memperingati Hari Avalokiteswara mencapai penerangan sempurna : Lunar 19 /6 ( Lak ge cap Khaw)
,6 agustus 2012
Kisah Dewi Kwan Im
Saya mencoba menuliskan kisah kehidupan Dewi Kwan Im berdasarkan informasi yang pernah saya dapat baik dari Internet maupun cerita2 orang-orang tua dulu. Bila ada kesalahan mohon di koreksi.
Jauh sebelum masuknya agama Buddha menjelang akhir Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi Welas Asih Berbaju Putih. Dikemudian hari, beliau identik dengan perwujudan dari Buddha Avalokitesvara. Secara absolut, pengertian Avalokitesvara Boddhisatva dalam bahasa Sansekerta adalah : Valokita (Kwan / Guan / Kwan Si / Guan Shi) yang bermakna “Melihat ke bawah atau Mendengarkan ke bawah”. Bawah di sini bermakna ke dunia, yang merupakan suatu alam (lokita). Svara (Im / Yin) berarti suara. Yang dimaksud adalah suara dari makhluk-makhluk yang menjerit atas penderitaan yang dialaminya. Oleh sebab itu Kwan Im adalah Bodhisatva yang melambangkan kewelas-asihan dan penyayang. Di negara Jepang, Kwan Im Pho Sat lebih dikenal dengan nama Dewi Kanon.
Bila sudah mencapai taraf Buddha sudah tidak lagi terikat dengan bentuk apalagi gender, karena pada dasarnya roh itu tidak mempunyai bentuk fisik dan gender. Menurut cerita, Dewi Kwan Im adalah titisan Dewa Che Hang yang ber-reinkarnasi ke bumi untuk menolong manusia keluar dari penderitaan, karena beliau melihat begitu kacaunya keadaan manusia saat itu dan penderitaan di mana-mana. Dewa Che Hang memilih wujud sebagai wanita, agar lebih leluasa untuk menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolonganNya. Disamping itu agar lebih bisa meresapi penderitaan manusia bila dalam bentuk wanita karena di jaman itu wanita yang lebih banyak menderita dan kurang leluasa dalam membuat keputusan. Dalam perwujudannya sebagai pria, Beliau disebut Kwan Sie Im Pho Sat. Dalam Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biau Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 penjelmaan Kwan Im Pho Sat. Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Ta Pei Cou / Ta Pei Shen Cou) ada 84 perwujudan Dewi Kwan Im sebagai simbol dari Bodhisatva yang mempunyai kekuasaan besar. Altar utama di Kuil Pho To San dipersembahkan kepada Kwan Im Pho Sat dengan perwujudan sebagai Budha Vairocana, dan di sisi kiri atau kanan berjajar 16 perwujudan lainnya. Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie (salah satu Kelenteng tertua di Indonesia adalah King Cee Kwan Im (Kwan Im Membawa Sutra Memberi Pelajaran Buddha Dharma kepada umat manusia). Disamping itu terdapat pula wujud Kwan Im Pho Sat dalam Qian Shou Guan Yin (Kwan Im Seribu Tangan) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umatNya. Julukan Beliau secara lengkap adalah Tay Cu Tay Pi – Kiu Kho Kiu Lan – Kong Tay Ling Kam – Kwan Im Sie Im Pho Sat.
Tarian Dewi Kwan Im
Dalam kepercayaan Buddhisme yang berkembang pesat di China, diyakini bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan bahaya. Sehingga dalam kurun ribuan tahun, pengabdian moral dari Dewi Kwan Im dikenal galib berporos empat jalan kebenaran. Yakni, pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi dan saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta menghindarkan dari marabahaya.
Menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada jaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 Sebelum Masehi. Terkait dengan legenda puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang penguasa negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad III SM. Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak lelaki, tetapi yang dimilikinya hanyalah 3 orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu, yang kedua bernama Miao Yin, dan yang bungsu bernama Miao Shan.
Miao Shu dan Miao Yin lebih cenderung dimanja oleh fasilitas istana dan berfoya-foya. Sementara Miao Shan dengan rajin menjaga dan merawat kedua orang tua mereka. Dari ketiga putri sang Raja, putri ketiga lah yang sangat berbakti kepada kedua orangtua serta leluhurnya. Ia juga memperlihatkan sifat welas asih kepada semua makhluk. Itu sebabnya ia sudah vegetarian sejak balita. Dikisahkah saat bayi bila Miao Shan mendengar kata “bunuh” akan menangis sekeras-kerasnya dan tidak mau bila diberi makan daging saat balita. Toleransinya kepada dayang-dayang istana sangat besar sehingga ia disayangi oleh semua pihak. Ia selalu mengaplikasikan bentuk-bentuk kebajikan Buddhisme yang ia pelajari dan dalami ke dalam hidup sehari-harinya.
Hal tersebut menimbulkan iri hati dan benci dari kedua kakak perempuannya, sehingga dengan intrik dan hasutan jahat bekerjasama dengan seorang peramal tua yang jahat akhirnya Miao Shan diusir dari istana. Miao Shan dituduh titisan dari iblis jahat sehingga negeri mereka yang dulunya makmur sekarang selalu dirundung bencana. Padahal bencana dan masalah datang karena banyak pejabat istana termasuk si peramal tua jahat itu terlibat korupsi besar2an, bahkan si peramal tua berambisi mengambil tahta Sang Raja. Kelompok jahat itu mengklaim sejak Miao Shan lahir bencana susul menyusul tiada henti. Kalau bukan kekeringan, pasti kebanjiran. Kalau bukan kelaparan pasti wabah penyakit. Sehingga Miao Shan dianggap jelmaan iblis yang dikutuk oleh langit.
Dalam pengembaraannya Miao Shan mengabdikan diri sebagai samaneri (calon biksu perempuan). Tahun berganti tahun, akhirnya Sang Raja, ayahanda Miao Shan menjadi sakit-sakitan karena merasa rindu pada putri bungsunya tersebut. Sampai akhirnya sang Raja menderita penyakit aneh yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bisul dan borok tak tersembuhkan. Disinyalir ada hubungannya dengan ilmu iblis yang dipelajari oleh peramal tua yang mengincar tahtanya. Bahkan Raja menjadi buta dan permaisuri menjadi kelainan jiwa akibat merindukan putri bungsu mereka.
Miao Shan yang merasa iba, berkat kesaktiannya, mengubah dirinya menjadi seorang bikkhuni. Ia mendatangi istana, dan menjenguk ayahandanya yang terkapar sakit dengan dalih sebagai tabib. Setelah Miao Shan membacakan parita, ayah ibunya itu merasakan damai yang tiada tara sehingga mereka tertidur dengan damai. Namun dalam penyamarannya itu bukannya mengobati ia malah memberi petunjuk bahwa Sang Raja menderita penyakit aneh, dan hanya dapat sembuh jika mengkonsumsi sekerat daging manusia dan sebiji bola mata yang berasal dari tubuh putri kandungnya. Tentu saja ayah ibunya tidak mendengar hal ini karena sudah tertidur, kalau mendengar mungkin mereka tidak berkenan menjalankan pengobatan. Dihadapan ibu suri dan kedua kakaknya, Miao Shan membeberkan cara pengobatan aneh itu. Di saat meminta kedua kakak perempuannya untuk berkorban diiris otot lengan dan dicungkil sebelah bola matanya untuk dicampur pada obat bagi ayah mereka, saat itu juga keduanya berlutut di samping ranjang ayahanda mereka, menangis tersedu-sedu.
“Oh, Ayahanda, kasihanilah saya Miao Shu. Saya masih memiliki anak yang masih kecil-kecil dan mereka masih membutuhkan saya untuk membesarkan mereka.”
Tak lama berselang, Miao Yin menyusul dengan kalimat bernada serupa. Kali ini tangisnya lebih deras. Tiba-tiba Miao Shan menengahi, dengan bijak ia berkata.”Kalau begitu biarkan daging dan bola mata saya saja yang dikorbankan untuk kesembuhan Baginda.” Saat itu kedua kakaknya belum menyadari yang dihadapan mereka adalah adik bungsunya Miao Shan, oleh karena dandanannya yang sederhana sebagai biksuni dan juga karena sekian tahun lamanya mengembara di luar.
Setelah mengiris sekerat otot lengan dan mencongkel bola matanya sendiri dengan belati tanpa rasa takut, dengan tenang serta penuh keikhlasan ia memberikan bagian-bagian tubuhnya itu untuk campuran ramuan obat untuk ayah ibunya. Saat mengaduk-aduk ramuan obat itu, terjadi keajaiban. Ramuan obat itu memancarkan harum wangi dupa dan memenuhi seluruh penjuru istana. Raja Miao Zhuang setelah meminum “obat mujarab” tersebut sembuh seketika dan matanya dapat melihat kembali. Atas jasanya, Raja menanyakan apa yang diinginkan oleh Miao Shan yang masih belum dikenali oleh mereka. “Hamba tidak menginginkan bayaran apapun, hamba hanya berbuat baik untuk menyebarkan dharma dan ajaran sang Buddha.” Demikian kata Miao Shan.
“Minimal apa ada permintaan biksuni agar kami tidak merasa terlalu sungkan karena tidak memberikan apa-apa.” Kata Sang Raja.
Terdiam sejenak, kemudian Miao Shan melanjutkan. “Hamba sudah lama kehilangan ayah dan ibu, bolehkan hamba memeluk Baginda dan Permaisuri sehingga kerinduan akan ayah-ibu bisa terobati?”
“Ha? Sesederhana itu? Kenapa tidak boleh… silahkan.” Sahut sang Raja.
