Kao Ong Kuan Shi Im Keng (Gaowang Guanshiyin Jing) adalah sutra yang dikenal luas oleh masyarakat Buddhis Tionghoa penganut sekte Mahayana. Di Indonesia sutra itu lebih populer dengan nama "Ko Ong Kuan Shi Im Keng". Belakangan ini, dalam upaya men-sansekerta-kan kembali sutra-sutra Mahayana, adalah pihak tertentu di Indonesia yang menterjemahkan nama sutra itu menjadi "Sutra Raja Agung Avalokitesvara" atau "Sutra Maha Raja Avalokitesvara".
Memang secara harafiah kata "Gao" bisa berarti "Agung" atau "Maha" dan "Wang" bisa diterjemahkan "Raja". Tapi, apakah gabungan kata "Gao Wang" dalam sutra tsb. berarti "Raja Agung" atau "Maha Raja" ? sehingga "Gaowang Guanshiyin Jing" serta-merta menjadi "Sutra Raja Agung Avalokitesvara" atau "Sutra Maha Raja Avalokitesvara" ?
Agar upaya penerjemahan (pen-sansekerta-an) nama sutra tsb. tidak menjadi rancu, ada baiknya kita merujuk kembali pada sejarah ditemukannya sutra tsb. serta darimana, oleh siapa dan mengapa sutra tsb. dinamakan "Gaowang Guanshiyin Jing" atau "Ko Ong Kuan Shi Im Keng" di negeri Tiongkok dulu.
Sebuah artikel karya Fashi Huibo yang pernah dimuat dalam kumpulan tulisan Maha Guru Lu Shengyan kiranya dapat menjelaskan semua persoalan di atas. Di bawah ini adalah isi artikel Fashi Huibo tsb. yang telah disadur secara lengkap ke dalam bahasa Indonesia:
<>
atau "Ko Ong Kuan Shi Im Keng" adalah sutra yang sudah lama beredar secara turun temurun di negeri Tiongkok. Jauh sebelum zaman sui dan Tang sutra ini sudah sangat populer. Walaupun tak seorangpun yang menganjurkan bahkan juga tak pernah dimasukkan sebagai salah satu bagian dalam tripitaka, tetapi karena sudah terbukti kemujaraban serta keampuhannya, melalui salinan-salinan tangan pun sutra ini tetap bertahan disebar-luaskan dan diwariskan dari zaman ke zaman secara turun temurun. Di zaman dinasti Qing, beberapa kelompok vihara (antara lain viahara Gushan, vihara Yongquan, dan vihara Chengtian di propinsi Fujian) mulai mempelopori pencetakan dan penerbitan kitab sutra ini. Sampai di jaman Republik, oleh upasaka Ding Fubau (penyusun Kamus besar Buddha Dharma) sutra ini selain diberi beberapa ulasan, juga dimasukkan sebagai salah satu entri dalam "Kamus Besar Buddha Dharma" yang ia susun. Tahun 1971, ulasan yang dibuat oleh upasaka Ding Fubao itu pernah pula diterbitkan oleh (alm) bhiksu Nanning dari Asosiasi Huayanlian di kota taipei. Dalam terbitan itu, selain dilampiri "Tulisan tangan upasaka Zongyue dari Chaoan" juga ditambahkan beberapa keterangan tentang asal-usul sutra tsb.
Dalam keterangan itu, Upasaka Ding Fubao hanya merujuk dan mengutip kitab-kitab seperti, , , dan yang memang sedikit banyak ada bercerita tentang , tetapi isinya hanya beberapa baris yang tidak memberikan keterangan yang cukup jelas tentang asal-usul sutra dimaksud. Orang yang membacanya sama sekali tidak mendapat informasi lebih lanjut tentang sutra itu, terlebih lagi bagian akhir dari keterangan itu menjelaskan "gaowang Guanshiyin Jing" sebagai "Ajaran Terunggul dari segala Dharma", ini hanyalah komentar dan pendapat pribadi upasaka Ding Fubao sama sekali tidak menjelaskan apa-apa tentang asal-usul sutra itu.
