOSADA" ( Kali - Maha - Husada ) yang artinya
Dewi Durga adalah Obat yang paling Mujarab dalam zaman kekacauan moral,
pikiran dan prilaku, sedangkan misi beliau turun ke Bumi disebut "KALIKA
DHARMA"
Tetapi
dalam bentuk sekarang, paham Tantra terkenal di daerah Assam dan Bengal
Timur, di ujung timur buana India. Walaupun dasar-dasarnya sudah ada di
barat laut buana India tahun 3000-1500 SM, ternyata dasar itu tidak
lenyap dan muncul di tenggara buana India pada abad ke-5 Masehi itu,
sekaligus memengaruhi ajaran Siwa dan Buddha, terlihat dalam bentuk
pemujaan terhadap Dewi Durga atau Kali sebagai sakti Dewa Siwa atau
Mahakala.
Dalam masa peperangan antara suku bangsa Arya dan non-Arya(Dravida), lahirlah seorang agung. Namanya Sadashiva,
artinya "dia yang selalu terserap dalam kesadaran" dan "dia yang sumpah
satu-satunya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua
kehidupan". Sadashiva, dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang Guru
rohani yang istimewa. Meskipun Tantra sudah dipraktekkan sejak sebelum
kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara
rohani secara sistimatis bagi umat manusia.
Bukan
saja beliau adalah seorang guru spiritual, namun beliau juga pelopor
sistim musik dan tari India, dari sebab itu beliau terkadang dikenal
pula sebagai Nataraj (Tuhan Penata Tari). Shiva juga merupakan
pelopor ilmu pengobatan India, dan menurunkan suatu sistim yang terkenal
dengan nama Vaedya Shastra. Dalam bidang sosial Shiva juga
memainkan peranan penting. Beliau memelopori sistim pernikahan, yaitu
kedua mempelai menerima saling tanggung jawab demi keberhasilan
perkawinan, tanpa memandang kasta atau suku. Shiva sendiri melakukan
perkawinan campur, dan dengan mengawini seorang putri Arya beliau
membantu menyatukan berbagai pihak di India yang sedang saling berperang
dan memberikan bagi mereka suatu sudut pandang sosial yang lebih
universal. Karena kepeloporan sosial ini Shiva dikenal juga sebagai
"Bapa peradaban manusia".
Sumbangan terbesar dari Shiva pada kelahiran peradaban yang baru adalah pengenalan konsep dharma.
Dharma adalah suatu kata Sansekerta yang berarti "sifat dari sananya"
milik sesuatu hal. Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan
manusia? Shiva menerangkan bahwa manusia selalu menginginkan lebih,
lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan inderawi. Beliau
mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman atau binatang karena
apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu
adalah tujuan hidup manusia, dan ajaran rohani Shiva ditujukan untuk
memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu.
Seperti
halnya dengan berbagai ajaran kuno lainnya, ajaran Shiva disampaikan
dari mulut ke mulut, dan baru kemudian dituliskan ke dalam buku. Isteri
Shiva, Parvati, sering bertanya pada beliau mengenai berbagai
pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya, dan kumpulan tanya
jawab ini dikenal sebagai Tantra Shastra (kitab suci Tantra). Ada dua macam buku. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktek-prakteknya dalam buku Agama.
Sebagian
buku-buku kono itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti
karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra
terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi, Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali kurang lebih ada 64 macam antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb
Dalam berbagai ulasan mengenai Tantra Shastra
dan dalam bukunya mengenai kehidupan dan ajaran Shiva, Shrii Shrii
Anandmurti mengemukakan beberapa pemikiran dasar bersumber dari
ajaran-ajaran kuno itu. Salah satu unsur utama dalam Tantra adalah
hubungan antara Guru dan murid. Guru berarti "seseorang yang
dapat menyingkirkan kegelapan" dan Shiva menjelaskan bahwa agar
diperolehnya keberhasilan rohani harus ada seorang guru yang baik dan
seorang murid yang baik.
Shiva
menjelaskan bahwa ada tiga jenis Guru. Golongan pertama adalah guru
yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindaklanjuti
pengajarannya. Jadi mereka pergi dan meninggalkan murid tanpa
pengarahan. Kelompok kedua atau tingkat menengah adalah mereka yang
mengajar dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa
yang diperlukan murid untuk mencapai tujuan akhirnya. Jenis guru yang
paling baik menurut Tantra adalah yang memberikan pengajaran dan
kemudian mengupayakan terus menerus agar muridnya mengikuti semua
petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.
Ciri
guru yang istimewa ini lebih jauh diperinci dalam Tantra Shastra. Guru
adalah yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati, dan
berpakaian sederhana. Dia memperoleh penghidupannya secara layak, dan
berkeluarga. Dia fasih dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni
meditasi. Dia juga tahu teori dan praktik pengajaran meditasi. Dia
mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang demikian disebut Mahakoala.
Namun
meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada sesorang
yang dapat menyerap pelajarannya. Tantra Shastra menguraikan tiga
kelompok murid. Jenis pertama dapat dibandingkan dengan sebuah gelas
yang dibenamkan ke air dengan mulut kebawah. Meskipun berada di dalam
air dan tampak penuh, namun bila dikeluarkan dari air akan tetap kosong.
Ini seolah seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun
begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak
dapat menerapkan pelajarannya dalam keseharian.
Kelompok
murid kedua adalah seperti gelas yang dicelupkan miring ke dalam air.
Tampaknya memang penuh saat terbenam namun ketika diangkat akan
kehilangan banyak air. Murid seperti ini adalah yang tekun saat
kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan
meninggalkan latihannya sama sekali.
Kelompok
murid yang terbaik dilambangkan dengan gelas yang dibenamkan dalam air
dengan posisi tegak. Saat dalam air gelas itu penuh dan saat diangkat
keluar air tetap penuh. Murid seperti ini tekun berlatih di hadirat
gurunya dan terus bertekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari
gurunya.
Hubungan
guru murid sangat penting dan merupakan ciri kunci dalam Tantra. Jalan
rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali
keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh
pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si
murid pada setiap tahap upayanya.
Shiva
adalah Mahakoala, namun sejak kematiannya tak ada guru yang sepadan
lagi dengannya dan Tantra mengalami surut. Berbagai ajarannya hilang
dan sebagian lagi terpelintir. Dalam perkembanganya lebi lanjut
daripada saktiisme ini, maka munculah Tantriisme, yaitu suatu paham yang
memuja sakti secara ekstrim, para penganut paham ini disebut dengan
"TANTRAYANA". Kini Tantra terselubung misteri dan banyak sekali salah
pengertian mengenainya.
Setelah abad ke-5 paham Tantrayana ini muncul di Tenggara Benua India di daerah Bengal dan Assam. Ajaran Tantrayana itu bergerak ke timur menuju Nepal dan Tibet, dan akhirnya sampai ke Indonesia, masuk ke Sumatera, Jawa, dan Bali.
Di
Indonesia masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak
abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana diberikan
pesaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan
dan tibet.
Dalam
perkembangan agama Buddha selanjutnya, pengaruh paham Tantra ini
terlihat dalam pemujaan sakti dari Boddhisatwa dan pemujaan terhadap
kekuatan gaib dari Dhyani Buddha. Pada perkembangan Buddhisme, ini
biasanya dilukiskan dalam bentuk Vajrayana yang terdapat di Tibet dan
Nepal, kemudian ke Indonesia sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi.
Pemujaan
yang dilakukan oleh para sadhaka/bhakta terdiri atas dua tingkat.
Tingkat ini disesuikan dengan tingkat evolusi kesadaran yang dimiliki,
mulai dari eksternal (lahiriah, eksoteris) menuju pemujaan yang lebih
tinggi, enternal atau esoteris. Praktik pemujaan yang bergerak ke luar
disebut nivertimarga, sedangkan yang mengarah ke dalam disebut
prawertimarga. Fase transisional antara pemujaan eksternal menuju
pemujaan yang lebih tinggi, yaitu esoteris yaitu Tantra sadhaka
(pengikut Tantra) yang berada pada level ini mulai melatih konsentrasi
dan meditasi, fase kedua yaitu Prawetimarga dimulai dengan Wamacara
dengan melakukan latasadhana, yang diawali dengan ritual mada, matsya,
mangsa, mudra, dan mathuna (lima M)…Inilah yang sering menyebabkan
jatuhnya para pencari kesadaran tersebut sehingga dalam pelatihannya
harus didampingi seorang seorang guru atau yang mengerti betul tentang
agama. Kitab Nitya Tantra menentang ritual ini dan menggantinya dengan
alternatif lima M lain kemudian Siddhantacara adalah hasil akhir setelah
sadhaka mahir dalam seluruh rangkaian pemujaan (eksternal dan internal)
yang diringkas ke dalam praktik astanggayoga di mana rahasia yoga telah
diungkap melalui yogadiksa, maka samadi akhirnya tercapai. Dualisme pun
berakhir sudah. Tingkatan ini disebut Kaulacara.
Ajaran
Tantrayana pada hakikatnya berdasarkan pada bhakti marga yoga yang
memberikan penghormatan utama pada karma marga yoga dan jnana marga
yoga. Dalam ajarannya menerima filsafat sankhya dan yoga dengan teori
purusa dan prakerti, menekankan pada ilmu gaib raja marga yoga. Ajaran
Tantrayana asas wanita diwujudkan dan sangat diutamakan pemujaannya
sebagai dewi, sedangkan kedudukan dewa-dewa lebih di bawah.
Siapakah Mahamaya/Durga/kali/Devi itu?
Semua
itu adalah nama yang sama, yang dipuja sebagai Ibu segala Dewa, Ibu
segala semesta. Kepercayaan terhadap Ibu segala semesta ini sudah
dikenal pada jaman dahulu kala yaitu 24.000-20.000 SM diberbagai tempat
diseluruh dunia dalam kebudayaan kuno mereka baik di Mesir Sumeria,
Mesopotamian, yunani dan tentunya juga India. Dalam Rig Veda dikenal
sebagai shaktinya Siwa dan dikenal dengan nama Mahimata, Viraj, Aditi,
Ambhirini, Durga(Inkarnasi Mahimata/Mahamaya), Kali/Chamunda/Chamundi/ (inkarnasi Durga), parwati, mahadevi, laksmi, saraswati, vavadurga, mahavidya, Sita, radha, matrika, Brahmi(sakti Brahma), Vaishnavi (Sakti Vishnu), Maheshvari/ Raudri (Sakti Maheshvara (Shiva)), Aindrī or Indrani/Mahendri(Sakti Indra), Kumari/Kaumarī/Karttikeyani (sakti Kumara (Kartikeya), Narasimhi (sakti Narasimha). Dalam Devi-Bhagavata Purana(VII.33.13-15)
"I am Manifest Divinity, Unmanifest Divinity, and Transcendent Divinity. I am Brahma, Vishnu and Shiva, as well as Saraswati, Lakshmi and Parvati.
I am the Sun and I am the Stars, and I am also the Moon. I am all
animals and birds, and I am the outcaste as well, and the thief. I am
the low person of dreadful deeds, and the great person of excellent
deeds. I am Female, I am Male, and I am Neuter."
Akulah
manifestasi dari keilahian, kegelapan dan yang terilahi dari yang
ilahi. Akulah yang disebut Brahma, wisnu dan Siwa/Iswara seperti juga
akulah Saraswati, laskmi dan Parwati. Aku adalah matahari, bintang dan
bulan. Akulah binatang dan burung, Akulah juga berada diluar golongan
dan yang terahasia. Akulah yang serendah-rendahnya orang yang melakukan
perbuatan yang mengerikan dan seagung-agungnya orang yang melakukan
kebaikan. Akulah bentuk perempuan, pria dan bukan keduanya
Dibali konsep itu dikenal dengan Rwa
Bhineda (dua sisi baik dan buruk, gelap dan terang), biasanya dilakukan
setiap Purnama Tilem. Begitu pula halnya dengan suka dan duka,
digolongkan sebagai Rwa Bhineda (dua sisi yang berbeda). Purnama Tilem
mengingatkan manusia akan adanya dua sisi yang saling bertentangan dalam
kehidupan ini. Yaitu adanya gelap dan terang, kehidupan dan kematian,
baik dan buruk, cinta dan benci, jahat dan baik, bersih dan kotor dan
sebagainya.
Makna
Purnama Tilem adalah agar jiwa tenang dan stabil ketika menghadapi suka
dan duka kehidupan. Kestabilan jiwa itu penting dimiliki oleh manusia.
Sebab di dunia ini semua orang akan pernah mengalami suka dan duka,
apapun status sosialnya di masyarakat. Apakah dia orang kaya, orang
miskin, orang berpangkat, petani, pedagang dan sebagainya.
Durga
dalam versi Tantra adalah Ibu Kebajikan, dipuja tidak saja oleh para
dewa bahkan Iblis dan setan pun memujanya. Dari kisah Ramayana,
dikabarkan bahwa Rama memuja Durga untuk dapat membunuh Rahwana.
Kemudian
dalam Mahabrata, Kresna memuja Durga untuk dapat mengalahkan Kurawa,
Vaishnavas juga memuja Durga sebagai Yoga Maya-nya Wisnu, dan Siwa
sendiri memuja Durga sebagai Shakti. Bahkan juga dipercaya, Durga adalah
Mahamaya, akar sebab dan bentuk dunia. Dan dalam Durga Saptathi, Durga
memiliki 108 nama diyakini sebagai Ibu Pencipta.
Menurut markendya Purana Bab 81-93, Tiga belas bab tersebut dibagi dalam tiga buah cerita, Mahakali (bab 1), Mahalakshmi (bab 2-4) dan Mahasaraswati (bab 5-13)
Cerita pertama
Dewi
Mahatmya. Dewi dilukiskan dalam bentuk universal sebagai Shakti. Disini
Dewi sebagai kunci keberhasilan pada mitologi penciptaan. Ia membuat
Vishnu tidur pulas di samudra jagatraya disaat antara sebelum penciptaan
dunia yang terus menerus diciptakan dan dilebur. Vishnu tengah
berbaring di nāgashesha selama yoganidra. Tiba-tiba dua Iblis muncul
dari badan Wisnu akibat bentuk pikiran tidurnya Vishnu dimana dua Iblis
itu mencoba menggangu dan menaklukkan Brahma yang tengah bersiap untuk
membuat cycle berikutnya. Brahma kewalahan dan memohon kepada Dewi Yang
Agung dengan menyanyikan syair yang beriksi memohon bantuan Dewi untuk
menarik Vishnu terbangun dari TidurNya dan membunuh Iblis tersebut. Dewi
Setuju dan menarik Vishnu sehingga terbangun dan menaklukkan Iblis
tersebut. Disini fungsi Dewi adalah sebagai pihak yang menentukan
pembentukan ulang jagatraya
Cerita kedua
Dikisahkan dalam Markandeya Purana yang menceritakan Mahishasura
yang dapat berubah bentuk apapun dan tidak dapat dikalahkan oleh
Manusia dan Dewa karena mendapatkan anugrah dari Brahma sehingga dengan
kekuatan itu ia mengancam Alam Sejagat. Seluruh dewa-dewi gagal
menumpaskannya lalu meminta pertolongan daripada dewa Siva. Dewa Siva
menasihati bahwa ia tidak dapat dimusnahkan karena mendapatkan anugrah
tidak terbunuhkan oleh bentuk pria maka disarankan semua dewa-dewa untuk
mengabungkan shakti mereka. semua dewa mengeluarkan cahaya dari mulut
mereka.
Kumpulan
cahaya ini perlahan menjadi seorang dewi yang sangat cantik. Kemudian
oleh Rama diberi rambut hitam panjang, oleh Wisnu diberi dua tangan,
lalu Bulan memberi payudara, Indra memberi bagian tubuh tengah, paha
diberikan oleh Baruna, pantatnya dari Dewa Surya, kaki dari Dewa
Pertiwi, jari kaki dari Matahari, jari-jari tangan para penjaga delapan
penjuru, dan matanya didapat dari tiga kepala Agni. Kemudian ia
berperang dengan mahishasura dan memenggal kepalanya
Cerita ketiga
Mengisahkan
bahwa terjadi peperangan dewa dengan Iblis yang bernama Chanda and
Munda. Kali lahir seketika dari mata ketiga Dewi Mahamaya, kemudian Ia
memotong kepala Iblis tersebut dan menyerahkan kepada Dewi Mahamaya,
kemudian Ia berperang dengan raksasa Raktabija dan uniknya raksasa Raktabija
berdarah maka setiap darah tersebut menjadi wujud raksasa baru dengan
kekuatan yang sama/ Kali kemudian menggunakan llidahnya ia menyedot
habis darah raksasa Raktabija. Cerita berlanjut, Dewi Mahamaya, Kali dan Matrika (7/8 Dewi yang lahir yang juga berasal dari siwa/Mahamaya) melawan Shumbha dan Nishumbha.
Ketika melawan Shumbha maka DewiMahamaya menyatukan diri dengan Kali
dan Matrika dan mengalahkan Shumbha. Kemudian setelah kemenangan itu
Dewi Mahamaya menari dan menari sehingga membuat para Dewa khawatir akan
kehancuran Dunia, sehingga mereka meminta pertolongan Siwa. Siwa setuju
namun ia tidak ingin menggangu tarian Dewi Mahamaya dan juga tidak
ingin jagatraya ini hancur saat itu sehingga ia membaringkan badannya
dibawah Dewi Mahamaya dan membiarkan Dewi Mahamaya menikmati tariannya
itu sepuasnya dan dunia terselamatkan. Dewi Mahamaya pun tersadar dari
tariannya ketika Siwa tersebut.
Pada
Shiva Maha-Purana, dikisahkan ketika pencipataan Brahma dari Teratai
yang keluar dari Pusar Wisnu, kemudian lama ia memanjat teratai itu
namun tidak pernah keluar dan selagi ia dalam kebingungannya Wisnu
memunculkan diri dihadapannya, kemudian dalam tanya jawab itu ia meminta
Wisnu menyembahNya karena ia yang pertama kali hadir disitu, kemudian
mereka bertempur dan dalam pertempuran itu. Kejadian ini membuat Siwa
murka dan munculah Bhairawa dalam kemurkaan itu memotong kepada Brahma
yang ke 5 dan menjinjing kepala itu kemana-mana. Jadi Bhairawa adalah
salah satu Shakti dari Siwa/Mahamaya.
Apanya Yang Salah Kaprah?
sa tayā śraddhayā yuktas tasyārādhanam īhate labhate ca tatah kaman mayaiva vihitān hi tān (Bhagavad Gītā, 7.22)
Arti:
Setelah
diberi kepercayaan tersebut, mereka berusaha menyembah Dewa tertentu
dan memperoleh apa yang diinginkannya. Namun sesungguhnya hanya Aku
sendiri yang menganugerahkan berkat-berkat tersebut.
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitā te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam (Bhagavad Gītā, IX.23)
Arti:
Orang-orang
yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya sesungguhnya hanya
menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru, wahai
putera Kunti (Arjuna)
"Orang
yang menyembah dewa akan dilahirkan di tengah masyarakat dewa, orang
yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu
dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk seperti itu, dan
orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku." (Bhagavad-gita 9.25)
Dalam kitab Maha Nirwana Tantra dinyatakan bahwa menghadapi kemelut hidup di Kali Yuga ini dengan memprioritaskan pemujaan Sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti adalah Tuhan. Karena pada zaman Kali ini semakin kuat sinergi antara Guna Rajah dan Guna Tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya hedonis artinya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malas. Artinya gaya hidup enak tanpa kerja.
Sementara Tantrayana itu mengajarkan hidup enak ini baik tetapi jangan seenaknya. Capailah hidup enak tetapi dengan kerja keras. Seseorang akan bisa kerja keras apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Beragama dengan menguatkan potensi diri itulah yang disebut dengan Niwrti Marga sebagai konsep beragama yang ditekankan dalam ajaran Hindu Tantrayana.
Melalui
Markandeya Purana dapat diketahui bahwa Durga adalah simbol semua
kekuatan penciptaan dan kekuatan gabungan ini akan muncul jika kekuatan
jahat mengancam keberadaan ciptaan. Jadi, Durga bertugas menghancurkan
ketidakharmonisan dan menciptakan harmoni. Kelahiran Durga adalah untuk
menciptakan aturan Dharma.
Dalam
jejak sejarah pemahaman dan pelakonannya memang ada kecenderungan paham
pemujaan terhadap Ibu Dewi Sakti itu terbelah dua, satu ke kiri, dan
satu lagi ke kanan. Yang memuja Ibu Sakti dalam aspek "kiri" mencitrakan
Ibu Sakti mengerikan, menyeramkan, pemangsa, penghancur, sebagai Kali.
Namun yang memilih aspek "kanan" mencitrakan Ibu Sakti sangat positif:
mulia, lemah lembut, megah, indah., cantik, kreatif. Maka dalam tradisi
India, aspek Ibu Sakti yang menyeramkan dinamakan Kali, Karala, Durga,
Candi, Mundi, camundi, Mahisasuramardini, Tripurasundari, Sambhawi.
Sedangkan dalam aspek bentuk yang penuh cinta kasih Ibu Sakti dinamakan
Uma, Aditi, Usha, Brahmi, Maheswari, Katyayani, Annapurneswari,
Minakshi, Durga.
Istilah Sakti ini sampai saat ini masih ada kesalahpahaman dalam masyarakat Hindu pada umumnya. Sakti diartikan sangat negatif. Kalau ada orang bisa menjadi siluman monyet, ular, kambing, nyala api (endih) atau rangda, dll. itu disebut orang sakti.
Dalam kitab ''Wrehaspati Tattwa'' rumusan Sakti dinyatakan sbb: Sakti ngarania sang sarwa jnyana muang sang sarwa karya. Artinya: Sakti adalah orang banyak ilmunya dan banyak kerjanya. Jadinya orang sakti itu adalah orang yang rajin belajar dan banyak kerja mengamalkan ilmu yang didapatkan dari rajin belajar itu. Karena ajaran Tantrayana itu Ista Dewatanya adalah Sakti atau Dewi seperti Dewi Uma atu Dewi Durgha, maka timbulah kesalahpahaman tentang pengertian Sakti dalam ajaran Hindu Tantrayana.
Sakti itu dikait-kaitkan dengan ajaran ilmu hitam. Orang-orang yang menganut ajaran Hindu Tantrayana sering dipojokkan negatif dalam masyarakat. Demikian juga praktik upacara Tantrayana dengan konsep Maka Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan Panca Ma atau Malima yang juga salah artikan.
Panca Ma itu adalah Mada, mamsa, matsya, Mudra dan Maituna. Mamsa diartikan makan daging bagaikan hewan buas. Mada diterjemahkan mabuk-mabukan. Maituna diterjemahkan melakukan hubungan seks secara erotis, dst. Padahal ajaran tersebut tidaklah sesederhana itu dan mengandung arti ganda(kiri dan kanan, kasar dan halus dan dalam).
Lebih diarahkan kepada konsep dari Karma marga, Bakti yoga, Jnana Marga
menuju Raja Yoga atau menggerakan posisi kundalini menuju kesaktian
tertinggi yaitu bersatu dengan Tuhan.Misalnya:
Mada/Madya(Kebingungan/tengah/dua,
Akasa/ruang), sehingga artinya jelas buka mabuk/minuman, atau berada
pada ketidaksadaran, namum lebih kepada jalan tengah, tidak terlalu
banyak atau kurang, tidak terlalu keras atau lemah atau dengan kata lain
secukupnya tidak berlebihan Kata ini berarti mengetahui baik dan buruk
justru sadar secara penuh!
Mamsa (mam=aku, sa = dia, pertiwi/tanah) artinya bukanlah berarti otot atau daging, namun lebih kepada tercapai paham bahwa tidak ada perbedaan, kata ini berarti mengandung arti memadamkan nafsu dan keinginan atau penuh dan stabil, atau dengan kata lain mematikan semua indra.
Matsya(nyaman,
luwes Air/mengalir) bukanlah memakan ikan, namun lebih kepada
keluawesan pergerakan, merasakan (empati dan simpati), tidak kaku,
merasakan senang apabila pihak lain merasa senang, begitu pula
sebaliknya. Dalam latihan yoga ini disebut juga Pranayama, aliran dalam kedua jalur itu dikendalikan dan pikiran menjadi tenang agar mudah meditasi
Mudra(gerak(an), bayu/tekad/angin/jiwa) bukan untuk melakukan gerak-gerik tangan untuk belajar ilmu hitam. Mudra adalah penjiwaan yang mendalam, penuh tekad, pelaksanaan tindakan dan pembuktian yaitu memelihara
hubungan dengan semua yang membantu memperoleh kemajuan rohani dan
menghindarkan diri dari kehadiran semua hal yang dapat mengganggu
kemajuan kita.
Maithuna(persatuan,
api/siwa/panas/menghancurkan/melumatkan)bukan berarti persetubuhan
namum lebih menyatakan menyatukan pikiran kepada kosmis, menghancurkan
pikiran tenggelam kepada kehampaan, atau mencapai kebebasan pikiran.
Samaduhkhasukham dhiram, somrtatvaaya kalpate. Bhagawad Gita II.15
Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Mereka yang demikian itulah yang akan mencapai kehidupan yang kekal.
“Ia
yang pikirannya tidak digoyahkan dalam keadaan dukacita dan bebas dari
keinginan-keinginan ditengah-tengah kesukacitaan, ia yang dapat
mengatasi nafsu, kesesatan dan kemarahan, ia disebut seorang yang
bijaksana” (Bhagawad Gita II-56)
“Seorang
Yogin harus tetap memusatkan pikirannya kepada atma yang maha besar
(Tuhan), tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, bebas dari angan-angan
dan keinginan untuk memilikinya” (Bhagawad Gita VI-10)
“Karena
kebahagiaan tertinggi datang pada Yogin, yang pikirannya tenang, yang
nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih dan bersatu dengan Tuhan
(Moksa)” (Bhagawad Gita VI-27)
Kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana itu sampai saat ini masih banyak yang terjadi. Mungkin zaman Kerajaan Singosari saat Raja Kerta Negara memerintah ajaran Maha Kama Pancaka itu pernah dipratikkan secara keliru sampai mentradisi. Dari tradisi yang keliru itulah menimbulkan kesalahpahaman sampai saat ini.
Meskipun di beberapa tempat di India dan juga di Bali kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana pelan-pelan sudah mulai berubah ke arah konsep yang benar sesuai dengan ajaran Tantrayana.
Tantrayana Versi Buddha
Buddha
terdapat dua kelompok aliran yaitu sutrayana dan tantrayana, Sutrayana
seperti Hinayana(theravada) dan Mahayana lebih bersifat teoritikal serta
Tantrayana merupakan perpaduan puja bhakti dengan praktek meditasi
yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu mazhab Tantrayana
bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam
pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala
dinamakan Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana. Mazhab ini berkembang
pesat diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia
Tenggara serta benua Eropa, Australia hingga benua Amerika.
Menurut
dr. W. Kumara D. yang dikutip dari literature literature mazhab
Tantrayana, kata tantra itu sendiri dapat juga berarti Sadhana (sarana
mengerjakan). Mazhab Tantrayana memiliki akar-akar pandanga yang sama
dengan Mahayana khususnya Yogacara. Namun demikian, Tantrayana memiliki
perbedaan dengan Mahayana dalam hal tujuan,wujud manusia yang telah
mencapai tujuan tantrayana dan cara pengajarannya.
Tantra
Timur berkembang di China pada abad VII, ketika dikunjungi oleh tiga
orang Maha Acharya Tantrayana dari India, yakni: Subhakarsinha
(637-735M), Vajra Bodhi (663-725M), Amoghavajra (705-784 M)
Kalau
Tantra Barat adalah tantra yang berkembang di Tibet dan sekitar
pegunungan Himalaya batas antara China dan India, yang sebenarnya hanya
dalam letak geografis saja. Daerah
ini memiliki tradisi dan sejenis kepercayaan yang disebut Bon-Pa. Dan
orang-orang Tibet umumnya memiliki kemampuan untuk menguasai roh-roh
halus. Di samping symbol dari jenis rupang Buddha sedikit ada perbedaan.
Bila dilihat Tantra Barat lebih bercorak naturalis terlihat jelas pada
anggota tubuhnya, yakni bersifat feminisme (dalam bentuk wanita).
Terdapat pula rupang angkara murka, seperti Angry Vajra (Vajravarahi
dalam wajah murka).
Pada
tahun 747 masehi, Maha Guru Padma Sambhava menjalankan misi ke Tibet.
Beliau pada masa mudanya adalah seorang pangeran dan sangat menyenangi
hal-hal yang bersifat magis. Beliau memiliki kemampuan supranatural yang
dipadukan dengan ajaran-ajaran Hyang Buddha. Berkat kemampuan
beliaulah, dukun-dukun Tibet dapat ditundukkan dan memperoleh simpati
dari bangsa Tibet.
Tantrayana di Tibet berkembang hingga menjadi tiga periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini).
Banyak sekali kritikan-kritikan yang muncul mengatakan bahwa aliran Tantrayana mencampur adukan konsep "polyties"
dari agama Brahmanisme ke dalam ajaran Buddha Dharma. Bahkan ada pula
yang menuduh bahwa aliran ini adalah bagian dari Brahmanisme. Adalagi
yang berkomentar ritual ini yaitu hanya melatih Prana, Nadi dan Bindu
bukanlah ajaran Buddha. Dan semua itu disamakan dengan pelatihan Chi
Kung, peredaran siklus besar(peredaran 12 meridian didalam tubuh) dan
siklus kecil (peredaran meridian Ren dan Tu), yakni melatih sari, prana,
semangat dari ajaran non Buddhis. Sehingga kritikan diarahkan dengan
mengatakan bahwa pelatihan Prana, Nadi dan Bindu bukanlah ajaran
Buddhis.
Disamping itu ada pula yang mengkritik bahwa aliran Tantrayana merupakan ajaran "Yoga yang dirahasiakan"
dan sering disebut dalam kategori sebagai ajaran sempalan. Semua
tulisan-tulisan yang mengkritik itu sangatlah banyak, terutama kritikan
yang diarahkan kepada upacara persembahan Api dalam upacara Homa, disama
artikan dengan upacara penyembahan api dalam agama tertentu (hindu).
Ajaran
Tantrayana adalah salah satu aliran dari ajaran agama Buddha yang
begitu dalam, sehingga tidaklah mudah diperuntukkan bagi setiap orang
bagi yang belum mengerti serta memahami lebih dulu ajaran dasar agama
Buddha Mazhab Theravada dan Mazhab Mahayana. Oleh karena itu disebut ajaran Esoteris.
ajaran tentang polyteis dalam Tantrayana adalah ajaran analisis internal
pembuktian perlindungan dharma. Seperti mempelajari segala bentuk
bentuk latihan untuk Prana, Nadi dan Bindu. Sedangkan Tantra Yoga adalah
Dharma untuk membersihkan dan mensucikan dari hati nurani, pikiran dan
perbuatan badan jasmani.
Persembahan
Api dalam upacara Homa adalah Dharma untuk memancarkan Cahaya Terang.
Dari semua bentuk proses latihan-latihan yang dikembangkan dalam
Tantrayana adalah untuk mengikis karma buruk dan untuk meningkatkan
kebijaksanaan,selanjutnya akan terlahir sebagai seorang suci.
Kekuatannya sangat besar dan apabila anda mengkritik aliran Tantrayana,
berarti anda mengkritik "Dharmakaya Tathagata Vairocana".
Karena pada awal tujuh hari setelah Sang Buddha Sakyamuni mencapai
penerangan, beliau pernah memberikan kotbah 'Ajaran tentang Pembuktian
Internal', dan kotbah itu lebih dikenal yang disebut "Vairocana Sutra".
SIWA-BUDDHA
Vedavyasa
adalah penggubah Kitab Mahabharata. Beliau menggubah lima Sloka dalam
kitab Mahabharata yang tersusun menjadi kitab Mahapurana (Purana Utama).
Purana ini beliau susun dari naskah asli kitab purana yang dikenal
dengan purana Samhita. Purana memiliki lima karakteristik yang disebut
Panca Laksana yang melukiskan lima hal yang berbeda yaitu : Sarga
(penciptaan alam semesta), Pratisarga (peleburan & penciptaan
kembali), Manvantara (berbagai periode jaman), Vamsa (silsilah
raja-raja), Vamsanu Carita (sislsilah umat manusia). Purana merupakan
pengetahuan suci merupakan pengetahuan dasar untuk selanjutnya
mempelajari kitab Veda dan Upanisad, karena cerita ini berasal dari
pura kala (jaman dahulu) dan merupakan pelengkap (purana) dari
pengetahuan Veda.
Menurut Kitab Purana, alam semesta memiliki tiga sifat yaitu: Satwa: kecerdasan / kemurnian / kehalusan / teratur / kepatuhan / seimbang / terang / kesatuan; Rajas: dinamis / energi / aktifitas / perubahan / mutasi / hasrat / gairah / kelahiran / penciptaan; Tamas:
yaitu kegelapan / lamban / perusakan / kematian / pengabaian /
kecerobohan / penolakan/ pengabaian / halangan dan batasan/ enggan untuk
berubah. Purana pun digolongkan kedalam Sattvika Purana, Rajasika
Purana dan Tamasika Purana dan Siva purana merupakan purana yang
termasuk dalam tamasika purana, Siva Purana merupakan Purana keempat
dari delapan belas mahapurana yang secara umum lebih memulyakan nama
Siva dari dari dewa lain atau karisma Sivalah yang banyak terkandung
dalam Siva Purana. Menurut tradisi yang tercantum di Vāyaviya Samhitā (the Venkateshvara Press edition), Teks aslinya dikenal sebagai Śaiva Purāna, berisikan 12 Samhitās dan 100,000 ślokas. Oleh Vedavyasa, dipilah dan di padatkan menjadi 24.000 ślokas. Ia mengajarkan kepada muridnya Romaharshana (Lomaharshana).
Terkait
dengan proses penciptaan, didalam kitab Siva Purana dinyatakan bahwa
pada awal penciptaan alam semesta masih kosong hanya terdapat Brahman
(Esensi ilahi) yang bersifat nirguna menyebar dimana-mana. Kemudian
air memenuhi semesta Visnu dalam wujud Narayana tidur dilautan maha luas lalu muncullah sekuntum teratai dari pusar beliau dan lahirlah Brahma dari teratai itu. Brahma
yang bingung akan keberadaan dirinya dan semesta yang masih kosong
menjelajahi tangkai teratai itu namun beliau tidak menemukan sel itu
hingga akhirnya menyerah. Suara gaib memerintahkan beliau untuk
bermeditasi. Setelah 12 tahun berlalu Visnu yang bertangan empat menampakkan diri dan menyebut Brahma dengan “Nak”. Brahma tidak mengenali Visnu dan Visnu menjelaskan bahwa Brahma tercipta dari tubuh beliau. Brahma tidak puas mendengar hal itu dan bertarung melawan Visnu. Lalu muncullah sebuah linga ( wujud Siva) diantara mereka. Karena heran Brahma dengan wujud angsa menelususri puncak linga sedangkan Visnu dengan wujud babi hutan
menelusuri dasarnya. Mereka mencari hingga 4000 tahun, namun tidak
berhasil menemukan ujung pangkalnya. Mereka lalu berdoa ditempat semula
dan setelah 100 tahun terdengarlah suara suci “OM” dilantunkan,
seiring munculnya Siva dengan lima kepala dan sepuluh tangan. Visnu
menanyakan tentang keberadaan Siva dan Siva menjelaskan bahwa mereka
bertiga merupakan satu kesatuan yang dibagi menjadi tiga. Brahma sebagai pencipta, Visnu
pemelihara dan Siva sendiri penghancur, Rudra adalah mahluk yang
akan muncul dari tubuh Siva tapi Siva dan Rudra adalah satu. Maka Brahma ditugasi untuk mencipta dan Sivapun menghilang. Brahma dan Visnu kembali ke wujud asalnya.
Persatuan wujud Wisnu dan Siwa tercantum Visnu Purana, Bahgavata Purana(4.30.23, 5.17.22-23, 10.14.19), Brahma-Samhita 5.45,
dan Siva Purana menyebutkan pada saat terbangunnya Wisnu menjadi
Brahma saat menciptakan dunia dan Siwa saat melebur kembali, Siwa juga
di katakana sebagai Manifestasi Wisnu dalama bhagavata Purana, dan dalam
Siva purana Siwa berperan dalam menciptakan, memeliharan dan melebur
dunia dan dikatakan bahawa Baik Wisnu maupun Siwa berasal dari
manifestasi Siwa. Namun perpaduan yang tampak terlihat adalah dalam
bentuk Harihara
sebagai bentuk Wisnu(Hari) dan Shiva(Hara) dua bentuk ini juga
dinamakan Harirudra yang muncul dalam Epik Mahabharata dan juga sebagai
Mahabalesiwara atau Kekuatan dari segala Kekuatan pada kisah dimana
Rahwana mendapatkan anugrah Siva lingga dari Siva dengan syarat ia harus
membawa kemanapun ia pergi. Saat ia hampir dekat dengan daerah Deoghar di Bihar
ia berhenti sejenak untuk melepas lela ia berhenti sejenak untuk
membersihkan diri dan bertemu dengan Winsu yang tengah menyamar menjadi
seorang pertapa dan menitipkan sejenak lingga itu. Setelah Rahwana
Pergi. Kemudian Wisnu menaruhnya ditanah dan melenyapkannya ketanah.
Saat Rahwana kembali Ia tidak dapat memindahkan Lingga itu dan tetap
demikian samapai dengan saat ini. Demikian dari sudut Purana dan
Samhita.
Nusantara
Awal mula perpaduan Agama Siwa Buddha tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram kuno yang terdiri dua dinasti, yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
Wangsa Syailendra
Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja).
Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun
752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan
dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790,
Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat
berkuasa di sana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Wangsa
Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Di
setiap tingkatan Borobudur dipahat relief-relief pada dinding candi.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.
Wangsa Sanjaya
Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/
Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, raja kerajaan
Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal
dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan
Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh
ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya,
Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M
dilengserkan dari tahta Galuh oleh PURBASORA.
Purbasora
dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan
keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Raja Tarusbawa. Ironis sekali,
Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanagara, sehingga kerajaan
Tarumanagara terpecah dua menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'
Di
kemudian hari, Sanjaya, yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah,
menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan Purbasora.
Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723 -
732M), sehingga bekas wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan
kembali dalam satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M[. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan Mataram (Hindu).
Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan di antara
kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini mempengaruhi berbagai keputusan
politik pada masa-masa selanjutnya (misalnya saat penaklukan Nusantara
oleh Majapahit).
Kekuasaan
di Jawa Barat lalu diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana,
putri Raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda, yaitu Tamperan atau Rakeyan
Panaraban sedangkan penerus Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai
Panangkaran, putera Sanjaya
dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau Bumi
Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban / Tamperan adalah
saudara seayah tapi lain ibu.
Pemimpin
Mataram selanjutnya adalah, berturut-turut, Rakai Panunggalan, Rakai
Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung memiliki anak yaitu Rakai Pikatan.
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga.
Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di
Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.
Empu
Sendok adalah raja Mataram terkahir, Mpu Sendok(929-947M) menghasilkan
dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan
Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang
ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan
pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kelepasan. Pokok ajaran dalam
Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-
macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis
Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan
Siwa dengan Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau
Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Pada
jaman pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Penyatuan
Siwa dan Buddha adalah juga karena toleransinya yang sangat besar dan
juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam
menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan.Untuk mempertemukan kedua agama
itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen
dan Candi Singasari di dekat kota Malang.
Pembaruan
agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara
mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda
sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit,
yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha)
dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja
Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila
sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana
Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti),
dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu
Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta
yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi
oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini
disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
- Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala)
- Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
- Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)
Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa
yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa
pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah
aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin
dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata).
Disamping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa
Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Berdasarkan
sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari
aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk)
yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama
Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.
Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat
itu masyarakat Majapahit sudah amat plural. Hindu sendiri terdiri dari
tiga agama besar. Agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Syiwa. Lalu ada
Buddha, Tantrayana, Syiwa Buddha dan Buddha Bhairawa. Semua mendapat
tempat di Majapahit tanpa diskriminasi. Penganut animisme juga banyak.
Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama
asli warisan nenek moyang. Kerajaan besar ini amat toleran dengan
keberagamaan karena belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu.
Pelajaran dari masa lalui lah yang membuat Majapahit menjadi negara
besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap
agama yang amat baru dan aneh.
Di
era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan, sebagian
masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang berumur 14 abad sedang
mengalami puncak kejayaan. Islam yang lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat.
Kemaharajaan Ottoman menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika
Utara, bahkan sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katolik banyak berdiri. Saat
itulah seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit. Orang bule dengan
agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik. Setelah
kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi.
Siwa-Buddha di Bali
Di bali, Siwa-Buddha dan Wainawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di bali oleh Mpu Kuturan.
Sementara
sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk
Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon, akhirnya
menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.
Peristiwa
itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami istri Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910
sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M. Pada masa
itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga (orang Bali
asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang
Bali Aga dan Bali) yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran
agama orang-orang Indu dari berbagai “paksa”(sekte). Yang terbanyak
adalah dari sekte Indra disampung yang menganut sekte Bayu, Khala,
Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekte
yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang
lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan
antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya
ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah
yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan
dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini
bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada
pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar
dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa
Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih
beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang
Brahmana bersaudara yaitu:
- Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
- Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
- Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
- Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Keempat
orang Brahmana dari Jawa Timur bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu
bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di
Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca
Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara
“wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Adapun Mpu Semeru yang
berparhyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel,
karena beliau “Nyukla Brahmacari” maka keduanya tidak mengadakan
keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di Cilayukti sebagai
“Swala Brahmacari” mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali,
yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya (Calon Arang, aku tambahin)
yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu
Bahula.
Tentang
adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan
purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat
“Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
- Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
- Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
- Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
- Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
- Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
- Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya
- Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)
Sekian
banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu
Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan
prasasti-prasasti itu merupakan firman raja-raja yang bertahta di Bali
yaitu:
- Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta dari tahun caka 910 sampai dengan 933(988-1011M) menerbitkan prasasti pertama dan kedua
- Cri Adnyadani yang bertahta dari tahun caka 933 sampai 928 (1011-1016M) menerbitkan prasasti yang ketiga
- Cri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano Tunggadewa, yang bertahta dari tahun caka 938 sampai 962 (1016-1040M) menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh
Dari
adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal
dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah
beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan
menetap di Bali didorong oleh tiga factor penyebab yaitu:
- Memenuhi permintaan raja suami istri yang disebut diatas, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adapt dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
- Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
- Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Kesempatan
yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke Bali, karena
dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau juga
diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:,
yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha.
Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh
unsure tiga kekuatan pada saat itu, yaitu
- Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
- Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
- Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam
rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan
keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua
hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa)
untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai
perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus
yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan,
dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah
yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak
itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura)
untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang
masing-masing bernama
- Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (tuhan)
- Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
- Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga
pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang
persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan
suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “desa
adapt”, dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu
Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum
keempat Brahmana tsb semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf
Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna
(Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang
diberi nama Pura Samuan Tiga.
Di
Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang
dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan
dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak
piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal
dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.
Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha.
Pada
Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem
Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu
pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana. Jejak-jejak
kebuddhaan yang lain berupa tempat pemujaan Buddha di sejumlah pura di
Bali.
0 komentar:
Posting Komentar