Membebaskan Buddhisme dari Sektarianisme
penulis: ivan taniputera
Kita tidak dapat memungkiri bahwa sebagaimana halnya dengan agama-agama dan keyakinan lainnya, Buddhisme terpecah menjadi beberapa sekte atau aliran. Timbulnya beberapa sekte atau aliran ini memang perlu disikapi secara positif dan negatif sekaligus. Berdasarkan sudut pandang positif, kita tidak dapat memungkiri bahwa timbulnya berbagai aliran merupakan reaksi terhadap berbagai "selera" manusia yang berbeda-beda dalam dunia spiritual. Dengan demikian, adanya satu aliran saja tidak akan dapat mengakomodasi pandangan semua orang. Hal ini dapat kita analogikan dengan sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai menu. Adanya berbagai pilihan menu ini tentu saja sangat menggembirakan para pengunjung restoran karena mereka beroleh kesempatan untuk menyantap hidangan sesuai dengan seleranya masing-masing. Bila kita hanya menyediakan satu menu saja, maka orang yang menggemari makanan lainnya tentu tidak akan berkunjung ke rumah makan kita. Buddhisme adalah ajaran yang sangat kaya dengan "84.000 ajarannya." Tentu saja kita tidak akan sanggup mempelajari semuanya, sehingga akhirnya para guru sesepuh di zaman dahulu menyeleksi metode-metode yang sesuai dengan pemahamannya, melatihnya, dan kemudian mengajarkannya pada para murid mereka. Dengan demikian, timbullah beberapa sekte. Di dalam Mahayana sendiri kita kenal aliran-aliran Vinaya (Lu, memusatkan perhatian pada Vinaya), Sukhavati (Jingdu, memusatkan perhatian pada Sutra-sutra Sukhavati), Dhyana (memusatkan diri pada pelatihan meditasi Chan), Tantra (Mizong, memusatkan perhatian pada Sutra Mahavairocana dan Susiddhikara), Panggung Surgawi (Tiantai, memusatkan perhatian pada Sutra Saddharmapundarika), Trisastra (Sanlun, memusatkan perhatian pada tiga karya Nagarjuna), dan lain sebagainya. Tidak ada yang lebih unggul atau baik di antara semua sekte-sekte, kendati seorang praktisi boleh saja meyakini bahwa metode yang dilatihnya adalah yang paling bermanfaat (bagi dirinya). Masing-masing aliran itu telah menghasilkan banyak suciwan yang merealisasi pembebasan bagi dirinya dan mendatangkan manfaat bagi banyak makhluk.
Sisi positif kedua, banyaknya sekte mencerminkan kekayaan tradisi Buddhis yang tidak ada habis-habisnya untuk dipelajari. Kita patut mengakui bahwa pengaruh budaya suatu bangsa yang baru menerima Buddhisme turut mempengaruhi perkembangan sekte di negeri tersebut. Hubungan ini berlangsung secara timbal balik sehingga saling memperkaya. Buddhisme menjadi dapat lebih dipahami oleh masyarakat negeri tersebut, tentu saja dengan tidak meninggalkan semangat Buddhisme yang asli.
