PROLOG***
Pahlawan, selayaknya bunga, ia adalah semerbak yang harum mewangi. Meski layu, namun sekarnya mengiang sepanjang hayat. Sosok pahlawan lahir lantaran satu hal: patriotisme. Mereka adalah figur-figur heroistik, dan kadang-kadang rela mengorbankan jiwanya untuk membela kebenaran. Sesungguhnya, bukan popularitas atau takhta sebagai imbal sehingga pahlawan-pahlawan itu mengejewantah dalam keluhuran pancacita. Bukan semua itu.
Namun ada hal yang jauh mendasari pengorbanan tanpa batas tersebut. Adalah moralitas, kemurnian budi pekerti, dan kehormatan dalam nama kebenaran juga menjadi penunjang sehingga sosok nan jelata sekalipun dapat menjelma rani.
Dan sesungguhnya mereka ada petuan yang layak disanjung setinggi langit. Karena apa yang telah mereka lakukan dan korbankan, tak dapat ditakar dengan gemerlap kilau permata yang ada di dunia ini.
Eksistensi pancacita itu telah dibuktikan oleh seorang jelata bermarga Guan dan bernama Yu, yang dalam perjalanan waktu telah membentuknya menjadi pahlawan sejati. Dan dikenal sebagai Guan Sheng Di Jun—Guan Yu Sang Patriot.
Alkisah, tersebutlah Guan Shen Di Jun yang lahir pada zaman maharana Sam Kok (Tiga Negara) yang masyhur di Tiongkok kuno. Ia merupakan abdi kekaisaran yang sangat loyal dan patriotik pada negeri Liu (salah satu di antara Tiga Negara yang bertikai), sehingga digelari Yung Chang—Prajurit Gardatama. Ia galib dipanggil dengan nama kecilnya, Guan Yu. Bersama sahabatnya, Liu Bei dan Zhang Fei, mereka mengikrar sebagai saudara sehidup-semati di sebuah taman bunga bernama Tao. Sumpah mereka sebagai saudara itu pun masyhur dikenal sebagai Tao Yuan San Jie Yi—Sumpah Sejati Sedarah nan Abadi di Taman Tao.
Dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa, semenjak Dinasti Han yang marak dan baur oleh ajaran konfusiusme-buddhisme-taoisme, ajaran moralitas itu bersenyawa dan menjadi sosio-kultur di dalam masyarakat China. Maka terciptalah sosok atau figur bijak yang berasal dari ruap moralitas, kebenaran, dan pacacita, serta nilai-nilai luhur yang menjadi panutan bijak sampai sekarang. Dan maharana hanyalah latar-belakang yang mendukung semakin bertumbuhnya tokoh-tokoh pemerang kebatilan.
Guan Yu adalah salah satu jelata yang sangat menjunjung tinggi perikeadilan. Ia tidak dapat melihat rakyat yang tertindas. Ia tidak tega melihat kesewenang-wenangan yang telah menjadi hakam di ranah Tionggoan, dimana beberapa kaum bangsawan yang kuat menindas rakyat marjinal yang lemah nan papa. Maka ketika kondisi berniskala derita itu semakin meruyak tatanan kehidupan, ia tampil dengan penuh ketulusan bahkan mengorbankan jiwa raganya demi cita-cita luhur yang telah meraja di hatinya.
***
Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
Guan Yu lahir pada penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal duapuluh empat bulan enam, saat Kaisar Yan Xi dari generasi ketiga Dinasti Han Timur berkuasa (160 Masehi). Merunut catatan sejarah, ia menikah pada saat berumur tujuhbelas tahun. Di usia delapanbelas tahun, ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama Guan Ping. Nyaris sepanjang perjalanan masa belia yang dilaluinya dengan berumah tangga berjalan normal dan biasa-biasa saja sampai berusia duapuluh sembilan tahun.
Di usianya itulah nuraninya mulai terusik oleh kezaliman beberapa penguasa daerah dan bangsawan terhadap rakyat kecil. Pemuncak dari segala amarahnya adalah, ketika ia melihat seorang saudagar garam kaya yang semena-mena terhadap penduduk desanya. Maka ia membela penduduk yang tertindas tersebut. Dalam sebuah intrik perkelahian, ia dapat membunuh saudagar garam kaya tersebut yang notabene sangat berkuasa dan berpengaruh.
Ia lalu kabur menyelamatkan diri bersama keluarganya ke daerah Zhu Zhou, propinsi Hubei. Di sanalah ia bertemu dengan Liu Bei dan Zhang Fei yang memiliki misi luhur yang sama untuk membela rakyat dari tiran penguasa lalim. Di situ pulalah mereka mengikat ikrar dalam sumpah untuk menjadi saudara sehidup-semati, bersama-sama melawan kebatilan. Mereka bertiga kemudian bahu membahu menghimpun kekuatan jelata dan membentuk militan dalam menghadapi pasukan kerajaan Han Utara dan Han Selatan.
Loyalitas dan pengabdian Guan Yu yang tulus semasa bergabung dalam militer negeri Liu sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Negeri Liu merupakah salah satu negeri yang berarmada angkatan perang yang kuat di bawah pimpinan ketiga saudara setaklik itu: Guan Yu, Liu Bei, dan Zhang Fei.
Pada usia empatpuluh, ia dianugerahi gelar Han Shou Ting Hou—Pengawal Han nan Tangguh, berkat jasa-jasanya dalam kemenangan gemilang di beberapa pertempuran besar melawan dua negeri musuh. Beberapa tahun kemudian, pada usia empatpuluh sembilan, ia diangkat sebagai gubernur di daerah Xiang Yang. Tak lama berselang, pada usia limapuluh empat, ia lagi-lagi diangkat sebagai pejabat tinggi negeri sebagai gubernur di Jiang Zhou, sekaligus salah satu jenderal utama dalam 'Lima Jenderal Harimau' negeri Liu yang sohor.
Guan Yu terus bertempur membela negerinya dengan patriot sampai menutup mata saat terbunuh dalam sebuah maharana pada usia limapuluh sembilan tahun (219 Masehi) di Hubei.
***
Guan Yu yang digambarkan sebagai sosok satria bertubuh jangkung besar berjanggut panjang khas, merupakan salah satu jelata yang pada akhirnya dianggap totem Langit berkat patriotisme dan budi pekertinya selama hidup menjadi manusia. Sebagian masyarakat Tionghoa di China dan beberapa negara Asia mengategorikan ia sebagai 'Dewa Pelindung' dan merupakan totemis kontrabatil autotrop. Wajahnya yang keras kemerahan dengan sepasang bola mata tajam berhias alis tebal bak bulan sabit dapat dengan mudah diakrabi pada rupam maupun diorama pada beberapa klenteng yang memuja kebesaran jasa-jasanya.
Konon dikisahkan pula, solidaritas dan perikeadilan yang sangat dijunjung oleh mendiang Guan Yu tidak berhenti sampai sang ajal menjemputnya. Beberapa masyarakat dusun yang dilanda musibah sering melihat arwah sang Patriotik itu hadir menghalau makhluk-makhluk imbesil hasutan beberapa penguasa jahat. Rupanya, arwah Guan Yu masih mematri pada ikrarnya yang sarat moralitas: ren (kemanusiaan), yi (kebenaran), li (kehormatan), zhi (kebijaksanaan), dan xin (percaya diri).
Dan hal tersebut telah diaplikasikannya sewaktu ia masih hidup. Dengan menempuh serangkaian perjalanan panjang, ia senantiasa menebar interaksi kemanusiaannya menolong jelata sebagai wujud ren, melepas musuh besarnya, Cao Cao, saat terperangkap dalam sebuah pertempuran di daerah Hua Yang sebagai yi, dan masih banyak kebijaksanaan lainnya yang telah ia terapkan atas nama moralitas.
Dalam sebuah petuah motivais nan cendekia kepada prajurit-prajuritnya, yang kerap dikobarkannya sebagai penyulut api semangat sebelum mereka bertempur, Guan Yu sering menekankan bahwa betapa pentingnya: bakti terhadap orangtua (xiao), ikatan kasih persaudaraan (di), loyalitas (zhong), kepercayaan (xin), kesederhana (liang), dan siri atau malu berbuat jahat (chi); merupakan unsur-unsur yang mendukung sifat luhur manusia yang bermoral.
Keberanian dan sikap satria yang telah ditunjukkan Guan Yu memang patut diteladani. Setelah daerah kekuasaannya habis-habisan dibabat musuh dari negeri Wu, maka ia yang hanya bersisa beberapa ratus prajurit saja, dengan gagah berani memasuki daerah tempur musuh berbekal penuh rasa percaya diri. Ia tidak ingin menjatuhkan mental prajurit di ibukota kerajaannya dengan memilih mundur meski tahu kalau memasuki sarang lawan, berarti ia hanya akan mengantar nyawa.
Akhirnya ia dibunuh oleh jenderal Lu Meng dari negeri Wu, yang merupakan salah satu rival negerinya. Kepala Guan Yu dipenggal oleh sang Jenderal untuk kemudian dipersembahkan kepada penguasa negeri Wu. Kala itu, pemimpin negeri Wu yang berseberangan dengan Cao Cao, salah satu pemimpin rival negeri itu pula, mengirimkan kepala Guan Yu kepadanya. Cao Cao, meski bermusuhan dengan negeri asal Guan Yu, namun ia menghormati sifat bijak mendiang jenderal 'lawan'-nya tersebut. Diberinya penghormatan bagi arwah Guan Yu, dan konon membuat rupam bakti untuk mengenang budi luhurnya.
Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama setelah mangkatnya Guan Yu, sontak masyarakat Tiongkok mengkultuskan mendiang jenderal itu sebagai dewa. Bukan itu saja, beberapa kaisar yang berkuasa di Tiongkok setelah masa Sam Kok (Tiga Negara) pun melakukan hal yang sama. Ia dianugerahi banyak gelar.
Dan semua itu berkat loyalitas dan patriotiknya yang luar biasa.
0 komentar:
Posting Komentar