SEJARAH AWAL MAHAYANA
Menurut Jetsun Taranatha
Jetsun Taranatha (1575-1634 M) adalah Lama dari sekte Jonangpa, Vajrayana. Taranatha juga dikenali sebagai emanasi dari Mahasiddha Krishnacarya. Pada tahun 1608 M, ia menulis "Sejarah Agama Buddha di India", dalam kitab tersebut ada sejarah tentang kemunculan Mahayana yang jarang diketahui oleh para umat Buddhis:
"Tak lama setelah masa pemerintahan raja Mahapadma, Candraraksita menjadi raja dari Odivisa. Dikisahkan bahwa Arya Manjusri datang ke rumahnya dalam wujud seorang bhiksu, mengajarkan ajaran Mahayana dan meninggalkan sebuah buku di sana. Menurut pengikut Sutra, itu adalah Astasahasrika Prajnaparamita. Menurut pengikut Tantra, itu adalah Tattvasamgraha. Namun, poin tersebut tidaklah mendapat perhatian yang banyak, sekalipun demikian opiniku adalah pengikut Sutra-lah yang benar. Ini adalah kemunculan pertama dari Mahayana di dunia manusia setelah Nirvana Sang Guru [Buddha].
Sekarang, ada seorang raja bernama Simha di Kashmir. Ia menerima penahbisan dan dipanggil dengan nama Sudarsana. Ia kemudian mencapai tingkat Arhat dan mengajarkan Dharma di Kashmir.
Raja Kaniska dari Jalandhara yang mendengar tentangnya, menjadi penuh dengan rasa hormat dan pergi menuju Kashmir di utara. Ia mendengarkan Dharma dari Arya Simha Sudarsana, rajin menghormati semua caitya di utara dan menyokong anggota Sangha dari 4 penjuru.
Pada waktu itu, terdapat seorang bhiksu bernama Sanjaya. Ia dianggap sebagai seorang Arhat. Ia mengajarkan Dharma secara ekstensif, menjadi sangat berpengaruh dan menerima kekayaan yang sangat banyak dari para brahmana dan perumah tangga. Sebagai akibatnya, Dharma didiskusikan oleh Sangha yang terdiri dari dua lakhs bhiksu.
Para bhiksu telah terbagi menjadi 18 sekte, namun hidup tanpa banyak kontroversi.
Di Kashmir, tinggallah seorang brahmana bernama Sudra yang memiliki harta yang tidak terbayangkan banyaknya. Bhattaraka Dharmatrata, yang seorang Vaibhasika (Sarvastivada), bersama dengan para pengikutnya dan Maha-bhattaraka Sthavira sekte Sautantrika dari Kashmir, bersama dengan 5000 bhiksu pengikutnya, terus menerus mendapatkan dukungannya dan maka dari itu Tripitaka disebarluaskan secara ekstensif.
Sutra-sutra Sautantrika, pada periode ini, adalah kumpulan karya agama (agama-grantha-mala), Pitakadharamusti.
Dari timur datanglah seorang Arhat bernama Arya Parsva, yang telah sempurna pengetahuan Sutranya. Ia mengucapkan ulang sutra-sutra langka seperti Suvarnamala-avadana dan satu sutra yang berisi prediksi yang diterima lewat mimpi oleh raja Kri-Kri – karya-karya yang diterimanya dari beberapa Sthavira yang terpelajar.
[Sutra prediksi yang diterima raja Kri-Kri itu adalah Arya-svapna-nirdesa-nama-mahayana-sutra. Buston mengatakan : “Oh Cakravartin, di mimpimu engkau telah melihat bagimana 18 pria menarik satu helai pakaian. Ini berarti bahwa ajaran dari Buddha Sakyamuni akan terbagi menjadi 18 sekte. Namun pakaian – yaitu Dharma, tidak akan terobek. Kalimat ini membuktikan bahwa sutra-sutra dari 18 sekte semuanya merepresentasikan Ajaran Sang Buddha”]
Mendengar ini, raja Kaniska mengumpulkan kumpulan besar para bhiksu di Vihara Karnikavana di Kashmir dan menurut para Kashmiri, Konsili [Keempat] dilaksanakan.
Menurut yang lainnya, konsili ini diadakan di Vihara Kuvana, vihara di Jalandhara. Mayoritas sejarawan lebih mengakui pandangan kedua.