Miao Shan menunduk dan menghampiri ayah bundanya itu, setelah bersujud di pelukan Raja ia kemudian berpindah ke pelukan permaisuri dengan airmata berlinang dan suara isak tangis. “Ibu, maafkan anak yang tidak berbakti” demikian Miao Shan berbisik. Karena jarak dekat, permaisuri baru menyadari kalau itu adalah putri bungsunya yang telah diusir dari istana akibat konspirasi pejabat yang tidak setia. Raja yang kaget dan senang bukan kepalang memeluk tubuh putri bungsunya itu dengan airmata berlinang.
Sejak itulah kebajikan dan keluhuran budi Miao Shan menjadi legenda di tanah Tiongkok. Ia menggugah ketulusan tanpa pamrih, pengorbanan tanpa batas, sifat welas asih yang tiada tara, dan masih banyak lagi kemuliaan yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Setelah peristiwa fenomenal tersebut, Miao Shan tetap bertekad melanjutkan pertapaannya dengan menjadi biksuni sepanjang hidup dan pengabdiannya. Meski berat hati, tapi Raja Miao Zhung dan permaisurinya merelakan putri bungsunya tersebut, memaklumi niatnya untuk mengabdi bagi kemanusiaan.
Untuk mengenang putri bungsunya tersebut, Raja Miao Zhung memerintahkan pekerja seni rupa terbaik di negerinya membuat patung berwujud putri Miao Shan dan mendirikan vihara Dewi Kwan Im pertama di Pho To San
“Putri saya, Miao Shan, ibarat memiliki seribu tangan untuk membantu sesama dengan tulus serta ikhlas, dan seribu mata yang peka melihat penderitaan rakyat jelata!” demikian kata Raja Miao Zhuang dalam nada bangga, yang ternyata salah ditanggapi oleh para pemahat arca istana. Arca rampung dengan memiliki simbolisasi seribu tangan dan seribu mata. Itulah awal ihwal Miao Shan yang melegenda menjadi Qian Shou Guan Yin (Dewi Kwan Im Seribu Tangan).
Dikisahkan ketika Miao Shan berhasil mencapai pencerahan menjadi Buddha, saat hendak memasuki gerbang Nirwana ia mendengar banyak tangisan penderitaan dari alam manusia di bawah. Ia kemudian membatalkan memasuki Nirwana dan memilih berada di alam manusia untuk membantu setiap makhluk hidup. Ia senantiasa menyingkirkan segala macam penderitaan dan menumbuhkan kebahagiaan dengan mewujudkan permintaan kesejahteraan kaum papa.
Turun temurun masyarakat Tionghoa sangat menghormati Dewi Kwan Im. Hampir di setiap rumah penganut Konfusiunisme dan klenteng-klenteng pasti memiliki rupam atau diorama puja untuk mengenang jasa dan kebaikanNya.
Guan Shi Yin Pu Sa (Koan Si Im Po Sat – Hokkian) atau secara umum disebut Gaun Yin (Koan Im – Hokkian), dalam bahasa sansekerta disebut Avalokitesvara Bodhisattva. Dikenal secara luas sebagai Dewi Welas Asih, yang dipuja tidak hanya terbatas dikalangan Budddhis saja, tetapi dikalangan Tao dan semua lapisan masyarakat awam. Dewi ini sangat populer tidak hanya di Tiongkok saja tetapi juga di Jepang (yang disebut Kanon) dan Asia Tenggara.
Guan Shi Yin adalah terjemahan harfiah dari perkataan sansekerta, “Avalokitesvara” yang mempunyai arti sebagai berikut :
Guan …......Melihat atau merenungi.
Shi …………..Dunia, alamnya orang yang menderita.
Yin …………..Segala suara dari dunia, jeritan atau ratapan dari mahluk hidup,lahir maupun batin, yang kesemuanya ini menyentuh lubuk hati sang Dewi Welas Asih.
Sebab itu Guan Yin adalah Bodhisattva yang melambangkan hati yang welas asih dan penyayang, yang tertanam dalam – dalam dihati tiap pemujanya. Mereka percaya bahwa GuanYin dapat mendengarkan keluh – kesah mereka yang menderita dan datang menolong, dalam wujud yang berbeda – beda, baik pria maupun wanita.
Perwujudan Guan Yin.
negeri – negeri lain yang menganut Agama Buddha seperti, Maungthai, Kamboja, India dan Vietnam. Boddhisattva ini biasanya ditampilkan sebagai pria. Hanya di Tiongkok saja Avalokisvara Boddhisattva diwujudkan sebagai wanita dengan berbagai penampilan, antara lain :
1). Guan Yin menyeberangi lautan. Konon Guan Yin dari India menyeberangi lautan Sampai di Pu Tuo Shan, propinsi Zhejiang.
2). Guan Yin dengan hutan bambu ungu.
3).Guan Yin dengan keranjang isi ikan. Mengandung arti menyayangi mahluk hidup,sebab ikan itu akan dilepaskan kembali ke laut.
4). Guan Yin dengan 8 rintangan. Ini melambangkan Guan Yin dapat mengatasi berbagai kesukaran supaya dapat dengan tenang menerima ajaran Buddha.
5). Guan Yin bertangan seribu. Perwujudan mengandung makna bahwa Guan Yin mampu melakukan segala dan tahu segala hal.
6). Guan Yin berbaju putih. Maksudnya putih bersih tanpa dosa seperti halnya Maria dalam Agama Katholik.
7). Guan Yin membawa anak. Merupakan pemujaan bagi mereka yang mendambakan anak.
. Guan Yin membawa botol air suci, biasanya ditemani oleh sang bocah suci, Shan Cai, dan burung kakak – tua.
9). Guan Yin naik gelombang atau di atas sebuah batu karang, yang melambangkan keteguhan hatinya untuk menempuh berbagai kesukaran dalam menolong manusia.
Semuanya ada 33 bentuk perwujudan Guan Yin, dalam menolong umatnya yang membutuhkan. Yang disebutkan di atas adalah yang paling terkenal. Dalam Kitab Buddha yang asli hanya di sebutkan 16 rupa perwujudan.setelah diterjemahkan dalam Tionghoa diubah menjadi 33 rupa, sebab angka 33 itu sering digunakan oleh para cendikiawan Tionghoa sebagai angka yang suci.
Guan Yin, Pria atau Wanita :
Pada waktu memasuki Tiongkok sekitar dinasti Han, Agama Buddha memang memperkenalkan Avalokitesvara yang kemudian dikenal sebagai Guan Yin Pu Sa sebagai pria. Mulai dinasti Tang (618 – 907 M) dan lima dinasti (907 – 960 M).Guan Yin ditampilkan sebagai wanita. Mungkin ini terpengaruh ajaran Konfusianisme yang sangat berakar dalam sistem sosial masyarakat pada waktu itu. Mereka menganggap tidak layak wanita memohon anak dari seorang Dewata pria. Bagi para penganutnya, hal itu dianggap sebagai kehendak dari Guan Yin sendiri untuk mewujudkan dirinya sebagai wanita, agar ia dapat leluasa dengan kaum wanita yang banyak memohon uluran tangannya.
Kelihatannya perubahan ini terjadi secara berlahan – lahan. Mula – mula Guan Yin ditampilkan sebagai pasangan Avalokitesvara (seperti halnya Dewa – dewa dari India yang selalu mempunyai pasangan). Kemudian lambat laun, oleh penganutnya di Tiongkok, dewata pria Avalokitesvara mulai dilupakan. Sampai abad ke – 12 Masehi. Guan Yin telah dipuja sendirian sebagai Dewata yang khas Tiongkok, begitu juga Dewata – dewata Buddhist lainnya.
Perlu diketahui bahwa sebelum masuknya Buddhist ke Tiongkok, kaum wanita di sana sudah banyak memuja para dewi dari Taoisme yang mereka panggil dengan sebutan “Niang – niang”, sebagai tempat mereka memohon perlindungan, keselamatan dan keturunan. Sebab itu ketika muncul Guan Yin,mereka menyebutnya dengan panggilan Niang – niang pula. Sebutan Guan Yin Pu Sa yang sepenuhnya bersifat Buddhisme dikalangan rakyat akhirnya popular dengan sebutan “Guan Yin Niang – niang”. Tidak sampai di situ, kaum Taoist-pun akhirnya ikut pula memujanya, bahkan menempatkanya sejajar dengan Dewi mereka, yaitu Tian Hou (Tian Shang Sheng Mu). Nama Taoist untuk Guan Yin adalah Zi Hang Dao Ren (Zu Hang To Jin – Hokkian). Yang berarti pendeta penyelamat pelayaran. Begitulah Guan Yin memperoleh kepopuleran yang jauh melebihi Dewata Buddhisme yang tertinggi Sakyamuni Buddha, meskipun dalam banyak kelenteng dan vihara, Sakyamuni duduk di altar yang paling terhormat.
