Pada kesempatan kali ini kita akan mencermati tahapan-tahapan
perkembangan Daoisme yang terjadi sepanjang sejarah Tiongkok. Adapun
pembahasannya dibagi berdasarkan dinasti-dinasti yang silih berganti.
1.Perkembangan keagamaan semasa Dinasti Shang
Dinasti Shang mengenal adanya kelas pendeta (shaman) yang bertujuan
untuk melakukan pemujaan terhadap leluhur ataupun para dewa. Dalam
legenda Tiongkok kuno terdapat para penguasa yang disebut dengan “Tiga
Raja dan Lima Kaisar” (sanhuang wudi). Apa yang dimaksud dengan sanhuang
wudi ini telah kita bahas di atas, sehingga tidak akan diulas panjang
lebar di sini.
Rakyat Shang mengembangkan suatu kepercayaan politeistik yang terdiri
dari berbagai makhluk dewa dan setengah dewa (seperti di Yunani kuno).
Kepercayaan ini berbeda dengan kepercayan dinasti berikutnya yang tidak
lagi bersifat politeistik dan lebih menekankan pemujaan terhadap Langit.
Ini nampak nyata dalam ungkapan Konfusius bahwa masyarakat Shang memuja
guishen (gui artinya hantu dan shen berarti dewa) yang dapat diartikan
sebagai roh-roh alam, sedangkan masyarakat Zhou menghormati tetapi
menjaga jarak terhadap mereka.
2.Para ahli filsafat Daois semasa Zaman Dinasti Zhou
a. Laozi
Perbedaan utama antara Konfusius dan Laozi adalah dalam segi riwayat
hidupnya yang masih diselubungi kegelapan sejarah. Tidak banyak catatan
yang dapat ditemukan mengenai riwayat hidup ahli filsafat yang bernama
asli Li Er ini. Sejarawan terkemuka Tiongkok bernama Sima Qian yang
menulis sekitar tahun 100 sesudah masehi, Laozi berasal dari desa
Churen, propinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di ibu kota
Loyang dari Kerajaan Chu. Marga Laozi adalah Li sedangkan nama
panggilannya adalah Er. Beliau sempat diangkat sebagai seorang ahli
perpustakaan kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Zhou. Sebagai
seorang ahli perpustakaan, ia memiliki kesempatan untuk membaca
literatur-literatur klasik sehingga pada akhirnya juga dikenal sebagai
seorang ahli dalam bidang perbintangan serta peramalan.
Tatkala usianya telah lanjut, Laozi mengundurkan diri dari pekerjaannya
sebagai ahli perpustakaan kerajaan untuk mengasingkan diri. Saat hendak
meninggalkan ibu kota, seorang penjaga gerbang bernama Lin Yixi
menghentikan langkahnya, serta meminta agar dituliskan sebuah kitab.
Permintaan ini diluluskan oleh Laozi. Ia menuliskan sejilid kitab
singkat yang hanya terdiri dari 5000 huruf Tionghua dan setelah itu
menyerahkannya pada sang penjaga gerbang. Laozi meninggalkan ibu kota
dan tidak pernah terdengar kembali kabar beritanya. Kitab singkat yang
berjudul Daodejing itu, untuk selanjutnya menjadi kitab pegangan bagi
para penganut Daoisme.
Berbeda dengan penganut Konfusianisme, Dao menurut Daodejing diartikan
secara metafisik, yakni sebagai bahan dasar penyusun segala sesuatu. Dao
bersifat sederhana dan tanpa bentuk, tanpa keinginan, tanpa nama, serta
tanpa gerakan ataupun daya upaya. Dao ini telah ada sebelum adanya
langit dan bumi. Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh diri
manusia dari Dao, sehingga semakin berkuranglah kebahagiaannya.
Daodejing mengatakan:
Dao adalah bagaikan bejana yang meskipun hampa
Dapat ditimba tanpa hingga
Dan tiada berguna untuk mencoba mengisinya
Begitu luas dan dalamnya
Hingga nampak sebagai yang tertua dari yang ada
Bila terbenam di dalamnya, maka ujung yang paling tajam akan menjadi rata
Masalah tersulit akan sirna
Cahaya gemilang penebar kebahagiaan
Segala yang tak mungkin kembali menjadi sesuatu yang sederhana
Ia adalah setenang alam kematian
Aku tak mengetahui putera siapakah ia .
Berdasarkan kutipan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Dao bagi
penganut Daoisme merupakan sesuatu yang asali sebelum tercemari oleh
pikiran-pikiran bentukan manusia. Oleh karena bersifat asali, ia
bersifat alami pula dan bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan
demikian orang yang menjalankan Dao akan menghindari banyak lagak dan
mementingkan kesederhanaan serta kewajaran. Kitab Daodejing mengajarkan
kembali bagaimana cara hidup sederhana secara wajar:
Sepuluh ribu hal telah terjadi
Dan kusimak semuanya kembali
Betapapun terjadi kesemarakan yang semakin tinggi
Masing-masing pada akhirnya akan berpulang pada kondisi asali
Kembali pada kondisi asali ini berarti mencapai kedamaian abadi
Itulah kedemikianan segala sesuatu
Kedemikian itu merupakan suatu pola tanpa akhir
Memahami pola tanpa akhir itu berarti mencapai pencerahan
Barangsiapa yang tak memahaminya akan kering dan layu oleh musibah
Yang mengenal pola abadi ini akan mencakupi segalanya
Mencakupi segalanya dengan sikap adil sempurna
Adil sempurna menjadikannya seorang penguasa
Seorang penguasa menjadi sama dengan para dewa
Serupa dengan para dewa berarti sejalan dan sehati dengan Dao
Sejalan dan sehati dengan Dao berarti satu dengan Dao itu sendiri, ia tak terbinasakan
Meskipun tubuhnya dapat lenyap ditenggelamkan samudera kehidupan
[Tetapi] akanlah ia luput dari segenap gangguan .
Dari kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Dao mengajarkan manusia
untuk menyelaraskan diri dengan hukum hakiki alam semesta. Terlalu
memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang berada di luar
jangkauannya adalah suatu kesalahan.
b. Zhuangzi dan Liezi
Setelah zaman Laozi, terdapat banyak ahli filsafat terkenal lainnya yang
memberikan kontribusi terhadap perkembangan Daoisme seperti Zhuangzi
(369 SM – 286 SM) dan Liezi (abad 4 SM). Dengan adanya kedua ahli
filsafat tersebut, Daoisme memasuki tahapan baru. Terdapat perbedaan
ajaran-ajaran mereka dengan Daoisme yang lebih awal ataupun filsafat
yang terdapat dalam Daodejing.
Sebelumnya keterlibatan seseorang di dalam politik masih dimungkinkan,
namun Zhuangzi dan Liezi mengajarkan bahwa seorang suciwan mustahil
untuk terlibat dalam politik. Pengertian wuwei (secara harafiah berarti
“tidak berbuat”) berubah menjadi “tidak terlibat” ataupun “membiarkan
sesuatu sebagaimana adanya.” Para suciwan tidak lagi memperdulikan
hal-hal duniawi. Orang awam terperangkap dalam kemashyuran serta
kemewahan, tetapi sebaliknya para suciwan menghindarinya, sehingga
mereka benar-benar terbebas dari segenap permasalahan duniawi.
Perbedaan berikutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Dao
menurut Daodejing adalah kekuatan yang baik. Namun Zhuangzi dan Liezi,
memandang Dao sebagai kekuatan yang bersifat netral. Ia masih merupakan
dasar bagi keberadaan segala sesuatu, tetapi tidak lagi merupakan suatu
kekuatan yang bajik. Lebih jauh lagi menurut keduanya, Dao tidak lagi
memegang kendali atas segala sesuatu di muka bumi ini, apa yang akan
terjadi, pasti terjadi; dan tidak ada sesuatupun yang dapat dilakukan
untuk mencegahnya.
Terlepas dari semua perbedaan tersebut, Ajaran Zhuangzi dan Liezi, masih
memiliki banyak kesamaan dengan Ajaran Daoisme dari periode sebelumnya.
Dao masih dipandang sebagai sesuatu yang tak bernama, tanpa bentuk,
serta tak dapat dipahami dengan rasio manusia biasa. Mereka yang dapat
memahami hakekat Dao beserta cara bekerjanya, adalah orang yang
tercerahi.
Di dalam Daodejing, Dao dipandang sebagai asal muasal segala sesuatu.
Zhuangzi mengolah kembali pandangan ini dengan mengatakan bahwa segala
sesuatu memiliki asal muasal yang sama. Tidak ada sesuatupun yang lebih
berharga dibandingkan yang lainnya. Begitu pula manusia tidak lebih
berharga dibandingkan hewan. Selain mengajarkan prinsip kesetaraan
segala sesuatu ini, Zhuangzi juga mengajarkan bahwa hidup ini mengalami
transformasi yang terus menerus dari Dao.
Zhuangzi mewariskan pada kita sebuah kitab yang diberi judul namanya
sendiri yakni kitab Zhuangzi. Kitab ini memiliki judul lain yang
berbunyi Nanhua zhenjing (Kitab Klasik Kemurnian dari Nanhua). Di
dalamnya juga terdapat pandangan shamanistik mengenai para suciwan,
misalnya dikatakan bahwa mereka dapat terbang ke langit, berbicara
dengan hewan, serta memiliki kekuatan-kekuatan atas unsur-unsur alam.
Sedangkan Liezi meninggalkan sebuah kitab yang juga diberi judul sesuai
dengan namanya.
Zhuangzi dikatakan lahir di Tiongkok bagian tengah yang kini terletak di
Propinsi Henan serta mempunyai jabatan rendah dalam pemerintahan. Hanya
sedikit riwayat yang kita kenal mengenai dirinya. Kitab hasil karyanya
itu terdiri dari 33 bagian, yang masih dibagi lagi menjadi bagian “luar”
dan “dalam.” Bagian “dalam” meliputi tujuh bagian pertama. Sebagian
besar di antara tujuh bagian pertama ini dianggap otentik oleh para
ahli, sedangkan bagian selanjutnya diduga sebagian besar palsu. Zhuangzi
mengajarkan relativitas dari segala sesuatu, sebagaimana yang nampak
dari kutipan menarik Kitab Zhuangzi berikut ini:
Suatu kali, aku, Zhuang Zhou (nama pribadi Zhuangzi – penulis), bermimpi
bahwa aku menjadi kupu-kupu dan merasa bahagia sebagai kupu-kupu. Saya
merasa sadar bahwa saya merasa cukup puas dengan diri saya sendiri,
namun saya tidak mengetahui bahwa saya adalah Zhou. Tiba-tiba aku
terjaga, dan jelas sekali aku adalah Zhou. Saya tidak tahu apakah apakah
Zhou yang bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah sang kupu-kupu yang
bermimpi menjadi Zhou. Antara Zhou dan kupu-kupu pastilah terdapat
perbedaan. Inilah yang disebut transformasi segala sesuatu.
Relativitas segala sesuatu ini makin ditegaskan pada kutipan berikut ini:
Bila seseorang tidur di tempat yang basah, maka ketika bangun, ia akan
merasa bahwa punggungnya sakit.... namun apakah hal yang sama berlaku
pada seekor belut? Jika seseorang mencoba untuk berdiam di atas pohon,
maka ia akan pingsan karena ketakutan. Namun hal yang sama berlaku pada
seekor monyet? Di antara ketiga hal ini, manakah yang mengetahui habitat
yang [paling] benar untuk hidup? Manusia makan daging, rusa makan
rumput, kelabang menyukai ular, burung hantu dan burung gagak memakan
tikus. Dapatkah Anda mengatakan manakah makanan yang [paling] benar di
antara keempat makhluk ini?... Orang memandang Mao Chiang dan Li Ji
sebagai wanita-wanita tercantik, tetapi begitu melihat mereka, ikan-ikan
menyelam jauh ke dalam air [untuk menyembunyikan diri] dan sementara
itu burung-burung lari beterbangan... [Lalu jika demikian], manakah
tolok ukur yang benar mengenai kecantikan?
Sebagaimana halnya ajaran yang terkandung di dalam Daodejing, Zhuangzi
juga mengatakan bahwa memaksa mengusahakan sesuatu di luar kemampuan
kita adalah suatu kekeliruan. Ia mengatakan:
Mereka yang memahami kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang
tidak diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami nasib tidak akan
mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan .
Sikap untuk tidak terlalu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu ini
mendorong timbulnya gerakan pertapaan bagi kaum Daois, dimana hal ini
ditentang oleh penganut Konfusianisme yang mengajarkan diri untuk tidak
menarik diri dari masyarakat.
Kini kita akan mengutip sedikit ajaran Liezi:
Tak ada seorangpun yang berusia lebih dari seratus tahun, dan tidak
ada satu dari seribu orang yang dapat mencapai usia seratus. Dan bahkan
orang yang satu ini menghabiskan setengah dari kurun waktu kehidupannya
sebagai anak yang tak berdaya atau orang tua yang sudah pikun. Dari
waktu yang tersisa, setengahnya dihabiskan untuk tidur atau terbuang
pada siang hari. Selanjutnya dari sekian waktu yang tersisa dari itu
semua, ia masih didera oleh rasa sakit, penyakit, kesedihan, dendam,
kematian, kerugian, kekhawatiran, serta ketakutan. Dalam kurun waktu
sepuluh tahun atau lebih boleh dikatakan bahwa tidak sampai satu jam
seseorang dapat merasakan kedamaian terhadap diri sendiri dan
lingkungannya, tanpa diganggu oleh rasa cemas.
[Bila demikian] untuk apakah manusia hidup? Apakah kesenangan yang dapat
diperoleh dari kehidupan itu? Apakah kita hidup untuk menikmati
keindahan serta kekayaan? Apakah untuk menikmati keindahan suara dan
warna semata? Bukankah ada saatnya ketika ketika keindahan dan kekayaan
tidak lagi memenuhi kesenangan hati, dan ada pula saatnya ketikga suara
dan warna menjadi sesuatu yang mengganggu telinga serta mata.
