Menjemput Rupang Buddha Sakyamuni
Suatu hari Guru sejatiku menyuruhku melakukan sesuatu, dia meminta kesediaanku untuk pergi ke suatu tempat untuk mengambil sesuatu. Dia meminta agar aku pergi ke ssuatu vihara yang ada makam didalamnya di daerah Jakarta Utara untuk mengambil sebuah batu.
Aku jadi bingung kenapa Guruku menyuruh aku pergi ke vihara seperti itu, disitu pasti berhawa yin, jika mengambil sesuatu disana sudah pasti terkontaminasi. Apalagi aku harus meletakkan batu itu di altar dalam. Apakah ini benar? Apakah aku sedang tersesat sehingga petunjuk yang kudapatkan hari ini begitu aneh dan menakutkan?
Guruku bilang bahwa aku hanya mengambil batu itu dan tidak memohon disitu, hanya menghormati dan meminta izin para Dewa disana untuk mengambilnya. Aku bertanya pada Guruku untuk apa aku harus kesana mengambil batu itu. Tapi Guruku tidak mengatakan apapun karena masih rahasia katanya, aku diminta untuk mengambilnya dulu.
Akhirnya aku mencari informasi mengenai tempat itu, aku menemukan suatu vihara yang ada kuburannya, terletak di daerah Jakarta Utara, vihara itu merupakan peninggalan Laksamana Ceng Ho (Sam Po Kong). Guruku meminta agar sesampainya disana aku harus memperhatikan sekeliling vihara itu dan memang vihara itulah yang dia maksud. Aku sedikit takut dengan hal ini, tapi Guruku meyakinkan aku bahwa tidak apa-apa. Aku yakinkan hatiku bahwa Guruku tidak akan menyesatkan aku.
Tgl 20/6/2010
Setelah aku selesai membantu orang memasang altar dirumahnya, aku dan suami ku segera pergi ke vihara tersebut, sesuai petunjuk aku memperhatikan sekeliling vihara itu mencari keberadaan batu yang dimaksud. Mungkin karena aku merasa tidak enak, jadi aku bersembahyang sambil mata mencari kesana kemari.
Tapi sampai keliling kebagian belakang vihara, batu yang dimaksud itu tidak aku temukan, hal ini membuat aku agak bingung. Suamiku menyuruh aku untuk minta petunjuk pada Dewi Kwan Im. Dan dialtar Dewi Kwan Im aku duduk meditasi dan berharap bisa diberi petunjuk olehNya.
Dewi Kwan Im memberitahukan kalau batu yang dimaksud Guruku adalah rupang yang terbuat dari batu dan Dewi Kwan Im juga meminta agar aku memperhatikan sekitar meja altar. Aku baru tersadar, ternyata rupang, aku malah mengira akan mendapatkan batu cincin yang bisa timbul sendiri di vihara itu.
Mendengar petunjuk itu aku segera memberitahu suamiku, lalu kami mulai mencari rupang yang terbuat dari batu itu. Tapi sudah dicari di bagian meja altar juga tidak ada, apa petunjuknya salah? Tapi saat aku masuk ruang altar Dewi kwan Im tubuhku agak aneh.
Suamiku dengan teliti memeriksa, dan tanpa sengaja dia melihat di bagian belakang rupang Buddha Sakyamuni yang berukuran besar berwarna emas, ternyata ada rupang beberapa Buddha dan Dewa tersembunyi disitu dan salah satunya rupang Buddha Sakyamuni yang terbuat dari batu berwarna hitam, tinggi kurang lebih 45 cm. Suamiku bertanya pada penjaga vihara itu:
“Pak.. ini apa ya, patung dari batu?”
“Iya patung itu terbuat dari batu sudah lama sekali disitu.”
“Boleh diminta untuk sembahyang pak?”
“Boleh, mau dibawa hari ini juga boleh.”
“Iya, soalnya sudah dikasih petunjuk untuk ambil patung disini.”
“Pantas saya lihat dari tadi seperti mencari sesuatu, kalau begitu saya siapkan patungnya untuk dibawa pulang.”
Dengan mudahnya aku membawa pulang rupang Buddha Sakyamuni, ternyata batu ini yang harus aku ambil dan dibawa pulang untuk diletakkan di altar rumahku. Saat merasakan aura patung itu, aku melihat perwujudan Buddha Sakyamuni berwarna emas dengan posisi meditasi berputar-putar. Guruku mengatakan memang batu itu yang dia maksud.
Awalnya aku sedikit ragu karena rupang itu berada di vihara yang ada kuburannya, tapi saat pertama kali aku masuk kevihara itu anehnya tidak ada aura yin ataupun merasakan makhluk kotor berada di tempat itu, aku yakini saja perkataan Guruku dan mencoba menghilangkan kekhawatiranku itu.
Lalu kami membawa pulang rupang Buddha Sakyamuni itu, dalam perjalanan pulang kami melihat pelangi di siang hari padahal sama sekali tidak hujan, yang lebih anehnya ujung pelangi itu berada tepat di atas rumahku. Mungkin ini pertanda baik. Sebelum meletakkannya di altar dalam aku membersihkan rupang itu terlebih dulu, tapi aku agak kurang nyaman karena warna rupang itu hitam sekali. Setelah dibersihkan aku meletakkannya di altar dalam sebelah kanan.
Pada esok hari, pukul 3 pagi saat aku ingin bersadhana mahamayuri Vidyarajni untuk kesuksesan pembentukan dan perizinan cetya, aku tidak dapat berkonsentrasi. Karena saat aku mulai menutup mata dalam melafal mantra aku merasakan energi yang begitu kuat dan agak berbeda dari biasanya sejak rupang Buddha Sakyamuni itu ada di ruang altar.
Saat hendak meditasi, aku merasa tidak begitu nyaman dan tidak bisa fokus dengan benar. Hal ini berlanjut beberapa hari. Guruku mungkin mengetahui perubahan dalam diriku, dan dia menyuruh agar aku mewarnai rupang Buddha Sakyamuni dengan warna emas, karena jika tidak aku tidak bisa membina diri dengan baik katanya.
Akhirnya suamiku mengecat rupang itu dengan warna emas, aku melihat memang agak berbeda dan tidak tidak terlihat seram seperti warna asalnya, tapi auranya tetap saja tidak berubah, setiap masuk ke ruang altar dalam aku pasti merasakan energi itu.
Aku mencoba menghilangkan rasa takut itu dengan lebih berkonsentrasi pada pelafalan mantra hati Buddha Sakyamuni, dan ternyata ketakutanku itu tidak beralasan karena dalam meditasi, aku dibimbing posisi-posisi meditasi yang benar. Sejak rupang Buddha Sakyamuni berada dirumahku, banyak hal yang terjadi, keajaiban, kemajuan dalam pembinaan diri dan terwujudnya segala keinginan dalam jalan dharma.
Sadhana Raja Naga
Suatu hari aku diminta oleh Guruku untuk mengikuti sadhana Raja Naga yang akan dilangsungkan 8 hari disalah satu vihara di Jakarta, akan ada pembacaan Sutra, membuang botol naga ke laut dan api homa pada acara itu. Tapi aku merasa tidak enak karena aku bukan umat di vihara itu, jika pengurus vihara itu banyak bertanya, apa yang harus aku jawab, lagipula aku juga tidak mau dianggap bermaksud mencuri dharma. Jadi aku tidak berniat untuk ikut.
Tapi satu hari menjelang acara ritual itu aku bermimpi, dalam mimpi itu aku dan beberapa orang terdampar disuatu pulau karena kapal kami tenggelam, kami semua berdiri di pinggir laut, tapi tidak tahu apa yang harus kami lakukan dan kami tidak bisa menyebrang lautan untuk kembali pulang karena lautnya begitu luas dan dalam, tapi kami bisa melihat pulau tempat kami dari kejauhan. Dalam keadaan panik itu, aku mendengar ada yang mengajari aku untuk mengucapkan sesuatu, seperti mantra yang diulang-ulang. Mendengar petunjuk itu aku segera melafalnya, dan mereka yang terdampar bersamaku itu juga ikut melafalnya, maka terdengarlah lafalan mantra yang sangat ramai.
Tiba-tiba saja aku melihat ada ikan yang sangat besar terapung dikejauhan dan sepertinya dia mendengar mantra kami, lalu ikan besar itu seperti memberi isyarat kepada semua isi lautan, dan seketika itu juga seluruh isi laut kecuali air terangkat dan beterbangan menuju kearahku, seakan-akan benda-benda itu masuk ke dalam tubuhku. Setelah itu air laut yang berada di sekeliling kami tiba-tiba surut sampai kedasarnya, air laut itu membelah membentuk jalan yang mengarah kepulau tempat tinggal kami, kami semua bisa berjalan didasar laut itu menuju ke pulau rumah kami dan sama sekali tidak ada air laut yang menghanyutkan kami. Mengalamai mimpi itu aku teguhkan hatiku untuk ikut sadhana Raja Naga di vihara itu dan tak memperdulikan resikonya.
Hari pertama mengikuti sadhana, Raja Naga datang berkomunikasi. Dia bilang bahwa Dia telah memberi abhiseka kepadaku melalui mimpi, sehingga aku pantas untuk mengikuti sadhana Raja Naga. Ternyata mimpiku itu adakah tanda abhiseka dari Raja Naga langsung, hari ke-4 sadhana, Raja Naga memberiku Mutiara Alam Laut, sebagai tanda inisiasi darinya karena nantinya bisa membawakan sadhana dan homa Raja Naga di cetya yang akan kubentuk dan Dia akan menjadi Dewa pelindung cetya.
Aku senang mendapat anugrah ini, bisa berjodoh dengan Raja Naga tidak mudah. Karena Raja Naga mempunyai karakter yang agak keras, tapi bukan emosi. Mengikuti sadhananya saja tidak boleh terlewat harus ikuti terus sampai selesai, sampai suatu kali pada hari ke-6 ada cobaan menghalangi, yang sepertinya bisa membuat kami tidak pergi mengikuti sadhana, tapi kami berusaha meneguhkan hati dan tetap jalan terus, lalu cobaan itu hilang begitu saja.
Sekarang rupang Raja Naga telah berada di cetya Sukhavati Prajna dan kami berlindung kepadaNya. Mengikuti jalan para Dewa memang harus punya keteguhan hati dan ketulusan hati. Hal itulah yang membuat mereka berkenan untuk memberkati dan melindungi kita.
Beryoga dengan Para Dharmapala
Menjalani petunjuk untuk membentuk cetya dan mengurus izinnya, aku semakin sering mendapatkan berkah. Satu persatu para Dharmapala datang memberikan dukungan, baik bimbingan, pertolongan dan perlindungan. Mereka semua sepertinya bersatu padu membantuku dalam menjalankan tugas ini.
Dari mulai kedatangan Mahacundi Bodhisattva memberikan bimbingan menyerap energi murni alam semesta, yang meminta agar aku pergi ke suatu tempat yang kekuatan alamnya begitu nyata dan kuat kurasakan. Aku pergi ke tempat itu setiap tanggal 12 lunar selama 3 kali pertemuan. Banyak pengalaman yang aku dapatkan selama menjalani bimbingannya. Mahacundi Bodhisattva selalu memancarkan sinar putih yang terang benderang dan berhawa hangat.
Lalu Dharmapala Kalacakra juga datang meminta agar aku bersadhana kepadanya selama 7 hari berturut-turut, karena dia ingin membantu membangkitkan bodhicitta dan perkembangan cetya Sukhavati Prajna. Aku beryoga dengan Kalacakra, gerakannya hampir menyerupai gerakan yoga Hevajra namun agak sedikit berbeda karena tidak ada getaran pada tubuh tapi agak lebih pada hentakan.
Kemudian Bodhisattva Kurukule juga datang untuk penyatuan denganku selama 7 hari, untuk membantu menumbuhkan cinta kasih dalam diriku. Gerakan yoganya begitu luwes dan bertenaga, seperti gerakan-gerakan yoga yang ada di tempat pelatihan yoga.
Sampai pada menyatu dengan Dewi Marici, dia membantuku agar bisa mendapatkan kesuksesan dalam jalan dharma dan keduniawianku. Gerakan yoganya begitu keras sampai seluruh badanku sakit semua saat awal bersadhana, tapi setelah beberapa hari berangsur-angsur normal kembali.
Pengalaman ini membuat aku tahu bahwa para Dewa saling bergandengan tangan dalam tujuan menolong manusia, tidak ada pertikaian ataupun saling mendominasi dalam membimbing manusia, tapi mereka malah saling melengkapi dan saling bergantian memberikan bekal untuk manusia yang membina diri, manusia yang awalnya tidak bisa apa-apa, karena telah mendapatkan kontak batin dan mata ketiganya terbuka, menjadi memiliki kelebihan yang tidak bisa dimiliki manusia awam.
Sebenarnya para Dewa dalam membimbing tidak pernah mau menyusahkan manusia, mereka juga terlihat bijaksana dan begitu memahami kesulitan manusia, tapi malah manusia yang merasa takut sendiri, takut Dewa marah atau murka, padahal yang kutahu para Dewa begitu welas asih. Hanya karakter mereka berbeda-beda tapi tidak punya rasa dendam, tinggi hati, emosi dalam diri mereka.
Manusia di dunia saling membanding-bandingkan kepercayaan mereka, membenarkan ajaran mereka sendiri dan menganggap keyakinan orang lain tidak baik dan tidak bisa menyelamatkan. Kepercayaan pada agama yang dianut boleh-boleh saja, justru jika memiliki keyakinan yang Teguh itu sangat baik. Tapi hendaknya tidak perlu terlalu fanatik pada kepercayaannya itu, karena di langit para Dewa dan Juru Selamat bahu-membahu dalam penyelamatan, kenapa kita di dunia saling berselisih paham dan memperdebatkan ajaran mana yang paling baik.
Wanita Paranormal Tgl 10-8-2010
Hari ini adalah hari Tay Shang Lo Kun mendapat gelar. Beberapa vihara merayakan hari besarnya itu, aku sendiri mempersiapkan persembahan yang diajarkan Guruku, yaitu sesuatu yang saling berhubungan/saling melengkapi, seperti ada panas ada dingin, pahit/manis, besar/kecil dll dan bersadhana kepadanya.
Dalam meditasi Mahaguru Tay Shang Lo Kun datang memberi aku Pil Dewa Pelindung dari segala gangguan yang dimasukkan ke dalam mulutku, saat pil itu melewati hidungku tercium aroma obat yang kuat. Kata Mahaguru Tay Shang Lo Kun walaupun aku menjalankan dharma tidak mencampuri masalah orang lain tapi akan ada saja orang yang berniat tidak baik padaku, agar terhindari dari mara bahaya Mahaguru Tay Shang Lo Kun memberi aku pil Dewa Pelindung itu.
Esokan harinya ada tamu yang datang ke tempatku dengan maksud berkonsultasi, tapi salah seorang dari mereka kulihat gelagatnya kurang begitu baik, saat aku mengeceknya ternyata dia punya aura yang kurang nyaman. Ternyata dugaanku tidak salah, secara diam-diam dia menghubungi teman wanitanya yang ternyata seorang paranormal.
Tidak lama kemudian muncul wanita itu, tanpa permisi langsung masuk ke ruang kerjaku dengan wajah tidak senang dan dengan mata yang agak melotot. Aku agak bingung kenapa mendadak datang wanita ini aku kan tidak ada janji dengannya, ternyata teman prianya yang telah menghubunginya.
Wanita itu minta aku lihat dirinya, tapi melihat sikapnya yang tidak begitu bersahabat aku tidak berniat untuk mengikuti permintaannya. Tapi dia memaksa, aku bersikap setenang mungkin menghadapinya karena ini pertamakalinya aku berhadapan dengan orang yang menganggap dirinya punya kedekatan dengan Dewa.
Akhirnya aku berkonsentrasi merasakan aura dirinya, ternyata dia ditempeli oleh roh jahat. Setelah aku mendapat petunjuk itu aku hanya bilang kepadanya kalau dia ditempeli oleh roh jahat. Mendengar kata-kataku dia marah dan emosi, merasa tidak terima dengan perkataanku. Dia mengatakan sudah bertahun-tahun menjadi paranormal, dia kemasukan Dewi Kwan Im dan menolong orang juga, dan katanya lagi dia juga membaca mantra. Tapi aku tak merasakan sama sekali kenyamanan aura dalam dirinya.
Wanita itu masih ingin tahu lagi untuk mengenai dirinya, dengan sikap agak kasar memaksa aku untuk mengatakannya. Aku tak mau melanjutkannya, Karena baru kukatakan satu saja, dia sudah semakin tidak terima apalagi jika aku mengatakan yang lainnya lagi. Aku bilang Cuma itu saja dan aku tak mau melanjutkan pembicaraan kami. Dia masih tidak senang dan keluar ruang kerjaku dengan mengoceh, dia tunjukkan sikap acuhnya dengan merokok didepan kami dan didepan altar cetya, lalu pergi meninggalkan cetya tanpa permisi.
Aku berusaha menguatkan hatiku melihat sikap dan tingkah lakunya yang tidak sesuai. Jika Dewi Kwan Im berkenan kepadanya dan telah menjadikan dia sebagai kepanjangan tangan Dewi Kwan Im untuk menolong orang, mengapa sikapnya sama sekali tidak mencerminkan Dewi Kwan Im yang welas asih dan penuh tata krama. Aku sempat tidak mengerti dan bersedih melihat semua ini, apakah para Dewa berkenan menuntun orang seperti itu untuk menjalankan dharmaNya.
