PROLOG
Dalam mitologi China, banyak tokoh yang dapat dijadikan panutan bagi pengembangan batin dan moralitas. Tak ada batasan strata maupun gender yang menjadi aral dalam pembentukan karakter bijaksana tersebut. Mereka dapat dari kalangan apa saja. Bangsawan ataupun jelata. Laki-laki maupun perempuan. Sebab sosok demikian, murni lahir dan berangkat dari sebuah cita luhur. Maka dalam perkembangan zaman, mereka tidak pernah dapat dilupakan oleh rakyat. Menjadi legenda turun-temurun, diteladani dan disanjung setinggi langit. Mereka adalah maharesi yang mengisi dunia ini dengan cinta dan kasih. Mereka adalah manusia-manusia yang diradi Langit.
Dan salah satunya adalah Zhao Gong Ming, Sang Dewa Reksa Arta.
***
Sesungguhnya ada dua sosok Sang Dewa Reksa Arta yang merupakan jelma jelata menjadi totem di Langit. Sosok pertama adalah Dewa Reksa Arta Wu dan yang kedua adalah, Dewa Reksa Arta Wen. Dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, masing-masing 'dewa' tersebut memiliki tugas dan tanggung-jawab masing-masing. Pembedaan lainnya adalah, mereka secara 'jasadi' memiliki bentuk sosok yang lain di antara masing-masing figur.
Penggambaran Dewa Reksa Arta Wu misalnya, berwajah hitam mengenakan zirah besi khas bentara kekaisaran dengan tangan memegang 'koin' tipikal kuna Tionggoan. Ia kerap menunggangi seekor macan hitam sementara tangannya yang lain memegang cemerti sakti. Cikal bakal penembahan Dewa Reksa Arta Wu ini bermuasal dari moralitas dan dedikasi yang telah diaplikasikannya bagi lingkungan rakyat sekitarnya.
Tersebutlah Zhao Gong Ming. Ia merupakan salah satu jelata yang berasal dan lahir di Zhao Nan Shan, Tiongkok. Hampir sepanjang perjalanan semasa kecil dan mudanya, ia berkubang terus-menerus di dalam kemiskinan. Praktis Zhao Gong Ming muda menggantungkan hidupnya dari mengemis belas kasihan orang-orang. Semua ini demi menghidupi ibunya yang sudah tua dan uzur. Legenda mengungkap bahwa 'dewata' di Langit tersentuh oleh baktinya yang demikian besar terhadap ibunya itulah, sehingga kemudian ia diberi anugerah rezeki melimpah. Pada suatu ketika, ketika rundungan kelaparan yang nyaris merenggut nyawa kedua ibu-beranak itu, maka 'dewata' menurunkan sebuah 'mangkuk sakti' yang dapat menghasilkan harta emas. Maka, sejak saat itu, Zhao Gong Ming menjadi salah satu orang terkaya di desanya. Berbekal karunia 'kekayaan' dari Langit itu pula ia membantu penduduk miskin tanpa berpamrih dan tanpa pandang bulu. Ia menjadi satu-satunya dermawan yang tidak angkuh dan sombong. Ia disayangi oleh rakyat. Dan sejak saat itu pula namanya mulai melegenda.
***
Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
Namun kebatilan senantiasa menangkup bagai jelaga awan hitam di atas langit. Zhao Gong Ming yang berpekerti baik dimusuhi oleh beberapa bangsawan dan saudagar jahat yang menganggapnya telah merenggut popularitas mereka. Simpati penduduk terhadap Zhao Gong Ming yang palamarta pula dianggap sebagai hal yang memalukan bagi mereka yang berstatus sosial tinggi. Sebab sudah turun-temurun keluarga mereka telah menjadi pandega dan pemuka masyarakat.
Maka pada suatu ketika, mereka berkonspirasi untuk melenyapkan nyawa Zhao Gong Ming. Mereka lalu membayar beberapa perewa untuk melakukan aksi tidak berperikemanusiaan tersebut. Dan dalam sebuah skenario insiden pembunuhan, para perewa tersebut membakar tubuh Zhao Gong Ming sehingga jasadnya hancur mengarang dan wajah insan berbudi luhur itu menghitam—inilah penggambaran mengapa wajah Dewa Reksa Arta Wu Zhao Gong Ming adalah hitam. Jiwa almarhum Zhao Gong Ming kemudian diangkat ke Nirwana oleh Kaisar Langit, Yi Huang Da Di, dan berangkat dari kebajikan dan kedermawanannya, maka ia dianugerahi sebagai Dewa Reksa Arta Wu. Ia diberi amanat dan bertugas sebagai pemimpin 'Asta Reksa Pengrajin Emas dan Perak', yang melindungi harta para dermawan dari perampok atau saudargar hitam yang bersekutu dengan makhluk autotrop untuk mencuri. Ia pulalah yang mengatur kekayaan insan di dunia sesuai pahala dan budi baik yang mereka lakukan.
Mengemban tugas mulia dari Langit tersebut, Dewa Reksa Arta Wu Zhao Gong Ming diberi seekor macan hitam sebagai kendaraan tunggang yang loyal dan mengikutinya ke mana saja. Ia juga diberikan seekor burung Hong Emas—phoenix—yang dapat menempuh jarak mahapanjang, dan bertugas sebagai infois yang dapat membedakan insan batil maupun bajik. Dari informasi burung Hong Emas itu pulalah maka ia dapat menimbang 'pembagian' harta bagi masing-masing pelaku kebajikan. Semakin besar pahala baik seseorang, maka makin besar pulalah rezeki dan harta yang akan diperolehnya.
***
Legenda tentang Dewa Reksa Arta Zhao Gong Ming sebenarnya beredar dalam berbagai versi. Namun yang paling populer selain kisah di atas tadi adalah pengisahan dirinya dalam cerita rakyat yang bernama Feng Shen Yan Yi—Kisah Wisesa Widyaiswara Hong Sin. Tersebutlah seorang pertapa bernama Zhao Gong Ming yang tekun melatih dan mengasah pancacita demi pengembangan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ia tulus bersemedi di sebuah gunung bernama Omei.
Pada akhir kekuasaan Dinasti Shang, ia diundang oleh Kaisar Zhou untuk menghadapi Jiang Zi Ya, yang merupakan tokoh penting antipemerintah rival utama Kekaisaran. Mengemban amar dari Sang Kaisar, ketika ia turun gunung untuk mencari Jiang Zi Ya, Zhao Gong Ming dihadang seekor macan berbulu hitam di sebuah hutan kaki gunung. Pergulatan dengan binatang buas tersebut tak dapat dihindari. Berbekal kesaktiannya sebagai maharesi, maka dengan mudah Zhao Gong Ming dapat menaklukkan sang Macan Hitam itu. Selang berikutnya, ia dapat membudaki macan berbulu hitam tersebut sebagai kendaraan tunggangnya. Sejak saat itulah sang Macan Hitam bertubuh sebesar kuda itu menjadi abdi bagi Zhao Gong Ming.
Akhirnya, bersama sang Macan Hitam, Zhao Gong Ming terus mencecar dan memburu Jiang Zi Ya. Dalam sebuah pertemuan penuh amarah, mereka bertarung sengit. Berbekal cemeti saktinya, Zhao Gong Ming dapat mengalahkan Jiang Zi Ya. Nasib baik masih berpihak kepada Jiang Zi Ya, sebab ia dapat meloloskan dirinya dari sergapan Zhao Gong Ming yang hendak membunuhnya. Dengan tubuh luka-luka dan berlumuran darah, ia melarikan diri dari cengkeraman sakratulmaut. Jiang Zi Ya yang tengah berputus asa bertemu dengan seorang rahib Tao sakti, yang berasal dari daerah perbukitan Khung Lung. Ia berguru ilmu pada maharesi itu. Dan setelah merasa sudah siap untuk bertarung, maka ia berangkat untuk mencari Zhao Gong Ming.
Suatu ketika mereka bertemu dan bertarung kembali. Dalam pertarungan tersebut, Jiang Zi Ya yang sudah memiliki kesaktian tinggi dapat membunuh Zhao Gong Ming.
Setelah pertarungan itu, alkisah, Jiang Zi Ya yang sesungguhnya seorang jelata berpekerti baik namun kontrapemerintah nan zalim, mendapat karunia dari Langit. Ia diberi kitab 'Yu Fu Jin' dari Kaisar Langit yang lebih lazim dikenal sebagai Yuan Shi Tian Cun. Kitab tersebut merupakan madah sakti yang dapat mengangkat arwah seseorang menjadi 'dewa'. Memanuti amar dan putusan Langit yang memprioritaskan 'dewa' berasal dari manusia berbudi luhur, maka tanpa dilandasi 'perseteruan'-nya yang pernah terjadi dengan Zhao Gong Ming semasa mendiang masih hidup sebagai manusia, ia mengangkat arwah 'musuh'-nya itu menjadi 'Jin Long Ru Yi Zheng Yi Long Hu Xuan Tan Zhen Jun' atau Dewa Reksa Arta yang memimpin dan mengatur kekayaan manusia pada Dunia Belahan Timur. Kemudian, tidak lama berselang pada saat bersamaan, Jian Zi Ya pun menitahi Na Zhen Tian Cun Ji Bao, juga dewa berstrata sama yang berasal dari manusia bajik, memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Barat. Zhao Cai Shi Zhe Deng Jiu Gong yang bermuasal serupa mereka berdua tadi, memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Selatan. Dan terakhir adalah, Xian Guan Tao Shao Si. Tugas salah satu dari empat Dewa Reksa Arta ini memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Utara.
Itulah ihwal empat sosok Dewa Reksa Arta yang ditugasi mengatur kekayaan dan kemakmuran manusia. Kisah yang melegenda tersebut disikapi sebagian masyarakat Tionghoa sebagai pedoman dalam pengembangan pancacita: sebuah pencerahan batin dalam rangka pencapaian kebahagiaan, kemakmuran, kesejahteraan, kekayaan, dan kesehatan. Bersama Jiang Zi Ya, keempat dewa itu kerap disebut Wu Lu Cai Shen atau Dewa Reksa Arta Lima Penjuru. Dan setiap penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal limabelas bulan tiga, masyarakat yang masih turun-temurun mereplikasi kebajikan jelata jelma 'dewa' tersebut pasti merayakan seremoni 'ulangtahun' yang mengacu pada hari kelahiran Zhao Gong Ming.
0 komentar:
Posting Komentar