E.T.C. Werner dalam bukunya “Myths and legends of China” menyebutnya sebagai Buddhist Saviour atau Dewi penyelamat dari Buddhist, inilah kutipan dari buku itu tentang kepercayaan rakyat kepada Guan Yin :
“Ia disebut Guan Yin karena ia mau mendengarkan ratapan dari dunia dan turun mengeluarkan pertolongan. Ia memperoleh sebutan Buddha yang mengusir rasa takut. Kalau di tengah kobaran api, nama Guan Yin disebut, api tak akan dapat membakar. Di tengah hempasan ombak yang setinggi gunung, apabila namanya disebut akan sampailah pada air yang dangkal. Perahu yang tengah dihantam gelombang, apabila seorang awaknya menyebut nama yang maha penyayang, akan selamat sampai tujuan. Di tengah – tengah gemerincingannya tombak dan pedang di medan perang, apabila menyebut namanya akan luputlah ia dari maut. Kalau dalam dirimu ada iblis yang merasuki, sebutlah nama Guan Yin, dan anda akan memperoleh ketenangan dan kesucian batin. Nafsu amarah dan kebencian akan sirna kalau namanya diucapkan. Seorang yang menderita penyakit ingatan akan pulih kembali sehat kalau berdo’a kepada Guan Yin. Guan Yin yang maha pengasih dan penyayang akan memberikan seorang putra bagi para ibu yang mendambakannya,seorang putra yang tampan dan seorang putrid yang cantik. Seorang yang menyebutkan nama – nama dari 6.200.000 Buddha atau jumlah yang banyak laksana pasir sungai Gangga, sama nilainya dengan orang lain yang hanya mengucapkan nama “Guan Yin” sekali saja. Guan Yin dapat muncul dalam wujud Buddha, Pangeran, Pendeta, pelajar dan lain – lainnya. Dapat pergi ke negeri mana saja, mengkotbahkan ajaran suci ke segala penjuru”.
Guan Yin Berbaju Putih
Memang perwujudan Guan Yin tidak terbatas, tapi yang paling banyak dipuja secara meluas dari abad ke abad ialah Guan Yin berbaju putih. Sebab itu apabila kita melihat di berbagai kelenteg, sebagian besar adalah Guan Yin yang berbentuk demikian. Bentuk ini paling disukai dan paling popular diantara bentuk – bentuk lain. Patung Guan Yin baik yang bentuk dalam keadaan duduk atau berdiri, mempunyai makna sendiri – sendiri. Kebanyakan orang akan memilih yang dalam posisi duduk, sebab bentuk ini menimbulkan kesan terang, tentram dan anggun, merupakan gambaran pencerahan yang sempurna. Bentuk Guan Yin yang berdiri melambangkan geraknya yang penuh rasa penyayang. Ini diartikan oleh para pemujanya bahwa tindakannya yang penuh rasa kasih dan sayang itu mempunyai kekuatan untuk mencapai siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Dan Guan Yin selalu siap menghampiri dan membantu dengan uluran kasih dan perlindungan. Makna lain yang tersirat bentuk berdiri ini adalah melambangkan kesediaan Guan Yin untuk memberikan pencerahan kepada siapa saja yang menginginkan.
Guan Yin berbaju putih seringkali tampil dengan memegang botol yang berisi “Amrita” yaitu “ Embun Belas Kasih”, yang berkasiat mensucikan kotoran – kotoran dalam badan, ucapan dan batin manusia dan mempunyai kekuatan penyembuhan yang luar biasa. Diiringi dengan ekspresi wjah yang lembut, tenang dan manis, Guan Yin berbaju putih mencerminkan kebijaksanaan, ketenangan dan rasa kasih yang tak terhingga besarnya. Wajah inilah yang telah banyak memberikan ketenangan batin pada hati para pemujanya.
Bagaimana agar kita dapat menjadi penganutnya yang setia? Beberapa petunjuk dari mereka yang percaya yang telah mengalami sendiri rahmat dari Guan Yin mengatakan bahwa untuk menjadi penganutnya orang tidak boleh begitu saja percaya secara membabi buta dan bersembahyang setiap hari, tapi tetap dengan ingatan yang mementingkan diri sendiri. Harus melalui praktek perbuatan yang mencerminkan watak – wataknya seperti ramah – tamah, sering berbuat amal, sabar teguh hati, suka menolong, suka berbuat sesuatu yang memberikan manfaat bagi orang banyak dan meditasi. Dengan praktek – praktek seperti itu orang akan mendekatkan batinnya kepada Guan Yin dan menjadi pengikutnya. Dilihat dari sini, kita merasakan bahwa sebetulnya pemujaan Guan Yin mengandung suatu ajaran moral yang tinggi.
Kalau kita perhatikan , semua wajah dari patung Guan Yin tentu memiliki mata yang bisa kita katakan setengah terbuka dan setengah tertutup. Mata yang begini, dalam ilmu kebatinan Budhisme mempunyai arti keselarasan yang sempurna dari kehidupan lahir dan batin, sebab sebagian pandangan untuk melihat dunia luar dan sebagian lain untuk melihat dalam diri sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa GuanYin selalu mengingatkan manusia agar selalu menjaga keseimbangan dunia luar dan batin kita dengan segala kecenderungan.
Guan Yin Tangan Seribu
Seperti kita sebutkan bahwa salah satu bentuk Guan Yin yang terkenal adalah GuanYin bertangan seribu ( bermata seribu) atau Qian-shou qian-yan Guan Yin. Sebetulnya kalau kita hitung dengan teliti,jumlah lengannya hanya 39 dan masing – masing menggenggam benda pusaka keagamaan, yang terbanyak berupa bunga dan senjata penakluk iblis. Pada tiap telapak tangan terdapat sebuah mata. Dalam legenda dikisahkan pada waktu ia sedang dalam meditasi dan merenungkan tugasnya untuk menyelamatkan dan kebahagiaan semua mahluk yang berdosa, kepalanya tiba – tiba terbelah menjadi seribu kepingan, tepat pada saat ia menyadari betapa berat dan besarnya hal yang dilakukan itu.O-mi-tuo-fo (Amitabha), Bapak pembimbingnya, cepat datang untuk menolong dan menghidupkan kembali Guan Yin serta juga memberikan kesakitan untuk berubah menjadi bentuk kepala seribu itu. Matanya yang seribu, melambangkan watak Guan Yin yang penuh belas kasihan, mampu melihat segala hal, sedangkan tangan seribu melambangkan kemampuannya menolong umat manusia dimana saja dan kapan saja.
Semua bentuk Guan Yin baik itu wanita atau pria berkepala tunggal atau ganda, bertangan sepasang atau banyak , dengan ekspresi wajah bengis atau penyabar, mempunyai arti sendiri – sendiri. Dan yang harus diingat, apapun bentuknya, GuanYin tetap menampilkan wataknya yang pengasih dan penyayang,bahkan walau ditampilkan dalam bentuk bermata dan bertangan seribu, sekalipun, beliau tidak kehilangan watak aslinya yang luhur.
Di kelenteng Pu Ning Si yang terletak di dalam komplek Istana Kekaisaran untuk persinggahan musim panas, di Chengde, Tiongkok Utara,terdapat sebuah patung Guan Yin yang bertangan seribu terbuat dari pahatan kayu, yang merupakan patung kayu terbesar di dunia, patung ini tingginya 22 meter dan dibikin pada tahun 1755.
Kemukjijatan Guan Yin
Diantara para Dewata yang dipuja di klenteng – klenteng, Guan Yin bagi penganutnya dianggap paling sering menurunkan kemujijatan. Seorang yang telah membaca mantra : Namo Da-Bei Guan Shi Yin Pu Sa, dengan penuh ketulusan akan menerima pertolongannya lambat atau cepat, tergantung dari karma orang tersebut pada saat mengucapkan, dan kadar kesungguhan dari mantranya.
Kemujijatan Guan Yin banyak disaksikan dan diceritakan oleh para pemujanya. Kalau kita pernah bertatap muka dengan mereka, tentu ada saja keajaiban yang dituturkan selama memuja Guan Yin. Seperti Perawan Suci, Maria, dalam agama katholik, yang seringkali dilaporkan menampakkan diri atau melakukan mujijat penyembuhan seperti di Lourdes, atau patungnya mencucurkan air mata, begitu juga Guan Yin Pu Sa. Yang kami tulis disini ada beberapa peristiwa baik yang dicatat dalam kitab suci maupun pengalaman atau kesaksian seseorang :
1). Yang termuat dalam kitab penting Agama Buddha, fayuan-zhu-lin, antara lain menceritakan tentang hal ihwal Sun Jing De (Sun Keng Tek – Hokkian). Sun Jing De adalah seorang pegawai negeri bagian urusan social di kota Dingzhou, yang hidup di negeri Wei. Sun Jing De ini sangat tekun bersembahyang kepada Guan Yin dan juga telah membuat sebuah patung Sang Dewi. Suatu ketika ia dilibatkan dalam suatu peristiwa perampokkan oleh salah seorang pelakunya. Tanpa pemeriksaan dan penelitian lagi, Sun Jing De secara serampangan lalu dijatuhi hukuman mati. Malam menjelang pelaksanaan hukuman mati, ia bermimpi bertemu seorang pendeta yang mengajarinya untuk membaca Do’a yang kemudian terkenal dengan nama Gao Wang Guan Shi Yin Jing, (Ko Ong Kuan Si Im Keng – Hokkian) sebanyak seribu kali agar dapat terbebas dari kematian. Paginya, pada saat digiring ke tempat pelaksanaan hukuman mati, Sun Jing De terus membaca do’a itu. Tepat pada pelaksanaan hukuman mati akan dilaksanakan, Sun Jing De berhasil mencapai jumlah do’a keseribu, dan pada saat golok lagojo menabas batang lehernya, terjadilah mujijat. Golok itu pecah menjadi dua. Semua orang yang hadir di tempat situ heran. Samapai tiga kali algojo mengganti goloknya, tapi tetap saja Sun Jing De tidak terluka sedikitpun. Ketika diteliti pada leher, patung Guan Yin buatan Sun Jing De di rumahnya, ternyata terdapat tiga garis seperti bekas benda tajam. Menerima laporan ini, perdana menteri negeri itu, Gao Huan, lalu memerintahkan agar Sun Jing De dibebaskan dari semua perkara, dan dianjurkan agar do’a Gao Wang Guan Shi Ying Jing itu ditulis dan disebarkan. Sejak itu dari do’a penolong Guan Yin ini terkenal sampai sekarang.