Esok paginya setelah aku selesai mepersiapkan anakku untuk pergi ke sekolah, aku berniat untuk tidur kembali. Tapi baru saja mau berbaring di ranjang mendadak saja setengah dari tubuhku sebelah kiri terasa sakit, semakin lama kudiamkan semakin sakit, seperti ada gerombolan binatang kecil bergerak-gerak cepat, dan aku merasa setengah tubuhku seperti lumpuh dan tidak bertenaga. Yang tadinya aku mengantuk menjadi tidak bisa tidur merasakan hal itu. Ini firasat tidak baik, aku segera turun ke altar cetya di lantai bawah dan masuk ke dalam meditasi.
Aku baru tahu kalau ternyata tubuh sebelah kiriku berkerumunan cacing-cacing kecil yang hidup dan bergerak-gerak, pantas saja aku merasa aneh. Melihat hal itu aku segera mengaktifkan kedua mustika pelindung dari ilmu hitam yang diberikan Mahaguru Hian Tian Shang Tee. Dengan sendirinya kedua mustika itu memancarkan sinar terang menyelimuti tubuh luar dan tubuh bagian dalamku, membuat semua cacing-cacing itu keluar dan kumuntahkan, aku memuntahkannya beberapa kali, setelah itu sakit dan kelumpuhan pada tubuh sebelah kiriku pelan-pelan memudar.
Ternyata kejadian yang aku alami itu adalah reaksi dari roh yang ada pada wanita paranormal yang datang ke tempatku sebelumnya, karena semalam bertepatan dengan malam jumat. Para Dewa sudah memberiku tanda-tanda, aku tidak menyadarinya karena pada saat itu aku sudah terlalu lelah dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu, tapi segera beranjak tidur.
Sehingga kejadian yang tidak enak itu sempat menggangguku. Aku sungguh amat berterimakasih atas perlindungan yang diberikan oleh Mahaguru Tay Shang Lo Kum, Mahaguru Hian Tian Shang Tee serta para Dewa yang selalu melindungi, menjaga dan memberiku anugrah bimbingan.
Sehingga aku bisa melewati segala mara bahaya yang datang. Tanpa bantuan dan bimbingan mereka aku tidak bisa berbuat apa-apa jika hal seperti itu terjadi padaku.
Segala anugrah dan bimbingan yang mereka berikan selama ini begitu berarti dan nyata kurasakan manfaatnya. Dan aku percaya jika aku tulus menjalani jalan dharma ini, maka para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini akan selalu ada bersamaku dan tidak akan membiarkan aku mengalami kesulitan dan penderitaan.
Dalam menjalani jalan dharma ini mungkin tidak mudah bagiku, banyak hal yang terjadi dan sebagian besar menghadapi bahaya. Tujuan untuk menolong orang bisa berubah menjadi bumerang bagi diriku sendiri, kebaikan kadang dibalas dengan kejahatan, pada awalnya aku tidak mempunyai keberanian untuk menerima resiko jalan ini, tapi aku kembali berpikir bahwa dimana ada penderitaan pasti akan mendapatkan kebahagiaan.
Rela menderita demi menolong orang lain apakah tidak pantas? Pertanyaan ini yang pernah diajukan oleh Mahacundi Bodhisattva kepadaku, membuat aku kembali merenungi makna dari semua pengalaman ini.
Aku tidak bisa berbalik dan tak bisa memilih untuk menolak, karena aku sudah mengetahui dengan pasti bahwa jalan inilah yang harus kutempuh agar aku bisa kembali ke tempat asalku dan bisa mendapat pencerahan mencapai KeBuddhaan, aku percaya dengan perkataan Mahaguru bahwa kita bisa mencapai keBuddhaan dalam kehidupan sekarang ini juga asal giat melatih dan membina diri, teguh pada keyakinan dan tulus menjalaninya. Karena dengan begitu kita akan selalu dilindungi dan diberkati para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini.
Dikecewakan Manusia dan Dihibur Dewa Renovasi cetya telah selesai, altar yang berwarna merah terang dan terdiri dari lima tingkat juga telah siap untuk diletakkan rupang-rupang para Dewa. Karena aku tidak begitu paham menyusun altar, aku selalu minta petunjuk kepada Guru sejatiku cara menyusunnya. Sebagian rupang para Dewa sudah ada sebelumnya, tapi karena rupang yang harus diletakkan di altar agak banyak, aku harus mencari rupang-rupang yang belum ada. Masih kurang 20 lebih rupang yang harus kucari agar altar terisi.
Guru sejatiku mengatakan untuk rupang para Guru yang membimbingku harus mengambil dari vihara tidak boleh beli di toko. Aku mengikuti petunjuk Guruku lalu pergi ke vihara yang pertama kali berjodoh denganku, pemimpin vihara itu punya hati yang baik dan mengizinkanku untuk menjemput 6 rupang Dewa di viharanya.
Dari awal memang aku berjodoh baik dengan vihara itu, aku diangkat murid oleh Mahaguru juga di vihara itu, banyak bantuan yang diberikan oleh pemimpin vihara itu, tapi karena tidak semua rupang yang kuinginkan ada di vihara itu, aku harus mencari ke vihara lain yang punya aura baik.
Ternyata tidak semua vihara yang auranya baik itu memiliki pengurus yang baik pula. Karena saat Guruku menyuruh agar aku ke vihara yang ada di Jakarta Barat untuk menjemput rupang Dewa Hian Tian Shang Tee, sama sekali tidak mendapat perlakuan yang baik, padahal aku sampai menyempatkan dua kali pergi ke vihara itu pagi-pagi demi untuk bertemu dengan pengurusnya, berharap bisa diizinkan menjemput rupang Dewa yang dimaksud.
Pengurus vihara itu sama sekali tidak memandang kami dan bersikap angkuh, bernada suara keras, sama sekali tidak mengizinkan aku untuk menjemput rupang Dewa ditempatnya, dan tanpa menghargai kami sama sekali dia segera membalikkan badan dan meninggalkan kami begitu saja. Aku begitu kecewa dengan sikapnya itu, kenapa pengurus vihara bisa begitu angkuh, tidak bisakah dia berbicara dengan baik-baik, padahal di altar viharanya rupang Dewa Hian Tian Shang Tee ada lebih dari sepuluh rupang.
Akhirnya kami pergi dari vihara itu dengan rasa galau dan memberitahukan hal ini pada Guru sejatiku bahwa aku gagal menjalankan tugas ini. Lalu aku diminta untuk ke satu vihara lagi yang berada di Jakarta Pusat, di vihara itu juga banyak sekali rupang Dewa, melihat sikap pemimpin vihara itu kelihatannya baik mungkin dia bisa mengizinkan aku untuk mengambil beberapa rupang Dewa disitu, tapi ternyata dugaanku salah. Dia juga tidak mengizinkannya, padahal aku sudah melihat Dewa yang mau aku ambil ada kembarannya atau lebih dari satu, dia bilang kalau dia juga mau pakai untuk sembahyang.
Aku agak kecewa sekalis aat itu, kenapa Guruku menyuruhku ke vihara-vihara itu untuk mengambil rupang Dewa padahal sama sekali tidak ada tanggapan baik dari mereka. Dalam perjalanan pulang aku bertanya-tanya dalam hati, apa arti semua ini, mengapa tidak ada kebaikan yang kudapatkan hari ini? Dewa mengizinkan kenapa manusia tidak mengizinkan? sepertinya ada kesalahan dalam hal ini. Tapi dimana letak salahnya? Dan apa makna dari kejadian ini?
Dalam keadaan masih bertanya-tanya, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke vihara di daerah itu juga untuk mengikuti api homa Kalacakra, tapi kami berniat untuk ke vihara yang ada di pancoran terlebih dulu dengan harapan bisa bertemu dengan rupang Dewa yang berjodoh untuk diletakkan di altar cetya, tapi anehnya saat mobil kami menyusuri jalan ke arah vihara itu, gang yang biasanya kami lewati tidak terlihat oleh suamiku, sehingga kami melewatinya dan tidak mungkin lagi kembali karena harus memutar jalan lebih jauh lagi.
Kami malah diarahkan ke suatu pertokoan yang berada di daerah itu, entah kenapa dengan sendirinya suamiku mengarahkan mobil kami kesana seperti ada dorongan saja. Ternyata di sana kami melihat banyak rupang Dharmapala, aku takjub melihatnya dan bercampur senang.
Aku memilih rupang-rupang Dharmapala yang aku inginkan, ada sekitar 20 rupang yang aku turunkan dari etalase toko itu, dan meminta petunjuk Guru untuk memilihkan yang mana yang boleh aku beli. Guruku memilih 9 rupang Dharmapala yang boleh, karena sebagian belum ada penyatuan dan belum bersadhana kepadanya jadi tidak boleh dibeli dulu.
Setelah memisahkan 9 rupang itu, aku kembali berpikir bagaimana aku bisa membelinya, harganya pasti mahal, rupang Dharmapala ini biasanya mahal harganya, dengan jumlah 9 rupang berapa yang harus aku bayarkan? Mana bisa aku membelinya? Jika begini bagaimana altar cetya bisa terisi?
Suamiku bertanya pada pemilik toko itu berapa harganya, ternyata harganya jauh lebih murah, tidak seperti yang aku pikirkan. Dan lebih aneh lagi uang yang dibawa suamiku dari rumah yang tidak kuhitung lagi, jumlahnya bisa pas.
Kebahagiaanku tidak sampai disitu saja, setelah mengikuti homa Kalacakra kami diarahkan lagi ke satu toko yang ada di Jakarta Utara disana ada 8 rupang yang kami inginkan, suatu kebetulan juga pemiliknya ada di tempat dan bertemu dengan kami, pemilik toko itu bertanya untuk apa membeli rupang Dewa, suamiku bilang kalau untuk altar Cetya.
Mendengar perkataan suamiku itu, pemilik toko menanggapi kami dengan baik, dia bersikap ramah dan memberi kami kebebasan memilih rupang di tokonya, bahkan rupang-rupang yang khusus yang disimpan didalam kantornya pun boleh kami pilih dan dia memberikan harga yang sangat murah kepada kami, padahal rupang-rupang itu terbuat dari keramik buatan tangan dan ada cap pembuatnya.
Aku baru mengerti makna dari semua kejadian hari ini, para Dewa menguji ketulusanku mengikuti petunjuknya, sekaligus belajar memahami sikap dan tingkah laku orang lain, karena tidak semua orang tidak baik tapi ada juga orang yang baik, aku sadar ini adalah ujian untukku apakah hatiku tegar menghadapi perlakuan orang dan tetap mengikuti petunjuk para Dewa, walaupun aku dua kali dikecewakan orang tapi dua kali para Dewa menolongku dan tidak membiarkan aku tenggelam dalam kekecewaan.
Esok paginya aku membersihkan semua rupang itu dan meletakkannya di altar dan hampir terisi penuh, aku memohon kehadiran para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini untuk memberkati rupang-rupang itu, dengan membaca mantra hati mereka dan bersadhana penuh.
Hari ini pengalaman baru kembali kudapatkan, Guru sejatiku yang selama ini selalu datang memberiku petunjuk melalu meditasi ataupun telepati, hari ini telah menyatu denganku bersamaan dengan telah terisinya rupang-rupang di altar utama cetya Sukhavati Prajna.
Hari ini aku baru mengetahui apa arti kata-kata Mahaguru mengenai “Saya adalah Buddha, Buddha adalah Saya. Saya adalah Vairocana, Vairocana adalah Saya, Inilah kemanunggalan”. Aku semakin yakin dengan ajaran Mahaguru, karena aku sendiri telah mengalaminya.
Banyak orang merasa takut menjalani jalan dharma, karena mereka tidak ingin meninggalkan kesenangan duniawinya, banyak orang salah pengertian terhadap para Dewa, menganggap mengikuti jalan Bodhisattva adalah harus meninggalkan keluarga. Hal ini yang menyebabkan banyak orang tidak mau membina diri.
Padahal jalan dharma selalu mengikuti perkembangan zaman, para Dewa memahami isi hati manusia. Selama manusia itu tulus dan menjalani kehidupan dengan baik dan mau mengikuti jalan para Dewa, maka mereka akan mendapatkan banyak kebaikan dan tidak akan membiarkan mereka mengalami penderitaan.
Di zaman sekarang tidak dituntut untuk benar-benar meninggalkan keluarga untuk membina diri, tapi tetap bisa bersama dengan keluarga dan membina hubungan dengan baik, yang penting tidak melekat dan tidak terikat akan hal itu.
Mendapat Gelar Vajra Acharya dan Menjalankan Homa
Suatu hari dalam meditasi Guru sejatiku, Mahadewi Yao Chi, Dewi Kwan Im, Ksitigarbha Bodhisattva, dan 3 Buddha datang. Aku tidak mengerti akan kehadiran Mereka dalam meditasiku ini, karena pada saat itu aku sedang menjalankan sadhana kepada Mahadewi Yao Chi.
Buddha Sakyamuni berkata kepadaku, kedatangan mereka adalah untuk melihat dan memberikanku gelar, anugrah ini diberikan karena aku telah menjalankan semua petunjuk ereka dengan baik. Gelar itu Vajra Acharya Varita Sukhavati Prajna, artinya adalah pemimpin wanita pertama pembawa aliran Tantra bernama Sukhavati Prajna.
Jubahku berwarna kuning emas dan para pengikut aliran Sukhavati-Tantra mengenakan jubah berwarna merah. Aku juga telah memiliki mantra hati yaitu, “OM, SUKHAVATI PRAJNA HUM” karena saat ini rohku telah bisa berjalan sendiri menolong orang dan masuk ke dalam mimpi orang. Wujud rohku memegang Toya berkepala burung hong dan membentuk mudra pengikat/memegang vajra.
Aku sudah diizinkan menjalankan ritual api homa dan harus memakai atribut lengkap saat ritual, pada saat ulambana Ksitigarbha Bodhisattva aku sudah harus menjalankan homa, karena Beliau menghendaki aku melakukan hal itu. Buddha Sakyamuni mengalungkan japamala dari mutu manikam ke leherku.
Sejak mendapat anugrah itu, aku telah 2 kali menjalankan homa, salah satunya homa Buddha Amitabha. Tujuan menjalankan homa itu adalah untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada mereka yang telah banyak membantu terbentuknya cetya Sukhavati Prajna dan memohon Buddha Amitabha memberkati mereka semua. Banyak keajaiban yang terjadi selama homa berlangsung, dari bentuk api dan bentuk abu sisa pembakaran yang menyerupai kepala Naga yang kepalanya menghadap kegerbang cetya.
Juga terlihatnya banyak lingkaran sinar-sinar beraneka bentuk yang turun dari langit dari camera foto dan satu keajaiban juga munculnya sepasang tangan anak kecil mengambil persembahan yang dikirimkan orang tuanya di tempat pembakaran. Karena pada saat itu juga aku melimpahkan jasa kebajikan seorang anak yang baru saja meninggal, dan secara tidak langsung dia telah membantuku mendapatkan izin cetya melalui kedua orang tuanya.
Semua terasa bahagia karena banyak kejadian-kejadian nyata yang kami dapatkan saat itu, dan aku sangat berterimakasih atas segala dukungan mereka semua. Ketulusan hati mereka dan bimbingan para Dewa membuat semua berjalan dengan lancar.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku mencoba untuk membimbing mereka yang berjodoh dengan para Dewa, agar mau membina diri dengan baik. Sehingga bisa mendapatkan kontak batin dengan para Dewa seperti diriku. Sudah berapa orang juga telah terbangkitkan rohnya dan mulai mendapatkan bimbingan atas arahan yang aku berikan. Semoga mereka yang berjodoh dengan Buddha-Bodhisattva bisa menjalani pembinaan dirinya dengan baik dan setulus hati mengikuti jalan Bodhisattva.
Peresmian Cetya Sukhavati Prajna
Hari ini adalah hari peresmian cetya Sukhavati Prajna, aku telah mempersiapkan jauh-jauh hari. Walaupun cetya masih baru, tapi sudah terasa ada beberapa orang yang siap membantu acara. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, dari awal mendapatkan kontak batin, mendapatkan bimbingan, menjalankan misi, membentuk cetya dan peresmiannya hari ini.
Aku agak sedikit lega, karena beberapa tugas yang diberikan kepadaku telah aku selesaikan. Aku selalu berusaha untuk tidak melewatkan satu tugaspun yang diberikan. Semua ini berkat bantuan suamiku yang selalu mendampingi dan memberikan aku motivasi juga memudahkan jalan dharma ini.
Dalam acara itu ada pemotongan pita, pemukulan tambur, penyalaan petasan, membunyikan pindapata, pecah kendi, buka papan nama yang diwakili oleh mereka yang paling berpengaruh dalam terbentuknya cetya. Juga kami mengadakan ritual sadhana penuh kepada Buddha Amitabha. Semua acara berjalan lancar, sampai setelah acara selesai suatu keajaiban kembali terjadi. Langit tiba-tiba mendung, angin begitu kencang bertiup dan tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Tapi aneh angin sama sekali tidak menggoyangkan tenda-tenda yang berada di kiri kanan, tapi terpal yang menutupi papan nama cetya tertiup angin dengan kencangnya hingga terlepas seluruhnya dan terbuka lebar, sehingga cetya terbuka dan terlihat dari langit. Aku mengira itu pertanda para Dewa tidak berkenan atas peresmian ini karena it menurunkan hujan demikian kerasnya dan membuat agak berantakan.