Kini kita akan membahas sisi negatif yang menyedihkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa sekte telah timbul dan mengatas-namakan Buddhisme tetapi mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dasar Guru kita, Buddha Gautama. Marilah kita ambil contoh suatu sekte X yang telah berkembang di negeri kita dan memperoleh jumlah pengikut signifikan. Di atas altar sekte itu terpampang tulisan berbunyi "Tuhan yang Maha Esa." Tentu saja hal ini agak menggelikan karena Buddhisme sendiri tidak pernah mengajarkan adanya Tuhan. Saya tidak mengetahui bagaimana konsep ketuhanan mereka, tetapi jelas sekali sebutan itu sangat rancu. Saya lebih setuju jika mereka menggunakan istilah "Nibanna yang Maha Esa," tetapi tidak menganjurkannya karena istilah "maha esa" sendiri merupakan suatu "nama" atau "definisi," padahal nibanna tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Jadi yang terbaik ya barangkali tidak perlu menuliskan apa-apa. Kedua, sekte tersebut mengajarkan bahwa era Buddha Sakyamuni telah berakhir dan digantikan oleh Buddha selanjutnya. Ajaran ini bertentangan dengan literatur-literatur Buddhis yang ada. Buddhisme dengan jelas mengajarkan bahwa Buddha berikutnya (Phra Arya Metteya atau Maitreya) akan turun setelah adanya suatu megapolis bernama Ketumat dan usia manusia akan menjadi sangat panjang. Meskipun demikian, kita tidak dapat memungkiri bahwa ajaran tersebut juga mengajarkan ajaran yang bagus. Tetapi satu hal yang sangat bertentangan dengan praktek Buddhis adalah ajaran bahwa seseorang dapat masuk surga dengan menerima tiga pusaka versi mereka. Buddhisme mengajarkan bahwa seseorang dapat masuk surga dengan menjalankan Pancasila Buddhis dan bukannya dengan menerima pusaka dalam bentuk apapun. Tentu saja sebagai umat Buddhis kita harus mengembangkan toleransi yang baik. Kita tidak perlu merusak atau menghancurkan tempat ibadah mereka, jika berpendapat itu adalah sekte menyimpang yang mengatas-namakan Buddhis. Yang dapat kita lakukan adalah membina umat Buddhis sendiri agar mengenal Dharma yang benar dan bila ada kesempatan memperkenalkan pada umat sekte tersebut apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Buddha Gautama. Jadi kita tidak perlu menempuh jalan konfrontatif, semua dapat dilakukan melalui dialog, sebagaimana yang saya lakukan dengan umat aliran tersebut. Perkembangan menggembirakan, berdasarkan pengamatan saya, kini aliran tersebut sudah banyak mengajarkan Dharma Sang Buddha yang benar.
Sisi negatif kedua yang cukup menyedihkan adalah gontok-gontokkan antara Mahayana dan Theravada. Masing-masing saling menjelekkan satu sama lain. Ini tentu saja melemahkan perkembangan Buddhisme di Indonesia. Umat yang baru mengenal Buddhisme akan bingung. Penganut Theravada mengatakan bahwa alirannya merupakan yang terbaik dan menganggap sesat Mahayana. Sebaliknya, umat Mahayana mengatakan bahwa Theravadisme tidak cukup memiliki cinta kasih dan merupakan Dharma kelas bawah. Pandangan semacam ini tidak sehat bagi perkembangan Buddhisme di Indonesia. Untunglah, saat saya baru pertama kali mengenal Buddhisme di Jerman, hal semacam itu tidak saya alami. Saya mendapati bahwa umat Theravada dan Mahayana di sana sangat akur. Kegiatan-kegiatan di vihara Theravada (Frohnau) diumumkan pula di vihara Mahayana (Foguangshan, Innungstrasse) dan begitu pula sebaliknya. Terkotak-kotaknya umat Buddha melemahkan perkembangan Buddhisme itu sendiri.
Memang kita patut mengakui bahwa Theravada tidaklah 100 % sama dengan Mahayana. Jika kita melihat peta penyebaran Buddhisme, maka jelas sekali bahwa wilayah yang didiami umat Buddha terbentang pada jarang 1/3 keliling bumi (sekitar 15.000 km). Mulai dari Srilanka hingga Jepang. Secara logis, izinkanlah saya bertanya, "Mungkinkan menjaga homogenitas di tempat seluas itu?" Marilah kita ambil Tiongkok sebagai contoh. Kawan saya mengatakan bahwa jarak yang berbeda sekitar 100 km saja sudah terdapat bahasa daerah berbeda yang tidak dapat dipahami satu sama lain. Nah, bandingkan dengan jarak sekitar 15.000 km tersebut. Jadi sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, budaya juga ikut membentuk sekte yang ada. Suatu agama agar dapat