2). Sun Dao De, seorang yang hidup pada jaman dinasti Jin, sangat gemar berdo’a. pada umur 50 tahun belum dikarunia seorang anak. Seorang bikkhu yang tinggal dalam kelenteng dekat rumahnya menganjurkan agar membaca Guan Yin Jing (Koan Im Keng) sejak itu tak lama lagi isteri hamil dan kemudian melahirkan anak laki – laki.
3). Pada tahun 1923 bulan Maret, seorang perwira angkatan darat yang sering disebut sebagai Zhang Jiang-Jun, berangkat bersama keluarganya dari Shanghai ke Nanjing dengan pesawat terbang. Setelah mengudara beberapa saat, tiba-tiba pesawat itu mengalami gangguan mesin dan mulai tidak dapat dikuasai. Zhang Jiang-jun yang biasanya sering membaca Do’a penolong Guan Yin, lalu mengajak semua orang yang ada di situ untuk berdo’a bersama. Baru saja berdo’a, dari jendela pesawat tampak Dewi Guan Yin muncul dengan tersenyum diantara awan, dan pesawat yang hamper menhunjam ke bumi itu mendadak dapat kembali naik dengan mesin hidup kembali. Sekretaris Zhang Jiang-jun sempat memotret wajah Guan Yin yang muncul diantara awan itu.
4). Pada tahun 1973 seorang perwira angkatan udara Amerika (USAF) yang sedang mengadakan penerbangan patroli di atas selat Taiwan, melihat segerombolan awan hitam yang bentuknya aneh, dia lalu memotretnya. Setelah hasil bidikan kamera itu dicuci, tampaklah gambaran Guan Yin sedang berdiri di atas seekor naga yang sedang terbang. Peristiwa ini sanggat menggemparkan dan sempat dimuat oleh beberapa surat kabar terkemuka.
5). Peristiwa ajaib terjadilah pada tahun 1977 bulan Juni. Patung Guan Yin besar yang ada di Port Stanley, Hongkong telah bergerak secara ajaib. Kejadian didahului dengan memancarnya sinar dari batu permata yang ditempelkan pada dahi patung yang bersangkutan, dan disaksikan oleh banyak umat yang pada waktu itu sedang khitmah berdo’a. berita ini sempat dikutip oleh Pikiran Rakyat, Bandung, terbitan 7 – 6 – 1977, dari salah satu harian di Hongkong.
6). Seorang penulis dari Malaysia, Guan Ming, menceritakan pengalamnnya yang dimuat dalam buku yang berjudul “Popular Deities of Chinese Buddhisme” terbitan tahun 1985. pada pemulaan tahun 1979 penulis itu mengalami suatu peristiwa spiritual luar biasa yang telah merubahnya menjadi penganut Buddhist yang taat. Berminggu- minggu ia berdo’a kepada Tuhan untuk kesembuhan adik lelakinya yang mengidap kanker ganas. Rupanya do’a itu didengar oleh Yang Maha Kuasa dan secara tidak terduga Guan Yin Pu Sa muncul dihadapannya. Guan Yin tidak hanya menjanjikan kesembuhan buat adik lelakinya, tetapi juga mengatakan bahwa ia akan dikarunia seorang putra tahun berikutnya. Adiknya yang dinyatakan dokter hanya dapat bertahan hidup beberapa minggu lagi, ternyata sembuh total, dan dikaruniai seorang anak laki – laki pada tahun 1980, tepat seperti yang telah diucapkan oleh Guan Yin. Sejak itu sang penulis lalu mendirikan perkumpulan do’a Guan Yin yang berpusat di Malaysia, untuk menyebarkan agama Buddha dan memuja Guan Yin.
Membicarakan kemukjijatan Guan Yin mungkin akan memerlukan buku setebal Encyclopedia Britanica, karena tiap pemuja mempunyai cerita tersendiri tentang pengalamannya. Untuk mempercayai hal-hal demikian bagi orang awam memang tidak mudah, tapi apabila kita berkeyakinan bahwa semua agama adalah berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan diturunkan melalui Nabi –nabi yang berlainan adat kebiasaannya, dan pada jaman yang berbeda- beda, kita tidak usah heran akan kemujijatan seperti itu, sebab hal demikian – pun terjadi juga kepada penganut Agama – agama lain, dengan catatan mereka benar – benar melaksanakan ajarannya secara benar dan tulus. Sebab beragama itu sesungguhnya adalah pengalaman pribadi dan tidak dapat di paksakan kepada orang lain yang tentunya punya pengalaman yang berlainan tentang kita. Jadi yang benar adalah kita betul – betul melaksanakan ajaran agama masing – masing yang sesuai dengan diri kita dan mengamalkannya tanpa harus mencemooh kepercayaan orang lain dengan menganggap yang kita yakini adalah yang paling benar.dengan demikian kita dapat hidup dengan tentram dan damai jauh dari kegelisahan dan kemurkaan yang merusak batin.
Ahli Sejarah Bebicara Tentang Guan Yin
Ahli sejarah tentu saja mempunyai perbedaan pandangan dengan para pemuja dalam membicarakan tentang Guan Yin. Bagi mereka segala kemujijatan serta keajaiban yang dikaitkan dengan Guan Yin adalah sebuah dongeng yang sulit diterima oleh pikiran – pikiran ilmiah.
Yang mereka cari adalah apakah Guan Yin sungguh – sungguh berasal dari Avalokitesvara ataukah lebih dari itu. Memang berdasarakan catatan sejarah, pemujaan Guan Yin dimulai pada waktu Kumarajiva, seorang Biksu dari India, yang datang ke Tiongkok pada tahun 409, semasa Dinasti Jin. Setelah Kumarajiva menterjemahkan Sutra Fa Hua Jing ke dalam bahasa Tiongkok, pemujaan Guan Yin mulai umum. Pada masa kerajaan Liang (502 – 577 M) kebiasaan itu masih popular, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Kaisar Wen Zong (827 – 840 M) dari dinasti Tang. Masalahnya kemudian adalah dari mana pemujaan ini berasal dan pengaruh apa yang menyebabkan.
Seorang sarjana berpendapat bahwa pemujaan Guan Yin berasal dari Syria dan Persi. Ia menganggap bahwa air suci dalam botol yang dibawa oleh Guan Yin sama dengan Atargatti, seorang dewi yang banyak dipuja Syria dan Persi, yang membawa air kehidupan. Yang lebih mengutarakan dugaan adalah Atargatti adalah dewi ikan, Guan Yin sering kali ditemani seekor ikan tambera. Tapi anggapan ini dapat dibantah. Kesamaan air suci antara kehidupannya memang boleh jadi hanya kebetulan. Tentang ikan yang menemani Guan Yin, ternyata bukan ciri khas Guan Yin seorang, sebab banyak dewata Buddhisme lain yang dipuja juga ditemani oleh ikan, terutama ikan tambera. Ikan tambera bagi orang Tionghoa mempunyai makna khusus yaitu lambang kegigihan dalam berjuang. Ahli sejarah lain berpendapat bahwa pemujaan Guan Yin dipengaruhi oleh budaya dari Mesir. M.C. Well dalam bukunya Panggung Sejarah Dunia, mengatakan “agama Dao di Tiongkok mempunyai seorang dewi yang disebut Sheng Mu atau Tian Hou. Kemudian namanya dirubah menjadi Guan Yin. Guan Yin sebetulnya dewata pria, yang mirip dengan Dewi Mesir ISIS. Isis inilah yangmempengaruhi Guan Yin, kehidupannya juga merupakan dewi lautan “. Sementara ini Gu Jie Gang dalam bukunya “Urutan Analisa Sejarah Kuno” mengatakan :” Yama atau Yan Luo (yaitu raja Akherat) bukanlah melulu ada di India saja, ini juga pengaruh dari Mesir. Yan Luo mungkin adalah penguasa akherat dari sungai nil yang bernama Osiris. Nil dalam bahasa Tiongkok adalah Niluo, suaranya mirip dengan Yan Luo. Kalau pendapat ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa Guan Yin memang berasal dari Mesir”.
Mengenai pendapat ini, Li Sheng Hua seorang ahli sejarah dari Taiwan, dalam bukunya Guan Shi Yin Pu Sa Zi Yanjiu atau penelitian tentang Guan Yin, mengatakan tidak setuju. Ia berpendapat bahwa dalam dongeng Mesir. Isis adalah isteri dari Osiris. Tapi di Tiongkok, menurut Li Sheng Hua, Guan Yin dan Yan Luo memiliki kedudukan yang sangat berbeda, dan tidak pernah ada yang mengatakan bahwa Guan Yin adalah isteri Yan Luo. Dengan ini jelas tidak bisa disimpulkan bahwa Guan Yin berasal dari Mesir. Patung Isis yang menggendong anak, sama sekali tidak mirip dengan Guan Yin yang dalam pose serupa. Mengenai pendapat bahwa Isis dan Guan Yin sama – sama dewi Laut, ini merupakan kesamaan yang bersifat psykologis dari angan – angan manusia saja. Memang Guan Yin sebetulnya adalah Dewa bukan Dewi, tapi masyarakat sudah terlanjut menganggapnya sebagai Dewi, dan Dewi Welas Asih yang ada dari pelbagai Negara, umumnya juga merangkap menjadi Dewi Pelindung Lautan. Seperti halnya Dewi Welas Asih dari Agama Katholik Roma, Mater Dei dan Lain – lain, Guan Yin mempunyai jabatan yang sama. Selanjutnya Li Sheng Hua beranggapan bahwa untuk menerangkan masalah ini tidak cocok apabila digunakan teori penyebaran dongeng (Theory of Mythic Diffusion) tapi akan lebih cocok kalau dipakai “teori kesamaan cara berpikir secara kejiwaan” (The Theory of Similaruty of Mental Working). Kecuali pendapat – pendapat di atas, ada lagi suatu anggapan yang mengatakan bahwa pemujaan Guan Yin sesungguhnya berasal dari Maria – nya orang kr****n. Pada jaman dinasti Tang, Agama kr****n Nestorian memasuki Tiongkok dan mulai berkembang. Seorang pendetanya, Alopen, tiba di Changan, ibukota kerajaan Tang, pada tahun 635. tiga tahun kemudian ia memperoleh ijin untuk mendirikan kuil di sana. Oleh orang Tionghoa, Agama Nestorian ini disebut Jing – jiao.