Tapi Guruku mengatakan kalau para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini berkenan dan mereka semua turun memberkati, jadi hujan ini adalah berkah. Suamiku tidak membuang kesempatan kejadian ini, dia segera mengabadikan sekeliling cetya dengan kamera. Ternyata benar apa yang dikatakan Guru sejatiku, para Dewa benar-benar turun. Hal ini terlihat dalam kamera lingkatan sinar-sinar beraneka bentuk banyak sekali di sekitar cetya Sukhavati Prajna dan terlihat bertumpuk-tumpuk, ini lebih banyak dari biasanya saat aku bersadhana atau saat menjalani 2 kali api homa. Biasanya sinar itu tidak bertumpuk-tumpuk, tapi ini terlihat banyak sekali. Ternyata kekuatan merekalah yang telah melepas terpal yang menutupi cetya, agar bisa terlihat dari langit, sehingga mereka bisa hadir dan memberkati dengan lebih mudah.
Para undangan juga banyak yang datang saat itu, kami semua mengalami hal baru hari ini. Membuat kami semua agak gemetar dan tidak percaya diri, tapi berkat dorongan para Dewa kami semua bisa menjalani tugas kami masing-masing dan terlihat begitu sempurna.
Akhirnya tugas berat telah aku jalankan, tapi mungkin ini hanya permulaan saja. Kedepannya masih banyak hal dan tugas lain yang mungkin diberikan kepadaku, tapi sudah mencapai saat ini aku sudah begitu bahagia, karena sama sekali tidak pernah kami bayangkan akan seperti ini. Perubahannya begitu nyata dan berbanding terbalik, tapi aku sangat bahagia dan sangat bersyukur atas segalanya. Aku hanya berharap, aku bisa menjalani misi dengan baik melalui cetya Sukhavati Prajna, bisa membimbing banyak orang menuju ke jalan yang benar dan menuntun mereka menjalani kehidupan dengan baik. Aku sadar sebelumnya aku bukanlah orang yang suci, aku pernah berbuat banyak kesalahan dan saat ini aku berusaha untuk menyadarinya dan tidak kembali ke jalan yang salah.
Aku amat bersyukur bisa kembali berjodoh dengan Guru sejatiku, dia telah menungguku ribuan tahun. Menunggu aku terbuka dan bisa mendapatkan kontak batin dengannya, sehingga dia bisa menuntun aku kembali. Aku bisa merasakan kesedihan Guru sejatiku, bagaimana dia kuatir jika aku salah jalan dan selalu menguatkan hatiku dan menasihatiku. Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakannya dan akan selalu berusaha mengikuti petunjuknya.
Terbentuk dan berdirinya cetya Sukhavati Prajna tentunya dikarenakan banyaknya dukungan yang aku dapatkan dalam jalan dharma ini, ternyata masih banyak orang yang punya ketulusan hati. Walaupun sebagian dari mereka belum lama aku kenal, tapi entah kenapa kami begitu merasa akrab dan seakan sudah kenal lama. Mungkin kami dipertemukan karena jodoh, di kehidupan lalu mungkin kami pernah menjadi satu keluarga.
Ke China Daratan (1) Suatu hari, tepatnya tanggal 6 November 2010, Guru sejatiku memberi petunjuk agar aku pergi menjalankan tugas ke China daratan, yaitu ke Guangzhou untuk mengunjungi salah satu vihara yang mandala utamanya adalah Guru sejatiku.
Aku sempat kaget dan bersedih saat diberi tugas itu, bagaimana tidak, China itu kan jauh. Butuh waktu dan banyak dana yang harus dikeluarkan. Bagaimana mungkin aku bisa pergi kesana, aku mencoba memohon kepada Guru sejatiku agar jangan menugaskan aku kesana. Tapi Guru sejatiku tetap mengharuskan aku pergi, karena ini berhubungan dengan kenaikan tingkatku.
Tapi aku masih mempermasalahkan mengenai biaya yang akan aku gunakan untuk kesana, darimana aku bisa mendapatkan dana. Guru sejatiku mengatakan agar aku tidak perlu kuatir mengenai hal itu, semua akan berjalan dengan baik, yang penting aku mau menjalankannya dan mengikuti petunjuk yang diberikan. Akhirnya aku menyetujuinya walaupun dalam hatiku begitu kacau.
Beberapa hari kemudian entah kenapa tiba-tiba ada orang yang akan berangkat ke China, melalui dia aku mencoba untuk meminta informasi mengenai vihara yang ditunjuk oleh Guru sejatiku, menurut keluarganya yang ada disana mengatakan ada Vihara itu. Dan dia bertanya padaku apa ada tugas kesana? Aku katakan iya, tapi aku masih ragu apa bisa pergi kesana, karena paspor yang kumiliki telah lewat jatuh tempo lama, masih harus urus visa, dan lagi aku tidak tahu daerah sana. Orang tersebut mengatakan akan membantu mengurusnya, dan benar saja pengurusan paspor, visa dan tiket bisa selesai dalam 2 hari saja. Tadinya aku hendak pergi dengan suamiku, tapi entah kenapa paspor suamiku tidak ada, padahal biasanya disimpan dengan paspor milikku juga.
Saat ada tugas ini mendadak paspornya tidak tahu ada dimana, mungkin aku tidak diijinkan pergi dengan suamiku dan sepertinya diharuskan pergi sendiri. Aku agak bimbang menjalani hal ini, karena aku tidak terbiasa pergi kemana-mana sendiri dan selalu didampingi oleh suamiku, mendengar akan pergi sendiri ke Guangzhou membuat aku semakin gundah. Aku dalam kebingungan antara pergi atau tidak, apa yang harus aku putuskan saat itu aku tidak tahu, hanya terpaku saja dan tidak sanggup mengambil keputusan apapun. Akhirnya suamiku sendiri yang memutuskan agar aku pergi saja dan dengan cepatnya semua dokumen, akomodasi dan perlengkapan disiapkan. Dengan berat aku terima saja nasibku itu, harus jauh dari keluarga selama 9 hari.
Saat semua surat-surat diurus, kami sudah menyiapkan dana untuk membayar biaya perjalananku. Sampai telah menukar uang rupiah menjadi mata uang disana untuk berjaga-jaga jika ada yang harus aku keluarkan. Tapi anehnya, kalau dihitung perjalananku dari pergi sampai pulang aku tidak mengeluarkan uang sama sekali. Dari tiket, urus paspor, membeli barang-barang untuk cetya, semuanya bukan aku yang keluarkan, aku mendapatkan banyak berkah menjalankan tugas ini dari beberapa orang yang membantuku tanpa aku harapkan.
Tgl 16-11-2010 pkl. 09:45 WIB, aku berangkat ke China menggunakan pesawat, perjalanan dari Jakarta ke China butuh waktu kurang lebih empat jam. Saat pesawat sudah mau dekat landing, aku merasakan keanehan pada tulang rusukku sebelah kiri, seperti tertusuk-tusuk. Aku meminta petunjuk Guru sejatiku, katanya aku sudah dekat dengan tempat kelahiranku yang lalu.
Setelah sampai di bandara, masih harus menggunakan taksi melewati perbatasan Hongkong-China, baru dari perbatasan itu naik bis menuju satu kota kecil, perjalanan kurang lebih 6 jam. Tiba di kota kecil itu pukul 12 malam, dan menginap di apartemen yang kalau di Jakarta mirip rumah susun tapi apartemen di China besar-besar, seperti rumah pada umumnya.
Aku tinggal di kota kecil itu selama 3 hari, selama disana aku tetap menjalankan sadhana dan meditasi, pengalaman pertama meditasi di China begitu berbeda sensasinya, gerakan rohku begitu halus dan nyaman, seperti tidak dipaksakan. Berbeda dengan di Indonesia yang masih terasa berat gerakan rohnya.
Selama di kota kecil itu aku tidak mendapatkan petunjuk apa yang harus aku lakukan, Guru sejatiku mengatakan nanti akan ada petunjuk kembali saat aku sampai di Guangzhou. Benar saja setibanya aku di Guangzhou dan menginap di sebuah apartemen, di tempat itu tanpa aku ketahui suda hada seorang wanita yang menungguku, dia berniat untuk meminta petunjuk dariku.
Seperti biasa aku meminta nama lengkap dan tanggal lahirnya agar aku bisa melihatnya, saat dia menuliskan datanya dan aku membacanya, ternyata dia bermarga Chen. Aku agak kaget membacanya, dan dengan segera juga Guru sejatiku memberiku petunjuk bahwa dia adalah cucuku di kehidupan lalu, dia adalah generasi ketiga dalam keluargaku.
Aku seakan tidak percaya dengan semua ini, karena aku sendiri agak lupa dengan nama margaku di kehidupan lalu, aku mencoba mengingat-ingat apa namaku di kehidupan lalu saat aku terlahir di China dan menjadi seorang guru anak-anak sekolah dasar, penglihatanku dalam meditasi mengenai kehidupan masa laluku. Masih terngiang di telinga saat salah satu Dewa menangkap rohku yang naik ke langit, Dewa itu menyebut namaku dengan “Chen Siau Fei”.
Aku terharu atas pertemuan kami, tapi sayangnya aku tidak bisa berbahasa mandarin, sehingga tidak bisa bertanya-tanya tentang keluarganya yang lain, dia mengantarku pergi ke vihara yang ditunjuk Guru sejatiku, yaitu vihara Gunung Bunga Teratai (Lien Hua Shan) juga mengantar ke bandara saat aku akan kembali ke Jakarta.
Vihara Lien Hua Shan begitu indah. Aku tidak pernah melihat vihara seperti itu, begitu luas, asri dan rupang-rupangnya berukuran besar. Saat berjalan disekitar vihara itu, tubuhku begitu ringan seperti berjalan di atas Awan. Aura vihara itu benar-benar bagus dan bersih. Aku pergi menuju altar utamanya. Benar saja dialtar utamanya aku melihat rupang Guru sejatiku Dewi Seribu Tangan Seribu Mata yang telah bersatu dengan Dewi Kwan Im, aku takjub melihatnya. Dan seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat, aku sama sekali belum pernah melihat rupang seperti itu.
Guru sejatiku mengatakan, rupang ini memberikan pembuktian kepada diriku bahwa, antara Dia dengan Dewi Kwan Im benar telah ada penyatuan. Dia berbeda dengan Dewi Kwan Im, Dia berasal dari India dan Dewi Kwan Im dari Tiongkok. Saat Guru sejatiku mengatakan hal itu aku masih ragu-ragu, apa iya. Bukankah semua orang mengetahui bahwa Dia adalah Dewi Kwan Im juga.
Akhirnya Guru sejatiku meminta aku duduk bermeditasi di hadapan rupang dirinya yang ada disamping rupang utama.
Tidak lama aku menutup mata dan memasuki samadhi, aku melihat suatu kejadian, ada seorang gadis seperti seorang putri, dari pakaian dan daerah serta bentuk kerajaannya aku tahu kalau itu di India. Putri itu sangat cantik dan orang tuanya ingin menjodohkan dirinya dengan seorang pangeran, tapi dia tidak mau dan dengan diam-diam pergi dari istana dengan menunggang kuda.
Putri itu sampai disuatu tempat dan turun dari kuda, lalu dia mengganti baju putrinya dengan jubah berwarna kuning. Dia menyusuri jalan dengan memegang pindapata menuju sebuah gua, lalu masuk kesana duduk bermeditasi. Dia bermeditasi dengan tekun sehingga mendapatkan banyak anugrah benda pusaka, tapi karena terlalu kerasnya menjalani meditasi, kepalanya sampai hancur.
Dari langit turun Buddha Amitabha menolongnya, dan membuatnya memiliki 1000 tangan dan 1000 mata, kepalanya yang hancur tumbuh kepala-kepala Buddha, lalu dia menjadi Bodhisattva dan naik ke langit bersama Buddha Amitabha.
Apa yang kulihat tidak berhenti disitu, sepertinya zaman berganti dan berada di daerah lain. Seperti di daerah Tiongkok, juga ada seorang putri yang pergi dari istananya dan bermeditasi di gua, dia sangat menghormati Buddha Amitabha, Buddha Amitabha mengetahui hal itu dan mengutus Bodhisattva Seribu Tangan Seribu Mata turun ke bumi membimbingnya dan dalam pembinaan diri putri itu menyatu dengan Bodhisattva Seribu Tangan Seribu Mata menolong banyak umat manusia.
Ke China Daratan (2)
Setelah itu tak ada lagi yang kulihat, berganti dengan datangnya energi yang kuat dalam diriku, aku menggerakkan rohku untuk menyerap energi murni dan tidak menghiraukan orang-orang yang melihatku pada saat itu.
Dari pengalaman meditasi di vihara itu, aku jadi mengetahui perjalanan Guru sejatiku. Aku ditugaskan ke China disamping kembali ke masalalu aku juga diberi pembuktian dalam pembinaan diriku selama ini, dari sini aku baru mengerti mengapa sebelumnya Guru sejatiku mengatakan kalau Dia dan Dewi Kwan Im telah menyatu, Dia adalah Dewi Kwan Im dan Dewi Kwan Im adalah Dia. Itu semua terbukti dari rupang dirinya di mandala utama vihara ini.
Esok harinya, aku pergi ke Vihara Nan Hua She (Vihara Master Hui Neng patriak ke-6 di China) awalnya aku tidak mengerti mengenai vihara itu, tapi Guru sejatiku memberi petunjuk agar aku meditasi di sana nantinya.
Ada satu suhu/bikshu yang mendampingi kami, dia menjemput kami dipintu utama, tapi karena tidak tahu kami lewat pintu samping, suhu itu mengajak makan bersama dengannya di ruang makan khusus, ternyata di meja tersebut sudah ada beberapa orang yang menunggu suhu itu untuk makan bersama, aku duduk bersama, aku duduk disebelah salah satu orang tersebut.
Tiba-tiba orang di sebelahku itu langsung bertanya apa aliranku, aku katakan TAO. Dia agak terkejut dan bertanya lagi apa rohku bisa keluar dari tubuh, aku katakan bisa. Mendengar hal itu dia langsung mengajak aku untuk ikut dengannya dan sama-sama rohnya keluar, aku kaget mendengar perkataannya, untuk apa seperti itu, aku tidak begitu suka dengan permintaannya, aku tetap bersikap biasa saja.
Saat di kamar menginap aku meminta petunjuk Guru sejatiku apakah aku boleh mengikuti permintaan orang tadi, Guruku menjawab tidak boleh. Beliau mengatakan bahwa TAO ada dua macam, yang suka memamerkan diri dan yang tidak, mendapatkan dan berjodoh dengan ajaran TAO tidak perlu dipamerkan.
Tapi aku katakan pada Guru sejatiku kalau dia mengatakan akan memberikan petunjuk-petunjuk padaku jika ada yang tidak aku ketahui. Guru sejatiku bilang, lebih baik berguru pada Guru roh daripada Guru manusia, Guru manusia masi hada niat tertentu dalam memberi bimbingan, tapi Guru roh tidak ada niat lain selain jalan dharma, kecuali Guru manusia itu telah mencapai pencerahan, baru boleh berguru padanya. Aku ikuti perkataan Guru sejatiku.
Malam itu kira kira pukul 8 malam, suhu membawa kami berkeliling melihat bagian-bagian vihara, bernamaskara di hadapan altar Master Hui Neng dan diberi kesempatan untuk memasang dupa di altarnya serta melihat pagoda Master Hui Neng.
Saat itu sekitar vihara sudah gelap jadi tidak semuanya bisa kulihat dengan jelas, tapi tiba-tiba saja saat aku sedang berjalan disamping pagoda, telinga kiriku mendengar bunyi lonceng/genta besar dipukul dengan keras, satu kali tapi gaungnya agak panjang terdengar, aku mencari-cari dari mana asal bunyi genta itu tapi tidak ada, dan hanya aku yang mendengarnya.
Setelah itu suhu tersebut mengatakan kalau ditempat yang baru saja aku lewati ada kuburan kuno, tempat disemayamkannya seorang Master TAO yang bermarga Chen. Aku agak tertarik mendengarnya karena bunyi di telingaku tadi, aku mencoba berkomunikasi dengan roh Master TAO itu dengan harapan ada jawaban darinya walau agak sedikit takut saat memejamkan mata di depan kuburan itu.
Saat aku memohon izin dan minta petunjuk, rohku bergerak dan begitu saja membentuk jurus-jurus kungfu, aku merasakan tenaga yang sangat besar sampai-sampai nafasku tersenggal-senggal, pergerakan itu terjadi beberapa menit, baru kemudian terbuka komunikasi dengannya.
Master TAO itu senang bertemu denganku, dia mengatakan kalau dia adalah leluhurku, karena itu bisa berjodoh bertemu, aku baru menyadarinya kalau marganya sama dengan margaku di kehidupan yang lalu. Dia meminta agar aku melakukan meditasi di depan kuburannya jam 3 pagi karena dia akan mengajarkan jurus-jurus padaku, aku agak ragu tapi sepertinya dia tahu apa yang ada dalam pikiranku, dan memberikan keyakinan kepadaku bahwa tidak apa-apa, dia hanya membimbingku saja. Aku menuruti permintaannya karena Guruku mengizinkan.
Saat hendak tidur aku merasakan suasana dan aura berbeda menginap di vihara, aura kuat seperti menghampiriku dan aku merasa ringan seperti melayang, secara sendirinya rohku keluar dari tubuh dan ternyata Master Hui Neng telah menungguku, kami menuju pagodanya, disitu kami duduk bermeditasi ZEN saling berhadapan, setelah beberapa lama dia bangkit dan menopangkan tangan dikepalaku, dia mengatakan bahwa dia telah menungguku dan dia yakin kalau aku pasti akan datang kesini dan bertemu dengannya, semua ini karena jodoh. Beliau mengatakan aku boleh berkeliling di viharanya.
Setelah itu dia mengantar aku kembali ke kamar dan kemudian aku tidur dengan nyenyak. Jam 3 pagi, aku bangun dan membasuh diriku lalu pergi ke kuburan MasterTAO yang ternyata leluhurku itu dan meditasi di sana mengikuti petunjuknya, dan benar saja rohku digerakkan membentuk jurus-jurus kungfu penuh dengan tenaga, semua itu berlangsung beberapa menit, sesudahnya aku merasakan segar dan bersemangat.
Dengan datangnya aku ke vihara itu, banyak yang kuketahui. Mengapa saat ini aku berjodoh dengan TAO, ZEN dan Tantra. Dari buku yang diberikan oleh suhu, disitu aku ketahui kalau ajaran Buddha bermula dari Buddha Sakyamuni lalu turun ke muridnya Arya Mahakasyapa, Arya Ananda, Bodhidarma dan seterusnya sampai ke Master Hui Neng, karena saat aku diyakinkan untuk menjalankan aliran Tantra, Arya Mahakasyapa datang bersama Buddha Sakyamuni, Lhama, Karmapa dan Rinpoche dll mengabhisekaku dan mengatakan hal yang sama seperti di buku Sutra Master Hui Neng tersebut, bahwa patriak bermula dari Buddha Sakyamuni kemudian turun kepada Mahakasyapa.
Mengapa Mahaguru Bodhidharma datang membimbing, karena leluhurku Master Tao itu adalah murid dari Master Hui Neng patriak ke-6, yang adalah murid dari Mahaguru Bodhidharma. Ini bukan suatu kebetulan, tapi memang ada garis silsilahnya. Jika tidak ada karma baik dan karma jodoh di masa lalu, tidak mungkin bisa berjodoh dengan TAO, ZEN, Tantra.
Aku benar-benar bersyukur mengalami hal ini, banyak hal baru dan berkah kudapatkan selama perjalanku ke Guangzhou, China, bertemu leluhur dan juga cucu dikehidupan lalu, mendapat bimbingan dan petunjuk dan yang berharga dari para Luohan/Arahat, salah satu Arahat berkata kepadaku, ketika aku duduk meditasi dihadapan altarnya:
“Tao dan ZEN sesungguhnya adalah sama, untuk bisa bermeditasi ZEN, roh juga harus terbangkitkan, jika roh tidak bangkit maka tidak akan mungkin bisa tahan duduk bermeditasi lama.” Itulah petunjuk yang diberikan salah satu Arahat kepadaku, sekaligus memberikan motivasi pada meditasi yang aku jalani.
Aku sadar semua rahasia langit adalah kebenaran, hanya saja belum bisa dibuka jika belum sampai waktunya. Aku bersyukur dengan waktu yang sesingkat ini telah banyak yang kuketahui dan kudapatkan, jika aku tidak membina diri maka aku tidak akan mengetahui jati diri dan rahasia langit. Sehingga saat ini aku sudah mengerti apa arti dan tujuan hidupku yang sesungguhnya, yaitu bukan mengejar kekayaan, nama dan lain sebagainya yang berhubungan dengan nafsu tubuh fisik, tapi lebih menjalankan hidup dengan baik, mengikuti jalan Bodhisattva dan membina diri untuk bisa kembali ke tempat asal. Banyak manusia takut membina diri dan membaca mantra, karena berpikir bahwa kehidupan mereka akan kesulitan materi jika mereka melakukan hal itu, bahkan berpikir tajutnya akan meninggalkan keluarga untuk menjadi biksu/biksuni dan tidak bisa bersenang-senang lagi. Banyak manusia selalu memikirkan kesenangan-kesenangan mereka, terjebak dan tergantung pada kebiasaan buruknya. Aku berpikir apakah itu yang dicari manusia dan apakah mereka benar-benar bahagia.
Aku telah mengalami hal itu, tidak ada kebahagiaan yang abadi dengan berhura-hura dan bersenang-senang, juga tidak ada ketenangan batin yang didapat dalam hal itu. Kebahagiaannya hanya sesaat dan kembali mengalami penderitaan yang dibuat sendiri.
Mendapat pencerahan Hari ini aku begitu kecewa, kesal & sedih. Mengapa kebenaran tdk terjadi, yg dikatakan para Buddha dan Boddhisatva tdk terjadi. Apakah semua ini hanya kebohongan, ataukah hanya khayalanku?
Hari ini Guru sejatiku tdk menjelaskan apapun, membuat aku semakin gusar. Bagaimana mungkin aku bisa menolong org lain, jika kebenaran yg diberikan kepadaku tdk terbukti. Suamiku menyuruh aku menghadap Mahadewi Yao Chi, Vajrasattva Bodhisattva dan Mahaguru Tatmo Cosu, tapi aku tdk bisa berkonsentrasi sehingga tidak bisa memasuki samadhi, hatiku kacau dan tak merasakan getaran ataupun keberadaan para Dewa. Hal ini membuat aku putus asa.
Dalam kegundahanku suamki mencoba memberiku pengertian, tapi aku tak bisa menerimanya. Lalu secara tak sengaja aku mengambil buku tulisan Mahaguru yang berjudul "Menyingkap Tabir Misteri Alam". Pada kata pendahuluan aku membaca beberapa kata, disitu ditulis; Misteri Alam adalah, tiada keakuan, tiada manusia, tiada makhluk hidup, tiada kehidupan, ini adalah abhijna.
Ajaran Mahaguru Tatmo Cosu mengenai meditasi, yaitu melihat cahaya dari tdk ada menjadi ada, cahaya kecil semakin membesar, diri sendiri menyusuri cahaya itu dan tiba disuatu alam yg tdk ada manusia, tdk ada hewan, tdk ada tumbuhan, tdk ada kehidupan, disaat itulah akan bisa mengendalikan roh sendiri.
Kata-kata yg ditulis Mahaguru menjadi kata perenungan hari ini, aku mencoba utk mendekatkan hatiku lagi pada para Dewa, membaca mantera hati mereka dan masuk kedalam meditasi merenungi kata-kata itu. Dalam perenunganku itu, muncul Amitabha Buddha yg keluar dari kelopak bunga teratai dan Dia menjawab renunganku.
"Desi, sesungguhnya anugrah yang diberikan kepadamu adalah takdir yg telah diberikan kepadamu. Tapi sesungguhnya semua itu adalah sunya. Tak ada harapan, tak ada yg diraih, tak ada keinginan, tak ada yg didapat, tak ada keakuan, tak ada suami, tak ada anak, tak ada orang tua, tak ada keluarga, tak ada harta, tak ada nama, tak ada bersih, tak ada kotor, tak ada apapun didunia ini, semua adalah sunya. Jadi janganlah kau harapkan, karena memang tak ada yg harus kau harapkan."
Mendengar perkataan Buddha Amitabha aku tersadar, bahwa selama ini aku telah melekat dan masih ada ke-aku-an dalam diriku, masih ada pementingan diri sendiri, terpengaruh perkataan dan perbuatan orang lain. Aku yg sempat tdk bersemangat hari ini karena berpikir telah dibohongi dan dipermainkan, sebenarnya aku telah berbuat salah. Aku telah menumbuhkan kekotoran batinku sendiri dan saat ini aku telah mendapatkan pencerahan dari Buddha Amitabha.
Setelah tersadarkan Guru sejatiku baru datang menemuiku dan mengatakan bahwa aku telah melewati cobaan ke-aku-an tingkat ke-2 yg lebih sulit dilewati dari cobaan ke-aku-an yg pertama. Biasanya manusia akan sulit melewati tahap ini, dia bahagia melihat aku bisa melewatinya. Aku mengucapkan terima kasih kepada Buddha Amitabha atas petunjuknya, ini adalah salah satu pencerahan yang aku dapatkan. Aku telah mengerti dan telah menyadari kesalahanku.
Titah Kaisar Langit Sungguh Punya Kekuatan Besar Setelah aku tersadarkan, esok harinya saat sore hari mendadak langit di daerah cetya tertutup Awan gelap, hujan belum turun, tapi kilat, angin dan petir yang begitu kuat telah muncul lebih dulu, aku sudah menduganya pasti akan turun hujan deras. Melihat alam seperti itu aku segera memasang dupa dan mulai bersembahyang, lalu hujan benar-benar turun dengan sangat deras.
Aku membaca mantra dan Sutra untuk memohon perlindungan dan berharap hujan bisa sedikit mereda, tapi sudah begitu banyak mantra dan Sutra yang aku baca hujan tidak reda-reda malah semakin deras, air hujan telah tergenang di jalanan cetya, aku mengkhawatirkan bahaya banjir. Apakah para Dewa tidak mendengar permohonanku? Biasanya hujan akan segera berhenti bila aku mulai memasang dupa dan memohon, tapi saat ini tidak ada reaksi sama sekali.
Air semakin penuh di jalanan, aku tidak punya jalan lain dan segera masuk ke dalam meditasi, aku merasakan cakra mahkotaku terbuka, rohku keluar melesat ke langit dan sampai di atas Awan-awan. Di kejauhan aku melihat Dewa Hujan, Dewa Angin dan Dewa Petir sedang bertugas, pantas saja di bumi cuaca begitu tidak bersahabat. Aku segera menghampiri para Dewa itu, mereka melihat kehadiranku dan bertanya:
“Desi, kenapa kau kesini?” salah satu Dewa bicara kepadaku, ternyata mereka mengenalku.
“Maafkan saya karena telah menganggu, saya mohon kepada para Dewa untuk meredakan hujan, karena di bumi air sudah meluap.”
“Tidak bisa, kami sedang menjalankan tugas.”
“Apakah Kaisar Langit yang memberi tugas ini?”
“ Bukan, kerabat Kaisar Langit yang memberi perintah, tapi Beliau juga mengetahuinya. Ini semua karena banyak manusia telah salah jalan, langit sudah murka atas perbuatan manusia yang tidak memperhatikan diri sendiri dan alam semesta. ”
“ Tolonglah para Dewa, saya mohon redakanlah hujan. ”
“ Kami tidak bisa melakukannya, kecuali ada amanat, kami baru bisa menghentikannya. ”
Mendengar perkataan Dewa Hujan sejenak aku berpikir apa yang harus kulakukan, sudah tidak ada banyak waktu lagi, banjir akan segera terjadi. Dengan cepat aku teringat dengan Titah Kaisar Langit yang pernah diberikan kepadaku pada saat aku naik tingkat dalam pembinaan diri. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengeluarkannya dari balik bajuku lalu memperlihatkan kepada Mereka.
“ Saya punya amanat itu, apakah ini bisa mengabulkan permohonan untuk meredakan hujan ? ”
Dewa Hujan mendekatkan wajahnya melihat Titah itu dan berkata :
“ Benar ini titah Kaisar Langit, Desi kau bukan orang biasa, buktinya akau memiliki Titah itu. Baiklah kami hentikan tugas kami. ”
Ketiga Dewa itu langsung menghentikan tugasnya menurunkan hujan, petir dan angin lalu melesat pergi dengan cepat entah ke mana. Seiring dengan berhentinya tugas Mereka, di bumi hujan langsung berhenti dengan cepat secepat melesat perginya para Dewa itu. Aku keluar dari meditasi dan melihat keajaiban ini dan merasa sedikit lega karena tidak terjadi banjir di daerahku.
Aku menceritakan hal ini pada suamiku, tapi dia malah berkata kalau aku telah berbuat kesalahan dan meminta agar aku menghadap Dewi Kwan Im, karena telah lancang mengeluarkan Titah Kaisar Langit demi menghentikan hujan, padahal ketiga Dewa tadi sedang menjalankan tugas.
Aku baru sadar telah berbuat kesalahan, padahal hal ini aku lakukan secara spontan dan tidak aku rencanakan sama sekali. Tapi aku jalani petunjuk suamiku dan kembali bermeditasi, dan memohon petunjuk dari Dewi Kwan Im apa yang harus aku lakukan.
Saat itu cakra mahkotaku kembali terbuka dan rohku keluar, entah menuju kemana. Ternyata aku pergi ke Istana Langit, aku mengenali pintu gerbang masuknya yang besar dan dijaga dua penjaga. Dengan bersujud 3 kali aku memohon untuk diizinkan masuk, terdengar suara Kaisar Langit menyuruhku untuk masuk. Aku berjalan cepat menuju istananya dan disana Dia sedang duduk di singgasananya, aku segera menuju ke hadapannya dan bersujud 3 kali.
“ Aku memohon maaf karena telah lancang mengeluarkan Titah yang Kaisar Langit berikan kepadaku ? ”
“ Desi, mengapa kau mengeluarkan Titah itu ? ”
“ Aku terpaksa melakukan itu, sesungguhnya itu bukanlah untukku sendiri. ”
“ Bisa kau jelaskan kepadaKu ? ”
“ Aku tahu bahwa manusia di bumi banyak yang berbuat kesalahan, sehingga langit dan bumi bereaksi. Tapi aku melakukan itu untuk cetya Sukhavati Prajna yang baru saja diresmikan. Bukankah para Buddha dan Bodhisattva berkenan untuk menjadikan cetya Sukhavati Prajna sebagai alam Sukhavati juga dan melalui cetya ini aku akan berusaha untuk merubah hati manusia agar bisa sadar atas kesalahan mereka dan mulai menjalani hidup mereka dengan baik. Jika daerah cetya terjadi bencana, bagaimana aku bisa menjalankan misi ini.
“ Aku bisa menerima penjelasanmu itu, tapi lain kali sebelum kau mengeluarkan Titah yang aku berikan, kau harus menghadap padaku lebih dulu, apa kau mengerti ? ”
“ Aku mengerti dan mengaku bersalah. Jika Kaisar Langit ingin memberi hukuman, aku siap menerimanya. ”
“ Desi kau tidak perlu kuatir…. Aku tidak akan menghukummu, karena apa yang kau lakukan semata-mata bukan untuk dirimu sendiri. Baiklah, kau boleh kembali. ”
“ Terimakasih, sebelum aku pergi bolehkah memohon satu permintaan ? ”
“ Katakanlah. ”
“ Aku mohon lindungilah cetya Sukhavati Prajna dari mara bahaya dan bencana alam, seperti gempa bumi, banjir dll. Agar cetya bisa berkembang dengan baik. ”
“ Baiklah, kau tidak perlu cemas, aku akan mengabulkan permohonanmu. Kembalilah. ”
“ Terimakasih, semoga Kaisar Langit selalu berbahagia. ”
Aku segera beranjak pergi dari Istana Langit dengan perasaan lega karena telah mendapatkan kemurahan hati Kaisar Langit. Dewi Kwan Im juga mengatakan kepadaku, agar pengalaman ini bisa membuat aku semakin bijaksana. Semua anugrah yang telah diberikan kepadaku, sungguh-sungguh berguna dan punya kekuatan yang besar tapi aku tidak boleh menyalahgunakan dan sembarangan menggunakannya, harus punya tujuan yang baik untuk orang banyak dan tidak untuk diriku sendiri.
Suatu hari Guru sejatiku menyuruhku melakukan sesuatu, dia meminta kesediaanku untuk pergi ke suatu tempat untuk mengambil sesuatu. Dia meminta agar aku pergi ke ssuatu vihara yang ada makam didalamnya di daerah Jakarta Utara untuk mengambil sebuah batu.
Aku jadi bingung kenapa Guruku menyuruh aku pergi ke vihara seperti itu, disitu pasti berhawa yin, jika mengambil sesuatu disana sudah pasti terkontaminasi. Apalagi aku harus meletakkan batu itu di altar dalam. Apakah ini benar? Apakah aku sedang tersesat sehingga petunjuk yang kudapatkan hari ini begitu aneh dan menakutkan?
Guruku bilang bahwa aku hanya mengambil batu itu dan tidak memohon disitu, hanya menghormati dan meminta izin para Dewa disana untuk mengambilnya. Aku bertanya pada Guruku untuk apa aku harus kesana mengambil batu itu. Tapi Guruku tidak mengatakan apapun karena masih rahasia katanya, aku diminta untuk mengambilnya dulu.
Akhirnya aku mencari informasi mengenai tempat itu, aku menemukan suatu vihara yang ada kuburannya, terletak di daerah Jakarta Utara, vihara itu merupakan peninggalan Laksamana Ceng Ho (Sam Po Kong). Guruku meminta agar sesampainya disana aku harus memperhatikan sekeliling vihara itu dan memang vihara itulah yang dia maksud. Aku sedikit takut dengan hal ini, tapi Guruku meyakinkan aku bahwa tidak apa-apa. Aku yakinkan hatiku bahwa Guruku tidak akan menyesatkan aku.
Tgl 20/6/2010
Setelah aku selesai membantu orang memasang altar dirumahnya, aku dan suami ku segera pergi ke vihara tersebut, sesuai petunjuk aku memperhatikan sekeliling vihara itu mencari keberadaan batu yang dimaksud. Mungkin karena aku merasa tidak enak, jadi aku bersembahyang sambil mata mencari kesana kemari.
Tapi sampai keliling kebagian belakang vihara, batu yang dimaksud itu tidak aku temukan, hal ini membuat aku agak bingung. Suamiku menyuruh aku untuk minta petunjuk pada Dewi Kwan Im. Dan dialtar Dewi Kwan Im aku duduk meditasi dan berharap bisa diberi petunjuk olehNya.
Dewi Kwan Im memberitahukan kalau batu yang dimaksud Guruku adalah rupang yang terbuat dari batu dan Dewi Kwan Im juga meminta agar aku memperhatikan sekitar meja altar. Aku baru tersadar, ternyata rupang, aku malah mengira akan mendapatkan batu cincin yang bisa timbul sendiri di vihara itu.
Mendengar petunjuk itu aku segera memberitahu suamiku, lalu kami mulai mencari rupang yang terbuat dari batu itu. Tapi sudah dicari di bagian meja altar juga tidak ada, apa petunjuknya salah? Tapi saat aku masuk ruang altar Dewi kwan Im tubuhku agak aneh.
Suamiku dengan teliti memeriksa, dan tanpa sengaja dia melihat di bagian belakang rupang Buddha Sakyamuni yang berukuran besar berwarna emas, ternyata ada rupang beberapa Buddha dan Dewa tersembunyi disitu dan salah satunya rupang Buddha Sakyamuni yang terbuat dari batu berwarna hitam, tinggi kurang lebih 45 cm. Suamiku bertanya pada penjaga vihara itu:
“Pak.. ini apa ya, patung dari batu?”
“Iya patung itu terbuat dari batu sudah lama sekali disitu.”
“Boleh diminta untuk sembahyang pak?”
“Boleh, mau dibawa hari ini juga boleh.”
“Iya, soalnya sudah dikasih petunjuk untuk ambil patung disini.”
“Pantas saya lihat dari tadi seperti mencari sesuatu, kalau begitu saya siapkan patungnya untuk dibawa pulang.”
Dengan mudahnya aku membawa pulang rupang Buddha Sakyamuni, ternyata batu ini yang harus aku ambil dan dibawa pulang untuk diletakkan di altar rumahku. Saat merasakan aura patung itu, aku melihat perwujudan Buddha Sakyamuni berwarna emas dengan posisi meditasi berputar-putar. Guruku mengatakan memang batu itu yang dia maksud.
Awalnya aku sedikit ragu karena rupang itu berada di vihara yang ada kuburannya, tapi saat pertama kali aku masuk kevihara itu anehnya tidak ada aura yin ataupun merasakan makhluk kotor berada di tempat itu, aku yakini saja perkataan Guruku dan mencoba menghilangkan kekhawatiranku itu.
Lalu kami membawa pulang rupang Buddha Sakyamuni itu, dalam perjalanan pulang kami melihat pelangi di siang hari padahal sama sekali tidak hujan, yang lebih anehnya ujung pelangi itu berada tepat di atas rumahku. Mungkin ini pertanda baik. Sebelum meletakkannya di altar dalam aku membersihkan rupang itu terlebih dulu, tapi aku agak kurang nyaman karena warna rupang itu hitam sekali. Setelah dibersihkan aku meletakkannya di altar dalam sebelah kanan.
Pada esok hari, pukul 3 pagi saat aku ingin bersadhana mahamayuri Vidyarajni untuk kesuksesan pembentukan dan perizinan cetya, aku tidak dapat berkonsentrasi. Karena saat aku mulai menutup mata dalam melafal mantra aku merasakan energi yang begitu kuat dan agak berbeda dari biasanya sejak rupang Buddha Sakyamuni itu ada di ruang altar.
Saat hendak meditasi, aku merasa tidak begitu nyaman dan tidak bisa fokus dengan benar. Hal ini berlanjut beberapa hari. Guruku mungkin mengetahui perubahan dalam diriku, dan dia menyuruh agar aku mewarnai rupang Buddha Sakyamuni dengan warna emas, karena jika tidak aku tidak bisa membina diri dengan baik katanya.
Akhirnya suamiku mengecat rupang itu dengan warna emas, aku melihat memang agak berbeda dan tidak tidak terlihat seram seperti warna asalnya, tapi auranya tetap saja tidak berubah, setiap masuk ke ruang altar dalam aku pasti merasakan energi itu.
Aku mencoba menghilangkan rasa takut itu dengan lebih berkonsentrasi pada pelafalan mantra hati Buddha Sakyamuni, dan ternyata ketakutanku itu tidak beralasan karena dalam meditasi, aku dibimbing posisi-posisi meditasi yang benar. Sejak rupang Buddha Sakyamuni berada dirumahku, banyak hal yang terjadi, keajaiban, kemajuan dalam pembinaan diri dan terwujudnya segala keinginan dalam jalan dharma.
Sadhana Raja Naga
Suatu hari aku diminta oleh Guruku untuk mengikuti sadhana Raja Naga yang akan dilangsungkan 8 hari disalah satu vihara di Jakarta, akan ada pembacaan Sutra, membuang botol naga ke laut dan api homa pada acara itu. Tapi aku merasa tidak enak karena aku bukan umat di vihara itu, jika pengurus vihara itu banyak bertanya, apa yang harus aku jawab, lagipula aku juga tidak mau dianggap bermaksud mencuri dharma. Jadi aku tidak berniat untuk ikut.
Tapi satu hari menjelang acara ritual itu aku bermimpi, dalam mimpi itu aku dan beberapa orang terdampar disuatu pulau karena kapal kami tenggelam, kami semua berdiri di pinggir laut, tapi tidak tahu apa yang harus kami lakukan dan kami tidak bisa menyebrang lautan untuk kembali pulang karena lautnya begitu luas dan dalam, tapi kami bisa melihat pulau tempat kami dari kejauhan. Dalam keadaan panik itu, aku mendengar ada yang mengajari aku untuk mengucapkan sesuatu, seperti mantra yang diulang-ulang. Mendengar petunjuk itu aku segera melafalnya, dan mereka yang terdampar bersamaku itu juga ikut melafalnya, maka terdengarlah lafalan mantra yang sangat ramai.
Tiba-tiba saja aku melihat ada ikan yang sangat besar terapung dikejauhan dan sepertinya dia mendengar mantra kami, lalu ikan besar itu seperti memberi isyarat kepada semua isi lautan, dan seketika itu juga seluruh isi laut kecuali air terangkat dan beterbangan menuju kearahku, seakan-akan benda-benda itu masuk ke dalam tubuhku. Setelah itu air laut yang berada di sekeliling kami tiba-tiba surut sampai kedasarnya, air laut itu membelah membentuk jalan yang mengarah kepulau tempat tinggal kami, kami semua bisa berjalan didasar laut itu menuju ke pulau rumah kami dan sama sekali tidak ada air laut yang menghanyutkan kami. Mengalamai mimpi itu aku teguhkan hatiku untuk ikut sadhana Raja Naga di vihara itu dan tak memperdulikan resikonya.
Hari pertama mengikuti sadhana, Raja Naga datang berkomunikasi. Dia bilang bahwa Dia telah memberi abhiseka kepadaku melalui mimpi, sehingga aku pantas untuk mengikuti sadhana Raja Naga. Ternyata mimpiku itu adakah tanda abhiseka dari Raja Naga langsung, hari ke-4 sadhana, Raja Naga memberiku Mutiara Alam Laut, sebagai tanda inisiasi darinya karena nantinya bisa membawakan sadhana dan homa Raja Naga di cetya yang akan kubentuk dan Dia akan menjadi Dewa pelindung cetya.
Aku senang mendapat anugrah ini, bisa berjodoh dengan Raja Naga tidak mudah. Karena Raja Naga mempunyai karakter yang agak keras, tapi bukan emosi. Mengikuti sadhananya saja tidak boleh terlewat harus ikuti terus sampai selesai, sampai suatu kali pada hari ke-6 ada cobaan menghalangi, yang sepertinya bisa membuat kami tidak pergi mengikuti sadhana, tapi kami berusaha meneguhkan hati dan tetap jalan terus, lalu cobaan itu hilang begitu saja.
Sekarang rupang Raja Naga telah berada di cetya Sukhavati Prajna dan kami berlindung kepadaNya. Mengikuti jalan para Dewa memang harus punya keteguhan hati dan ketulusan hati. Hal itulah yang membuat mereka berkenan untuk memberkati dan melindungi kita.
Beryoga dengan Para Dharmapala
Menjalani petunjuk untuk membentuk cetya dan mengurus izinnya, aku semakin sering mendapatkan berkah. Satu persatu para Dharmapala datang memberikan dukungan, baik bimbingan, pertolongan dan perlindungan. Mereka semua sepertinya bersatu padu membantuku dalam menjalankan tugas ini.
Dari mulai kedatangan Mahacundi Bodhisattva memberikan bimbingan menyerap energi murni alam semesta, yang meminta agar aku pergi ke suatu tempat yang kekuatan alamnya begitu nyata dan kuat kurasakan. Aku pergi ke tempat itu setiap tanggal 12 lunar selama 3 kali pertemuan. Banyak pengalaman yang aku dapatkan selama menjalani bimbingannya. Mahacundi Bodhisattva selalu memancarkan sinar putih yang terang benderang dan berhawa hangat.
Lalu Dharmapala Kalacakra juga datang meminta agar aku bersadhana kepadanya selama 7 hari berturut-turut, karena dia ingin membantu membangkitkan bodhicitta dan perkembangan cetya Sukhavati Prajna. Aku beryoga dengan Kalacakra, gerakannya hampir menyerupai gerakan yoga Hevajra namun agak sedikit berbeda karena tidak ada getaran pada tubuh tapi agak lebih pada hentakan.
Kemudian Bodhisattva Kurukule juga datang untuk penyatuan denganku selama 7 hari, untuk membantu menumbuhkan cinta kasih dalam diriku. Gerakan yoganya begitu luwes dan bertenaga, seperti gerakan-gerakan yoga yang ada di tempat pelatihan yoga.
Sampai pada menyatu dengan Dewi Marici, dia membantuku agar bisa mendapatkan kesuksesan dalam jalan dharma dan keduniawianku. Gerakan yoganya begitu keras sampai seluruh badanku sakit semua saat awal bersadhana, tapi setelah beberapa hari berangsur-angsur normal kembali.
Pengalaman ini membuat aku tahu bahwa para Dewa saling bergandengan tangan dalam tujuan menolong manusia, tidak ada pertikaian ataupun saling mendominasi dalam membimbing manusia, tapi mereka malah saling melengkapi dan saling bergantian memberikan bekal untuk manusia yang membina diri, manusia yang awalnya tidak bisa apa-apa, karena telah mendapatkan kontak batin dan mata ketiganya terbuka, menjadi memiliki kelebihan yang tidak bisa dimiliki manusia awam.
Sebenarnya para Dewa dalam membimbing tidak pernah mau menyusahkan manusia, mereka juga terlihat bijaksana dan begitu memahami kesulitan manusia, tapi malah manusia yang merasa takut sendiri, takut Dewa marah atau murka, padahal yang kutahu para Dewa begitu welas asih. Hanya karakter mereka berbeda-beda tapi tidak punya rasa dendam, tinggi hati, emosi dalam diri mereka.
Manusia di dunia saling membanding-bandingkan kepercayaan mereka, membenarkan ajaran mereka sendiri dan menganggap keyakinan orang lain tidak baik dan tidak bisa menyelamatkan. Kepercayaan pada agama yang dianut boleh-boleh saja, justru jika memiliki keyakinan yang Teguh itu sangat baik. Tapi hendaknya tidak perlu terlalu fanatik pada kepercayaannya itu, karena di langit para Dewa dan Juru Selamat bahu-membahu dalam penyelamatan, kenapa kita di dunia saling berselisih paham dan memperdebatkan ajaran mana yang paling baik.
Wanita Paranormal Tgl 10-8-2010
Hari ini adalah hari Tay Shang Lo Kun mendapat gelar. Beberapa vihara merayakan hari besarnya itu, aku sendiri mempersiapkan persembahan yang diajarkan Guruku, yaitu sesuatu yang saling berhubungan/saling melengkapi, seperti ada panas ada dingin, pahit/manis, besar/kecil dll dan bersadhana kepadanya.
Dalam meditasi Mahaguru Tay Shang Lo Kun datang memberi aku Pil Dewa Pelindung dari segala gangguan yang dimasukkan ke dalam mulutku, saat pil itu melewati hidungku tercium aroma obat yang kuat. Kata Mahaguru Tay Shang Lo Kun walaupun aku menjalankan dharma tidak mencampuri masalah orang lain tapi akan ada saja orang yang berniat tidak baik padaku, agar terhindari dari mara bahaya Mahaguru Tay Shang Lo Kun memberi aku pil Dewa Pelindung itu.
Esokan harinya ada tamu yang datang ke tempatku dengan maksud berkonsultasi, tapi salah seorang dari mereka kulihat gelagatnya kurang begitu baik, saat aku mengeceknya ternyata dia punya aura yang kurang nyaman. Ternyata dugaanku tidak salah, secara diam-diam dia menghubungi teman wanitanya yang ternyata seorang paranormal.
Tidak lama kemudian muncul wanita itu, tanpa permisi langsung masuk ke ruang kerjaku dengan wajah tidak senang dan dengan mata yang agak melotot. Aku agak bingung kenapa mendadak datang wanita ini aku kan tidak ada janji dengannya, ternyata teman prianya yang telah menghubunginya.
Wanita itu minta aku lihat dirinya, tapi melihat sikapnya yang tidak begitu bersahabat aku tidak berniat untuk mengikuti permintaannya. Tapi dia memaksa, aku bersikap setenang mungkin menghadapinya karena ini pertamakalinya aku berhadapan dengan orang yang menganggap dirinya punya kedekatan dengan Dewa.
Akhirnya aku berkonsentrasi merasakan aura dirinya, ternyata dia ditempeli oleh roh jahat. Setelah aku mendapat petunjuk itu aku hanya bilang kepadanya kalau dia ditempeli oleh roh jahat. Mendengar kata-kataku dia marah dan emosi, merasa tidak terima dengan perkataanku. Dia mengatakan sudah bertahun-tahun menjadi paranormal, dia kemasukan Dewi Kwan Im dan menolong orang juga, dan katanya lagi dia juga membaca mantra. Tapi aku tak merasakan sama sekali kenyamanan aura dalam dirinya.
Wanita itu masih ingin tahu lagi untuk mengenai dirinya, dengan sikap agak kasar memaksa aku untuk mengatakannya. Aku tak mau melanjutkannya, Karena baru kukatakan satu saja, dia sudah semakin tidak terima apalagi jika aku mengatakan yang lainnya lagi. Aku bilang Cuma itu saja dan aku tak mau melanjutkan pembicaraan kami. Dia masih tidak senang dan keluar ruang kerjaku dengan mengoceh, dia tunjukkan sikap acuhnya dengan merokok didepan kami dan didepan altar cetya, lalu pergi meninggalkan cetya tanpa permisi.
Aku berusaha menguatkan hatiku melihat sikap dan tingkah lakunya yang tidak sesuai. Jika Dewi Kwan Im berkenan kepadanya dan telah menjadikan dia sebagai kepanjangan tangan Dewi Kwan Im untuk menolong orang, mengapa sikapnya sama sekali tidak mencerminkan Dewi Kwan Im yang welas asih dan penuh tata krama. Aku sempat tidak mengerti dan bersedih melihat semua ini, apakah para Dewa berkenan menuntun orang seperti itu untuk menjalankan dharmaNya.
Esok paginya setelah aku selesai mepersiapkan anakku untuk pergi ke sekolah, aku berniat untuk tidur kembali. Tapi baru saja mau berbaring di ranjang mendadak saja setengah dari tubuhku sebelah kiri terasa sakit, semakin lama kudiamkan semakin sakit, seperti ada gerombolan binatang kecil bergerak-gerak cepat, dan aku merasa setengah tubuhku seperti lumpuh dan tidak bertenaga. Yang tadinya aku mengantuk menjadi tidak bisa tidur merasakan hal itu. Ini firasat tidak baik, aku segera turun ke altar cetya di lantai bawah dan masuk ke dalam meditasi.
Aku baru tahu kalau ternyata tubuh sebelah kiriku berkerumunan cacing-cacing kecil yang hidup dan bergerak-gerak, pantas saja aku merasa aneh. Melihat hal itu aku segera mengaktifkan kedua mustika pelindung dari ilmu hitam yang diberikan Mahaguru Hian Tian Shang Tee. Dengan sendirinya kedua mustika itu memancarkan sinar terang menyelimuti tubuh luar dan tubuh bagian dalamku, membuat semua cacing-cacing itu keluar dan kumuntahkan, aku memuntahkannya beberapa kali, setelah itu sakit dan kelumpuhan pada tubuh sebelah kiriku pelan-pelan memudar.
Ternyata kejadian yang aku alami itu adalah reaksi dari roh yang ada pada wanita paranormal yang datang ke tempatku sebelumnya, karena semalam bertepatan dengan malam jumat. Para Dewa sudah memberiku tanda-tanda, aku tidak menyadarinya karena pada saat itu aku sudah terlalu lelah dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu, tapi segera beranjak tidur.
Sehingga kejadian yang tidak enak itu sempat menggangguku. Aku sungguh amat berterimakasih atas perlindungan yang diberikan oleh Mahaguru Tay Shang Lo Kum, Mahaguru Hian Tian Shang Tee serta para Dewa yang selalu melindungi, menjaga dan memberiku anugrah bimbingan.
Sehingga aku bisa melewati segala mara bahaya yang datang. Tanpa bantuan dan bimbingan mereka aku tidak bisa berbuat apa-apa jika hal seperti itu terjadi padaku.
Segala anugrah dan bimbingan yang mereka berikan selama ini begitu berarti dan nyata kurasakan manfaatnya. Dan aku percaya jika aku tulus menjalani jalan dharma ini, maka para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini akan selalu ada bersamaku dan tidak akan membiarkan aku mengalami kesulitan dan penderitaan.
Dalam menjalani jalan dharma ini mungkin tidak mudah bagiku, banyak hal yang terjadi dan sebagian besar menghadapi bahaya. Tujuan untuk menolong orang bisa berubah menjadi bumerang bagi diriku sendiri, kebaikan kadang dibalas dengan kejahatan, pada awalnya aku tidak mempunyai keberanian untuk menerima resiko jalan ini, tapi aku kembali berpikir bahwa dimana ada penderitaan pasti akan mendapatkan kebahagiaan.
Rela menderita demi menolong orang lain apakah tidak pantas? Pertanyaan ini yang pernah diajukan oleh Mahacundi Bodhisattva kepadaku, membuat aku kembali merenungi makna dari semua pengalaman ini.
Aku tidak bisa berbalik dan tak bisa memilih untuk menolak, karena aku sudah mengetahui dengan pasti bahwa jalan inilah yang harus kutempuh agar aku bisa kembali ke tempat asalku dan bisa mendapat pencerahan mencapai KeBuddhaan, aku percaya dengan perkataan Mahaguru bahwa kita bisa mencapai keBuddhaan dalam kehidupan sekarang ini juga asal giat melatih dan membina diri, teguh pada keyakinan dan tulus menjalaninya. Karena dengan begitu kita akan selalu dilindungi dan diberkati para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini.
Dikecewakan Manusia dan Dihibur Dewa Renovasi cetya telah selesai, altar yang berwarna merah terang dan terdiri dari lima tingkat juga telah siap untuk diletakkan rupang-rupang para Dewa. Karena aku tidak begitu paham menyusun altar, aku selalu minta petunjuk kepada Guru sejatiku cara menyusunnya. Sebagian rupang para Dewa sudah ada sebelumnya, tapi karena rupang yang harus diletakkan di altar agak banyak, aku harus mencari rupang-rupang yang belum ada. Masih kurang 20 lebih rupang yang harus kucari agar altar terisi.
Guru sejatiku mengatakan untuk rupang para Guru yang membimbingku harus mengambil dari vihara tidak boleh beli di toko. Aku mengikuti petunjuk Guruku lalu pergi ke vihara yang pertama kali berjodoh denganku, pemimpin vihara itu punya hati yang baik dan mengizinkanku untuk menjemput 6 rupang Dewa di viharanya.
Dari awal memang aku berjodoh baik dengan vihara itu, aku diangkat murid oleh Mahaguru juga di vihara itu, banyak bantuan yang diberikan oleh pemimpin vihara itu, tapi karena tidak semua rupang yang kuinginkan ada di vihara itu, aku harus mencari ke vihara lain yang punya aura baik.
Ternyata tidak semua vihara yang auranya baik itu memiliki pengurus yang baik pula. Karena saat Guruku menyuruh agar aku ke vihara yang ada di Jakarta Barat untuk menjemput rupang Dewa Hian Tian Shang Tee, sama sekali tidak mendapat perlakuan yang baik, padahal aku sampai menyempatkan dua kali pergi ke vihara itu pagi-pagi demi untuk bertemu dengan pengurusnya, berharap bisa diizinkan menjemput rupang Dewa yang dimaksud.
Pengurus vihara itu sama sekali tidak memandang kami dan bersikap angkuh, bernada suara keras, sama sekali tidak mengizinkan aku untuk menjemput rupang Dewa ditempatnya, dan tanpa menghargai kami sama sekali dia segera membalikkan badan dan meninggalkan kami begitu saja. Aku begitu kecewa dengan sikapnya itu, kenapa pengurus vihara bisa begitu angkuh, tidak bisakah dia berbicara dengan baik-baik, padahal di altar viharanya rupang Dewa Hian Tian Shang Tee ada lebih dari sepuluh rupang.
Akhirnya kami pergi dari vihara itu dengan rasa galau dan memberitahukan hal ini pada Guru sejatiku bahwa aku gagal menjalankan tugas ini. Lalu aku diminta untuk ke satu vihara lagi yang berada di Jakarta Pusat, di vihara itu juga banyak sekali rupang Dewa, melihat sikap pemimpin vihara itu kelihatannya baik mungkin dia bisa mengizinkan aku untuk mengambil beberapa rupang Dewa disitu, tapi ternyata dugaanku salah. Dia juga tidak mengizinkannya, padahal aku sudah melihat Dewa yang mau aku ambil ada kembarannya atau lebih dari satu, dia bilang kalau dia juga mau pakai untuk sembahyang.
Aku agak kecewa sekalis aat itu, kenapa Guruku menyuruhku ke vihara-vihara itu untuk mengambil rupang Dewa padahal sama sekali tidak ada tanggapan baik dari mereka. Dalam perjalanan pulang aku bertanya-tanya dalam hati, apa arti semua ini, mengapa tidak ada kebaikan yang kudapatkan hari ini? Dewa mengizinkan kenapa manusia tidak mengizinkan? sepertinya ada kesalahan dalam hal ini. Tapi dimana letak salahnya? Dan apa makna dari kejadian ini?
Dalam keadaan masih bertanya-tanya, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke vihara di daerah itu juga untuk mengikuti api homa Kalacakra, tapi kami berniat untuk ke vihara yang ada di pancoran terlebih dulu dengan harapan bisa bertemu dengan rupang Dewa yang berjodoh untuk diletakkan di altar cetya, tapi anehnya saat mobil kami menyusuri jalan ke arah vihara itu, gang yang biasanya kami lewati tidak terlihat oleh suamiku, sehingga kami melewatinya dan tidak mungkin lagi kembali karena harus memutar jalan lebih jauh lagi.
Kami malah diarahkan ke suatu pertokoan yang berada di daerah itu, entah kenapa dengan sendirinya suamiku mengarahkan mobil kami kesana seperti ada dorongan saja. Ternyata di sana kami melihat banyak rupang Dharmapala, aku takjub melihatnya dan bercampur senang.
Aku memilih rupang-rupang Dharmapala yang aku inginkan, ada sekitar 20 rupang yang aku turunkan dari etalase toko itu, dan meminta petunjuk Guru untuk memilihkan yang mana yang boleh aku beli. Guruku memilih 9 rupang Dharmapala yang boleh, karena sebagian belum ada penyatuan dan belum bersadhana kepadanya jadi tidak boleh dibeli dulu.
Setelah memisahkan 9 rupang itu, aku kembali berpikir bagaimana aku bisa membelinya, harganya pasti mahal, rupang Dharmapala ini biasanya mahal harganya, dengan jumlah 9 rupang berapa yang harus aku bayarkan? Mana bisa aku membelinya? Jika begini bagaimana altar cetya bisa terisi?
Suamiku bertanya pada pemilik toko itu berapa harganya, ternyata harganya jauh lebih murah, tidak seperti yang aku pikirkan. Dan lebih aneh lagi uang yang dibawa suamiku dari rumah yang tidak kuhitung lagi, jumlahnya bisa pas.
Kebahagiaanku tidak sampai disitu saja, setelah mengikuti homa Kalacakra kami diarahkan lagi ke satu toko yang ada di Jakarta Utara disana ada 8 rupang yang kami inginkan, suatu kebetulan juga pemiliknya ada di tempat dan bertemu dengan kami, pemilik toko itu bertanya untuk apa membeli rupang Dewa, suamiku bilang kalau untuk altar Cetya.
Mendengar perkataan suamiku itu, pemilik toko menanggapi kami dengan baik, dia bersikap ramah dan memberi kami kebebasan memilih rupang di tokonya, bahkan rupang-rupang yang khusus yang disimpan didalam kantornya pun boleh kami pilih dan dia memberikan harga yang sangat murah kepada kami, padahal rupang-rupang itu terbuat dari keramik buatan tangan dan ada cap pembuatnya.
Aku baru mengerti makna dari semua kejadian hari ini, para Dewa menguji ketulusanku mengikuti petunjuknya, sekaligus belajar memahami sikap dan tingkah laku orang lain, karena tidak semua orang tidak baik tapi ada juga orang yang baik, aku sadar ini adalah ujian untukku apakah hatiku tegar menghadapi perlakuan orang dan tetap mengikuti petunjuk para Dewa, walaupun aku dua kali dikecewakan orang tapi dua kali para Dewa menolongku dan tidak membiarkan aku tenggelam dalam kekecewaan.
Esok paginya aku membersihkan semua rupang itu dan meletakkannya di altar dan hampir terisi penuh, aku memohon kehadiran para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini untuk memberkati rupang-rupang itu, dengan membaca mantra hati mereka dan bersadhana penuh.
Hari ini pengalaman baru kembali kudapatkan, Guru sejatiku yang selama ini selalu datang memberiku petunjuk melalu meditasi ataupun telepati, hari ini telah menyatu denganku bersamaan dengan telah terisinya rupang-rupang di altar utama cetya Sukhavati Prajna.
Hari ini aku baru mengetahui apa arti kata-kata Mahaguru mengenai “Saya adalah Buddha, Buddha adalah Saya. Saya adalah Vairocana, Vairocana adalah Saya, Inilah kemanunggalan”. Aku semakin yakin dengan ajaran Mahaguru, karena aku sendiri telah mengalaminya.
Banyak orang merasa takut menjalani jalan dharma, karena mereka tidak ingin meninggalkan kesenangan duniawinya, banyak orang salah pengertian terhadap para Dewa, menganggap mengikuti jalan Bodhisattva adalah harus meninggalkan keluarga. Hal ini yang menyebabkan banyak orang tidak mau membina diri.
Padahal jalan dharma selalu mengikuti perkembangan zaman, para Dewa memahami isi hati manusia. Selama manusia itu tulus dan menjalani kehidupan dengan baik dan mau mengikuti jalan para Dewa, maka mereka akan mendapatkan banyak kebaikan dan tidak akan membiarkan mereka mengalami penderitaan.
Di zaman sekarang tidak dituntut untuk benar-benar meninggalkan keluarga untuk membina diri, tapi tetap bisa bersama dengan keluarga dan membina hubungan dengan baik, yang penting tidak melekat dan tidak terikat akan hal itu.
Mendapat Gelar Vajra Acharya dan Menjalankan Homa
Suatu hari dalam meditasi Guru sejatiku, Mahadewi Yao Chi, Dewi Kwan Im, Ksitigarbha Bodhisattva, dan 3 Buddha datang. Aku tidak mengerti akan kehadiran Mereka dalam meditasiku ini, karena pada saat itu aku sedang menjalankan sadhana kepada Mahadewi Yao Chi.
Buddha Sakyamuni berkata kepadaku, kedatangan mereka adalah untuk melihat dan memberikanku gelar, anugrah ini diberikan karena aku telah menjalankan semua petunjuk ereka dengan baik. Gelar itu Vajra Acharya Varita Sukhavati Prajna, artinya adalah pemimpin wanita pertama pembawa aliran Tantra bernama Sukhavati Prajna.
Jubahku berwarna kuning emas dan para pengikut aliran Sukhavati-Tantra mengenakan jubah berwarna merah. Aku juga telah memiliki mantra hati yaitu, “OM, SUKHAVATI PRAJNA HUM” karena saat ini rohku telah bisa berjalan sendiri menolong orang dan masuk ke dalam mimpi orang. Wujud rohku memegang Toya berkepala burung hong dan membentuk mudra pengikat/memegang vajra.
Aku sudah diizinkan menjalankan ritual api homa dan harus memakai atribut lengkap saat ritual, pada saat ulambana Ksitigarbha Bodhisattva aku sudah harus menjalankan homa, karena Beliau menghendaki aku melakukan hal itu. Buddha Sakyamuni mengalungkan japamala dari mutu manikam ke leherku.
Sejak mendapat anugrah itu, aku telah 2 kali menjalankan homa, salah satunya homa Buddha Amitabha. Tujuan menjalankan homa itu adalah untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada mereka yang telah banyak membantu terbentuknya cetya Sukhavati Prajna dan memohon Buddha Amitabha memberkati mereka semua. Banyak keajaiban yang terjadi selama homa berlangsung, dari bentuk api dan bentuk abu sisa pembakaran yang menyerupai kepala Naga yang kepalanya menghadap kegerbang cetya.
Juga terlihatnya banyak lingkaran sinar-sinar beraneka bentuk yang turun dari langit dari camera foto dan satu keajaiban juga munculnya sepasang tangan anak kecil mengambil persembahan yang dikirimkan orang tuanya di tempat pembakaran. Karena pada saat itu juga aku melimpahkan jasa kebajikan seorang anak yang baru saja meninggal, dan secara tidak langsung dia telah membantuku mendapatkan izin cetya melalui kedua orang tuanya.
Semua terasa bahagia karena banyak kejadian-kejadian nyata yang kami dapatkan saat itu, dan aku sangat berterimakasih atas segala dukungan mereka semua. Ketulusan hati mereka dan bimbingan para Dewa membuat semua berjalan dengan lancar.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku mencoba untuk membimbing mereka yang berjodoh dengan para Dewa, agar mau membina diri dengan baik. Sehingga bisa mendapatkan kontak batin dengan para Dewa seperti diriku. Sudah berapa orang juga telah terbangkitkan rohnya dan mulai mendapatkan bimbingan atas arahan yang aku berikan. Semoga mereka yang berjodoh dengan Buddha-Bodhisattva bisa menjalani pembinaan dirinya dengan baik dan setulus hati mengikuti jalan Bodhisattva.
Peresmian Cetya Sukhavati Prajna
Hari ini adalah hari peresmian cetya Sukhavati Prajna, aku telah mempersiapkan jauh-jauh hari. Walaupun cetya masih baru, tapi sudah terasa ada beberapa orang yang siap membantu acara. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, dari awal mendapatkan kontak batin, mendapatkan bimbingan, menjalankan misi, membentuk cetya dan peresmiannya hari ini.
Aku agak sedikit lega, karena beberapa tugas yang diberikan kepadaku telah aku selesaikan. Aku selalu berusaha untuk tidak melewatkan satu tugaspun yang diberikan. Semua ini berkat bantuan suamiku yang selalu mendampingi dan memberikan aku motivasi juga memudahkan jalan dharma ini.
Dalam acara itu ada pemotongan pita, pemukulan tambur, penyalaan petasan, membunyikan pindapata, pecah kendi, buka papan nama yang diwakili oleh mereka yang paling berpengaruh dalam terbentuknya cetya. Juga kami mengadakan ritual sadhana penuh kepada Buddha Amitabha. Semua acara berjalan lancar, sampai setelah acara selesai suatu keajaiban kembali terjadi. Langit tiba-tiba mendung, angin begitu kencang bertiup dan tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Tapi aneh angin sama sekali tidak menggoyangkan tenda-tenda yang berada di kiri kanan, tapi terpal yang menutupi papan nama cetya tertiup angin dengan kencangnya hingga terlepas seluruhnya dan terbuka lebar, sehingga cetya terbuka dan terlihat dari langit. Aku mengira itu pertanda para Dewa tidak berkenan atas peresmian ini karena it menurunkan hujan demikian kerasnya dan membuat agak berantakan.
Tapi Guruku mengatakan kalau para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini berkenan dan mereka semua turun memberkati, jadi hujan ini adalah berkah. Suamiku tidak membuang kesempatan kejadian ini, dia segera mengabadikan sekeliling cetya dengan kamera. Ternyata benar apa yang dikatakan Guru sejatiku, para Dewa benar-benar turun. Hal ini terlihat dalam kamera lingkatan sinar-sinar beraneka bentuk banyak sekali di sekitar cetya Sukhavati Prajna dan terlihat bertumpuk-tumpuk, ini lebih banyak dari biasanya saat aku bersadhana atau saat menjalani 2 kali api homa. Biasanya sinar itu tidak bertumpuk-tumpuk, tapi ini terlihat banyak sekali. Ternyata kekuatan merekalah yang telah melepas terpal yang menutupi cetya, agar bisa terlihat dari langit, sehingga mereka bisa hadir dan memberkati dengan lebih mudah.
Para undangan juga banyak yang datang saat itu, kami semua mengalami hal baru hari ini. Membuat kami semua agak gemetar dan tidak percaya diri, tapi berkat dorongan para Dewa kami semua bisa menjalani tugas kami masing-masing dan terlihat begitu sempurna.
Akhirnya tugas berat telah aku jalankan, tapi mungkin ini hanya permulaan saja. Kedepannya masih banyak hal dan tugas lain yang mungkin diberikan kepadaku, tapi sudah mencapai saat ini aku sudah begitu bahagia, karena sama sekali tidak pernah kami bayangkan akan seperti ini. Perubahannya begitu nyata dan berbanding terbalik, tapi aku sangat bahagia dan sangat bersyukur atas segalanya. Aku hanya berharap, aku bisa menjalani misi dengan baik melalui cetya Sukhavati Prajna, bisa membimbing banyak orang menuju ke jalan yang benar dan menuntun mereka menjalani kehidupan dengan baik. Aku sadar sebelumnya aku bukanlah orang yang suci, aku pernah berbuat banyak kesalahan dan saat ini aku berusaha untuk menyadarinya dan tidak kembali ke jalan yang salah.
Aku amat bersyukur bisa kembali berjodoh dengan Guru sejatiku, dia telah menungguku ribuan tahun. Menunggu aku terbuka dan bisa mendapatkan kontak batin dengannya, sehingga dia bisa menuntun aku kembali. Aku bisa merasakan kesedihan Guru sejatiku, bagaimana dia kuatir jika aku salah jalan dan selalu menguatkan hatiku dan menasihatiku. Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakannya dan akan selalu berusaha mengikuti petunjuknya.
Terbentuk dan berdirinya cetya Sukhavati Prajna tentunya dikarenakan banyaknya dukungan yang aku dapatkan dalam jalan dharma ini, ternyata masih banyak orang yang punya ketulusan hati. Walaupun sebagian dari mereka belum lama aku kenal, tapi entah kenapa kami begitu merasa akrab dan seakan sudah kenal lama. Mungkin kami dipertemukan karena jodoh, di kehidupan lalu mungkin kami pernah menjadi satu keluarga.
Ke China Daratan (1) Suatu hari, tepatnya tanggal 6 November 2010, Guru sejatiku memberi petunjuk agar aku pergi menjalankan tugas ke China daratan, yaitu ke Guangzhou untuk mengunjungi salah satu vihara yang mandala utamanya adalah Guru sejatiku.
Aku sempat kaget dan bersedih saat diberi tugas itu, bagaimana tidak, China itu kan jauh. Butuh waktu dan banyak dana yang harus dikeluarkan. Bagaimana mungkin aku bisa pergi kesana, aku mencoba memohon kepada Guru sejatiku agar jangan menugaskan aku kesana. Tapi Guru sejatiku tetap mengharuskan aku pergi, karena ini berhubungan dengan kenaikan tingkatku.
Tapi aku masih mempermasalahkan mengenai biaya yang akan aku gunakan untuk kesana, darimana aku bisa mendapatkan dana. Guru sejatiku mengatakan agar aku tidak perlu kuatir mengenai hal itu, semua akan berjalan dengan baik, yang penting aku mau menjalankannya dan mengikuti petunjuk yang diberikan. Akhirnya aku menyetujuinya walaupun dalam hatiku begitu kacau.
Beberapa hari kemudian entah kenapa tiba-tiba ada orang yang akan berangkat ke China, melalui dia aku mencoba untuk meminta informasi mengenai vihara yang ditunjuk oleh Guru sejatiku, menurut keluarganya yang ada disana mengatakan ada Vihara itu. Dan dia bertanya padaku apa ada tugas kesana? Aku katakan iya, tapi aku masih ragu apa bisa pergi kesana, karena paspor yang kumiliki telah lewat jatuh tempo lama, masih harus urus visa, dan lagi aku tidak tahu daerah sana. Orang tersebut mengatakan akan membantu mengurusnya, dan benar saja pengurusan paspor, visa dan tiket bisa selesai dalam 2 hari saja. Tadinya aku hendak pergi dengan suamiku, tapi entah kenapa paspor suamiku tidak ada, padahal biasanya disimpan dengan paspor milikku juga.
Saat ada tugas ini mendadak paspornya tidak tahu ada dimana, mungkin aku tidak diijinkan pergi dengan suamiku dan sepertinya diharuskan pergi sendiri. Aku agak bimbang menjalani hal ini, karena aku tidak terbiasa pergi kemana-mana sendiri dan selalu didampingi oleh suamiku, mendengar akan pergi sendiri ke Guangzhou membuat aku semakin gundah. Aku dalam kebingungan antara pergi atau tidak, apa yang harus aku putuskan saat itu aku tidak tahu, hanya terpaku saja dan tidak sanggup mengambil keputusan apapun. Akhirnya suamiku sendiri yang memutuskan agar aku pergi saja dan dengan cepatnya semua dokumen, akomodasi dan perlengkapan disiapkan. Dengan berat aku terima saja nasibku itu, harus jauh dari keluarga selama 9 hari.
Saat semua surat-surat diurus, kami sudah menyiapkan dana untuk membayar biaya perjalananku. Sampai telah menukar uang rupiah menjadi mata uang disana untuk berjaga-jaga jika ada yang harus aku keluarkan. Tapi anehnya, kalau dihitung perjalananku dari pergi sampai pulang aku tidak mengeluarkan uang sama sekali. Dari tiket, urus paspor, membeli barang-barang untuk cetya, semuanya bukan aku yang keluarkan, aku mendapatkan banyak berkah menjalankan tugas ini dari beberapa orang yang membantuku tanpa aku harapkan.
Tgl 16-11-2010 pkl. 09:45 WIB, aku berangkat ke China menggunakan pesawat, perjalanan dari Jakarta ke China butuh waktu kurang lebih empat jam. Saat pesawat sudah mau dekat landing, aku merasakan keanehan pada tulang rusukku sebelah kiri, seperti tertusuk-tusuk. Aku meminta petunjuk Guru sejatiku, katanya aku sudah dekat dengan tempat kelahiranku yang lalu.
Setelah sampai di bandara, masih harus menggunakan taksi melewati perbatasan Hongkong-China, baru dari perbatasan itu naik bis menuju satu kota kecil, perjalanan kurang lebih 6 jam. Tiba di kota kecil itu pukul 12 malam, dan menginap di apartemen yang kalau di Jakarta mirip rumah susun tapi apartemen di China besar-besar, seperti rumah pada umumnya.
Aku tinggal di kota kecil itu selama 3 hari, selama disana aku tetap menjalankan sadhana dan meditasi, pengalaman pertama meditasi di China begitu berbeda sensasinya, gerakan rohku begitu halus dan nyaman, seperti tidak dipaksakan. Berbeda dengan di Indonesia yang masih terasa berat gerakan rohnya.
Selama di kota kecil itu aku tidak mendapatkan petunjuk apa yang harus aku lakukan, Guru sejatiku mengatakan nanti akan ada petunjuk kembali saat aku sampai di Guangzhou. Benar saja setibanya aku di Guangzhou dan menginap di sebuah apartemen, di tempat itu tanpa aku ketahui suda hada seorang wanita yang menungguku, dia berniat untuk meminta petunjuk dariku.
Seperti biasa aku meminta nama lengkap dan tanggal lahirnya agar aku bisa melihatnya, saat dia menuliskan datanya dan aku membacanya, ternyata dia bermarga Chen. Aku agak kaget membacanya, dan dengan segera juga Guru sejatiku memberiku petunjuk bahwa dia adalah cucuku di kehidupan lalu, dia adalah generasi ketiga dalam keluargaku.
Aku seakan tidak percaya dengan semua ini, karena aku sendiri agak lupa dengan nama margaku di kehidupan lalu, aku mencoba mengingat-ingat apa namaku di kehidupan lalu saat aku terlahir di China dan menjadi seorang guru anak-anak sekolah dasar, penglihatanku dalam meditasi mengenai kehidupan masa laluku. Masih terngiang di telinga saat salah satu Dewa menangkap rohku yang naik ke langit, Dewa itu menyebut namaku dengan “Chen Siau Fei”.
Aku terharu atas pertemuan kami, tapi sayangnya aku tidak bisa berbahasa mandarin, sehingga tidak bisa bertanya-tanya tentang keluarganya yang lain, dia mengantarku pergi ke vihara yang ditunjuk Guru sejatiku, yaitu vihara Gunung Bunga Teratai (Lien Hua Shan) juga mengantar ke bandara saat aku akan kembali ke Jakarta.
Vihara Lien Hua Shan begitu indah. Aku tidak pernah melihat vihara seperti itu, begitu luas, asri dan rupang-rupangnya berukuran besar. Saat berjalan disekitar vihara itu, tubuhku begitu ringan seperti berjalan di atas Awan. Aura vihara itu benar-benar bagus dan bersih. Aku pergi menuju altar utamanya. Benar saja dialtar utamanya aku melihat rupang Guru sejatiku Dewi Seribu Tangan Seribu Mata yang telah bersatu dengan Dewi Kwan Im, aku takjub melihatnya. Dan seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat, aku sama sekali belum pernah melihat rupang seperti itu.
Guru sejatiku mengatakan, rupang ini memberikan pembuktian kepada diriku bahwa, antara Dia dengan Dewi Kwan Im benar telah ada penyatuan. Dia berbeda dengan Dewi Kwan Im, Dia berasal dari India dan Dewi Kwan Im dari Tiongkok. Saat Guru sejatiku mengatakan hal itu aku masih ragu-ragu, apa iya. Bukankah semua orang mengetahui bahwa Dia adalah Dewi Kwan Im juga.
Akhirnya Guru sejatiku meminta aku duduk bermeditasi di hadapan rupang dirinya yang ada disamping rupang utama.
Tidak lama aku menutup mata dan memasuki samadhi, aku melihat suatu kejadian, ada seorang gadis seperti seorang putri, dari pakaian dan daerah serta bentuk kerajaannya aku tahu kalau itu di India. Putri itu sangat cantik dan orang tuanya ingin menjodohkan dirinya dengan seorang pangeran, tapi dia tidak mau dan dengan diam-diam pergi dari istana dengan menunggang kuda.
Putri itu sampai disuatu tempat dan turun dari kuda, lalu dia mengganti baju putrinya dengan jubah berwarna kuning. Dia menyusuri jalan dengan memegang pindapata menuju sebuah gua, lalu masuk kesana duduk bermeditasi. Dia bermeditasi dengan tekun sehingga mendapatkan banyak anugrah benda pusaka, tapi karena terlalu kerasnya menjalani meditasi, kepalanya sampai hancur.
Dari langit turun Buddha Amitabha menolongnya, dan membuatnya memiliki 1000 tangan dan 1000 mata, kepalanya yang hancur tumbuh kepala-kepala Buddha, lalu dia menjadi Bodhisattva dan naik ke langit bersama Buddha Amitabha.
Apa yang kulihat tidak berhenti disitu, sepertinya zaman berganti dan berada di daerah lain. Seperti di daerah Tiongkok, juga ada seorang putri yang pergi dari istananya dan bermeditasi di gua, dia sangat menghormati Buddha Amitabha, Buddha Amitabha mengetahui hal itu dan mengutus Bodhisattva Seribu Tangan Seribu Mata turun ke bumi membimbingnya dan dalam pembinaan diri putri itu menyatu dengan Bodhisattva Seribu Tangan Seribu Mata menolong banyak umat manusia.
Ke China Daratan (2)
Setelah itu tak ada lagi yang kulihat, berganti dengan datangnya energi yang kuat dalam diriku, aku menggerakkan rohku untuk menyerap energi murni dan tidak menghiraukan orang-orang yang melihatku pada saat itu.
Dari pengalaman meditasi di vihara itu, aku jadi mengetahui perjalanan Guru sejatiku. Aku ditugaskan ke China disamping kembali ke masalalu aku juga diberi pembuktian dalam pembinaan diriku selama ini, dari sini aku baru mengerti mengapa sebelumnya Guru sejatiku mengatakan kalau Dia dan Dewi Kwan Im telah menyatu, Dia adalah Dewi Kwan Im dan Dewi Kwan Im adalah Dia. Itu semua terbukti dari rupang dirinya di mandala utama vihara ini.
Esok harinya, aku pergi ke Vihara Nan Hua She (Vihara Master Hui Neng patriak ke-6 di China) awalnya aku tidak mengerti mengenai vihara itu, tapi Guru sejatiku memberi petunjuk agar aku meditasi di sana nantinya.
Ada satu suhu/bikshu yang mendampingi kami, dia menjemput kami dipintu utama, tapi karena tidak tahu kami lewat pintu samping, suhu itu mengajak makan bersama dengannya di ruang makan khusus, ternyata di meja tersebut sudah ada beberapa orang yang menunggu suhu itu untuk makan bersama, aku duduk bersama, aku duduk disebelah salah satu orang tersebut.
Tiba-tiba orang di sebelahku itu langsung bertanya apa aliranku, aku katakan TAO. Dia agak terkejut dan bertanya lagi apa rohku bisa keluar dari tubuh, aku katakan bisa. Mendengar hal itu dia langsung mengajak aku untuk ikut dengannya dan sama-sama rohnya keluar, aku kaget mendengar perkataannya, untuk apa seperti itu, aku tidak begitu suka dengan permintaannya, aku tetap bersikap biasa saja.
Saat di kamar menginap aku meminta petunjuk Guru sejatiku apakah aku boleh mengikuti permintaan orang tadi, Guruku menjawab tidak boleh. Beliau mengatakan bahwa TAO ada dua macam, yang suka memamerkan diri dan yang tidak, mendapatkan dan berjodoh dengan ajaran TAO tidak perlu dipamerkan.
Tapi aku katakan pada Guru sejatiku kalau dia mengatakan akan memberikan petunjuk-petunjuk padaku jika ada yang tidak aku ketahui. Guru sejatiku bilang, lebih baik berguru pada Guru roh daripada Guru manusia, Guru manusia masi hada niat tertentu dalam memberi bimbingan, tapi Guru roh tidak ada niat lain selain jalan dharma, kecuali Guru manusia itu telah mencapai pencerahan, baru boleh berguru padanya. Aku ikuti perkataan Guru sejatiku.
Malam itu kira kira pukul 8 malam, suhu membawa kami berkeliling melihat bagian-bagian vihara, bernamaskara di hadapan altar Master Hui Neng dan diberi kesempatan untuk memasang dupa di altarnya serta melihat pagoda Master Hui Neng.
Saat itu sekitar vihara sudah gelap jadi tidak semuanya bisa kulihat dengan jelas, tapi tiba-tiba saja saat aku sedang berjalan disamping pagoda, telinga kiriku mendengar bunyi lonceng/genta besar dipukul dengan keras, satu kali tapi gaungnya agak panjang terdengar, aku mencari-cari dari mana asal bunyi genta itu tapi tidak ada, dan hanya aku yang mendengarnya.
Setelah itu suhu tersebut mengatakan kalau ditempat yang baru saja aku lewati ada kuburan kuno, tempat disemayamkannya seorang Master TAO yang bermarga Chen. Aku agak tertarik mendengarnya karena bunyi di telingaku tadi, aku mencoba berkomunikasi dengan roh Master TAO itu dengan harapan ada jawaban darinya walau agak sedikit takut saat memejamkan mata di depan kuburan itu.
Saat aku memohon izin dan minta petunjuk, rohku bergerak dan begitu saja membentuk jurus-jurus kungfu, aku merasakan tenaga yang sangat besar sampai-sampai nafasku tersenggal-senggal, pergerakan itu terjadi beberapa menit, baru kemudian terbuka komunikasi dengannya.
Master TAO itu senang bertemu denganku, dia mengatakan kalau dia adalah leluhurku, karena itu bisa berjodoh bertemu, aku baru menyadarinya kalau marganya sama dengan margaku di kehidupan yang lalu. Dia meminta agar aku melakukan meditasi di depan kuburannya jam 3 pagi karena dia akan mengajarkan jurus-jurus padaku, aku agak ragu tapi sepertinya dia tahu apa yang ada dalam pikiranku, dan memberikan keyakinan kepadaku bahwa tidak apa-apa, dia hanya membimbingku saja. Aku menuruti permintaannya karena Guruku mengizinkan.
Saat hendak tidur aku merasakan suasana dan aura berbeda menginap di vihara, aura kuat seperti menghampiriku dan aku merasa ringan seperti melayang, secara sendirinya rohku keluar dari tubuh dan ternyata Master Hui Neng telah menungguku, kami menuju pagodanya, disitu kami duduk bermeditasi ZEN saling berhadapan, setelah beberapa lama dia bangkit dan menopangkan tangan dikepalaku, dia mengatakan bahwa dia telah menungguku dan dia yakin kalau aku pasti akan datang kesini dan bertemu dengannya, semua ini karena jodoh. Beliau mengatakan aku boleh berkeliling di viharanya.
Setelah itu dia mengantar aku kembali ke kamar dan kemudian aku tidur dengan nyenyak. Jam 3 pagi, aku bangun dan membasuh diriku lalu pergi ke kuburan MasterTAO yang ternyata leluhurku itu dan meditasi di sana mengikuti petunjuknya, dan benar saja rohku digerakkan membentuk jurus-jurus kungfu penuh dengan tenaga, semua itu berlangsung beberapa menit, sesudahnya aku merasakan segar dan bersemangat.
Dengan datangnya aku ke vihara itu, banyak yang kuketahui. Mengapa saat ini aku berjodoh dengan TAO, ZEN dan Tantra. Dari buku yang diberikan oleh suhu, disitu aku ketahui kalau ajaran Buddha bermula dari Buddha Sakyamuni lalu turun ke muridnya Arya Mahakasyapa, Arya Ananda, Bodhidarma dan seterusnya sampai ke Master Hui Neng, karena saat aku diyakinkan untuk menjalankan aliran Tantra, Arya Mahakasyapa datang bersama Buddha Sakyamuni, Lhama, Karmapa dan Rinpoche dll mengabhisekaku dan mengatakan hal yang sama seperti di buku Sutra Master Hui Neng tersebut, bahwa patriak bermula dari Buddha Sakyamuni kemudian turun kepada Mahakasyapa.
Mengapa Mahaguru Bodhidharma datang membimbing, karena leluhurku Master Tao itu adalah murid dari Master Hui Neng patriak ke-6, yang adalah murid dari Mahaguru Bodhidharma. Ini bukan suatu kebetulan, tapi memang ada garis silsilahnya. Jika tidak ada karma baik dan karma jodoh di masa lalu, tidak mungkin bisa berjodoh dengan TAO, ZEN, Tantra.
Aku benar-benar bersyukur mengalami hal ini, banyak hal baru dan berkah kudapatkan selama perjalanku ke Guangzhou, China, bertemu leluhur dan juga cucu dikehidupan lalu, mendapat bimbingan dan petunjuk dan yang berharga dari para Luohan/Arahat, salah satu Arahat berkata kepadaku, ketika aku duduk meditasi dihadapan altarnya:
“Tao dan ZEN sesungguhnya adalah sama, untuk bisa bermeditasi ZEN, roh juga harus terbangkitkan, jika roh tidak bangkit maka tidak akan mungkin bisa tahan duduk bermeditasi lama.” Itulah petunjuk yang diberikan salah satu Arahat kepadaku, sekaligus memberikan motivasi pada meditasi yang aku jalani.
Aku sadar semua rahasia langit adalah kebenaran, hanya saja belum bisa dibuka jika belum sampai waktunya. Aku bersyukur dengan waktu yang sesingkat ini telah banyak yang kuketahui dan kudapatkan, jika aku tidak membina diri maka aku tidak akan mengetahui jati diri dan rahasia langit. Sehingga saat ini aku sudah mengerti apa arti dan tujuan hidupku yang sesungguhnya, yaitu bukan mengejar kekayaan, nama dan lain sebagainya yang berhubungan dengan nafsu tubuh fisik, tapi lebih menjalankan hidup dengan baik, mengikuti jalan Bodhisattva dan membina diri untuk bisa kembali ke tempat asal. Banyak manusia takut membina diri dan membaca mantra, karena berpikir bahwa kehidupan mereka akan kesulitan materi jika mereka melakukan hal itu, bahkan berpikir tajutnya akan meninggalkan keluarga untuk menjadi biksu/biksuni dan tidak bisa bersenang-senang lagi. Banyak manusia selalu memikirkan kesenangan-kesenangan mereka, terjebak dan tergantung pada kebiasaan buruknya. Aku berpikir apakah itu yang dicari manusia dan apakah mereka benar-benar bahagia.
Aku telah mengalami hal itu, tidak ada kebahagiaan yang abadi dengan berhura-hura dan bersenang-senang, juga tidak ada ketenangan batin yang didapat dalam hal itu. Kebahagiaannya hanya sesaat dan kembali mengalami penderitaan yang dibuat sendiri.
Mendapat pencerahan Hari ini aku begitu kecewa, kesal & sedih. Mengapa kebenaran tdk terjadi, yg dikatakan para Buddha dan Boddhisatva tdk terjadi. Apakah semua ini hanya kebohongan, ataukah hanya khayalanku?
Hari ini Guru sejatiku tdk menjelaskan apapun, membuat aku semakin gusar. Bagaimana mungkin aku bisa menolong org lain, jika kebenaran yg diberikan kepadaku tdk terbukti. Suamiku menyuruh aku menghadap Mahadewi Yao Chi, Vajrasattva Bodhisattva dan Mahaguru Tatmo Cosu, tapi aku tdk bisa berkonsentrasi sehingga tidak bisa memasuki samadhi, hatiku kacau dan tak merasakan getaran ataupun keberadaan para Dewa. Hal ini membuat aku putus asa.
Dalam kegundahanku suamki mencoba memberiku pengertian, tapi aku tak bisa menerimanya. Lalu secara tak sengaja aku mengambil buku tulisan Mahaguru yang berjudul "Menyingkap Tabir Misteri Alam". Pada kata pendahuluan aku membaca beberapa kata, disitu ditulis; Misteri Alam adalah, tiada keakuan, tiada manusia, tiada makhluk hidup, tiada kehidupan, ini adalah abhijna.
Ajaran Mahaguru Tatmo Cosu mengenai meditasi, yaitu melihat cahaya dari tdk ada menjadi ada, cahaya kecil semakin membesar, diri sendiri menyusuri cahaya itu dan tiba disuatu alam yg tdk ada manusia, tdk ada hewan, tdk ada tumbuhan, tdk ada kehidupan, disaat itulah akan bisa mengendalikan roh sendiri.
Kata-kata yg ditulis Mahaguru menjadi kata perenungan hari ini, aku mencoba utk mendekatkan hatiku lagi pada para Dewa, membaca mantera hati mereka dan masuk kedalam meditasi merenungi kata-kata itu. Dalam perenunganku itu, muncul Amitabha Buddha yg keluar dari kelopak bunga teratai dan Dia menjawab renunganku.
"Desi, sesungguhnya anugrah yang diberikan kepadamu adalah takdir yg telah diberikan kepadamu. Tapi sesungguhnya semua itu adalah sunya. Tak ada harapan, tak ada yg diraih, tak ada keinginan, tak ada yg didapat, tak ada keakuan, tak ada suami, tak ada anak, tak ada orang tua, tak ada keluarga, tak ada harta, tak ada nama, tak ada bersih, tak ada kotor, tak ada apapun didunia ini, semua adalah sunya. Jadi janganlah kau harapkan, karena memang tak ada yg harus kau harapkan."
Mendengar perkataan Buddha Amitabha aku tersadar, bahwa selama ini aku telah melekat dan masih ada ke-aku-an dalam diriku, masih ada pementingan diri sendiri, terpengaruh perkataan dan perbuatan orang lain. Aku yg sempat tdk bersemangat hari ini karena berpikir telah dibohongi dan dipermainkan, sebenarnya aku telah berbuat salah. Aku telah menumbuhkan kekotoran batinku sendiri dan saat ini aku telah mendapatkan pencerahan dari Buddha Amitabha.
Setelah tersadarkan Guru sejatiku baru datang menemuiku dan mengatakan bahwa aku telah melewati cobaan ke-aku-an tingkat ke-2 yg lebih sulit dilewati dari cobaan ke-aku-an yg pertama. Biasanya manusia akan sulit melewati tahap ini, dia bahagia melihat aku bisa melewatinya. Aku mengucapkan terima kasih kepada Buddha Amitabha atas petunjuknya, ini adalah salah satu pencerahan yang aku dapatkan. Aku telah mengerti dan telah menyadari kesalahanku.
Titah Kaisar Langit Sungguh Punya Kekuatan Besar Setelah aku tersadarkan, esok harinya saat sore hari mendadak langit di daerah cetya tertutup Awan gelap, hujan belum turun, tapi kilat, angin dan petir yang begitu kuat telah muncul lebih dulu, aku sudah menduganya pasti akan turun hujan deras. Melihat alam seperti itu aku segera memasang dupa dan mulai bersembahyang, lalu hujan benar-benar turun dengan sangat deras.
Aku membaca mantra dan Sutra untuk memohon perlindungan dan berharap hujan bisa sedikit mereda, tapi sudah begitu banyak mantra dan Sutra yang aku baca hujan tidak reda-reda malah semakin deras, air hujan telah tergenang di jalanan cetya, aku mengkhawatirkan bahaya banjir. Apakah para Dewa tidak mendengar permohonanku? Biasanya hujan akan segera berhenti bila aku mulai memasang dupa dan memohon, tapi saat ini tidak ada reaksi sama sekali.
Air semakin penuh di jalanan, aku tidak punya jalan lain dan segera masuk ke dalam meditasi, aku merasakan cakra mahkotaku terbuka, rohku keluar melesat ke langit dan sampai di atas Awan-awan. Di kejauhan aku melihat Dewa Hujan, Dewa Angin dan Dewa Petir sedang bertugas, pantas saja di bumi cuaca begitu tidak bersahabat. Aku segera menghampiri para Dewa itu, mereka melihat kehadiranku dan bertanya:
“Desi, kenapa kau kesini?” salah satu Dewa bicara kepadaku, ternyata mereka mengenalku.
“Maafkan saya karena telah menganggu, saya mohon kepada para Dewa untuk meredakan hujan, karena di bumi air sudah meluap.”
“Tidak bisa, kami sedang menjalankan tugas.”
“Apakah Kaisar Langit yang memberi tugas ini?”
“ Bukan, kerabat Kaisar Langit yang memberi perintah, tapi Beliau juga mengetahuinya. Ini semua karena banyak manusia telah salah jalan, langit sudah murka atas perbuatan manusia yang tidak memperhatikan diri sendiri dan alam semesta. ”
“ Tolonglah para Dewa, saya mohon redakanlah hujan. ”
“ Kami tidak bisa melakukannya, kecuali ada amanat, kami baru bisa menghentikannya. ”
Mendengar perkataan Dewa Hujan sejenak aku berpikir apa yang harus kulakukan, sudah tidak ada banyak waktu lagi, banjir akan segera terjadi. Dengan cepat aku teringat dengan Titah Kaisar Langit yang pernah diberikan kepadaku pada saat aku naik tingkat dalam pembinaan diri. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengeluarkannya dari balik bajuku lalu memperlihatkan kepada Mereka.
“ Saya punya amanat itu, apakah ini bisa mengabulkan permohonan untuk meredakan hujan ? ”
Dewa Hujan mendekatkan wajahnya melihat Titah itu dan berkata :
“ Benar ini titah Kaisar Langit, Desi kau bukan orang biasa, buktinya akau memiliki Titah itu. Baiklah kami hentikan tugas kami. ”
Ketiga Dewa itu langsung menghentikan tugasnya menurunkan hujan, petir dan angin lalu melesat pergi dengan cepat entah ke mana. Seiring dengan berhentinya tugas Mereka, di bumi hujan langsung berhenti dengan cepat secepat melesat perginya para Dewa itu. Aku keluar dari meditasi dan melihat keajaiban ini dan merasa sedikit lega karena tidak terjadi banjir di daerahku.
Aku menceritakan hal ini pada suamiku, tapi dia malah berkata kalau aku telah berbuat kesalahan dan meminta agar aku menghadap Dewi Kwan Im, karena telah lancang mengeluarkan Titah Kaisar Langit demi menghentikan hujan, padahal ketiga Dewa tadi sedang menjalankan tugas.
Aku baru sadar telah berbuat kesalahan, padahal hal ini aku lakukan secara spontan dan tidak aku rencanakan sama sekali. Tapi aku jalani petunjuk suamiku dan kembali bermeditasi, dan memohon petunjuk dari Dewi Kwan Im apa yang harus aku lakukan.
Saat itu cakra mahkotaku kembali terbuka dan rohku keluar, entah menuju kemana. Ternyata aku pergi ke Istana Langit, aku mengenali pintu gerbang masuknya yang besar dan dijaga dua penjaga. Dengan bersujud 3 kali aku memohon untuk diizinkan masuk, terdengar suara Kaisar Langit menyuruhku untuk masuk. Aku berjalan cepat menuju istananya dan disana Dia sedang duduk di singgasananya, aku segera menuju ke hadapannya dan bersujud 3 kali.
“ Aku memohon maaf karena telah lancang mengeluarkan Titah yang Kaisar Langit berikan kepadaku ? ”
“ Desi, mengapa kau mengeluarkan Titah itu ? ”
“ Aku terpaksa melakukan itu, sesungguhnya itu bukanlah untukku sendiri. ”
“ Bisa kau jelaskan kepadaKu ? ”
“ Aku tahu bahwa manusia di bumi banyak yang berbuat kesalahan, sehingga langit dan bumi bereaksi. Tapi aku melakukan itu untuk cetya Sukhavati Prajna yang baru saja diresmikan. Bukankah para Buddha dan Bodhisattva berkenan untuk menjadikan cetya Sukhavati Prajna sebagai alam Sukhavati juga dan melalui cetya ini aku akan berusaha untuk merubah hati manusia agar bisa sadar atas kesalahan mereka dan mulai menjalani hidup mereka dengan baik. Jika daerah cetya terjadi bencana, bagaimana aku bisa menjalankan misi ini.
“ Aku bisa menerima penjelasanmu itu, tapi lain kali sebelum kau mengeluarkan Titah yang aku berikan, kau harus menghadap padaku lebih dulu, apa kau mengerti ? ”
“ Aku mengerti dan mengaku bersalah. Jika Kaisar Langit ingin memberi hukuman, aku siap menerimanya. ”
“ Desi kau tidak perlu kuatir…. Aku tidak akan menghukummu, karena apa yang kau lakukan semata-mata bukan untuk dirimu sendiri. Baiklah, kau boleh kembali. ”
“ Terimakasih, sebelum aku pergi bolehkah memohon satu permintaan ? ”
“ Katakanlah. ”
“ Aku mohon lindungilah cetya Sukhavati Prajna dari mara bahaya dan bencana alam, seperti gempa bumi, banjir dll. Agar cetya bisa berkembang dengan baik. ”
“ Baiklah, kau tidak perlu cemas, aku akan mengabulkan permohonanmu. Kembalilah. ”
“ Terimakasih, semoga Kaisar Langit selalu berbahagia. ”
Aku segera beranjak pergi dari Istana Langit dengan perasaan lega karena telah mendapatkan kemurahan hati Kaisar Langit. Dewi Kwan Im juga mengatakan kepadaku, agar pengalaman ini bisa membuat aku semakin bijaksana. Semua anugrah yang telah diberikan kepadaku, sungguh-sungguh berguna dan punya kekuatan yang besar tapi aku tidak boleh menyalahgunakan dan sembarangan menggunakannya, harus punya tujuan yang baik untuk orang banyak dan tidak untuk diriku sendiri.
15 komentar:
Kisah yang sangat menarik dan mengandung pelajaran yang berharga
Suhu desy, boleh minta emailnya? Email saya maykhel@ymail.com.
Bu desy. . Minta email nya donk.. tengkiu..
Ini lg cerita dongeng ya? Hebat amat ibu desy ini ckckck...
Desy,
Saya sarankan hati2 anda bercerita, anda menggunakan nama orang suci untuk mencari sensasi dan menyesatkan.
Tidak semudah itu para orang suci hadir tanpa hati yg bersih.
Hati yg bersih tdk mengumbar kelebihannya dalam spiritual dan selalu merendahkan hati
Suhu desy bisa berbagi email . Ini email saya jimmyxu84@gmail.com.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Entahlah kalu dilihat agama buddha sekarng sudah bnyak kleniknya gara2 oknum yg tidak bertanggung jawab,tanpa sadar itu telah merusak ajaran sang Buddha ,semoga ajaran Buddha yang indah dan agung ini tidak disalah gunakan lagi oleh oknum2 yg tidak bertanggung jawab
Entahlah kalu dilihat agama buddha sekarng sudah bnyak kleniknya gara2 oknum yg tidak bertanggung jawab,tanpa sadar itu telah merusak ajaran sang Buddha ,semoga ajaran Buddha yang indah dan agung ini tidak disalah gunakan lagi oleh oknum2 yg tidak bertanggung jawab
Uda lama belum gilanya, belajar lbh dalam dulu agama Buddha
Uda lama belum gilanya, belajar lbh dalam dulu agama Buddha
Maaf, jika ad yg curiga ini bohong. itu wajar saja. tp anda sendiri tdk membuktikan bahwa apa yg d sharing sm Bu Deasy itu salah or benar. jgn terlalu cepat mengambil kesimpulan dan berkata yg kurang pantas. jika anda tdk mau membuktikan nya sendiri dgn bijak, maka jgn mengeluarkan kata2 yg tidak pantas, itu hanya akan menambah kekotoran batin ada.
semua orang memiliki pengalaman spritual yang sulit dijelaskan dengan akal manusia.jgn saling menghakimi.karena kemampuan seperti ini pun pernah kualami.
bagaimana cara menghubungi bu desy
Selamat Pagi Bu Desy...
Nama saya Lu Fu Fen
Maaf bolehkah saya diberikan petunjuk atau di lihat masa depan dan kehidupan saya saat ini.
Jika ibu Desy berkenan, mohon email di atho.logistics@gmail.com. Terima Kasih.
Setuju sekali. Jagalah mulut, jangan melontarkan kalimat yg tidak baik dalam menanggapi kisah pengalaman seseorang. Jika merasa pengalaman Bu Desi ini bagus, ya ambil hikmah dari pengalaman Bu Desi. Dan apabila ada yg merasa ini semua tidak nyata dan karangan cerita yang tidak benar, cukuplah diam saja. Tidak perlu memberi tanggapan negatif. Sebab anda sekalian belum tentu bisa lebih baik dari orang yg menulis cerita ini. Dari saya pribadi, saya mengagumi Bu Desi dan semoga Bu Desi bisa segera mencapai kesempurnaan dan saya ucapkan selamat kepada Bu Desi. Bu Desi benar2 beruntung sekali bisa berhadapan langsung dengan para Dewa. Untuk menjadi baik itu susah sekali. Untuk menjadi jahat itu sangat mudah sekali. Semiga semua makhluk hidup berbahagia.
Posting Komentar