Sejauh yang saya ketahui, selain ketiga sumber tersebut di atas, masih ada lagi bab 54 "jigulue" yang juga membahas "Gaowang Guanshiyin Jing", secara rinci ulasan tersebut adalah sbb:
Dahulu kala, di zaman Tianping dinasti Wei Timur (kira-kira sekitar tahun 534 masehi), seorang jendral bernama Sun Jengde ditugaskan ke dingzhou. Karena ia adalah seorang umat Buddha yang mempunyai shrada yang tinggi pada kekuatan Avalokitesvara Bodhisattva, maka ia membangun sebuah pratima avalokitesvara di tempatnya bertugas. Pada waktu senggang, ketika jendral-jendral lain pergi berburu atau berekreasi dengan cara-cara tidak senonoh dan tidak pantas untuk seorang jendral, ia justru menghadap pratima Avalokitesvara Bodhisattva dan melakukan persembahyangan dengan tulusnya.
Kemudian, pada masa tugasnya berakhir dan siap kembali ke ibukota, ia difitnah oleh seorang pejabat licik yang menjebloskannya ke penjara istan. di bawah siksaan berat yang dialaminya bertubi-tubi setiap hari, akhirnya terbaksa Sun menerima dan mengakui tuduhan yang difitnah padanya, sehingga ia dijatuhi hukuman "Penggal Kepala". Pada malam terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, Sun mimpi berjumpa dengan seorang bhiksu, sang bhiksu bertanya padanya:
"Apakah Anda takut?"
"Setiap makhluk hidup pasti memilih hidup daripada mati. Aku pun tak terkecualikan." Jawab Sun "Apalagi saya difitnah orang, terlebih-lebih lagi saya tidak rela!"
"Jangan takut," kata si bhiksu tadi "akan saya ajari kamu menjapakan sutra Avalokitesvara sang penolong, kalau kamu sanggup menjapakannya sampai seribu kali, saya jamin kau tidak akan mati."
Begitu banyak nama para Buddha dan avalokitesvara dalam sutra itu. Hanya menyebutkan nama-nama mereka saja sudah merupakan pahala maha besar, merupakan pahala maha besar, apalagi masih ada Mantra "Sapta Buddha Nigha Nirodha Dharani" yang berkekuatan mukjijat serta jutaan nama para Bodhisattva dari gunung pusaka Qingliang dan nama Delapan maha Bodhisattva.
Saat siuman dari tidur, antara percaya dan tidak, Sun mengikuti apa yang diajarkan Sang Bhiksu yang dijumpai dalam mimpi itu. Dengan mengandalkan ingatannya ia menyalin kembali sutra yang diajarkan dalam mimpi (seluruhnya berjumlah 666 huruf), merasa tidak ada kesalahan lagi, segeralah ia menjapakannya sekali demi sekali.
Saat pagi menjelang tiba, Sun baru menyelesaikan penjapaannya yang keseratus kali, tetapi ketika itu, para pelaksana eksekusi sudah datang untuk menjemputnya. Tapi ia tetap meneruskan penjapaannya, bahkan dalam perjalanan menuju tempat pelaksanaan eksekusi ia tetap tidak menghentikan penjapaan sutra itu (di zaman dahulu, tempat pelaksanaan eksekusi adalah di perempatan jalan di pusat kota), tepat di saat eksekusi akan dimulai, ketika sang algojo mengayunkan goloknya, Sun pun sudah menyelesaikan penjapaan sutra yang keseribu kali.
Golok pun diayunkan ke atas leher Sun, tetapi sungguh aneh, sama sekali ia tidak merasakan apa-apa. Juga sedikitpun tidak ada luka pada lehernya. Sebaliknya, golok besar yang diayunkan seakan ditebas ke atas sebongkah besi yang amat keras, sampai-sampai tangan sang algojo terasa menggetar, dan golokpun terputus dan jatuh ke lantai berkeping-keping. Demikian seterusnya, berturut-turut diganti tiga orang algojo pelaksana eksekusi, dan ketiga-tiganya pun mengalami hal yang sama seperti yang pertama. Seakan tidak perduli dengan apa yang terjadi, Sun Jingde yang bersujud di atas tanah tetap menjapakan sutra sambil memejamkan kedua matanya.
Seketika itu, para petugas pelaksana dan pengawas eksekusi serta masyarakat sekitar yang datang menyaksikan eksekusi itu menjadi gempar, mereka mengira Sun memiliki ilmu kebal anti golok, maka eksekusi ditunda sementara, dan Sun dikembalikan ke dalam penjara. Sementara para petugas melaporkan kejadian tsb. kepada atasan mereka. gaohuan, perdana menteri waktu itu yang berasal dari Huaishuo segeara melakukan penyelidikan, dilakukan interogasi lebih lanjut terhadap Sung Jingde, dan akhirnya mengertilah si Perdana Menteri bahwa Sung memang difitnah orang, dan yang menyelamatkan Sun adalah kekuatan mantra dari Avalokitesvara Bodhisattva Berjubah Putih atau Pandaravasini. Untuk itu, Perdana Menteri Gao melapor kepada raja memohon pengampunan untuk Sun serta mengembalikan nama baiknya dan sekaligus menugaskannya kembali ke posnya semula.
Karena mukjijat yang telah ditunjukkan oleh sutra "Avalokitesvara Bodhisattva", maka selain Gaohuan yang memerintahkan seluruh staf istana kerajaan dan masyarakat untuk menyalin dan menjapakan sutra tsb. Sun Jingde yang kembali ke tempat tugasnya semula melihat dengan mata kepala sendiri di leher pratima Avalokitesvara Bodhisattva yang ia dirikan dulu nampak ada tiga tempat cacat seperti bekas tebasan golok. Dalam keharuannya, selain lebih giat memuja dan menjapakan sutra tsb. ia juga mengajak penduduk setempat untuk ikut menyalin dan menjapakan sutra Guanshiyin Jing (Kuan Shi Im Keng).
Perihal kemudian sutra ini berubah nama dengan diberi tambahan kata "gaowang" didepannya, adalah karena Gaoyang (putra Gaohuan) yang mendirikan kerajaan "Qi Utara" setelah merebut kekuasaan dari tangan raja, beranggapan bahwa sutra itu bisa menjadi populer dalam masyarakat adalah berkat jasa orang tuanya (Gaohuan), maka nama sutra itu pun diganti menjadi "Gaohuang Guanshiyin Jing" mengambil nama keluarga "Gao" secara harafiah "Gaohuang Guanshiyin Jing" kira-kira berarti "Sutra Avalokitesvara dari Kaisar Gao".
Di kemudian hari, karena penulisan aksara Huang dirasa rumit, maka digantilah menjadi "Gaowang Guanshiyin Jing/Ko Ong Kuan Si Im Keng" Sutra avalokitesvara dari raja Gao sebagaimana yang kita kenal sekarang. Itulah sekelumit asal-usul nama "Gaowang Guanshiyin Jing" atau " Ko Ong Kuan si Im Keng" yang otentik dan tercatat dalam sejarah. Bukan sebagaimana diklaim oleh beberapa umat Buddha di Indonesia bahwa nama asli sutra tsb adalah "Sutra Raja Agung Avalokitesvara" atau "Sutra Maha Raja Avalokitesvara"
Memang secara harafiah kata "Gao" bisa berarti "Agung" atau "Maha" dan "Wang" bisa diterjemahkan "Raja". Tapi, apakah gabungan kata "Gao Wang" dalam sutra tsb. berarti "Raja Agung" atau "Maha Raja" ? sehingga "Gaowang Guanshiyin Jing" serta-merta menjadi "Sutra Raja Agung Avalokitesvara" atau "Sutra Maha Raja Avalokitesvara" ?
Agar upaya penerjemahan (pen-sansekerta-an) nama sutra tsb. tidak menjadi rancu, ada baiknya kita merujuk kembali pada sejarah ditemukannya sutra tsb. serta darimana, oleh siapa dan mengapa sutra tsb. dinamakan "Gaowang Guanshiyin Jing" atau "Ko Ong Kuan Shi Im Keng" di negeri Tiongkok dulu.
Sebuah artikel karya Fashi Huibo yang pernah dimuat dalam kumpulan tulisan Maha Guru Lu Shengyan kiranya dapat menjelaskan semua persoalan di atas. Di bawah ini adalah isi artikel Fashi Huibo tsb. yang telah disadur secara lengkap ke dalam bahasa Indonesia:
<
atau "Ko Ong Kuan Shi Im Keng" adalah sutra yang sudah lama beredar secara turun temurun di negeri Tiongkok. Jauh sebelum zaman sui dan Tang sutra ini sudah sangat populer. Walaupun tak seorangpun yang menganjurkan bahkan juga tak pernah dimasukkan sebagai salah satu bagian dalam tripitaka, tetapi karena sudah terbukti kemujaraban serta keampuhannya, melalui salinan-salinan tangan pun sutra ini tetap bertahan disebar-luaskan dan diwariskan dari zaman ke zaman secara turun temurun. Di zaman dinasti Qing, beberapa kelompok vihara (antara lain viahara Gushan, vihara Yongquan, dan vihara Chengtian di propinsi Fujian) mulai mempelopori pencetakan dan penerbitan kitab sutra ini. Sampai di jaman Republik, oleh upasaka Ding Fubau (penyusun Kamus besar Buddha Dharma) sutra ini selain diberi beberapa ulasan, juga dimasukkan sebagai salah satu entri dalam "Kamus Besar Buddha Dharma" yang ia susun. Tahun 1971, ulasan yang dibuat oleh upasaka Ding Fubao itu pernah pula diterbitkan oleh (alm) bhiksu Nanning dari Asosiasi Huayanlian di kota taipei. Dalam terbitan itu, selain dilampiri "Tulisan tangan upasaka Zongyue dari Chaoan" juga ditambahkan beberapa keterangan tentang asal-usul sutra tsb.
Dalam keterangan itu, Upasaka Ding Fubao hanya merujuk dan mengutip kitab-kitab seperti
Sejauh yang saya ketahui, selain ketiga sumber tersebut di atas, masih ada lagi
Dahulu kala, di zaman Tianping dinasti Wei Timur (kira-kira sekitar tahun 534 masehi), seorang jendral bernama Sun Jengde ditugaskan ke dingzhou. Karena ia adalah seorang umat Buddha yang mempunyai shrada yang tinggi pada kekuatan Avalokitesvara Bodhisattva, maka ia membangun sebuah pratima avalokitesvara di tempatnya bertugas. Pada waktu senggang, ketika jendral-jendral lain pergi berburu atau berekreasi dengan cara-cara tidak senonoh dan tidak pantas untuk seorang jendral, ia justru menghadap pratima Avalokitesvara Bodhisattva dan melakukan persembahyangan dengan tulusnya.
Kemudian, pada masa tugasnya berakhir dan siap kembali ke ibukota, ia difitnah oleh seorang pejabat licik yang menjebloskannya ke penjara istan. di bawah siksaan berat yang dialaminya bertubi-tubi setiap hari, akhirnya terbaksa Sun menerima dan mengakui tuduhan yang difitnah padanya, sehingga ia dijatuhi hukuman "Penggal Kepala". Pada malam terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, Sun mimpi berjumpa dengan seorang bhiksu, sang bhiksu bertanya padanya:
"Apakah Anda takut?"
"Setiap makhluk hidup pasti memilih hidup daripada mati. Aku pun tak terkecualikan." Jawab Sun "Apalagi saya difitnah orang, terlebih-lebih lagi saya tidak rela!"
"Jangan takut," kata si bhiksu tadi "akan saya ajari kamu menjapakan sutra Avalokitesvara sang penolong, kalau kamu sanggup menjapakannya sampai seribu kali, saya jamin kau tidak akan mati."
Begitu banyak nama para Buddha dan avalokitesvara dalam sutra itu. Hanya menyebutkan nama-nama mereka saja sudah merupakan pahala maha besar, merupakan pahala maha besar, apalagi masih ada Mantra "Sapta Buddha Nigha Nirodha Dharani" yang berkekuatan mukjijat serta jutaan nama para Bodhisattva dari gunung pusaka Qingliang dan nama Delapan maha Bodhisattva.
Saat siuman dari tidur, antara percaya dan tidak, Sun mengikuti apa yang diajarkan Sang Bhiksu yang dijumpai dalam mimpi itu. Dengan mengandalkan ingatannya ia menyalin kembali sutra yang diajarkan dalam mimpi (seluruhnya berjumlah 666 huruf), merasa tidak ada kesalahan lagi, segeralah ia menjapakannya sekali demi sekali.
Saat pagi menjelang tiba, Sun baru menyelesaikan penjapaannya yang keseratus kali, tetapi ketika itu, para pelaksana eksekusi sudah datang untuk menjemputnya. Tapi ia tetap meneruskan penjapaannya, bahkan dalam perjalanan menuju tempat pelaksanaan eksekusi ia tetap tidak menghentikan penjapaan sutra itu (di zaman dahulu, tempat pelaksanaan eksekusi adalah di perempatan jalan di pusat kota), tepat di saat eksekusi akan dimulai, ketika sang algojo mengayunkan goloknya, Sun pun sudah menyelesaikan penjapaan sutra yang keseribu kali.
Golok pun diayunkan ke atas leher Sun, tetapi sungguh aneh, sama sekali ia tidak merasakan apa-apa. Juga sedikitpun tidak ada luka pada lehernya. Sebaliknya, golok besar yang diayunkan seakan ditebas ke atas sebongkah besi yang amat keras, sampai-sampai tangan sang algojo terasa menggetar, dan golokpun terputus dan jatuh ke lantai berkeping-keping. Demikian seterusnya, berturut-turut diganti tiga orang algojo pelaksana eksekusi, dan ketiga-tiganya pun mengalami hal yang sama seperti yang pertama. Seakan tidak perduli dengan apa yang terjadi, Sun Jingde yang bersujud di atas tanah tetap menjapakan sutra sambil memejamkan kedua matanya.
Seketika itu, para petugas pelaksana dan pengawas eksekusi serta masyarakat sekitar yang datang menyaksikan eksekusi itu menjadi gempar, mereka mengira Sun memiliki ilmu kebal anti golok, maka eksekusi ditunda sementara, dan Sun dikembalikan ke dalam penjara. Sementara para petugas melaporkan kejadian tsb. kepada atasan mereka. gaohuan, perdana menteri waktu itu yang berasal dari Huaishuo segeara melakukan penyelidikan, dilakukan interogasi lebih lanjut terhadap Sung Jingde, dan akhirnya mengertilah si Perdana Menteri bahwa Sung memang difitnah orang, dan yang menyelamatkan Sun adalah kekuatan mantra dari Avalokitesvara Bodhisattva Berjubah Putih atau Pandaravasini. Untuk itu, Perdana Menteri Gao melapor kepada raja memohon pengampunan untuk Sun serta mengembalikan nama baiknya dan sekaligus menugaskannya kembali ke posnya semula.
Karena mukjijat yang telah ditunjukkan oleh sutra "Avalokitesvara Bodhisattva", maka selain Gaohuan yang memerintahkan seluruh staf istana kerajaan dan masyarakat untuk menyalin dan menjapakan sutra tsb. Sun Jingde yang kembali ke tempat tugasnya semula melihat dengan mata kepala sendiri di leher pratima Avalokitesvara Bodhisattva yang ia dirikan dulu nampak ada tiga tempat cacat seperti bekas tebasan golok. Dalam keharuannya, selain lebih giat memuja dan menjapakan sutra tsb. ia juga mengajak penduduk setempat untuk ikut menyalin dan menjapakan sutra Guanshiyin Jing (Kuan Shi Im Keng).
Perihal kemudian sutra ini berubah nama dengan diberi tambahan kata "gaowang" didepannya, adalah karena Gaoyang (putra Gaohuan) yang mendirikan kerajaan "Qi Utara" setelah merebut kekuasaan dari tangan raja, beranggapan bahwa sutra itu bisa menjadi populer dalam masyarakat adalah berkat jasa orang tuanya (Gaohuan), maka nama sutra itu pun diganti menjadi "Gaohuang Guanshiyin Jing" mengambil nama keluarga "Gao" secara harafiah "Gaohuang Guanshiyin Jing" kira-kira berarti "Sutra Avalokitesvara dari Kaisar Gao".
Di kemudian hari, karena penulisan aksara Huang dirasa rumit, maka digantilah menjadi "Gaowang Guanshiyin Jing/Ko Ong Kuan Si Im Keng" Sutra avalokitesvara dari raja Gao sebagaimana yang kita kenal sekarang. Itulah sekelumit asal-usul nama "Gaowang Guanshiyin Jing" atau " Ko Ong Kuan si Im Keng" yang otentik dan tercatat dalam sejarah. Bukan sebagaimana diklaim oleh beberapa umat Buddha di Indonesia bahwa nama asli sutra tsb adalah "Sutra Raja Agung Avalokitesvara" atau "Sutra Maha Raja Avalokitesvara"
0 komentar:
Posting Komentar