EMPAT PULUH LIMA TAHUN MEMBABARKAN DHAMMA
Setelah Sang Bhagava mengutus keenam puluh siswaNya, Beliau sendiri tetap melanjutkan pembabaran Dhamma tanpa kenal lelah selama empat puluh lima tahun. Selama dua puluh tahun pertama masa pembabaran Dhamma ini, Sang Bhagava melewatkan masa berdiam musim hujan di berbagai tempat. Namun, selama dua puluh lima tahun terakhir, Ia melewatkan sebagian besar masa berdiam-Nya di Savatthi. Berikut adalah kronologi pembabaran Dhamma oleh Buddha selama empat puluh lima tahun.
Tahun Pertama (588 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Migadaya (Taman Rusa), Isipatana, di dekat Baranasi.
Peristiwa utama:
Buddha membabarkan sutta pertama Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhana Sutta, dan Adittapariyaya Sutta; mengalihyakinkan kelima petapa (Pancavaggiya); mendirikan Persamuhan (Sangha) Bhikkhu dan Tiga Pernaungan (Tisarana); mengalihyakinkan Yasa dan kelima puluh empat sahabatnya; mengutus para misionari pertama; mengalihyakinkan ketiga puluh pangeran Bhaddavaggiya mengalihyakinkan ketiga Kassapa bersaudara beserta seribu orang pengikut mereka.
Tahun Kedua Sampai Keempat (587 - 585 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Veluvanarama (Vihara Hutan Bambu), di dekat Rajagaha.
Peristiwa utama:
Buddha memenuhi janji kepada Raja Bimbisara; menerima Vihara Veluvana sebagai pemberian dana; menyabdakan Ovada Patimokkha; menunjuk Sariputta dan Moggallana sebagai siswa bhikkhu utama (agga savaka); mengunjungi Kapilavatthu; mempertunjukkan mukjizat ganda (yamaka patihariya); menahbiskan Pangeran Rahula dan Pangeran Nanda; mengukuhkan Raja Suddhodana, Ratu Mahapajapati Gotami, serta Yasodhara ke dalam Arus kesucian; menahbiskan keenam pangeran Sakya; bertemu dengan Anathapindika; menerima Vihara Jetavana sebagai pemberian dana; bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala, mendamaikan sengketa antara suku Sakya dan Koliya; membabarkan Mahasamaya Sutta.
Tahun Kelima (584 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Kutagarasala (Balairung Puncak), Mahavana, di dekat Vesali.
Peristiwa utama:
Wafatnya Raja Suddhodana; Sang Bhagava mengizinkan Ratu Mahapajapati Gotami bersama kelima ratus putri untuk menjadi bhikkhuni; mendirikan Sangha Bhikkhuni; membabarkan Dakkhinavibanga Sutta.
Tahun Keenam (583 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Mankulapabbata (Bukit Mankula), di dekat Kosambi.
Peristiwa utama:
Ratu Khema menjadi bhikkhuni dan kemudian ditunjuk sebagai salah satu dari kedua siswi bhikkhuni utama dengan Uppalavanna; Sang Bhagava melarang mempertunjukkan mukjizat demi keuntungan pribadi dan Harga diri mereka sendiri; melakukan mukjizat ganda.
Tahun Ketujuh (582 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Surga Tavatimsa.
Peristiwa utama:
Buddha melakukan mukjizat; membabarkan Abhidhamma di Surga Tavatimsa; Sang Bhagava difitnah oleh Cincamanavika.
Tahun Kedelapan (581 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Bhesakalavana (Hutan Bhesakala), di dekat Surmsumaragiri, Distrik Bhagga.
Peristiwa utama:
Pangeran Bodhirajakumara mengundang Sang Bhagava ke Kokanada, istana barunya, untuk menerima dana makanan; Sang Bhagava membabarkan Punnovada Sutta; Punna mengunjungi Sunaparanta.
Tahun Kesembilan (580 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Ghositar�ma (Wihar2 Ghosita), Kosambi.
Peristiwa utama:
Magandiya membalas dendam; sengketa para bhikkhu di Kosambi.
Tahun kesepuluh (579 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Hutan Rakkhita, di dekat Desa Parileyyaka.
Peristiwa utama:
Karena terjadi sengketa yang berkepanjangan di antara para bhikkhu di Kosambi, Sang Bhagava akhirnya menyendiri di Hutan Rakkhita, di dekat Desa Parileyyaka, ditemani oleh gajah Parileyyaka. Pada penghujung kediaman musim hujan tersebut Ananda, atas nama para warga Savatthi, mengundang Sang Bhagava untuk kembali ke Savatthi. Para bhikkhu Kosambi yang bersengketa tersebut kemudian memohon maaf kepada Sang Bhagava dan kemudian menyelesaikan sengketa mereka.
Tahun Kesebelas (578 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Dakkhinagiri, desa tempat tinggal Brahmin Ekanala.
Peristiwa utama:
Buddha mengalihyakinkan Brahmin Kasi Bharadvaja; menuju ke Kammasadamma di Negeri Kuru serta membabarkan Mahasatipatthana Sutta dan Mahanidana Sutta.
Tahun Kedua Belas (577 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Veranja.
Peristiwa utama:
Sang Bhagava memenuhi undangan seorang brahmin di Veranja untuk melewatkan kediaman musim hujan sana. Sayangnya, waktu itu terjadi bencana kelaparan di sana. Akibatnya, Sang Bhagava dan para siswa-Nya hanya memperoleh makanan mentah yang biasanya diberikan kepada kuda yang dipersembahkan oleh sekelompok pedagang kuda.
Tahun Ketiga Belas (576 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Caliyapabbata (Batu Cadas Caliya).
Peristiwa utama:
Setelah melewati kediaman musim hujan, Sang Bhagava menuju ke Bhaddiya untuk mengalihyakinkan sang hartawan Mendaka beserta istrinya yaitu Candapaduma, putranya yaitu Dhananjaya, menantunya yaitu Sumanadevi, pembantunya yaitu Punna, serta Visakha � cucu putrinya yang berumur tujuh tahun; mengalihyakinkan Siha, seorang panglima di Vesali yang sekaligus merupakan pengikut Nigantha Nataputta; membabarkan Maha Rahulovada Sutta.
Tahun Keempat Belas (575 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Vihara Jetavana, Savatthi.
Peristiwa utama:
Rahula, putra dari Pangeran Siddhattha yang kini menjadi Buddha, menerima penahbisan lanjut; Sang Bhagava membabarkan Cula Rahulovada Sutta, Vammika Sutta, dan Suciloma Sutta.
Tahun Kelima Belas (574 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Nigrodharama Nigrodha (Taman Nigrodha), Kapilavatthu.
Peristiwa utama:
Wafatnya Raja Suppabuddha, ayah-mertua Pangeran Siddhattha (Sang Buddha).
Tahun Keenam Belas (573 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Kota Alavi.
Peristiwa utama:
Sang Bhagava mengalihyakinkan Yaksa Alavaka.
Tahun Ketujuh Belas (572 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Veluvanarama, Kalandakanivapa (suaka alam tempat memberi makan tupai hitam), di dekat Rajagaha.
Peristiwa utama:
Buddha membabarkan Singalovada Sutta kepada perumah tangga muda Singalaka.
Tahun Kedelapan Belas Sampai Kesembilan Belas (571 - 570 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Caliyapabbata (Batu Cadas Caliya).
Peristiwa utama:
Sang Bhagava memberikan khotbah kepada seorang gadis penenun beserta ayahnya; Sang Bhagava mengalihyakinkan Kukkutamitta, sang pemburu dan keluarganya.
Tahun Kedua Puluh (569 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Veluvanarama, di dekat Rajagaha.
Peristiwa utama:
Buddha menetapkan aturan-aturan Parajika; menunjuk Ananda sebagai pengiring tetap; pertemuan pertama dengan Jivaka; mengalihyakinkan Angulimala; Sang Bhagava dituduh atas pembunuhan Sundari; meluruskan pandangan salah Brahma Baka; menundukkan Nandopananda.
Tahun Kedua Puluh Satu Sampai Keempat Puluh Empat (568-545 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Vihara Jetavana dan Vihan Pubbarama, Savatthi.
Peristiwa utama:
Kisah mengenai Raja Pukkusati; Sang Bhagava membabarkan Ambattha Sutta; penyerahan Vihara Pubbarama sebagai dana; wafatnya Raja Bimbisara; Bhikkhu Devadatta berusaha membunuh Sang Bhagava; menjinakkan Gajah Nalagiri; Bhikkhu Devadatta menciptakan perpecahan di dalam Sangha; meninggalnya Bhikkhu Devadatta; mengalihyakinkan Raja Ajatasattu; wafatnya Raja Pasenadi dari Kosala; membabarkan Sakka Pa�ha Sutta.
Tahun Keempat Puluh Lima (544 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Beluvagamaka, di dekat Vesali.
Peristiwa utama:
Buddha mengalihyakinkan Upali, siswa utama Nigantha Nataputta; membabarkan ketujuh kondisi kesejahteraan bagi para penguasa dunia dan para bhikkhu; menyampaikan ceramah Cermin Dhamma; menerima hutan mangga dan Ambapali sebagai persembahan dana; wafatnya Sariputta dan Moggallana; membabarkan Empat Narasumber Utama (Mahapadesa); menyantap sukaramaddava; menerima petapa kelana Subhadda sebagai siswa terakhir; Sang Bhagava mencapai Mahaparinibbana.
KEGIATAN SEHARI-HARI SANG BHAGAVA
Selama empat puluh lima tahun Sang Bhagava membabarkan Dhamma dengan semangat. Dan setiap hari Ia melakukan kegiatan rutin-Nya tanpa mengenal jenuh.
Kegiatan harian yang dilakukan Sang Bhagava bisa dibagi ke dalam lima sesi, yaitu: (1) kegiatan pagi (purebhatta kicca), (2) kegiatan siang (pacchabhatta kicca), (3) kegiatan waktu jaga pertama malam (purimayama kicca), (4) kegiatan waktu jaga pertengahan malam (majjhimayama kicca), dan (5) kegiatan waktu jaga terakhir malam (pacchimayama kicca).
Kegiatan Pagi (sekitar pukul 06.00 � 12.00)
Sang Bhagava Bangun pukul 04.00, kemudian setelah mandi Ia bermeditasi selama satu jam. Setelah itu pada pukul 05.00, Beliau memindai dunia dengan Mata Buddha-Nya untuk melihat siapa yang bisa Ia bantu. Pukul 06.00, Sang Bhagava menata jubah bawah, mengencangkan ikat pinggang, mengenakan jubah atas, membawa mangkuk dana-Nya, lalu pergi menuju ke desa terdekat untuk menerima dana makanan. Terkadang Sang Bhagava melakukan perjalanan untuk menuntun beberapa orang ke jalan yang benar dengan kebijaksanaan-Nya. Setelah menyelesaikan makan sebelum tengah hari, Sang Bhagava akan membabarkan khotbah singkat; Ia akan mengukuhkan sebagian pendengar dalam Tiga Pernaungan. Kadang Ia memberikan penahbisan bagi mereka yang ingin memasuki Persamuhan.
Kegiatan Siang (sekitar pukul 12.00 � 18.00)
Pada waktu ini, biasanya digunakan oleh Sang Bhagava untuk memberikan petunjuk kepada para bhikkhu dan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Setelah itu Sang Bhagava akan kembali ke bilik-Nya untuk beristirahat dan memindai seisi dunia untuk melihat siapa yang memerlukan pertolongan-Nya. Lalu, menjelang senja, Sang Bhagava menerima para penduduk kota dan desa setempat di Aula pembabaran serta membabarkan khotbah kepada mereka. Saat Sang Bhagava membabarkan Dhamma, masing-masing pendengar, walaupun memiliki perangai yang berlainan, berpikir bahwa khotbah Sang Bhagava ditujukan secara khusus kepada dirinya. Demikianlah cara Sang Bhagava membabarkan Dhamma, yang sesuai dengan waktu dan keadaannya. Ajaran luhur dari Sang Bhagava terasa menarik, baik bagi khalayak ramai maupun kaum cendekia.
Kegiatan Waktu Jaga Pertama Malam (sekitar pukul 18.00 � 22.00)
Setelah para umat Awam pulang, Sang Bhagava Bangkit dari duduk-Nya pergi mandi. Setelah mandi, Sang Bhagava mengenakan jubah-Nya dengan baik dan berdiam sejenak seorang diri di bilik-Nya. Sementara itu, para bhikkhu akan datang dari tempat berdiamnya masing-masing dan berkmpul untuk memberikan penghormatan kepada Sang Bhagava. Kali ini, para bhikkhu bebas mendekati Sang Bhagava untuk menghilangkan keraguan mereka, ntuk meminta nasihat-Nya mengenai kepelikan Dhamma, untuk mendapatkan objek meditasi yang sesuai, dan untuk mendengarkan ajaran-Nya.
Kegiatan Waktu Jaga Pertengahan Malam (sekitar pukul 22.00 � 02.00)
Rentang waktu ini disediakan khusus bagi para makhluk surgawi seperti para dewa dan brahma dari sepuluh ribu tata dunia. Mereka mendekati Sang Bhagava untuk bertanya mengenai Dhamma yang selama ini tengah mereka pikirkan. Sang Bhagava melewatkan tengah malam itu sepenuhnya untuk menyelesaikan semua masalah dan kebingungan mereka.
Kegiatan Waktu Jaga Terakhir Malam (sekitar pukul 02.00 � 06.00)
Rentang waktu ini dipergunakan sepenuhnya untuk Sang Bhagava sendiri. Pukul 02.00 sampai 03.00, Sang Bhagava berjalan-jalan untk mengurangi penat tubuh-Nya yang menjadi kaku karena duduk sejak fajar. Pukul 03.00 sampai 04.00, dengan perhatian murni, Ia tidur di sisi kanan-Nya di dalam Bilik Harum-Nya. Pada pukul 04.00 sampai 05.00, Sang Bhagava bangkit dari tidur, duduk bersilang kaki dan bermeditasi menikmati Nibbana.
Demikianlah kegiatan harian yang dilakukan oleh Sang Bhagava, yang Ia lakukan sepanjang hidup-Nya.
PERJALANAN TERAKHIR
Menjelang tengah hari, setelah mempersiapkan diri, membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sang Bhagava berjalan menuju Vesali untuk mengumpulkan dana makanan. Saat itu adalah tahun 544 S.M, tiga bulan sebelum memasuki bulan Vesak tahun 543 S.M, beberapa bulan setelah Sariputta dan Moggallana, kedua Siswa Utama Sang Bhagava mencapai Nibbana Akhir (Parinibbana) di hari bulan purnama bulan Kattika.
Setelah makanan terkumpul dan disantap, dalam perjalanan pulang Sang Bhagava meminta Bhikkhu Ananda untuk mengambil sehelai tikar dan mengajaknya ke cetiya Capala. Setelah tiba di cetiya Capala, Sang Bhagava memberikan sebuah peringatan kepada Bhikkhu Ananda mengenai batas waktu kehidupan-Nya. Namun, saat itu Ananda tidak menyadari hal itu meskipun Sang Bhagava mengulanginya untuk ketiga kalinya.
Setelah mengulangi peringatan tersebut sebanyak tiga kali dan Bhikkhu Ananda tidak menanggapinya, Sang Bhagava mempersilahkan Bhikkhu Ananda untuk melakukan hal lain yang sepatutnya ia perbuat. Bhikkhu Ananda lalu Bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagava, dan mengundurkan diri dengan Sang Bhagava tetap di sebelah kanannya. Kemudian Bhikkhu Ananda duduk di bawah sebatang pohon pada jarak yang tidak jauh dari tempat tersebut.
Pada saat kesendirian-Nya itu, Sang Bhagava menetapkan bahwa Ia akan Parinibbana (kemangkatan mutlak) tiga bulan dari saat itu.
Kemudian, Sang Bhagava bersama dengan Bhikkhu Ananda menuju Balairung Puncak di Mahavana dan memintanya untuk memanggil semua bhikkhu yang berada di sekitar Vesali untuk berkumpul di Aula pertemuan.
Setelah membabarkan mengenai Ketiga Puluh Tujuh Syarat Pencerahan (Bodhipakkhiyadhamma) kepada Sangha Bhikkhu, Sang Bhagava memberitahukan saat Parinibbana-Nya: �Dengarkanlah, para Bhikkhu, sekarang Saya nyatakan kepada kalian: semua hal yang terkondisi pasti akan hancur. Berjuanglah dengan penuh kesadaran! Wafatnya Tathagata tak lama lagi akan terjadi. Tiga bulan sejak saat ini, Tathagata akan mencapai Parinibbana.�
Inilah yang dikatakan Sang Bhagava. Setelah mengatakan hal ini, Sang Bhagava melantunkan syair berikut:
�Telah lanjut usia-Ku, hidup-Ku hanya tersisa sedikit. Aku akan Berangkat meninggalkan kalian. Aku telah menjadikan diri-Ku sebagai pernaungan-Ku sendiri. Berusahalah dengan tekun dan dengan perhatian murni! Bersikap baik, O para Bhikkhu! Dengan pikiran yang terpusat penuh, jagalah Batin kalian! Barang siapa berusaha dengan tekun dalam ajaran ini, akan meninggalkan lingkaran tumimbal lahir dan mencapai akhir segala derita.�
Di hari berikutnya, saat fajar, Sang Bhagava menata jubah-Nya; sambil membawa mangkuk dana dan jubah luar-Nya, Ia menuju Vesali untuk menerima dana makanan. Setelah menerima dana makanan dan bersantap, saat meninggalkan tempat itu Ia membalikkan badan dan menatap Vesali dengan tatapan sesosok gajah pengading suci. Lalu ia berkata kepada Bhikkhu Ananda, �Ananda, inilah terakhir kalinya Tathagata menatap Vesali. Mari, Ananda, mari kita pergi ke Bhandagama!�
Dengan diiringin sejumlah besar bhikkhu, Sang Bhagava menempuh perjalanan ke Bhandagama. Setelah tinggal di Bhandagama selama yang dikehendaki-Nya, Sang Bhagava menempuh perjalanan secara bertahap dengan sejumlah besar bhikkhu ke Hatthigama, Ambagama, Jambugama, dan kemudian ke Bhoganagara. Selagi di Bhoganagara, Sang Bhagava mengajarkan pada sekumpulan banyak bhikkhu mengenai Empat Narasumber Utama (Mahapadesa).
MAKANAN TERAKHIR SANG BHAGAVA
Kemudian, setelah Sang Bhagava tinggal di Bhoganagara, Ia melanjutkan perjalanan ke Pava dengan sekumpulan besar bhikkhu dan tinggal di hutam mangga milik Cunda, putra si pandai besi (kammaraputta).
Mendengar berita kedatangan Sang Bhagava di hutan mangganya, Cunda segera menghadap Sang Bhagava dan memberi sembah hormat pada-Nya. Sang Bhagava memberinya dorongan dengan pembabaran Dhamma serta membahagiakannya dalam latihan Dhamma. Setelah mendengarkan Dhamma, Cunda mengundang Sang Bhagava beserta Sangha bhikkhu untuk menerima persembahan dana makanan keesokan harinya. Sang Bhagava menyetujuinya dengan berdiam diri.
Keesokan harinya, Cunda mempersiapkan makanan yang mewah, termasuk masakan khusus yang disebut sukaramaddava (menurut Digha Nikaya Atthakatha, sukaramaddava atau daging babi lunak adalah daging seekor babi yang tidak terlalu muda atau terlalu tua, namun yang tidak dibunuh khusus untuk-Nya [pavattamamsa]; sebagian ahli menafsirkannya sebagai beras lunak yang ditanak dengan lima macam makanan olahan dari sapi; sementara sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa makanan tersebut adalah makanan khusus yang dipersiapkan dengan ramuan tertentu yang lezat dan sangat bergizi yang disebut rasayana).
Ketika makanan dipersembahkan, Sang Bhagava meminta Cunda untuk menghidangkan sukaramaddava kepada diri-Nya semata, dan menghidangkan makanan lainnya bagi Sangha bhikkhu. Seusai makan, Sang Bhagava meminta Cunda untuk memendam sisa sukaramaddava itu di dalam lubang karena Ia tidak melihat siapa pun yang mampu mencernanya dengan baik. Namun, setelah makan, sejenis disentri Akut menyerang Sang Bhagava, dan menyebabkan kucuran darah yang disertai rasa sakit yang amat menusuk. Sang Bhagava menahan rasa sakit ini tanpa mengeluh dan tetap berperhatian murni dengan pemahaman jernih. Dengan menahan sakit, Sang Bhagava berkata, �Mari, kita pergi ke Kusinara.�
PERJALANAN MENUJU KUSINARA
Dalam perjalanan ke Kusinara, Sang Bhagava merasa letih dan haus. Ia duduk di bawah sebatang pohon dan meminta Bhikkhu Ananda untuk mengambilkan air di aliran air di sekitar tempat itu. Namun beberapa kereta baru saja lewat sehingga aliran air tersebut menjadi keruh. Bhikkhu Ananda menyarankan Sang Bhagava, �Bhante, Sungai Kakuttha berada tidak jauh dari sini; air dingin di sungai itu jernih, menyegarkan, tidak kotor; tepian sungai itu bersih dan menyenangkan. Sang Bhagava bisa minum dan menyejukkan tungkai di sana.�
Untuk kedua kalinya, Sang Bhagava meminta dan menerima jawaban yang sama. Setelah yang ketiga kalinya, Bhikkhu Ananda menurut dan berkata, �Baiklah, Bhante.� Dan ketika Bhikkhu Ananda tiba di aliran air itu, berkat kekuatan Sang bhagava, ia mendapatkan aliran air yang dangkal itu menjadi jernih, murni, dan tidak kotor. Lalu ia mengambil air dan memasukkannya ke dalam mangkuk dananya. Kemudian ia kembali menghadap Sang Bhagava dan memberitahukan-Nya apa yang telah terjadi, seraya menambahkan: �Semoga Sang Bhagava bersedia minum air ini! Semoga Yang Mahasuci bersedia minum air ini!� Lalu, Sang Bhagava pun minum.
Setelah Sang Bhagava minum dan ketika masih duduk di kaki pohon itu, seorang pangeran Malla yang bernama Pukkusa � seorang siswa Alara Kalama yang sedang menempuh perjalanan dari Kusinara menuju Pava, melihat Sang Bhagava dan menghadap-Nya. Ia menceritakan pengalaman gurunya dalam meditasi. Kemudian Sang Bhagava menceritakan pengalaman-Nya kepada Pukkusa. Pukkusa sungguh terkesan dengan ketenangan Sang Bhagava, lalu ia mengambil pernaungan dalam Tiga permata sampai akhir hayatnya. Setelah itu, ia mempersembahkan sepasang jubah berwarna keemasan kepada Sang Bhagava. Akan tetapi, Sang Bhagava meminta Pukkusa untuk mempersembahkan sehelai jubah kepada-Nya dan sehelai lainnya kepada Bhikkhu Ananda.
Segera setelah Pukkusa pergi, Bhikkhu Ananda memakaikan pasangan jubah keemasan itu di tubuh Sang Bhagava. Ia terkejut karena warna cemerlang dari jubah keemasan itu pudar ketika dipakaikan pada tubuh Sang Bhagava. Melihat hal ini, Bhikkhu Ananda berseru terhadap apa yang dilihatnya. Untuk itu, Sang Bhagava menjelaskan bahwa ada dua peristiwa yang bisa menyebabkan warna alami dari kulit Tathagata menajdi sangat bersih dan bersinar, yaitu pada malam hari saat Ia mencapai Nibbana, dan pada malam Ia mencapai Parinibbana.
Sang Bhagava lalu menyatakan bahwa pada waktu jaga malam terakhir hari itu jyga di antara kedua pohon sala kembar di hutan sala milik kaum Malla, di dekat Kusinara, Tathagata akan mencapai Parinibbana.
Kemudian, Sang Bhagava melanjutkan perjalanan ke Sungai Kakuttha, dan di sana Ia mandi untuk yang terakhir kalinya, dan meminum air sungai tersebut. Setelah itu, Ia menuju ke sebuah hutan mangga dan beristirahat sejenak di sana, dengan berbaring di sisi kanan-Nya laksana singa yang tengah tidur. Ia berbaring pada jubah luar yang telah disiapkan oleh Bhikkhu Cundaka.
Ketika beristirahat di sana, Sang Bhagava berkata kepada Bhikkhu Ananda agar menghalau rasa sesal yang muncul dalam diri Cunda, putra si pandai besi ketika ada orang yang menganggap bahwa ia adalah orang yang tidak beruntung karena Tathagata wafat setelah menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan. Rasa sesal Cunda perlu dihilangkan dengan mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang mujur besar karena Tathagata wafat setelah menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan. Sang Bhagava juga menyatakan bahwa ada dua pemberian dana yang luar biasa, yaitu dana yang dimakan Tathagata tepat sebelum Ia mencapai Nibbana dan dana yang dimakan Tathagata tepat sebelum Ia mencapai Nibbana Akhir tanpa sisa (Parinibbana).
DI BAWAH POHON SALA KEMBAR
Setelah istirahat singat itu, Sang Bhagava melanjutkan perjalanan akhir-Nya dengan serombongan besar bhikkhu, Mereka menyeberangi Sungai Hirannavati dan menuju ke hutan sala milik kaum Malla di dekat Kushinara, tempat peristirahatan-Nya yang terakhir.
Saat tiba di sana, Sang Bhagava meminta Bhikkhu Ananda untuk meyiapkan dipan di antara dua pohon sala kembar itu, dengan bagian kepala dipan menghadap ke utara. Setelah siap, Sang Bhagava berbaring di sisi kanan-Nya dalam postur singa, dengan tungkai kaki yang satu tertumpu pada yang lainnya, berperhatian murni dan sangat sadar. Saat itu, banyak sekali bunga bermekaran di pohon sala kembar tersebut, meskipun saat itu belum musim bunga.
Pada kesempatan itu, Sang Bhagava memberikan petunjuk mengenai empat tempat yang layak diziarahi oleh umat yang penuh keyakinan dan yang akan menginspirasikan kebangkitan spiritual dalam diri mereka. Tempat-tempat itu meliputi:
1. Lumbini, tempat kelahiran Tathagata.
2. Buddha Gaya, tempat Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna.
3. Taman Rusa di Isipatana dekat Baranasi (Benares), tempat Tathagata memutar roda Dhamma pertama kali.
4. Kushinara, tempat Tathagata mencapai Parinibbana, Pembebasan Akhir, terhentinya kelima gugus secara penuh.
Lalu Bhikkhu Ananda menanyakan berbagai hal di antaranya bagaimana sebaiknya para bhikkhu memperlakukan sisa-sisa tubuh Tathagata. Sang Bhagava menjawab, �Ananda, janganlah merepotkan diri dengan menghormati sisa-sisa tubuh Tathagata. Engkau harus berusaha untuk mencapai tujuan tinggi. Curahkanlah usahamu untuk mencapai Nibbana! Berlatihlah dengan gigih, tekun, dan tanpa lalai demi kebaikanmu sendiri. Ada kaum kesatria, kaum brahmana, dan perubah tangga yang bijaksana, yang memiliki keyakinan teguh terhadap Tathagata; mereka akan menghormati sisa-sisa tubuh Tathagata.�
Setelah tanya jawab tersebut, Bhikkhu Ananda merasa sedih bahwa hari itu juga Tathagata akan mencapai Parinibbana. Ia lalu masuk ke sebuah gubuk tempat tinggal, bersandar pada tiang pintu, dan berdiri sambil meratap. Menyadari bahwa Bhikkhu Ananda tidak berada di sisi-Nya, Sang Bhagava meminta seorang bhikkhu untuk memanggilnya menghadap, lalu Sang Bhagava menghibur Bhikkhu Ananda.
Sang Bhagava memuji Bhikkhu Ananda sebagai seseorang yang bijaksana dan piawai dalam mengatur waktu yang tepat bagi para bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika untuk datang menjumpai Sang Bhagava. Sang Bhagava juga mengagumi Bhikkhu Ananda karena memiliki empat sifat yang sangat baik dan mengagumkan.
Setelah itu Sang Bhagava membabarkan Mahasudassana Sutta dan kemudian Ia meminta Bhikkhu Ananda untuk pergi ke Kusinara untuk mengumumkan kepada kaum Malla dari Kusinara bahwa Tathagata akan mencapai Nibbana Akhir pada waktu jaga malam yang ketiga. Mendengar pesan yang disampaikan oleh Bhikkhu Ananda, para pangeran Malla, dengan para putra, putri, menantu perempuan, serta para istri mereka merasa sangat sedih dan sangat terpukul oleh derita dan duka. Mereka menuju ke hutan sala itu untuk memberikan penghormatan yang terakhir pada Sang Bhagava.
PENAHBISAN TERAKHIR
Saat itu, Subhaddha si petapa kelana sedang tinggal di Kusinara. Ia mendengar bahwa Petapa Gotama akan mencapai Parinibbana pada waktu jaga malam yang ketiga. Ia berpikir, �Telah kudengar dari para sesepuh yang mulia serta guru-guru dari para petapa kelana bahwa sungguh amat langka para Yang Tercerahkan Sempurna, para Tathagata, muncul di dunia ini. Dan malam ini, pada waktu jaga malam yang terakhir, Petapa Gotama akan mencapai Nibbana Akhir. Keraguan telah muncul dalam batinku dan aku memiliki keyakinan terhadap Petapa Gotama bahwa Ia bisa mengajarkanku ajaran tersebut sedemikian rupa agar aku bisa menghalau keraguanku.�
Tanpa menunda waktu, Subhadda pergi ke hutan sala itu dan menghadap Bhikkhu Ananda, menyatakan pemikirannya, namun Bhikkhu Ananda menolak mempertemukannya dengan Sang Bhagava dengan alasan bahwa Sang Bhagava merasa letih. Subhadda mengulangi permintaannya untuk yang kedua dan ketiga kalinya, namun Bhikkhu Ananda menjawab dengan cara yang sama dan menolaknya. Mendengar percakapan antara Bhikkhu Ananda dan Subhadda, Sang Bhagava memanggil Bhikkhu Ananda: �Cukup, Ananda! Jangan halangi Subhadda! Biarkan ia menghadap Tathagata! Karena apa pun yang akan ditanyakan Subhadda kepada Saya, ia hendak bertanya demi memuaskan keinginannya memperoleh pengetahuan sempurna, bukan untuk mengganggu Saya, dan apa pun jawaban Saya terhadap pertanyaannya akan segera dipahaminya.�
Lalu Bhikkhu Ananda berkata: �Pergilah, Sahabat Subhadda! Sang Bhagava memperkenankanmu.�
Setelah bertukar salam hangat dengan Sang Bhagava dan duduk di satu sisi, Subhadda mengajukan pertanyaan yang membuatnya ragu. Kemudian Sang Bhagava membabarkan Dhamma kepadanya:
�Subhadda, dalam Dhamma dan Vinaya mana pun yang tidak mengandung empat Kebenaran Arya, tidak akan terdapat satu pun petapa dengan tingkat kesucian pertama (Sotapatti), tidak akan terdapat satu pun petapa dengan tingkat kesucian kedua (Sakadagami), tingkat kesucian ketiga (Anagami), maupun tingkat kesucian keempat (Arahat). Dalam Dhamma dan Vinaya mana pun yang mengandung Empat Kebenaran Mulia, akan terdapat pula para petapa dengan tingkat kesucian pertama, tingkat kesucian kedua, tingkat kesucian ketiga, dan tingkat kesucian keempat.�
Setelah Sang Bhagava selesai membabarkan Dhamma, Subhadda merasa takjub dan menyatakan bernaung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta memohon untuk ditahbiskan. Sang Bhagava menerima Subhadda dalam Persamuhan para bhikkhu tanpa menjalani masa percobaan.
Lalu Subhadda, si petapa kelana, menerima penahbisan awal dan penahbisan penuh ke dalam persamuhan selaku bhikkhu di hadapan Sang Bhagava. Ia dibimbing oleh-Nya untuk bermeditasi dengan cara yang tepat. Setelah itu Bhikkhu Subhadda memencilkan diri, bermeditasi dengan menjaga perhatian murni secara berkesinambungan, berusaha dengan tekun, dan mengarahkan batinnya untuk mencapai kesucian Arahat. Ia merupakan orang terakhir diterima oleh Sang Bhagava memasuki Persamuhan dan yang terakhir menjadi Arahant saat Sang Bhagava masih hidup.
SABDA TERAKHIR
Sang Bhagava berkata kepada Bhikkhu Ananda: �Ananda, engkau mungkin berpikir: �Bimbingan dan Sang Guru tak ada lagi; sekarang kita tak lagi memiliki guru.� Namun, engkau tak seharusnya berpikir demikian karena apa yang telah Saya ajarkan dan Saya babarkan kepadamu sebagai Dhamma dan Vinaya akan menjadi gurumu setelah Saya wafat.�
�Sampai saat ini, para bhikkhu saling menyapa dengan sebutan �Sahabat� (Avuso), namun mereka sebaiknya tidak melakukan hal ini setelah Saya mangkat. Bhikkhu yang lebih tua seharusnya menyapa bhikkhu yang lebih muda dengan nama bhikkhu atau nama keluarganya, atau sebagai �Sahabat� (Avuso). Dan bhikkhu yang lebih muda seharusnya menyapa bhikkhu yang lebih tua sebagai �Guru� (Bhante) atau �Yang Mulia� (Ayasma).�
�Ananda, jika memang diinginkan, Sangha boleh menghapuskan aturan-aturan kecil dan yang kurang penting setelah Saya mangkat.�
�Dan Ananda, setelah Saya mangkat nanti, sanksi yang lebih berat (brahmadanda) harus dijatuhkan kepada Channa.�
�Tapi, Bhante, apa sanksi yang lebih berat itu?�
�Apa pun yang diinginkan ataupun yang dikatakan Channa, ia tak boleh disapa, ditegur, ataupun dibimbing oleh para bhikkhu lainnya.�
Lalu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu demikian: �Para Bhikkhu, mungkin saja ada bhikkhu yang memiliki keraguan atau ketidakpastian mengenai Buddha, Dhammu, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Bertanyalah sekarang, Para Bhikkhu! Jangan menyesal kelak dengan berpikir: �Kami berhadapan muka dengan Sang Guru, namun kami gagal bertanya kepada Yang Terberkahi langsung untuk menghalau keraguan kami��
Ketika hal ini disampaikan, para bhikkhu diam saja. Untuk kedua dan ketiga kalinya, Sang Bhagava mengulangi kata-kata�Nya, dan mereka tetap saja diam. Lalu Sang Bhagava berkata: �Para Bhikkhu, mungkin karena rasa hormat terhadap Sang Gurulah kalian tidak bertanya kepada Saya. Kalau begitu, Para Bhikkhu, biarlah sahabat yang satu menyampaikannya kepada yang lainnya!� Akan tetapi, mereka tetap saja diam.
Lalu Bhikkhu Ananda berkata kepada Sang Bhagava: �Menakjubkan, Bhante! Menakjubkan, Bhante! Saya begitu yakin bahwa di dalam kumpulan ini tak seorang bhikkhu pun yang memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan.�
�Ananda, engkau berkata atas keyakinan, namun Tathagata mengetahui bahwa di dalam kumpulan ini tak seorang bhikkhu pun yang memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Ananda, di antara kelima ratus bhikkhu ini, yang paling rendah pun adalah seorang Sotapanna, yang tak akan terjatuh ke alam rendah, namun kelak pasti akan mencapai Pencerahan.�
Lalu Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu dan memberikan bimbingan-Nya yang terakhir:
�Handa dani, bhikkhave, amantayami vo, Vayadhamma sankhara, Appamadena sampadetha.�
�Para Bhikkhu, sekarang Saya nyatakan kepada kalian:
Segala hal yang terkondisi pasti akan hancur. Berjuanglah dengan penuh kesadaran!�
MAHAPARINIBBANA
Setelah Sang Bhagava menyampaikan pesan terakhir-Nya, seluruh hutan sala itu menjadi sunyi senyap. Sang Bhagava memasuki jhana pertama. Dan setelah keluar dari jhana tersebut, Ia memasuki jhana kedua, ketiga, dan keempat. Lalu keluar dari jhana keempat, Ia memasuki Tataran Ruang Nirbatas (aktasana�cayatana), Tataran Kesadaran Nirbatas (vi��anancayatana), Tataran Kekosongan (aki�ca��ayatana), serta Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan (n�eva sa��� n�asa��ayatana). Dan setelah itu, Ia mencapai dan terserap dalam Tiadanya Pencerapan dan Perasaan (sa��avedayita-nirodha).
Bhikkhu �nanda, yang memperhatikan bahwa Yang Terberkahi tidak bernafas, menjadi cemas dan berkata kepada Bhikkhu Anuruddha: �Sahabat Anuruddha, Sang Bhagava telah mangkat.�
�Tidak, Sahabat �nanda, Sang Bhagava belum mangkat. Ia telah mencapai dalam Tiadanya Pencerapan dan Perasaan.�
Lalu, keluar dari Tiadanya Pencerapan dan Perasaan itu, Sang Bhagava memasuki Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Setelah itu Ia memasuki Tataran Kekosongan, lataran Kesadaran Nirbatas, dan Tataran Ruang Nirbatas. Lalu keluar dari Tataran Ruang Nirbatas, Ia memasuki jhana keempat, jhana ketiga, jhana kedua, dan jhana pertama.
Kemudian, keluar dari jhana pertama, Ia memasuki jhana kedua, jhana ketiga, dan jhana keempat. Setelah keluar dari jhana keempat, Sang Bhagava mencapai Nibbana Akhir.
Tepat saat Sang Bhagava mencapai Nibbana Akhir, terjadilah gempa yang dahsyat dan mengerikan, diiringi guntur yang menyebabkan orang berdiri kudunya dan merinding.
Pada saat itulah, pada waktu jaga malam yang terakhir, pada hari bulan purnama, bulan Vesak 543 S.M dan pada usia delapan puluh tahun, Sang Bhagava mangkat tanpa meninggalkan sisa apapun.
KREMASI
Demikianlah, ketika Sang Bhagava mangkat, beberapa bhikkhu yang belum melenyapkan kesenangan napsu dengan mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari, dan meratap. Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung dalam batin: "Segala sesuatu adalah tidak kekal, bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi, jika tidak terjadi demikian?"
Kini Bhikkhu Anuruddha dan Bhikkhu �nanda selama satu malam suntuk memperbincangkan Dhamma. Kemudian Anurudha berkata kepada Ananda : "Ananda, sekarang pergilah ke Kusinara, umumkanlah kepada suku Malla : "Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian." "Baiklah, Sahabat." Lalu Bhikkhu �nanda dengan seorang kawannya mempersiapkan diri sebelum tengah hari dan sambil membawa patta serta jubahnya menuju ke Kusinara. Pada saat itu suku Malla dari Kusinara sedang berkumpul dalam ruang persidangan untuk merundingkan soal itu juga. Takala Bhikkhu �nanda menemui mereka, lalu mengumumkan : "Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian."
Demikianlah, ketika mereka mendengar kata-kata Bhikkhu �nanda, suku Malla dengan semua anak, istri, menantu mereka menjadi sedih, berduka cita dan sangat susah kelihatannya, ada di antara mereka dengan rambut yang kusut serta mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari dan meratap
Setelah suku Malla tiba di tempat dimana Sang Bhagava mangkat, mereka mengadakan penghormatan dengan menyajikan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian dan segala sesuatu yang dibawanya; lalu mereka mendirikan kemah-kemah dan kubu-kubu untuk bernaung selama mereka ada di sana, melakukan upacara penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava itu selama tujuh hari.
Pada hari ketujuh, dengan hidmat dan tertib mereka mengusung jenasah Sang Bhagava itu ke arah Utara, ke bagian Utara dari kota, dan sesudah melalui pintu gerbang Utara, lalu menuju ke pusat kota, dan sesudah melewati pintu gerbang sebelah Timur mereka menuju ke cetiya dari suku Malla, Makuta-bhandhana, dan di sanalah jenasah Sang Bhagava dibaringkan.
Kemudian mereka membungkus jenasah Sang Bhagava seluruhnya dengan kain linen baru, lalu dengan kain katun wool yang telah disiapkan; dan demikian seterusnya sehingga lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus lapisan kain katun wool. Setelah itu dikerjakan, mereka membaringkan jenasah Sang Bhagava di dalam sebuah peti dengan dicat meni yang ditaruh lagi di dalam sebuah peti yang dicat meni yang ditaruh lagi di dalam peti yang dicat meni lainnya, kemudian mereka mendirikan pancaka pembakaran yang dibuat dari segala macam kayu-kayuan wangi-wangian dan di atas pancaka itulah jenasah Sang Bhagava ditempatkan.
Waktu kremasi pun tiba, rombongan Maha Kassapa tiba di tempat pancaka Sang Bhagava di cetiya dari suku Malla, Makuta-bandhana, di Kusinara. Beliau lalu mengatur jubahnya pada salah satu bahunya, dan dengan tangan tercakup di muka, beliau menghormat Sang Bhagava; beliau berjalan mengitari pancaka tiga kali, kemudian menghadap pada jenasah Sang Bhagava, lalu beliau berlutut menghormat pada jenasah Sang Bhagava. Hal yang serupa itu, juga dilakukan oleh kelima ratus bhikkhu itu.
Demikianlah setelah dilakukan penghormatan oleh Maha Kassapa beserta kelima ratus bhikkhu itu, maka di pancaka Sang Bhagava lalu terlihat api menyala dengan sendirinya dan membakar seluruhnya.
Demikanlah terjadi takkala jenasah Sang Bhagava mulai dibakar; yang mula-mula terbakar adalah kulitnya, jaringan daging, urat-urat dan cairan-cairan semua itu tiada yang nampak, abu maupun bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Tepat sama seperti lemak atau minyak kalau dibakar tidak meninggalkan bagian-bagiannya atau debu-debunya, demikian pula dengan jenazah Sang Bhagava setelah terbakar, apa yang dinamakan kulit, jaringan, daging, urat-uratan serta cairan, tiada nampak debunya atau bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Dari kelima ratus lapisan kain linen pembungkusnya, hanya dua yang tidak musnah, yaitu yang paling dalam dan yang paling luar.
Setelah api kremasi padam, suku Malla dari Kusinara, mengambil relik (sisa jasmani) Sang Bhagava, lalu ditempatkan di tengah-tengah ruangan sidang mereka, yang kemudian dipagari sekelilingnya dengan Anyaman tombak-tombak, lalu dilapisi lagi dengan pagar dari panah dan busur-busur.
Di sanalah mereka mengadakan upacara puja Bakti selama tujuh hari. Untuk menghormati relik Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyian dan lagu-lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan dan wangi-wangian, melakukan puja bakti terhadap relik Sang Bhagava.
PEMBAGIAN RELIK-RELIK SANG BHAGAVA
Kemudian Raja Magadha, Ajatasattu, putera Ratu Videhi, mendengar bahwa Sang Bhagava telah mangkat di Kusinara. Ia mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari kesatria asal Sang Bhagava; demikianlah pula saya. Karena itu saya sangat perlu untuk menerima sebagian relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu saya akan dirikan sebuah stupa; dan untuk menghormatiNya, saya akan mengadakan suatu kebaktian dan perayaan."
Demikian pula halnya dengan orang Licchavi dari Vesali, suku Sakya dari Kapilavasthu, suku Buli dari Allakappa, suku Koliya dari Ramagama, sang Brahmana dari Vethadipa, Suku Malla dari Pava, mereka telah mendengar Sang Bhagava telah mangkat di Kusinara, mereka segera mengirim utusan mereka untuk mendapatkan bagian relik Sang Bhagava.
Tetapi suku Malla di Kusinara menolak untuk memberikan kepada mereka. Dan situasi menjadi memanas. Pada saat kritis ini, Brahmana Doma datang untuk mendamaikan mereka, ia berkata:
"Wahai saudara-saudara dengarlah sepatah kata dariku, Sang Buddha, Maha Guru yang kita junjung tinggi, telah mengajarkan, agar kita selalu bersabar, sungguh tak layak, jika timbul ketegangan nanti, timbul perkelahian, peperangan karena relik Beliau, Manusia Agung yang tak ternilai. Marilah kita bersama, wahai para hadirin, dalam suasana persaudaraan yang rukun dan damai, membagi menjadi delapan, peninggalan yang suci ini, sehingga setiap penjuru, jauh tersebar di sana sini, terdapat stupa-stupa yang megah menjulang tinggi, dan jika melihat semua itu, lalu timbul dalam sanubari, suatu keyakinan yang teguh terhadap Beliau."
Lalu kumpulan orang-orang itu menjawab, �Jika demikian, Brahmana, bagilah relik Sang Bhagava dengan cara terbaik dan teradil menjadi delapan bagian yang sama rata!�
Kemudian Brahmana Dona membagi dengan adil, dalam delapan bagian yang sama, semua peninggalan Sang Bhagava itu. Setelah selesai membagi itu, ia berkata kepada sidang demikian: "Biarlah tempayan ini, saudara-saudara berikan kepadaku. Untuk tempayan ini akan kudirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, aku akan mengadakan perayaan dan kebaktian." Tempayan itu lalu diberikan kepada Brahmana Dona.
Namun kemudian suku Moriya dari Pippalivana mengetahui bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka mengirim suatu utusan pada kaum Malla dari Kusinara untuk mendapatkan relik snag Bhagava. Tetapi oleh karena relik sudah habis terbagi, maka mereka dianjurkan mengambil abu-abu dari peninggalan Sang Bhagava. Dan mereka mengambil abu-abu dari Sang Bhagava, lalu dibawa pulang ke kotanya.
Kemudian raja dari Magadha, Ajatasattu, putera dari ratu Videhi, mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava, di Rajagaha, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian. Orang Licchavi dari Vesali mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Vesali. Suku Sakya dari Kapilavasthu mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Kapilavasthu. Suku Buli dari Allakappa mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Allakappa. Suku Koliya dari Ramagama mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Ramagama. Brahmana dari Vethadipa mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Vethadipa. Kaum Malla dari Pava mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Pava. Suku Malla dari Kusinara mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Kusinara. Brahmana Dona mendirikan sebuah stupa besar untuk Tempayan (bekas tempat relik Sang Bhagava). Suku Moriya dari Pipphalivana mendirikan sebuah stupa besar untuk abu Sang Bhagava di Pipphalivana, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Demikian maka terdapat delapan stupa untuk relik Sang Bhagava dan stupa yang kesembilan untuk tempayan dan stupa yang kesepuluh untuk abu Sang Bhagava.
Demikianlah telah terjadi pada waktu yang lalu. Demikianlah riwayat hidup Buddha Gotama, Sang Bhagava, Arahat, Sammasambuddha. Terpujilah Sang Sugata, Pembimbing Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia!
Evam
PERMASALAHAN SEJARAH
Secara tradisi, riwayat hidup Buddha Gotama dihiasi dengan peristiwa-peristiwa yang luar biasa, tidak umum, yang tidak bisa ditemukan pada masa sekarang dengan kaca mata awam, seperti bunga yang bermekaran sebelum musimnya, bayi baru lahir yang bisa berjalan, perjalanan ke surga, dan sebagainya. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa kisah mengenai Siddhattha adalah suatu mitos dan tokoh Siddhattha sebenarnya tidak pernah ada.
Namun, Prof. Hermann Oldenberg (1854 - 1920), seorang sarjana Indologi asal Jerman, berpendapat bahwa kisah mengenai Siddhattha disesuaikan dengan keadaan pada masa itu. Oleh karena itu jika kita ingin mengetahui kebenarannya, maka segala kisah yang luar biasa harus ditiadakan. Kemudian sisa dari kisah tersebut disusun sehingga mendekati keadaan yang sebenarnya. Sebagai kesimpulan, Prof. Oldenberg berpendapat bahwa Siddhattha memang benar-benar pernah ada. Begitu juga dengan Prof. Johan Hendrik Caspar Kern (1833 - 1917) salah seorang pendiri dari Studi Oriental di Belanda. Beliau mengakui bahwa Siddhattha, memang pernah ada.
Beberapa penemuan Arkeologi seperti penemuan situs Lumbini pada tahun 1896 oleh para Arkeolog Nepal, penemuan situs Kapilavatthu (Kapilavastu) di Tilaurakot, Nepal pada abad ke-19, serta penemuan situs Nigrodharama yang juga berada di Nepal, memperkuat bahwa kisah mengenai Pangeran Siddhattha bukanlah fiksi. Ia adalah tokoh sejarah.
Pada masa sekarang, pada umumnya para ahli sejarah mengakui bahwa Siddhattha adalah tokoh yang pernah ada. Namun, terlepas dari pendapat dari para ahli sejarah maupun penemuan arkeologi di atas, kehidupan pribadi Pangeran Siddhattha sebelum menjadi Buddha tidaklah menjadi hal yang utama bagi umat Buddha. Tetapi, yang menjadi hal utama bagi umat Buddha adalah ajaran-Nya � ajaran yang membawa pada pembebasan dari dosa (kebencian), lobha (keserakahan) dan moha (kegelapan batin).
0 komentar:
Posting Komentar