diterima masyakarat harus dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Mari kita cermati kembali apa dilakukan oleh Kukai (Kobo Daishi) sewaktu hendak menyebarkan Buddhisme di Jepang. Apakah Beliau langsung mendirikan panggung dan membabarkan Dharma? Jawabnya tidak. Yang pertama Beliau lakukan adalah pergi mengunjungi sebuah kuil Shinto dan memohon izin kepada dewa yang dipuja di sana untuk menyebarkan Buddhisme. Dewa itu akhirnya menjawab bahwa seluruh dewa-dewi Shinto sesungguhnya adalah emanasi para Buddha dan Bodhisattva. Akhirnya Buddhisme mendapat simpati rakyat Jepang dan berkembang pesat semenjak saat itu. Mari kita bandingkan suatu agama yang tidak dapat diterima di Tiongkok karena mengajarkan penghancuran patung-patung. Meskipun sudah memasuki Tiongkok semenjak abad ke-17, tetapi ia tidak mengalami perkembangan berarti hingga saat ini. Bandingkan pula dengan aliran Sarvastivada yang akhirnya lenyap dari Tiongkok karena tidak bersedia menyesuaikan dengan budaya setempat. Tentu saja, penerimaan budaya setempat hendaknya tidak menghilangkan semangat asli Buddhisme. Yang Arya Yogi Chen pernah mengatakan: "Oranglah yang hendaknya menyesuaikan diri pada Dharma dan bukannya Dharma yang menyesuaikan diri dengan orang itu." Jadi jelas Dharma tidak dapat dikompromikan. Tetapi ajaran yang terlalu kaku juga tidak akan bermanfaat. Jadi sekali lagi kita harus kembali pada Jalan Tengah. Suatu penyesuaian boleh saja asalkan tidak menghilangkan semangat asli Buddhisme. Oleh karena itu, sekali lagi mengharapkan suatu ajaran Buddhis yang 100 % sama di tempat seluas itu sangatlah mustahil. Buddhisme Theravada di Muangthai dan Myanmar sendiri sudah berbeda. Masing-masing mengembangkan tradisinya sendiri. Masing-masing memiliki metode meditasinya sendiri. Kita patut mengakui bahwa perbedaan itu memang ada.
Kini yang perlu kita lakukan adalah memahami mengapa perbedaan itu dapat terjadi. Ambil contoh masalah jubah. Di negara tropis seperti India mengenakan jubah tanpa lengan tidak masalah, tetapi apa yang terjadi bila Buddhisme menyebar hingga ke kutub utara atau Siberia yang suhunya mencapai minus 50 derajat Celsius? Jika jubah semacam itu dipertahankan, bisa-bisa bhikkhunya akan mati kedinginan. Tentu saja, Buddha tidak pernah mengajarkan seseorang untuk mati kedinginan bukan? Jadi Vinaya perlu kita ambil esensinya dan bukan menerimanya secara harafiah. Esensi pattimokkha adalah mengajarkan seorang biarawan Buddhis untuk hidup secukupnya. Tentu apa yang dimaksud "secukup"nya ini berbeda dari masing-masing lokasi geografis ke lokasi geografis lainnya. Kita tidak dapat memukul rata semuanya. Di tempat-tempat yang beriklim dingin orang membutuhkan pakaian dan makanan yang berbeda dengan orang di daerah tropis. Hidup "secukup"nya tidak sama dengan hidup "kekurangan" atau menyiksa diri. Jadi, selama hal itu tidak menimbulkan kemelekatan maka masalah jubah hendaknya tidak dipersoalkan. Banyak orang yang menuduh Mahayana telah menyimpang dalam hal penggunaan jubah, padahal hal ini tidaklah benar. Bila kita hanya menilik seseorang dari jubahnya saja, di Muangthai banyak pula bhikkhu yang mengenakan jubah yang "benar" tetapi melakukan penyimpangan dalam hal lainnya. Memang benar, bahwa Vinaya yang ditetapkan Buddha tidak dapat dikompromikan. Tetapi ini dalam artian esensinya dan bukan makna harafiahnya. Seorang bhikshu Mahayana boleh saja mengenakan pakaian berlengan, jika memang itu yang dibutuhkannya. Tetapi jika ia mulai menghiasi pakaiannya dengan mutiara atau emas, barulah itu boleh dianggap penyimpangan. Sejarah membuktikan bahwa Vinaya Pali sendiri juga mengalami evolusi dari waktu ke waktu.
Lalu bagaimanakah, suatu aliran dapat diterima sebagai bagian dari Buddhisme? Setidaknya ada beberapa syarat:
(1)Mengakui Buddha Sakyamuni sebagai guru utama
(2)Mengakui Empat Kebenaran Mulia dan Delapan Jalan Tengah
(3)Menerima anatta, dukkha, anicca
(4)Mengakui adanya hukum karma dan patticcasamupada
(5)Menerima nibanna sebagai tujuan tertinggi
Lima butir di atas mencerminkan dasar Buddhisme yang tidak dapat diingkari sebagai seseorang yang mengaku murid Buddha.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar