9. Guanyin Dalam Mitologi CinaPengasingan Miaoshan
Mitologi dan Legenda
Mitos adalah bentuk dasar simbolisme religius dan suatu jenis komunikasi simbolis. Mitos memuat catatan khusus menyangkut makhluk, peristiwa, atau kejadian luar biasa di suatu waktu yang sama sekali berbeda dari pengalaman manusia kebanyakan. Dengan kata lain, mitos adalah suatu usaha untuk menyampaikan prinsip atau nilai spiritual yang lebih tinggi (daripada norma sosial dan prioritas materiatistis).
Mitologi memelihara serta menyampaikan prinsip dan nilai yang dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat. Mitologi juga memberi arti kepada kondisi mereka saat ini agar mereka mampu menanganinya. Konsep waktu dalam sebuah mitos adalah di luar perhitungan biasa (seperti yang terdapat dalam Saddharmapundarìka Sütra). Bila sebuah aspek mitologi mewujudkan dirinya dalam waktu, itu disebut legenda. Pelaku utama sebuah legenda biasanya pendiri besar suatu ajaran tetapi bisa juga seorang agung atau bijak. Sebagai bagian dari mitologi, kebenaran suatu legenda tidak dipertanyakan karena mereka dimaksudkan untuk menyampaikan pelajaran, bukannya sejarah. Salah satu legenda yang banyak dikenal adalah catatan Cina tentang Avalokitesvara sebagai Miaoshan.
Legenda Miaoshan
Legenda ini menceritakan bahwa di tahun kesebelas masa Jintian (‘Surga Emas’) (yaitu, 2587 SM), ada seorang raja bernama Miao Tohuang atau Miaochung, penguasa Xinlin, yang memiliki tiga orang putri (Miaojing, Miaoying, dan Miaoshan) tetapi tak berputra. Dikatakan bahwa tatkala Ratu Pota mengandung Miaoshan dia memimpikan mutiara surga yang berubah jadi matahari membara. Matahari itu kemudian jatuh di depan kakinya. [Terlihat bahwa ada ketidakcocokan waktu —Sang Buddha dilahirkan di tahun 623 SM. Tak ada penjelasan mengenainya. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa ini adalah legenda pra-Buddhis yang kemudian dipengaruhi oleh Buddhadharma.]
Sang raja yang kecewa (karena tak memiliki anak lelaki) mencari suami yang cocok untuk putri-putrinya sehingga kelak dia bisa memiliki pewaris tahta. Akan tetapi, sang putri termuda, Miao-shan, menolak untuk menikah. Dia lebih senang mengabdikan hidupnya untuk mencapai Kebuddhaan.
Setelah meninggalkan hal-hal duniawi, dia mengasingkan diri di vihära Burung Pipit Putih. Sang raja memakai segala macam cara untuk mengubah pikirannya, dengan ancaman dan cara seperti yang dipakai oleh Temiya muda dalam kisah Jataka. Setelah semua usahanya gagal, sang raja yang dongkol itu memerintahkan untuk memotongmotong anggota tubuh vihärawati Miaoshan (seperti Khantivadi dalam kisah Jataka).
Tetapi dikatakan bahwa anggota tubuhnya tumbuh kembali di saat itu juga! Lalu raja yang murka itu memerintahkan untuk membakar vihära itu agar rata dengan tanah. Tetapi, menurut sebuah catatan, tiba-tiba turun hujan yang memadamkan kobaran api tersebut.
Akhirnya, sang raja memerintahkan untuk memenggal vihärawati Miaoshan. Tetapi golok sang algojo pecah berkeping-keping saat menyentuh lehernya. Sang raja lalu memerintahkan untuk menjeratnya dengan tali sutera. Tiba-tiba saja muncul angin topan yang menggelapkan seluruh langit. Kemudian seberkas cahaya muncul dan mengelilinginya [Bandingkan dengan Perwujudan (4) dari Tiga Puluh Tiga Perwujudan, bab 6.] Tiba-tiba, dewa bumi setempat, dalam bentuk seekor harimau, meloncat dari dalam hutan dan membawanya pergi ke pegunungan.
Pencerahan Miaoshan
Dikatakan bahwa dia dilahirkan di neraka di mana kemurnian dan kasih sayangnya membebaskan semua makhluk dari derita. Legenda Cina menceritakan bahwa kejadian ini mengkhawatirkan sang Pencatat Hidup dan Mati yang segera saja melaporkannya pada Raja Neraka. (Karena tanpa neraka, tak akan ada keadilan di dunia di mana orang-orang jahat bisa bebas berkeliaran tanpa ada yang menghukum!) Raja Neraka, tentu saja, memerintahkan Miaoshan untuk kembali ke alam manusia. Saat dia kembali, Buddha Amitäbha muncul di hadapannya di atas segumpal awan dan menyuruhnya menyepi di pulau Putuo Shan yang jauhnya sekitar tiga ratus mil. Sang Buddha memberinya buah persik surgawi yang tak hanya bisa menyokong hidupnya selama setahun tanpa perlu makanan atau minuman, tetapi juga memberinya hidup abadi.
Putuo Shan
Dewa bumi setempat, dalam bentuk harimau, membawanya dengan kecepatan angin ke pulau Putuo Shan. Di sana dia berdiam di Gua Xuan-ai dan melatih meditasi selama sembilan tahun. Di akhir penyunyiannya, dia mencapai Pencerahan dan seorang anak lelaki bernama Huan Shancai (‘Anak Emas’) menjadi pendampingnya yang pertama.
Suatu hari, Miaoshan dengan mata dewanya melihat beberapa nelayan menangkap putra ketiga Raja Naga Lautan yang sedang bermain di laut dalam bentuk seekor ikan. Miaoshan segera mengirim Shancai untuk membeli ikan itu dari pasar tempat ia dijual. [Bandingkan dengan Perwujudan (10) Tiga Puluh Tiga Perwujudan, bab 6.] Sesudah ikan itu dilepas ke lautan, sang Raja Naga amat berterima kasih dan mengirim sebuah kristal yang memancarkan cahaya lewat cucu perempuannya, Longnu (‘Gadis Giok’). Kristal tersebut me-mungkinkan Miaoshan bisa membaca Kitab Suci di kegelapan. Longnu amat terkesan sewaktu melihat Miaoshan sehingga dia memohon agar bisa menjadi pendampingnya juga. Seiring berjalannya waktu, Miaoshan akhirnya mengubah orang tuanya menjadi umat Buddha dan dia sendiri terus menolong makhluk lain, dengan menangguhkan Nirvananya sendiri.
Menurut sebuah catatan, dikatakan bahwa sang raja menderita suatu penyakit mengerikan yang tak bisa disembuhkan sebagai akibat membakar vihära sampai habis. Penyakit itu hanya bisa disembuhkan oleh ramuan yang terbuat dari tangan dan mata seorang putianjen, ‘orang yang tak pernah marah’. Miaoshan tentu saja menolong ayahnya yang akhirnya sembuh karena pengorbanannya. Tatkala sang raja menyadari siapa yang menolongnya, dia amat terguncang dan menyesal sekali. Akhirnya dia beralih ke Buddha-dharma.
Catatan yang lain menyatakan bahwa ayah Miaoshan adalah seorang raja India yang buta. Agar bisa mengubah ayahnya ke jalan yang benar, dia memakai kegaibannya. Dalam wujud seorang asing, dia memberitahu sang raja bahwa penglihatannya akan pulih kembali bila dia menelan mata salah seorang putrinya. Tak seorang pun dari para putrinya yang berniat mengorbankan sebuah mata mereka. Miaoshan lalu memberikan matanya kepada sang raja. Setelah penglihatan sang raja pulih, Miaoshan berbicara padanya tentang kefanaan dan kesombongan duniawi di mana anak-anaknya sendiri pun tak mau menolong orangtuanya sendiri.
Begitulah versi Miaoshan yang paling sederhana dan paling sering dikutip oleh para cendekiawan barat. Legenda ini adalah dasar bagi hampir semua perwujudan dalam lukisan Cina tentang Guanyin yang seringkali ditemukan di altar rumah umat Buddha. Dia dilukiskan (biasanya berdiri di atas teratai atau ombak) memegang mustika menyala di tangannya yang membentuk mudra meditasi atau menyembah. Biasanya dia didampingi oleh Longnu di sisi kanan dan Shancai di kiri.
Guanyin Pemberi Anak
Dalam bukunya, Epochs of Chinese and Japanese Art (vol 1 hal 105 124), Fenollosa menguraikan sebuah lukisan Guanyin dalam bentuk feminin oleh seniman abad ke-7 Yen Lipen. Foucher juga sependapat bahwa perwujudan feminin Guanyin mulai ada di waktu itu. Namun, kita tahu pasti bahwa di masa dinasti Tang, Songzi Guanyin (Guanyin Pemberi Anak) dipuja oleh orang yang mendambakan anak. Ada dua bentuk berbeda dari perwujudan Guanyin feminin. Bentuk yang lebih kuno berciri India serta memakai pakaian dan perhiasan seorang puteri kerajaan. Dia biasanya dilukiskan duduk bersilang kaki atau menyamping di atas punggung seekor singa. Tangannya membentuk mudra meditasi, memberi, atau abhaya.
Bentuk feminin Guanyin yang kedua lebih sederhana, berpakaian putih semua (termasuk selendangnya) dengan sedikit hiasan. Dia tampak keibuan dan tersenyum. Ini adalah perwujudan yang didasarkan pada Saddharmapundarìka Sütra di mana diuraikan (dalam bab 25) bahwa Guanyin akan memberi anak bagi mereka yang mendambakannya. Dia memegang seorang anak di tangannya, tetapi itu bukan anaknya; dia siap memberinya kepada siapa pun yang membutuhkannya.
Bentuk Songzi Guanyin yang Belakangan
Bentuk Songzi Guanyin yang belakangan sering digambarkan dengan sebuah vas (kadangkala dibawa oleh Longnu) dan seekor merpati. (Sebenarnya, kehadiran burung inilah yang segera menandai perwujudan feminin Guanyin di Cina.) Terkadang, dia dilukiskan berdiri di atas seekor naga. Shancai biasanya berdiri di samping dalam mudra menyembah. Di salah satu tangannya, biasanya ada tasbih mutiara (yang kadangkala tergantung di paruh merpati). Terkadang dia juga memegang ranting yangliu di tangan atau di dalam vas (yang bila tidak akan berisikan air surgawi). Dalam beberapa perwujudan, dia menuang air surgawi dari vasnya yang mengucur deras.
Tokoh Idola china
Bagi orang Cina (termasuk non-Buddhis, dalam banyak hal), Guanyin melambangkan kebajikan spiritual dan juga idola kecantikan feminin. Gadis cantik (dan terutama yang berbudi luhur) sering disebut ‘laksana Guanyin’. Begitu pula, yangliu, yang dihubungkan dengannya, memiliki daun panjang yang lemas. Walaupun budaya Cina itu patrilinear yang lebih menyukai anak lelaki daripada anak perempuan, seorang ibu itu amat dihormati dalam keluarga. Bakti seorang anak adalah aspek kebajikan sosial dalam Buddhadharma dan Konfusianisme. Guanyin melambangkan figur ibu dalam masyarakat Cina. Dia mencontohkan kesabaran, perhatian, dan cinta kasih yang tanpa pamrih.
Guanyin dan Taoisme
Di saat Buddhadharma sudah lebih mengakar di Cina, Buddhadharma menjadi saingan Taoisme yang tangguh. (Konfusianisme adalah agama negara dan karenanya tidak merasa terancam oleh agama ‘orang biadab’.) Di satu pihak, umat Tao yang putus asa bahkan membuat cerita bahwa saat Laozi menghilang dari Cina, dia pergi ke arah barat, dan bahwa Sang Buddha adalah perwujudan Laozi!
Para pemeluk Tao mencoba lebih jauh dalam menyaingi Buddhadharma dengan menyerap tata cara peribadatan dan metoda meditasi Buddhis. Di abad ke-4 sudah terlihat pengaruh Buddhis yang jelas pada gaya penulisan kitab suci Taois dan pernyataan filosofis dari para guru besarnya. Di lain pihak mereka mendirikan masyarakat pertapa yang disebut kuan sebagai reaksi terhadap sistem Buddhis. Salah satu perkembangan yang paling menarik adalah adopsi Guanyin lewat pemujaan setempat terhadap dewi Niang-niang.
Di zaman dulu, ada dua bentuk dewi tersebut, dewi Cina Utara (Taishan Niangniang) dianggap sebagai pelindung gunung, dan yang selatan (Tianhou Niangniang) adalah pelindung laut. Guanyin pemberi anak dari Saddharmapundarìka Sütra mirip dengan Taishan Niangniang.
Guanyin dari Avamtasaka Sütra, yang dikenal sebagai Nanhai Dashi (Guanyin Laut Selatan), Cihang Dashi (Guanyin Karuôä Batas Lautan), dan Putuo Dashi (Guanyin Pulau Putuo), mirip dengan Tianhou Niangniang. Akhirnya, kedua bentuk Niangniang itu melebur jadi satu dan sekarang ini kita bisa menemukan kuil Niangniang, Guanyin anak diapit oleh Niangniang Cahaya Mata (Yankuang Niangniang) di kanan dan Niangniang Cacar (Douzhen Niangniang) di kiri.
Makna Legenda Guanyin
Dalam beragam legenda Guanyin (terutama kisah Miaoshan) di atas terpendam banyak sekali moralitas dan prinsip yang berfungsi sebagai pedoman dan inspirasi untuk pengembangan diri dan kemapanan sosial. Hanya beberapa makna sederhana dan relevan saja yang akan dijabarkan di sini.
(1).Posisi wanita : Sementara Guanyin me-lambangkan idola kewanitaan Cina, Miaoshan melambangkan wanita yang menderita dalam dunia dominasi pria. Akhirnya, kebajikannya sendirilah yang menyelamatkannya. Kemudian dia malah balik menyelamatkan orang yang tadinya menyengsarakan dirinya.
(2) Sulitnya berbuat baik : Legenda Miaoshan menunjukkan bahwa kadangkala seseorang harus menjalani cobaan dan derita sebelum memperoleh pengembangan spiritual. Dalam beberapa hal, seseorang itu ‘diuji’. Jika orang itu bersungguh hati, semua kesukaran bukanlah masalah atau merupakan suatu ‘berkah yang tersembunyi’.
( 3 ) Orang baik akan ditolong : Jika seseorang itu tulus hati, pertolongan akan datang dari bermacam sumber, bahkan yang tak terduga sekalipun. Harimau yang menolong Miaoshan me-lambangkan sifat hewani dalam diri kita yang diubah menjadi bodhicitta oleh Amitäbha yang muncul di atas awan.
( 4 ) Keseimbangan emosi dan akal budi : Masyarakat kebanyakan tidak begitu tertarik dengan filosofi religius dibandingkan dengan upacara religius. Lewat Guanyin, rakyat biasa bisa melihat bahwa mereka bisa mengatasi masalah sehari-hari dengan lebih mudah tanpa harus memakai takhyul gaib dan upacara yang buang-buang biaya. Di atas semua itu, mereka disediakan cara untuk menyalurkan emosi —sebuah sistem psikologis yang bebas dari perasaan takut dan bersalah dari sistem teistis. mutlak.
( 5 ) Kebenaran mutlak
Guanyin tampil dalam bentuk-bentuk yang dapat dipikirkan. Vihära Miaoshan dibakar (Api) habis oleh sang raja tetapi dia selamat. Angin topan besar (Udara) timbul sewaktu dia akan dipenggal dan sesudah itu seekor harimau dari hutan (Bumi) membawanya pergi. Terakhir, dia disuruh oleh Amitäbha untuk mengasingkan diri di sebuah pulau (Air). Dengan kata lain, orang suci itu selaras dengan alam dan dibantu oleh alam.
================ SELESAI ================
sumber : http://www.wihara.com/forum/mahayana/6964-avalokitesvara.html
Dalam beragam legenda Guanyin (terutama kisah Miaoshan) di atas terpendam banyak sekali moralitas dan prinsip yang berfungsi sebagai pedoman dan inspirasi untuk pengembangan diri dan kemapanan sosial. Hanya beberapa makna sederhana dan relevan saja yang akan dijabarkan di sini.
(1).Posisi wanita : Sementara Guanyin me-lambangkan idola kewanitaan Cina, Miaoshan melambangkan wanita yang menderita dalam dunia dominasi pria. Akhirnya, kebajikannya sendirilah yang menyelamatkannya. Kemudian dia malah balik menyelamatkan orang yang tadinya menyengsarakan dirinya.
(2) Sulitnya berbuat baik : Legenda Miaoshan menunjukkan bahwa kadangkala seseorang harus menjalani cobaan dan derita sebelum memperoleh pengembangan spiritual. Dalam beberapa hal, seseorang itu ‘diuji’. Jika orang itu bersungguh hati, semua kesukaran bukanlah masalah atau merupakan suatu ‘berkah yang tersembunyi’.
( 3 ) Orang baik akan ditolong : Jika seseorang itu tulus hati, pertolongan akan datang dari bermacam sumber, bahkan yang tak terduga sekalipun. Harimau yang menolong Miaoshan me-lambangkan sifat hewani dalam diri kita yang diubah menjadi bodhicitta oleh Amitäbha yang muncul di atas awan.
( 4 ) Keseimbangan emosi dan akal budi : Masyarakat kebanyakan tidak begitu tertarik dengan filosofi religius dibandingkan dengan upacara religius. Lewat Guanyin, rakyat biasa bisa melihat bahwa mereka bisa mengatasi masalah sehari-hari dengan lebih mudah tanpa harus memakai takhyul gaib dan upacara yang buang-buang biaya. Di atas semua itu, mereka disediakan cara untuk menyalurkan emosi —sebuah sistem psikologis yang bebas dari perasaan takut dan bersalah dari sistem teistis. mutlak.
( 5 ) Kebenaran mutlak
Guanyin tampil dalam bentuk-bentuk yang dapat dipikirkan. Vihära Miaoshan dibakar (Api) habis oleh sang raja tetapi dia selamat. Angin topan besar (Udara) timbul sewaktu dia akan dipenggal dan sesudah itu seekor harimau dari hutan (Bumi) membawanya pergi. Terakhir, dia disuruh oleh Amitäbha untuk mengasingkan diri di sebuah pulau (Air). Dengan kata lain, orang suci itu selaras dengan alam dan dibantu oleh alam.
================ SELESAI ================
sumber : http://www.wihara.com/forum/mahayana/6964-avalokitesvara.html
0 komentar:
Posting Komentar