Ahli – ahli sejarah yang mendukung teori bahwa Guan Yin adalah “pinjaman” dari Marianya agama Jiang – jiao mengatakan bahwa :
1). Agama Nestorian memuja Maria seperti kaum Katholik sekarang. Nestorian mula berkembang pada jaman dinasti Tang, pada jaman sebelumnya tidak ada Guan Yin yang ditampilkan sebagai wanita, barulah sesudah kaum Nestorian memperkenalkan Maria, maka bermunculan Guan Yin yang berbentuk wanita. Memang pada jaman Song (jaman sesudah dinasti Tang)masih ada Guan Yin yang ditampilkan sebagai pria. Ini hanya disebabkan karena penyebaran pemujaan Guan Yin sebagai wanita belum merata.
2). Orang yahudi tidak mengenal perbedaan kasta. Mereka, baik kaya atau miskin sama – sama tidak bersepatu. Dan Guan Yin juga selalu ditampilkan tanpa memakai alas kaki atau sepatu.
3). Maria dianggap Bunda Suci, sangat menyukai bunga mawar. Oleh kaum Buddhist, mawar kemudian di ganti dengan teratai. Sering juga Maria ditampilkan dengan memegang daun palem, yaitu kebiasaan orang Yahudi untuk menandai orang yang suka damai. Oleh kaum Buddhist, sebagai ganti daun palem, Guan Yin digambarkan membawa cabang Yang Liu (Willow). Meskipun tidak sama, perbedaan ini masih bisa ditelusuri asalnya.
4). Kaum Nestorian menganggap bahwa Maria mempunyai kekuasaan untuk membuat mukjijat, siapa berdo’a mohon kepadanya akan tertolong. Maria di anggap Dewi welas Asih yang dapat juga memberikan anak pada pemujanya. Pemujaan Guan Yin bagi kaum Buddhist juga mempunyai tujuan seperti itu.
Terhadap pandangan–pandangan ini. Li Sheng Hua tidak dapat menerima Ia berpendapat :
1). Kaum Nestorian sebetulnya tidak memuja Maria. Pendiri aliran ini, Nestro karena menolak penghormatan kepada Bunda Suci Maria, dipecat dari induk agamanya. Pada waktu itu kaum kr****n percaya bahwa Maria melahirkan putra Allah. Hanya aliran Nestorian saja yang tak menyetujuinya. Mereka hanya mengijinkan menggantungkan gambarnya sebagai tanda penghormatan, tetapi melarang pemujaan patungnya. Perbedaan waktu antara berdirinya aliran Nestorian dan masuknya ke Tiongkok tidak lama. Jadi mustahil kalau penganutnya di Tiongkok melupakan peraturan agamanya yang asli, lalu memuja Maria.
2). Kalau dikatakan bahwa karena Guan Yin dilukiskan tidak memakai sepatu, maka ia adalah tiruan, dari Maria, pendapat ini salah sama sekali. Penemuan patung dan gambar – gambar Buddha dari jaman sebelum dinasti Tang sudah digambarkan dengan tidak memakai sepatu, jadi jauh sebelum agama Nestorian masuk. Tidak hanya Guan Yin yang telanjang kakinya, Arhat dan Boddhisatva lain juga begitu.
3). Sebutan Dewi Welas Asih, pengasih dan Penyayang bagi Guan Yin Pu Sa, sudah ada pada kitab Suci fa-yuan-zhu-lin. Dalam kitab suci itu terdapat bagaian yang memuat Mantra Pemusnah Karma Jahat menyebutkan Namo Guan Shi Yin Pu Sa ……………………………..Maha Pengasih dan Maha Penyayang……………………………Penolong kesusahan dan Penolong Kesengsaraan…………………..”. perlu diketahui bahwa Fa-yuan-zhu-lin ditulis oleh pendeta Dao Shi dari Vihara Ming Si pada jaman permulaan dinasti Tang. Jelas ini belum dipengaruhi oleh ajaran Nestorian yang pada waktu itu belum masuk. Kalau kitab Suci ini masih diragukan, masih ada kitab lain yang lebih tua misalnya Fa Hua Jing yang juga memuat Guan Yin Yang Maha Penyayang itu.
4). Patung Buddha digambarkan bertangan banyak dan membawa teratai. Teratai adalah lambing kesucian. Buddha Gautama dilahirkan pun dengan menginjak teratai. Sedangkan cabang pohon Yang-liu yang dibawa Guan Yin adalah pengaruh taoisme. Kaum Taoist punya kebiasaan menggunakan dahan Yang-liu untuk memercikkan air dalam upacara mengusir roh – roh jahat, dan menyembuhkan penyakit. Jadi jelas bukan merupakan tiruan dari pohon Palem yang dipegang oleh Bunda Maria.
Sedangkan pendapat yang mengatakan Guan Yin berasal dari India, adalah lebih tepat, tanpa perlu diragukan lagi keabsahannya. Tapi harus diingat bahwa Guan Yin India yaitu Avalokitesvara, hanya sebagai pendorong permulaan saja. Selanjutnya, baik dalam wujud penampilan dan sifat pemujaannya, Guan Yin telah sepenuhnya bersifat Tionghoa seratus persen, yang dipengaruhi oleh Taoisme.
Guan Yin Dalam Sebuah Legenda
Seperti Avalokistesvara yang mempunyai tempat suci yaitu di Gunung Potalaka, Tibet, Guan Yin juga meliki sebuah pulau sebagai tempat bersemayamnya yaitu Pu Tuo Shan. Pu Tuo Shan adalah sebuah pulau kecil, yang terletak di sebelah timur kepulauan Zhoushan. Luas pulau ini hanya sekitar 13 KM2. di tengahnya terdapat sebuah bukit yang merupakan bagian tertinggi dari pulau itu, yang disebut Fo Ding Shan atau Puncak Buddha. Dewasa ini banyak pelancong dan peziarah yang datang kemari, kedatangan mereka diatur oleh Biro – biro perjalanan yang berpusat di Ning Po. Pada perayaan tahun Guan Yin, pulau ini penuh sesak di kunjungi oleh peziarah dari segala penjuru dunia. Tempat yang dikunjungi peziarah terutama adalah sebuah gua pesisir yang disebut Gua Deburan Ombak. Disini, menurut catatan, beberapa kali Guan Yin menampakkan diri dihadapan para pemujanya dan para pendeta suci. Penampakkan Guan Yin di pulau ini pernah disaksikan oleh Dr Sun Yat Sen, Bapak Pendiri Republik Tiongkok, yang berkunjung ke sini pada tanggal 25 Agustus 1916, demikian menurut seorang pengarang wanita Amerika, Mary M. Anderson dalam bukunya “Guan Yin The Goddes of Mercy”.
Tercatat pada tahun 916 M, yaitu pada jaman Lima Dinasti, seorang pendeta Jepang, Hui E, dalam perjalanan pulang dari Wu Tai Shan, mendarat di Pu Tuo, setelah perahunya terhamtam oleh hujan, angina dan gelombang. Di Pu Tuo Shan ini, Hui E lalu mendirikan kuil Buddha. Pada tahun 1214 M, yaitu pada dinasti Song, barulah tempat ini diputuskan untuk pemujaan Guan Yin sehubungan dengan beberapa kali penampakkannya. Kelenteng yang terbesar di pulau itu adalah Pu Ji Si. Di kelenteng inilah, seorang pendeta menulis sebuah buku tentang kisah putri Miao Shan, pada tahun 1102. kisah Miao Shan ini yang kemudian menjadi legenda tentang asal mula Guan Yin versi Tionghoa. Sebagai imbalan atas usahanya, sang pendeta memperoleh anugerah yaitu dapat menyaksikan penampakkan diri Dewi Welas Asih sendiri.
Kisah Miao Shan yang sangat mengharukan itu dimuatkan dalam gulungan Kitab Pusaka dari Xiangshan, yang isinya kira – kira sebagai berikut : Pada jaman akhir dinasti Zhou (kira – kira abad 3 SM), disebelah Barat gunung Semeru, ada sebuah negeri yang disebut Xing-lin, luasnya kira – kira 18.000 Li. Raja negeri ini bernama Pao Qie dan memakai gelar Miao Zhuang untuk tahun pemerintahannya. Pada waktu berumur 20 tahun, rakyat mendukungnya untuk menjadi raja di negeri itu. Beliau mempunyai permaisuri yang bernama Bao De, umurnya sama dengan Sri Baginda, permaisuri ini sangat berbudi dan sangat ramah serta murah hati. Sayang sang raja tidak punya putra, yang ada hanya tiga putrid. Putri yang tertua bernama Miao Shu, yang kedua Miao Yin dan yang bungsu bernama Miao Shan.
Setelah menginjak usia dewasa, raja mencarikan menantu untuk ketiga putrinya itu. Miao Shu memilih seorang pejabat sipil, sedangkan Miao Yin memilih seorang jenderal perang sebagai suaminya. Hanyalah Miao Shan seorang yang tak hendak menjatuhkan pilihannya. Malah kemudian ia meninggalkan istana dan pergi ke Ruzhou dan menjadi bikkhu wanita di kelenteng Bai Que Si. Didalam kelenteng atau vihara itu terdapat kira – kira 500 orang bikkhuni. Kepala bikkhu disitu memerintahkan Miao Shan bekerja berat, dibagaian dapur. Sebetulnya kepala bikkhu ini telah mendapat perintah dari ayah Miao Shan agar membuat putrinya tidak betah untuk hidup di vihara itu.
Melihat keteguhan hati Miao Shan, Dewa Dapur Zao Jun, lalu membuat laporan kepada Yu Huang Da Di. Yu Di menerima laporan ini segera memerintahkan para malaikat dari Lima Pegunungan, dan Delapan Dewa Naga, untuk membantu Miao Shan di vihara Bai Que Si. Kemudian disusulnya peritah kepada Raja Naga dari lautan timur untuk membuat sumur di dapur Vihara itu, dan para binatang liar di pegunungan berdatangan mengantar kayu bakar, serta burung – burung membawa sayur – mayur. Dengan segala bantuan ini Miao Shan tidak banyak mengalami kesengsaraan.
Raja Miao Zhuang akirnya mengirim tentara ke Vihara itu untuk memaksa agar Miao Shan. Pasukan ini dipimpin oleh Raja Muda Zhau dan Raja Muda Ye. Biyara Bai Que Si di bakar, Miao Shan lalu berdo’a memohon perlindungan Yang Maha Kuasa,kemudian ia mencabut tusuk kondenya dan ditusukan ke lidahnya. Darah dari lidah itu di semburkan ke udara,dan tiba-tiba dari angkasa turun hujan yang berwarna merah. Api yang berkobar menelan biara itu segera padam.
Miao Zhuang, mendengar berita ini, gusar bukan buatan, tentara diperintahkan untuk menangkap Miao Shan dan menyeretnya untuk dihukum mati. Sang Buddha yang mengetahui peristiwa ini lalu memerintahkan pada Tu-di, sang Dewi Bumi, untuk menyelamatkan Miao Shan. Beliau bersabda”Tak ada di dunia sebelah barat ini manusia yang sesuci dan sebaik Miao Shan. Besok ketika pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan patahkanlah golok dan tombak para algojo yang dipergunakan untuk membunuh dia. Jagalah agar dia tidak banyak menderita kesakitan. Pada saat kematiannya, rubahlah dirimu menjadi seekor harimau dan bawalah tubuhnya ke suatu Hutan Pinus. Sembunyikan dan masukkan sebutir pil ke dalam mulutnya agar tubuh itu tidak membusuk. Rohnya akan kembali mencari badan kasarnya sesudah selesai perjalanan ke neraka. Setelah itu ia akan bersemayam di bukit Xiang Shan di pulau Pu Tuo samapi mencapai kesempurnaan”.
Pada waktu pelaksanaan hukuman di jalankan, golok dan tombak para algojo patah ketika menyentuh leher Miao Shan. Lalu leher Miao Shan dijerat dengan tali baja, barulah sang putri tewas. Bersamaan dengan itu mendadak seekor macan besar menyerbu masuk dan menggondol tubuh putri yang malang itu, lalu membawanya masuk ke dalam Hutan Pinus.
Roh Miao Shan di neraka, karena kesucian dan ke – welas – asihannya, serta ketulusan do’anya, menyebabkan tempat yang penuh penderitaan itu berubah menjadi seperti sorga. 10.000 roh yang tersiksa memperoleh pengampunan berkat do’anya. Akhirnya Yan Luo Wang, penguasa akherat, menyuruhnya kembali ke badan kasarnya, dan hidup kembali. Begitu siuman, O Mi Duo Fo muncul dan menganjurkan dia meneruskan praktek – praktek untuk mencapai kesempurnaan di Xiang Shan kepulauan Pu Tuo. Sebelum pergi O Mi Duo Fo memberinya persik dewa. Dengan makan persik itu, Miao Shan tidak akan lapar dan haus, lebih – lebih lagi ketuaan dan kematian akan menyentuh selama – lamanya. Dengan dihantar oleh harimau jelmaan Dewa Bumi, Miao Shan akhirnya sampai dengan selamat di Pu Tuo Shan.
Sembilan tahun berselang, Raja Miao Zhuang menderita penyakit bisul ganas, sudah banyak tabib kenamaan yang dipanggil untuk mengobati tapi tak juga berhasil. Miao Shan, dengan menyamar sebagai seorang pendeta tua,datang menengok. Miao Shan mencukil kedua matanya dan memotong kedua telapak tangannya utnuk mengobati ayahnya itu. Setelah penyakitnya sembuh, barulah Maio Zhuang menyadari kebaktian putrinya. Ia lalu mengangkat pengganti dan mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Dengan diiringi para menteri dan sanak keluarganya ia pergi ke Xiang Shan, untuk bertobat dan menganut ajaran Buddha.
Sang Buddha kemudian memberi gelar Miao Shan sebagai Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Pu Sa yang berarti Guan Shi Yin Pu Sa penolong kesukaran dan kesengsaraan yang bermata dan bertangan seribu dan tak ada bandingannya.
Kemudian Yu Huang juga menganugerahi saudara Miao Shan yaitu Miao Shu, sebagai Pu Xian Pu Sa (Po Hian Po Sat – Hokkian), Miao Yin sebagai Wen Shu Pu Sa (Bun Cu Po Sat – Hokkian). Miao Zhuang, sang ayah bersama istrinya Bao De, juga diangkat sebagai Pu Sa. Wen Shu, dan Pu Xian sering kali ditempatkan mendampingi Guan Shi Yin di berbagai kelenteng.
Masih ada beberapa versi, seperti yang dimuat dalam kitab Shou-sen-ji (Catatan tentang kumpulan Para Dewa), agak berbeda dengan apa yang ditulis dalam kitab Xiang-shan. Raja Miao Zhuang, misalnya dalam kitab Xiang-shan dikatakan berperangai halus dan berbudi. Sebaliknya dalam Shou-sen-ji, beliau disebut sebagai berwatak kasar, kejam dan gemar nerperang. Tapi secara garis besar, versi – versi yang dimuat dalam beberapa kitab, tidak memiliki perbedaan besar dalam kisah keseluruhannya.
Miao Shan Guan Yin ditampilkan dengan keadaan duduk, tangannya dalam sikap meditasi dan membawa mutiara yang menyala. Banyak lukisan atau pahatan menampilkan dia sedang duduk di atas batu karang dekat air yang mengalir deras, atau di tengah lautan. Lukisan lain memperlihatkan dia sedang membawa gulungan kitab suci yang melambangkan Sutra Penerangan Hati, atau sebatang dahan pohon Yangliu untuk memercikkan embun suci (Amritha) yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit dan mengusir roh – roh jahat. Masih ada bentuk lukisan lain yang menampilkan Guan Yin membawa tasbih mutiara di tangannya, tapi sering juga tasbih itu dibawa di paruh seekor burung kakak – tua. Bajunya berwarna putih dan tampak melayang di atas awan, di atas bunga teratai atau di atas kelopak teratai yang terapung di lautan. Lukisannya yang paling terkenal adalah pada waktu di tampilkan bersama dengan pembantunya yaitu Si Anak Merah, Shan Cai, dan Si Gadis Naga Long Nü. Shan Cai dengan posisi menyembah dan Long Nü membawa mutiara yang menyala.
Tentang Shan Cai dan Long Nü ini, ada kisahnya tersendiri. Pada waktu Tu Di Gong mengantar Miao Shan ke pulau Pu Tuo, menjaganya selama 9 tahun, sampai akhirnya sang putri mencapai kesempurnaan. Ditentukan hari pelantikan Miao Shan menjadi Pu Sa adalah tanggal 19 bulan 9 Imlik. Tu Di menyebarkan banyak undangan untuk menghadiri pelantikan tersebut. Yang diundang antara lain adalah San Guan Da Di, Shi Dian Yan Luo (10 Raja Akherat) Ba Xian (8 Dewa), Wu Yue Da Di (dewa dari Lima Pegunungan) dan lain – lain. Pada hari yang telah ditentukan, para undangan telah berkumpul, Miao Shan duduk di atas singgasana bunga teratai, lalu para Dewata itu mengumumkan pelatikan di kalangan ke-Buddha-an dan wilayah kekuasaannya di langit dan bumi. Kemudian mereka beranggapan bahwa tidak sepantasnyalah Miao Shan sekarang dinamakan Guan Shi Yin berada di Xiang Shan seorang diri tanpa pembantunya. Mereka mengusulkan agar dicarikan dua pembantu, seorang pria perjaka dan gadis yang bertugas melayani semua keprluannya di tempat itu. Tu Di diserahi tugas untuk menemukan calon yang sesuai.
Dalam perjalanan mencari calon pembantu Guan Yin ini, Tu Di bertemu dengan seorang pendeta mudan yang bernama Shan Cai. Setelah kematian kedua orang tuanya, Shan Cai menjadi pertapa di gunung Da Hua Shan, tapi tanpa bimbingan ia merasa sulit untuk mencapai kesempurnaan. Dengan perantara Tu Di akhirnya Shan Cai menghadap Guan Yin. Guan Yin masih meragukan kesungguhan hati pemuda ini dan ingin mengujinya. Disuruhnya pemuda itu menempati sebuah puncak di pulau itu, dan menunggu sampai Guan Yin menemukan cara untuk mengatur kesempurnaannya.
Miao Shan kemudian memanggil Tu Di dan meminta agar para dewa yang hadir di situ mau menyamar menjadi bajak – bajak laut yang mau mengepung gunung itu, membawa obor dan senjata tajam mengancam akan membunuh Guan Yin. “Aku akan lari ke puncak dimana Shan Cai sekarang berada dan menguji kesetiannya”, kata sang Dewi.
Tak lama kemudian segerombolan bandit dan bajak laut datang mengepung vihara di Xiang Shan itu. Guan Yin melarikan diri ke puncak, ia terpeleset dan terguling ke dalam jurang. Melihat sang dewi terguling, Shan Cai tanpa ragu – ragu segera terjun untuk menyelamatkannya. “Anda tidak mempunyai sesutau yang berharga untuk dirampok mereka, mengapa takut dan terjun ke jurang, sehingga terancam bencana kematian”, tanya Shan Cai. Melihat pemuda itu menangis, Guan Yin berkata “aku harus tunduk pada kehendak langit”.
Shan Cai, dengan segala kepedihan hatinya, berdo’a kepada Langit dan Bumi agar Sang Dewi diselamatkan. “Seharusnya kau tak perlu menunjukkan diri untuk menolong aku dengan penuh resiko. Aku belum menjelmakan kau kembali dan mengantarmu kesempurnaan. Tapi kau adalah anak yang berani, aku sekarang tahu hatimu baik, Lihatlah ke bawah sana “ kata Guan Yin. Shan Cai lalu menoleh “Aku melihat mayat”.
“Ya, itulah badanmu yang lama. Sekarang kau telah dijelmakan kembali, dan kau dapat terbang dan membumbung keangkasa sesuka hatimu!” Guan Yin berkata. Shan Cai membungkukkan badannya tanda terima kasih dan Guan Yin berkata lagi “Selanjutnya kau selalu berada di sampingku dan berdo’a, jangan meninggalkan aku seharipun”. Sejak itulah Shan Cai selalu hadir di sebelah Guan Yin.
Tentang bagaimana Shan Cai menjadi murid Guan Yin, cerita terkenal “Xi You Ji” mempunyai versi yang lain lagi. Dikisahkan dalam perjalanan mengambil kitab suci ke langit barat, pendeta Xuan Zhang bersama ketiga muridnya Sun Wu Kong, Si Monyet Sakti, Zhu Ba Jie Siluman Babi dan Sha He Shang dicegat oleh seorang siluman yang berijut anak kecil yang sangat sakti. Ternyata siluman anak kecil itu adalah putra Niu Mo Wang (Gu Mo Ong – Hokkian) dan Luo Sa Nü (Lo Sat Li – Hokkian), yang diberi nama Niu Sheng Ying (Gu Seng Eng – Hokkian) alias Hong Hai Er (Ang Hay Ji – Hokkian) atau si Anak Merah. Si Anak Merah ini sakti sekali, ia bermaksud menawan pendeta Xuan Zhang untuk disantap dagingnya. Beberapa kali Sun Wu Kong dibuat tak berdaya oleh semprotan api saktinya. Tapi si Monyet Sakti tak kehabisan akal. Ia lalu meminta bantuan Guan Yin Pu Sa untuk menaklukkan Hong Hai er. Akhirnya Hong Hai Er dapat ditaklukkan dan dibawanya pulang ke Pu Tuo Shan untuk menjadi muridnya dan diberi gelar Shan Cai. Versi ini memang berbeda sekali dengan apa yang dituturkan dalam kisah Miao Shan.
Tentang Gadis Naga Long Nü dikisahkan sebagai berikut ini. Dengan kekuatan gaibnya Miao Shan melihat bahwa putra ketiga Long Wang, Sang Raja Naga, sedang menjelma menjadi ikan tambera. Dalam perjalanan melaksanakan tugas ayahnya, tak terduga ikan itu terperangkap dalam jala nelayan, dan diangkat ke darat lalu dijual ke pasar. Miao Shan lalu memerintahkan pelayannya yang setia, Shan Cai untuk membeli ikan itu, yang kemudian dibawa ke Pu Tuo Shan untuk dilepaskan ke laut bebas. Putra ketiga Sang Raja Naga sangat berterima kasih atas pertolongan Guan Yin. Sang Raja Naga dalam terima kasihnya kepada Miao Shan Guan Yin bermaksud menghadiahkan sebutir mutiara yang dapat bersinar di waktu malam. Long Nü cucu perempuan Long Wang dari pangeran ketiga tersebut mohon ijin untuk menghantarkan hadiah kepada Miao Shan. Di hadapan Miao Shan, Long Nüminta diijinkan untuk belajar ajaran orang – orang suci di bawah bimbingannya. Setelah mengetahui kesungguhan hatinya, Miao Shan akhirnya menerima Long Nü sebagai murid. Shan Cai memanggilnya kakak. Mereka bersama – sama mendampingi Miao Shan. Sering juga Long Nü ini ditampilkan dalam bentuk naga yang sedang ditunggangi oleh Guan Yin. Oleh Yu Huang Da Di, Shan Cai diberi gelar Jin Tong (Kim Tong – Hokkian) yang berarti “jaka emas” dan Long Nü bergelar Yu Nü (Giok Li – Hokkian) yang berarti “gadis kumala”.
Pengaruh Guan Yin Dalam Sastra.
Dalam kalangan sastra rakyat, Guan Yin mempunyai kedudukan yang penting. Di kota Guangzhou misalnya anda dapat memperoleh banyak buku – buku dongeng dan terbitan lain yang memuat syair puji – pujian untuk Guan Yin pada penjual buku kaki lima dengan mudah, seperti, “Lahirnya Guan Yin” atau “Guan Yin Menjelma” dan lain – lain.
Dalam Xi You Ji, novel dongeng termashur itu, anda dapat dengan mudah menemukan peran penting Guan Yin dalam menyelesaikan pertikaian antar Sun Wu Kong, Si Kera Sakti, dengan para siluman yang mencoba menggangu perjalanannya. Tak ketinggalan novel Feng Shen juga menampilkan Guan Yin dalam versi Taoist dengan nama Zi Hang Dao Ren (Cu Hang To Jin – Hokkian) yang membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya (Kiang Cu Ge – Hokkian) dalam menumbangkan kaisar Zhou Wang yang jahat.
Drama rakyat yang sangat popular yaitu “Kisah Mu Lian Menolong Ibunya di Neraka”, juga menempatkan Guan Yin pada kedudukan yang paling penting. Drama ini sendiri bersumber pada sebuah dongeng yang berkisah seperti di bawah ini :
“Pada saat Mu Lian memperoleh kekuatan, ia dapat mengetahui bahwa roh ibunya di neraka telah terjerumus menjadi setan yang kelaparan, Ia lalu mengisi mangkoknya dengan nasi untuk diberikan pada sang ibu tapi ternyata nasi berubah menjadi api. Melihat usahanya yang sia – sia, Mu Lian menangis sedih. Ia lalu mengatakan kepada Sang Buddha, sang Buddha lalu mengajarkan cara memberi pertolongan, Mu Lian disuruh menyiapkan makanan yang bermacam – macam dan ditempatkan dalam baskom untuk menjamu para Pendeta dari 10 penjuru, selama 75 hari. Dengan berbuat amal begini, dengan sendirinya ibunya terlepas dari segala kesengsaraan ketika menjadi setan kelaparan. Mu Lian sangat bersuka cita. Demikian juga umat manusia di bumi, mereka dengan gembira memuji kejadian ini (Sembahyang Rebutan yang disebut Yi-lan pen-hui atau Alam Bana dimulai dari kisah ini).
Dari sebuah dongeng pendek, kisah ini dibeberkan menjadi drama yang panjang. Ketika Mu Lian turun ke neraka untuk menolong ibunya, Guan Yin beberapa kali menampakkan diri menolong Mu Lian menemukan jalan untuk menuju ketempat ibunya.
Pengaruh Agama Buddha pada sastra Tiongkok yang paling besar adalah Kitab – kitab Suci Buddhist. Kitab – kitab suci yangmengisahkan Guan Yin ada beberapa, yaitu Kitab dari Xiang Shan (yang kita bahas dalam legenda Guan Yin) Kitab Suci Keranjang Ikan, dan Kitab Suci Burung Kakak – tua. Kitab – kitab ini berisikan karya sastra yang tinggi nilainya.
Dalam Kitab Suci Burung Kakak-tua dikisahkan bagaimana seekor kakak-tua menjadi pengikut Guan Yin :
“Adalah Seekor burung kakak-tua yang sangat berbakti kepada induknya. Suatu ketika induknya yang sakit menginginkan buah Cherry yang ada di tempat sebelah timur. Maka terbanglah sang kakak – tua ke negeri sebelah timur untuk mengambil buah tersebut. Tak terduga ia masuk ke dalam jerat pemburu dan tertangkap. Kepada sang pemburu ia menceritakan hal ihwalnya tapi rupanya sang pemburu tidak peduli. Seorang hartawan tertarik akan burung yang dapat berbicara ini, lalu membelinya. Sang burung ditempatkan dalam sangkar, tapi ia terus menasehati sang hartawan agar melepaskannya. Suatu hari Boddhidharma datang dan menyuruh agar dia pura – pura mati. Sang hartawan yang lihat sang kakak – tua yang mati, lalu membuangnya. Begitu bebas, sang kakak-tua segera mengepakkan sayap-sayapnya dan terbang. Tapi telambat, ibunya telah mati. Dalam kesedihannya sang kakak-tua jatuh pingsan. Guan Yin datang menyadarkan dia dengan memercikkan embun kehidupan dari botol yang dibawanya. Juga ayah ibu kakaktua itu, dibantu untuk melewati karmanya dan menjelma kembali menjadi manusia. Sejak itu sang kakak-tua pergi mengikuti Guan Yin dan paruhnya mencocok sebuah tasbeh mutiara, inilah sang kakak-tua.
Pemujaan Guan Yin
Di atas telah kita singgung sedikit, bahwa pusat pemujaan Guan Yin terletak di Pu Tuo Shan, sebuah pulau kecil di sebelah timur Kabupaten Dinghai, Propinsi Zhejiang. Tiap tahun, terutama pada musim semi dan panas, para peziarah yang berjumlah puluhan ribu berbondong – bondong datang ke sini untuk bersembahyang. Mula – mula pulau ini bernama Hai Qin Shan, nama ini tetap digunakan untuk sebuah bukit kecil yang terletak di bagian selatan pulau ini. “Pu Tuo” adalah sebuah istilah Buddha, yang berarti gunung suci Putoloka di India. Sebelah tenggara gunung ini terletak pulau Srilangka. Menurut Johnston dalam buku yang berjudul “Buddhist China”, Putoloka adalah puncak bagian barat dari pegunungan Malaya di bagian selatan India. Di Tiongkok ada dua tempat yang dinamakan Pu Tuo Shan. Yang satu adalah yang telah kita bicarakan yaitu sebelah timur propinsi Zhejiang, yang satu lagi terdapat di Tibet.
Jadi Pu Tuo adalah kependekkan dari Putoloka, Pu Tuo berarti bunga putih, sedangkan “loka” berarti gunung. Sebab itu pengarang – pengarang jaman dinasti Yuan menyebut Pu Tuo Shan sebagai Xiao Bai Hua Shan (Gunung Bunga Putih Kecil). Konon memang gunung Pu Tuo Shan banyak ditumbuhi oleh bunga putih yang dalam bahasa Latin disebut Gardenir Florida. Pendeta – pendeta jaman dinasti Tang, karena melihat bunga – bunga ini lalu memilih gunungnya sebagai pusat pemujaan, ataukah melihat gunungnya lebih dahulu baru kemudian menanam bunganya, sulit diterangkan.
Para pemuja Guan Yin menganggap tanggal 29 bulan 8 Imlik sebagai tanggal perayaan kelahirannya (sebagian ada yang merayakan pada tanggal 19 bulan 2 Imlik), karena dalam setahun, pada tanggal itulah ombak paling besar, dikaitkan dengan Guan Yin sebagai Dewi Pelindung Lautan. Tapi kalangan awan cenderung untuk menganggap Guan Yin adalah nama gabungan dari beberapa Guan Yin Pu Sa. Ada Guan Yin Pu Sa sebagai pelindung lautan, Guan Yin Pu Sa sebagai Dewi Pemberi Anak dan lain – lain yang masing – masing dicarikan hari lahir tersendiri. Ini menyebabkan kita sering menemui perayaan hari lahir Guan Yin Pu Sa tidak sama diberbagai tempat dalam setahun, kecuali bulan yang – 12 dalam 11 bulan lainnya tentu terdapat hari lahirnya, yang berarti juga hari vegetarian (Ciak Jay), bagi para pemujanya.
Di Guang Zhou, tanggal 24 bulan 2 Imlik, sering dianggap sebagai hari lahir Guan Yin Pengantar Anak. Pria dan wanita dari berbagai pelosok perkumpulan menjadi satu dalam suatu perayaan yang disebut Sheng Cai Hui (perayaan sayur mentah). Para pengikut upacara biasanya datang ke pusat perayaan dengan membeli sayur mentah, dengan harapan memperoleh tuah melahirkan anak, sebab “Sheng Cai” (yang berarti sayur mentah) dan “Sheng Zai” (yang berarti melahirkan anak), punya suara yang mirip. Di tempat perayaan dibuat kolam kecil. Dalam kola mini sebelumnya telah dimasukkan sejumlah kerang dan keong. Orang – orang yang datang kemari memasukkan tangannya ke dalam kolam, kalau yang terambil adalah keong, maka ia boleh berharap memperoleh anak lelaki, tapi kalau kerang yang terambil, harapannya anak perempuan.
Kebiasaan ini asal – usulnya dapat ditelusuri pada masa pemerintahan Kaisar Wen Zong (827 – 840 M). Kaisar Wen Zong gemar sekali akan tiram. Pada suatu hari ia menemukan tiram yang besar, yang kulitnya keras sekali. Setelah berhasil dibuka ternyata didalamnya terdapat patung Guan Yin kecil Kaisar terperanjat, barulah setelah mendengar penjelasan dari para ahli filsafat kerajaan, ia sadar dan menjadi penganut Guan Yin yang tekun, dan banyak mendirikan kelenteng untuk Guan Yin. Pemujaan Guan Yin sejak itu jadi sangat berkembang, Kaisar meninggal tahun 840, dan kelenteng di Pu Tuo Shan selesai didirikan pada tahun 847 M.
Para pemuja Guan Yin berpantang makanan daging sapi, burung dara, udang, ikan yang tidak bersisik, sarang burung (Yan – oh), daging kuda, daging anjing, bulus dan jenis kerang. Harapan mereka terbesar adalah dapat melihat wajah Guan Yin. Mereka yang pergi ke Pu Tuo Shan pasti menyempatkan diri memasuki gua dimana Guan Yin pernah menampakkan diri. Ada yang sampai membakar sepuluh jarinya dengan api lilin, agar bisa meraga sukma dan bertemu sang Dewi. Kebiasaan ini jelas berasal dari India. Konon orang yang melakukan cara itu tidak ada yang tidak berhasil melihat Guan Yin. Meskipun ada variasi di berbagai daerah tentang hari lahir Guan Yin, tapi secara garis besar dapat dikatakan umumnya ada 3 hari besar untuk menghormati Dewi Welas Asih ini. Ke 3 hari besar tersebut adalah :
1). Tanggal 19 bulan 2 Imlik adalah hari kelahirannya.
2). Tanggal 19 bulan 6 Imlik adalah hari menjadi Pendeta.
3). Tanggal 19 bulan 9 Imlik adalah hari memperoleh penerangan.
Pada hari – hari ini, para pemuja yang telah merasa pernah memperoleh pertolongan Guan Yin berbondong – bondong memenuhi kelenteng pemujaan Guan Yin, membawa barang persembahan, melepaskan burung – burung dan binatang lain, melakukan pantang makan berjiwa, melaksanakan perbuatan amal dengan berkunjung ke rumah jompo dan rumah penampungan anak cacat dan lain – lain kegiatan sosial dan ritual.
Biasanya ada 5 larangan yang dipatuhi :
1). Tidak membunuh atau menyiksa mahluk hidup lain.
2). Tidak mencuri atau mengambil yang bukan jadi haknya.
3). Tidak berbuat jinah.
4). Tidak berbohong atau membual.
5). Tidak minum minuman keras atau barang lainnya.
Biasanya sepanjang hari diisi dengan acara pembacaan kitab suci dan meditasi secara masal, serta perenungan. Yang lebih tekun biasanya melakukan pembacaan parita dan meditasi untuk kebahagiaan semua umat manusia sampai beberapa hari. Guan Yin tidak hanya dipuja di kelenteng – kelenteng, di daratan tiongkok, Hongkong, dan Taiwan. Seiring dengan menyebarnya orang Tionghoa perantauan di Asia Tenggara, maka di Malaysia, Singapura dan Indonesia juga banyak dijumpai kelenteng yang khusus diperuntukkan Guan Yin. Khusus di Jawa terbesar adalah kelenteng Dewi Welas Asih di Banten, Jawa Barat. Selain itu, tidak terhitung banyaknya rumah yangmemujanya dalam sebuah altar pribadi, baik di kota – kota besar sampai jauh di desa kecil di pegunungan. Dewata lain mungkin dipuja dan dihormati bercampur rasa takut, tapi Guan Yin begitu dekat di hati, ia dihormati sekaligus dicintai. Dewata lain mungkin berwajah bengis dan angker. Tapi Guan Yin selalu tersenyum lemah lembut dan bersahaja.
Begitu dekat pengaruh Guan Yin dalam masyarakat, sampai – sampai seorang gadis akan sangat bangga apabila ia disebutkan sebagai ia mirip dengan Guan Yin hidup. Memang Guan Yin dari dulu sampai sekarang juga dianggap sebagai lambang kecantikan dengan bibir merah, kulit halus, alis lentik dan langkah yang lemah gemulai.
Sebagai garis besar, di kalangan rakyat, Guan Yin dianggap Boddhisatva penolong bagi orang yang sedang dalam kesusahan dan kesengsaraan. Juga dianggap penolong roh – roh yang mengalami penderitaan di neraka, sebab itu ia ditampilkan dalam sembahyang memberi makan roh – roh kelaparan yang jatuh pada bulan 7 Imlik, dengan nama Pu Du Gong (atau tuan yang menolong penyeberangan). Secara umum ia dipanggil Guan Yin Fo Zhu atau Guan Yin Ma dan lain – lain, sebutan akrab. Begitulah kira – kira betapa meresapnya pemujaan Guan Yin dalam masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar