Namo Buddhaya.
Sampai saat ini masih banyak salah paham dan ketidak-jelasan di masyarakat umum mengenai Klenteng dan Vihara. Contohnya masih ada yang bilang Klenteng dan Vihara itu sama dan merupakan tempat beribadah Umat Buddha. Melalui tulisan ini saya sampaikan letak perbedaan 2 tempat ibadah tersebut.
Klenteng
Klenteng pada dasarnya adalah tempat ibadah kaum Tionghoa Perantauan. Di dalamnya terdapat berbagai macam rupang, baik dari Aliran Buddha Mahayana Rupang Dewi Guan Yin / Kuan Im / Avalokitesvara, rupang dari aliran Taois (Rupang Lao Zi / Lao Tzu / Tai Shang Lao Jun) dan Aliran Konfusianis (Rupang Konfusius itu sendiri). Selain itu ada pula rupang tokoh-tokoh yang dianggap berjasa dan layak mendapatkan penghormatan seperti Hua Tuo (Tabib legendaris yang hidup di masa 3 Kerajaan), Bao Cheng (Hakim Bao), dan lainnya.
Di negara asalnya (RRT), sulit ditemui tempat peribadatan yang mewadahi 3 kepercayaan tersebut. Umat Buddha bersembahyang ke Kuil-kuil Buddha, Umat Taois beribadah ke Kuil Taois dan Umat Konfusius melakukan ritual penting di Kuil Konfusius atau makam leluhur. Walaupun demikian, tidak ada pengkotak-kotakan kepercayaan, seperti Umat Buddha tidak boleh ke kuil Taois ataupun sebaliknya. 3 kepercayaan ini sudah membaur menjadi satu. Hal ini karena proses pembauran yang sangat lama. Perayaan Kaum Tionghua, mulai dari Perayaan Tahun Baru Imlek sampai dengan Perayaan Winter Soltice (Dong Zhi) adalah campuran dari ke 3 kepercayaan itu dan tidak bisa lagi dipisah-pisahkan.
Lalu mengapa di Komunitas Tionghoa Perantauan muncul tempat ibadah klenteng ini ? Sebagai kaum perantauan di negeri orang, mereka lebih cenderung mengandalkan kaumnya sendiri. Kaum Hokkian akan mengandalkan sesama kaum Hokkian ataupun Kaum Hakka akan mengandalkan sesama Kaum Hakka. Dengan demikian, Kaum Tionghoa Perantauan ini tidak mau ada pengkotak-kotakan kepercayaan di antara mereka. Ditambah lagi, saat berada negeri asing, sebaiknya seminim mungkin menggunakan tanah orang. Oleh karenanya, ditemukan solusi untuk membangun suatu tempat ibadah yang bisa mewadahi semua aliran yang ada, yang akhirnya disebut Klenteng.
Dengan munculnya Klenteng ini, muncul pula sebutan Tri Dharma (3 Kebenaran yang mengacu kepada Ajaran Buddha, Taois dan Konfusianisme). Kesalah-kaprahan juga disebabkan oleh peraturan pelarangan segala sesuatu yang mengandung Budaya Tionghoa pada masa Order Baru. Pada masa ini, Umat Tri Dharma beserta tempat ibadah Klenteng menghadapi ‘paksaan halus’ untuk memeluk salah satu dari 5 agama yang ada. Sebagian besar dari mereka akhirnya mengaku sebagai Buddhist atau beragama Buddha. Klenteng pun berganti nama menjadi Vihara supaya tidak dibredel rezim masa itu.
Efek peraturan ini sangat luas. Selain menyebabkan kesalah-kaprahan, Umat Tri Dharma yang terpaksa menjadi Umat Buddha (saya menyebutnya “Umat Buddha Terpaksa”) menjadi “lahan garapan” oleh sales-sales agama lain.Salah kaprah juga meluas hingga beberapa praktek tradisi Tionghoa dianggap sebagai Ritual Buddhist.
Vihara
Vihara adalah tempat peribadatan Umat Buddha. Idealnya Vihara adalah tempat tinggal para Bhikkhu pada suatu komunitas. Jangan pula dirancukan dengan Biara Buddha, karena biara adalah untuk para Bhikkhu yang memutuskan untuk menjauhi kehidupan duniawi / menyendiri dan biasanya Biara terletak jauh dari keramaian. Selain itu ada pula vihara skala kecil yang disebut sebagai Cetiya.
Jika anda sempat masuk ke vihara, tengoklah ke arah altar. Jika hanya ada 1 rupang Buddha, maka itu adalah Vihara Aliran Threavada. Bisa dipastikan rupang di altar tersebut adalah Rupang Buddha Gautama. Jika anda melihat rupang di altar ada 3, maka kemungkinan besar viharanya adalah Aliran Mahayana. Jika di altar ada Rupang Buddha yang berada di tengah, maka itu adalah Rupang Buddha Amitabha / Amitayus.
Walaupun berbeda aliran, saya sempat menemukan Ruang Kebaktian suatu Vihara yang bisa digunakan oleh ke-2 aliran secara bergantian.
Selain itu, peribadatan yang dilakukan juga berbeda. Peribadatan di Klenteng kebanyakan adalah untuk meminta sesuatu dan bersifat pribadi,sedangkan di Vihara, peribadatan bersifat kebaktian dan bisa diisi ceramah oleh bhikkhu ataupun dhammadutta.
CETIYA - VIHARA - ARAMA
yg membuat mereka berbeda hanyalah fasilitas saja.
ARAMA, tempatnya sangatlah luas, ada gedung dhammasala, uposatha, kuti, perpustakaan, dan taman yang luas (biasanya dipakai oleh para biksu untuk melatih meditasi).
VIHARA, tempatnya lebih kecil dari arama, dan tidak mempunyai taman.
CETIYA, ukuran lebih kecil dari vihara, tidak ada kuti, dhammasala, uposatha, perpustakaan, taman.
Semoga artikel ini bermanfaat untuk menjelaskan kesalah-kaprahan yang sudah terlanjur terjadi.
Namo Buddhaya.
sumber:
Code:
http://filsafat.kompasiana.com/2009/12/15/perbedaan-klenteng-dan-vihara/
0 komentar:
Posting Komentar