Menurut para Tibetan, konsili ini dihadiri oleh kumpulan 500 Arhat, 500 Bodhisattva dan 500 [pthagjana] pandita. Meskipun ini tidak bertentangan dengan tradisi Mahayana, harus dicatat bahwa pada waktu itu para pelajar Buddhis dipanggil dengan nama Maha-bhattaraka daripada pandita. Maka dari itu penggunaan kata pandita dengan 500 tidaklah begitu tepat.
[Yang dimaksud 500 Bodhisattva di atas adalah suatu kelompok bhiksu yang dipanggil sebagai para Bodhisattva di konsili Kaniska. Di Divyavadana kita dapat melihat bahwa ada kelompok bhiksu yang bernama bodhisattva-jatika, di mana mereka tidak dihormati oleh kaum Hinayanis. Bhiksu-bhiksu kelompok bodhisattva-jatika pertama kali ditahbiskan menurut aturan pratimoksha, kemudian para bhiksu kembali menjalani penahbisan khusus menurut Brahmajala Sutra dan menjadi bodhisattva]
[Sejarawan Buston mencatat bahwa “Anggota Konsili ]Kaniska) adalah 500 Arhat dengan Purnika di kepala mereka, 500 Bodhisattva, Vasumitra dan lainnya, dan 250 atau 10000 pandita.” ]
Halaman terpisah yang termasuk dalam bagian akhir dari sebuah karya India tentang silsilah hierarki diterjemahkan oleh Kumarasri dari Gos. Did lama karya naskah ini, juga disebutkan 400 bhattaraka seperi Vasumitra dan lainnya [Di vihara Karnikavana di Kashmira, 500 Arhat diketuai Parsva, 400 arya diketuai oleh Vasumitra dan 500 Bodhisattva mengulang kembali Abhidharma.]
Maka dari itu inilah yang tepat. Namun, akan keliru apabila mengidentifikasikan Vasumitra ini dengan Vasumitra sang acarya Vaibhasika. Lebih lanjut, karena ini berhubungan dengan Dharma sravaka, maka dikehendaki untuk mengikuti tradisi sravaka di sini. Dikatakan dalam tradisi sravaka bahwa 500 Arhat dan 5000 Mahabhattaraka yang ahli dalam Tripitaka, turuts erta dalam Konsili ini. 500 Arhat yang disebutkan di sini bertujuan untuk memuliakan Dharma. Sebagai faktanya, jumlah Arhat lebih sedikit. Jumlah tersebut dapat mencapai 500 karena termasuk mereka yang mencapai tingkatan srotapatti atau tingkat kesucian lainnya.
Sebelum Mahadeva dan Bhadra, jumlah mereka yang mencapai tingkat kesucian tiap harinya cukup banyak. Karena pengrusakan terhadap Dharma yang dilakukan oleh dua orang itu [Mahadeva dan Bhadra], maka kontroversi muncul di antara para bhiksu dan mereka lebih memilih untuk berdebat daripada bermeditasi. Sebagai akibatnya, mereka yang mencapai tingkatan kesucian berkurang dengan sangat tajam. Inilah mengapa, pada waktu Konsili [ke-Empat] hanya terdapat sedikit Arhat.
Selama masa pemerintahan raja Virasena, selama masa pemerintahan raja Nanda dan mahapadma dan awal pemerintahan raja Kaniska, kontroversi di antara para bhiksu terus berlanjut. Kontroversi tersebut sangat akut selama 63 tahun. Jika ditambah dengan kontroversi kecil di periode awal maupun akhir, maka akan berlangsung selama 100 tahun,
Kontroversi tersebut diselesaikan pada Konsili [Keempat], ketika semua yang termasuk dalam ke-18 sekte bersama-sama berkumpul untuk memurnikan kembali Dharma dan menuliskan kembali Vinaya. Dan juga bagian dari Sutra-pitaka dan Abhidharma yang sebelumnya belum ditulis sekarang ditulis dan bagian yang telah ditulis direvisi kembali.”
Pada waktu semua ini terjadi, beberapa Sutra Mahayana mencapai dunia manusia. Beberapa bhiksu yang telah mencapai anutpattikadharma-ksanti membabarkan sedikit ajaran Mahayana. Namun, karena penyebaran Mahayana ini tidak terlalu ekstensif, maka para Sravaka tidak menentangnya."
Bangkitnya Mahayana
Setelah Konsili [Keempat], Raja Kaniska meninggal dunia.
Hiduplah seorang perumah tangga yang kaya raya bernama Jati di Asmaparanta di utara, dekat Negara Thogar di sebelah barat Kashmir. Ia memiliki kebiasaan untuk memuja semua caitya di utara. Ia mengundang Vasumitra sang bhattaraka Vaibhasika, dari daerah Maru di barat dan bhattaraka Ghosaka dari Negara Thogar. Ia menyokong tiga lakhs bhiksu selama 12 tahun. Pada akhirnya, ia beraspirasi untuk anuttara-bodhi dan sebagai tanda bahwa aspirasinya akan terkabul, persembahan bunga dan lilinnya tetap segar dan tetap menyala selama setahun dan bubuk sandal dan bunga-bunga yang dipersembahkan tetap berada di udara. Bumi bergetar dan keluarlah suara musik dan seterusnya.
[Ada ramalan yang dikatakan Buston: “Di tanah perbatasan sebelah utaram di kota Taksasila, seorang perumah tangga bernama Jatanika akan muncul. Ia akan menghormati tubuh-Ku dan para murid-Ku dan setelah 1000 kalpa, di masa keberuntungan Baik, di sebuah dunia bernama Mahavyuha-svalamkrta, ia akan menjadi Buddha Samantaprabha.”]
Di istana Puskalavati, putra Raja Kaniska menyokong selama 5 tahun 100 arya dan Arhat dan 10000 bhiksu lainnya.
Di sana hidup seorang brahmana bernama Viduh di Kusumapura di timur. Ia mempersiapkan banyak kopian Tripitaka dan mendanakannya pada para bhiksu. Masing-masing dari tiga pitaka ini mencakup 100000 sloka. Ia menyiapkan 1000 kopi masing-masing. Ia juga berdana pada tiap bhiksu barang-barang untuk puja.
Di kota Pataliputra hiduplah seorang Arhat bernama Arya Asvagupta [Buston mengutip sebuah ramalan: Di kota Pataliputra, di Margarama, akan ada seorang bhiksu bernama Asvagupta], yang merupakan Arhat “Asamaya-vimukta” [tingkat tertinggi ke-Arhat-an] dan mendedikasikan dirinya pada “asta-vimoksa-samadhi”. Sebagai akibat dari penyebaran Dharmanya, Arya Nandimitra dan beberapa lainnya mencapai tingkat Arhat dan banyak orang dibimbing untuk merealisasikan Dharma.
Terdapat seorang raja bernama Laksasva di barat. Ia juga secara ekstensif berusaha menyebarkan Dharma Sang Buddha.
Di Saurastra di barat daya, hidup seorang brahmana bernama Kulika, Di sana hidup seorang Maha-sthavira Arhat bernama Nanda, yang terlahir di Anga dan sangat fasih dalam Mahayana. Mendengar tentangnya, Kulika mengundangnya untuk belajar darinya ajaran Mahayana.
Pada waktu itu, muncul secara bersama-sama kalyana-mitra yang tidak terhitung di berbagai tempat yang berbeda, yang dapat membabarkan ajaran Mahayana. Semuanya mencapai “Dharma-srota-anugata-nama-samadhi” sebagai akibat dari mendengarkan ajaran Dharma dari Arya Avalokitesvara, Guhyapati (Vajrapani), Manjusri, Maitreya dan yang lainnya.
Adapun 500 pembabar Dharma (Mahayana) seperti mahabhattaraka Avitarka, Vigataragadvaja, Divyakaragupta, Rahulamitra, Jnanatala, Mahaupasaka Sangatala dan yang lainnya. Dari kerajaan para Deva, Naga, Gandharva, Raksasa dan yang lainnya – namun khususnya dari tanah Naga – didapatkan mayoritas dari sutra-sutra (Mahayana) seperti Arya-ratnakuta-dharma-paryaya-sata-sahasrika, Sannipata-sahasrika, Arya-avatamsaka-dharmaparyaya-sata-sahasrika yang mencakup 1000 bab, Arya-lankavatara-pancavimsati-sahasrika, Ghanavyuha-dvadasa-sahasrika, Dharma-sancaya-gatha-dvadasa-sahasrika, dan lain-lain.
[Para Deva, Naga, Gandharva, dan Raksasa yang dimaksud di sini bukanlah suatu makhluk yang supranatural atau khayalan, yang dimaksud dengan sebutan tersebut adalah:
Naga adalah suku manusia yang tersebar di Kashmir, Nagaland dan Andhra Pradesh di India. Gandharva adalah suku manusia yang sangat tangguh dalam berperang, mereka berada di utara Kailasa dan dekat Sungai Gangga. Raksasa adalah suku manusia raksasa yang berada di Himalaya dan Lanka. Hunian mereka memang terpisah dari komunitas umum masyarakat India, mulai dari pegunungan yang tinggai sampai hutan yang lebat. Maka dari itu cocok untuk menyimpan Sutra-sutra Mahayana, sampai pada akhirnya diambil oleh para acarya Mahayana.]
Mayoritas dari para acarya ini diundang oleh brahmana Kulika. Ketika raja Laksasva mendengar tentang ini, dalam dirinya penuh dengan rasa hormat. Berkeinginan untuk mengundang 500 pembabar Dharma ini, ia bertanya pada menterinya, “Berapakah jumlah pembabar Dharma tersebut?”
“500”
“Berapakah jumlah pendengar Dharma tersebut?”
“500”
Maka raja berpikir, bahwa meskipun ada banyak pembabar Ajaran Dharma tersebut, tetapi pendengarnya masih terlalu sedikit. Berpikir tentang ini, ia membangun 500 vihara di puncak gunung Abhu. Di masing-masing vihara ia mengundang 1 guru pembabar dan memberi masing-masing vihara segala keperluannya. Dari antara pengikutnya, ia memilih 500 orang yang taat dan pandai, membawa mereka pada penahbisan dan membawa mereka agar mendengarkan ajaran Mahayana.
Setelah ini, sang raja berkinginan untuk memiliki kopian dari sutra-sutra (Mahayana).
Raja bertanya, “Berapakah banyak Mahayana pitaka?”
“Umumnya tidak dapat dihitung. Namun, yang kita miliki saat ini berjumlah 100 lakhs / sloka.”
Raja berkata, “Maka (sutra-sutra) ini sangat banyak. Tetap biarlah kita memiliki kopian lebih lagi.” Berkata ini, ia kemudian mengkopi sutra-sutra tersebut dan mendanakan kopian ini pada para bhiksu. Naskah-naskah ini kemudian dibawa ke Sri Nalendra.
Tiga kelompok pengikut Mahayana ini, masing-masing berjumlah 500 orang, sangat ahli dan piawai dalam sejumlah besar sutra, memiliki kepandaian yang tajam dan mencapai tingkat memberi pengampunan (ksanti-prapta). Mereka melimiliki abhijnana dan memiliki kapasitas untuk menunjukkan rddhi (mukjizat) pada masyarakat. Demikianlah menyebar keterkenalan Mahayana di semua penjuru.
Gagal untuk memahami ajaran (Mahayana), para Sravaka mengolok-olok Mahayana sebagai sesuatu yang berbeda dari sabda Sang Buddha.
Semua Mahayanis adalah pengikut yogacarya. Karena mereka pada mulanya ditahbiskan menurut 18 sekte, mereka hidup di antara pengikut (sekte-sekte tersebut). Maka menetaplah sedikit Mahayanis di antara ribuan Sravaka. Namun tetap para Sravaka tidak dapat 'mencaplok' mereka.
Pada waktu itu hiduplah di Magadha, dua orang brahmana bersaudara bernama Udbhta-siddhi-svamin dan Samkara-pati. Mereka sehari-hari memuja Mahadeva sebagai dewa pelindung mereka. Keduanya ahli dakam ajaran tirthika maupun Buddhis. Namun Udbhata tetap ragu akan ajaran Buddha dan menganggap Mahadeva (Siva) lebih superior, sedangkan Samkarapati menyerahkan penghormatannya hanya kepada Sang Buddha. Terinspirasi oleh perkataan ibu mereka, setelah memiliki kekuatan untuk secara ajaib bergerak dengans angat cepat, mereka pergi ke Kailasa, raja dari pegunungan. Di pegunungan ini tinggallah Mahadeva. Mereka melihat kerbau putih tunggangannya dan juga Umadevi memetik bunga-bunga. Akhirnya mereka melihat Mahadeva sendiri, duduk di atas takhta dan membabarkan ajaran. Ganesa memimpin kedua bersaudara itu dengan dua tangannya kepada Mahadeva.
Ketika 500 Arhat terbang datang dari Manasarovara, Mahadeva menghormat pada mereka, mencuci kaki mereka, mempersembahkan makanan pada mereka dan mendengarkan ajaran Dharma dari mereka. Maka ia (Udbhata) sadar bahwa Sang Buddha lebih unggul. Namun ia tetap bertanya dan kemudian Mahadeva memberitahunya: “Hanya jalan yang ditunjukkan Sang Buddha yang dapat membawa pada pembebasan, yang tidak dapat ditemukan di tempat lainnya.”
Kedua brahmana tersebut terpuaskan dan kembali ke tempat asal mereka. Mereka menanggalkan jubah brahmana dan mengambil ikrar upasaka bhattaraka. Mereka mempelajari sutra-sutra dari semua yana dan menjadi pelajar yang terkenal. Udbhata menulis Vises-stava dan Samkara menulis Devatisaya-stotra dengan pandangan untuk menunjukkan kesempurnaan para Buddhis dan kelemahan para tirthika. Mulai dari pasar sampai istana sang raja, naskah ini disebarlauskan secara ekstensif. Mayoritas masyarakat di kerajaan tersebut melafalkan naskah tersebut sebagai lagu.
Udbhata dan saudara laki-lakinya memberikan pada 500 bhiksu Sravaka tempat tinggal di Vajrasana dan menyokong 500 pengikut Mahayana di Nalendra.
Nalendra, tempat kelahiran Sariputra, adalah juga tempat di mana Sariputra, bersama dengan 80000 Arhat akhirnya mencapai Nirvana.
Seiring dengan waktu, hunian brahmana tinggal puing-puing. Hanya caitya Sariputra yang masih berdiri. Raja Asoka memujanya dan membangun sebuah vihara Buddhis yang besar di sana. 500 acarya Mahayana mula-mula saling berdiskusi dan mengetahui bahwa apabila Mahayana dibabarkan di tempat Sariputra, maka ajaran Mahayana akan menyebar dengan cepat dan luas. Namun jika dibabarkan di tempat Maudgalyayana, para Buddhis akan menjadi sangat kuat tanpa menyebarluaskan Ajaran.
Maka dari itu, kedua acarya – sang brahmana bersaudara – membangun delapan vihara di Nalanda dan menempatkan di sana semua Sutra Mahayana. Demikianlah Asoka adalah pendiri vihara pertama di Nalendra. 500 acarya bersama dengan Udbhata dan saudara laki-lakinya memperbesar vihara (yang didirikan Asoka tersebut). Rahulabhadra menyebarkan ajaran Mahayana untuk seterusnya dan Nagarjuna membuatnya semakin ekstensif.
di Indonesia masuk di bawah Buddhayana.
Kalau Mahayana ada:
[WALUBI]
1. MAJABUMI (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia) pimpinan Bhiksu Dutavira Mahasthavira.
2. SAMADHI (Sangha Mahayana Buddhis Internasional) pimpinan Bhiksu Tadisa Paramita Sthavira.
[FKUB]
3. SMI (Sangha Mahayana Indonesia) pimpinan Bhiksu Gunabhadra Mahasthavira - ini baru saja terbentuk
[KASI]
4. SMI (Sangha Mahayana Indonesia) pimpinan Bhiksu Dharmasagaro dan Andhanavira Mahasthavira
5. Sangha Mahayana Buddhayana pimpinan Bhiksu Aryamaitri Mahasthavira
Wew... SMI malah jadi 2.... bahkan kepanjangannya juga sama... cuma beda logo......
Di Surabaya, ada 3 vihara Mahayana yang berafliasi sama ketiga organisasi yang berbeda:
1. Vihara Mahavira Graha - SMI versi KASI
2. Cetya Dhyana Vimala - SMI versi FKUB
3. Vihara Chikung Dang - mungkin Sangha Mahayana Buddhayana
Ada yang bisa jelasin kok Mahayana bisa jadi terpecah sampai 5 organisasi di Indonesia? Ini tergolong banyak lo... apabila kalau dibandingkan dengan umat Mahayana [bukan yang TITD] di Indonesia yang lebih sedikit dari Theravada.
0 komentar:
Posting Komentar