Apakah kita hidup agar ditakut-takuti sehingga tunduk pada hukum dan
kadang-kadang bertindak nekad [melawan hukum] karena didorong oleh upah
atau ketenaran? Kita merusak diri sendiri dengan berusaha mati-matian
merangkak ke atas, sambil berusaha untuk mereguk pujian dangkal yang
diperdengarkan satu jam semata. Mencari akal untuk menemukan bagaimana
caranya nama baik kita tetap dikenang setelah kematian. Kita bergerak
melintasi dunia dalam suatu celah sempit yang penuh dengan berbagai hal
remeh yang kita lihat serta dengar, sambil berpikir berdasarkan
prasangka-prasangka, mengabaikan kenyamanan hidup, tanpa menyadari bahwa
kita telah kehilangan segala-galanya.
Orang di zaman dahulu menyadari bahwa kehidupan dan kematian datang
secara tiba-tiba. Mereka tidak mengingkari salah satupun dari
keinginan-keinginan alami mereka, dan tidak pula menekan satupun di
antara hasrat-hasrat mereka. Mereka menyimak melalui kehidupan, sambil
memperoleh kesenangan yang digerakkan oleh detak jantung mereka. Karena
tidak mempedulikan ketenaran setelah kematian, maka mereka mengatasi
hukum. Mereka tidak pula mempedulikan nama serta pujian, cepat atau
lambat, usia panjang atau pendek...
Ungkapan Liezi di atas mengajarkan manusia untuk merenungkan hakekat
kehidupan mereka. Manusia telah lahir dalam suatu dunia yang tidak ikut
diciptakannya sehingga tidak dapat dipahaminya secara penuh. Hal ini
diperberat lagi oleh belenggu-belenggu kewajiban serta ketakutan.
Manusia masih membebani dirinya dengan tuntutan pada diri sendiri agar
melakukan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Kita meneladani
ajaran ini dengan tidak merasa cemas, menghadapi hidup sebagaimana
adanya, dan tidak terperangkap oleh keinginan yang tidak bermanfaat.
c. Perbedaan pandangan lainnya antara Daoisme dan Konfusianisme
Penganut Daoisme dan Konfusianisme memiliki perbedaan pandangan dalam
hal keadilan. Untuk memperjelas hal ini kita akan mengutip apa yang
diungkapkan Alan Watts dalam bukunya Tao of Philosophy:
Ada kata lain bagi keadilan (justice), atau hukum. Dalam bahasa
Tionghua, istilah ini berarti ketel beserta sebilah pisau untuk memasak
korban persembahan. Dalam peradaban Tiongkok kuno, kaisar menuliskan
hukum-hukum negara dengan sebilah pisau di samping ketel, sehingga
ketika korban di bawa untuk dimasukkan dalam ketel itu, mereka yang
membawa korban dapat membaca dan mengerti maksudnya. Walaupun demikian,
penasihat kaisar mengatakan bahwa tindakan itu sangat buruk, karena pada
saat hukum itu dibaca, muncullah keinginan untuk melanggarnya. Mereka
yang membaca hukum tadi justru memikirkan cara-cara untuk melanggarnya,
dan itulah yang kita lakukan selama ini. Tatkala kongres mengesahkan
sebuah undang-undang – khususnya undang-undang pajak – semua penasihat
hukum berkumpul dan mencari celah-celah untuk melanggarnya. Mereka
mengatakan, “Undang-undang pajak ini ternyata tidak mendefinisikan ini
dan itu.” Demikian juga dengan sebagian pengikut Konfusius yang ingin
menertibkan bahasa dan membuat semua kata mempunyai arti
setepat-tepatnya, tetapi para penganut Daois mentertawakan mereka dan
berkata, “Jika Anda mendefinisikan kata-kata, dengan kata-kata apa Anda
akan mendefinisikan kata-kata yang mendefinisikan kata-kata itu?”
Sehingga, penganut Daoisme menyatakan bahwa kaisar jangan menuliskan
hukum karena rasa keadilan bukan sesuatu yang dapat dirumuskan dengan
kata-kata. Para penasihat hukum menyebutnya “keadilan” (equity). Jika
Anda membicarakan beragam hakim dengan penasihat hukum manapun, ia akan
berkata, “Hakim Smith lebih mengacu pada hukum secara harafiah, namun
hakim Jones mempunyai rasa keadilan. Hakim Jones tahu dalam kasus khusus
apa suatu hukum ternyata tidak dapat diterapkan. Ia mempunyai
kecenderungan untuk “bermain sportif,” dan figur seperti itulah yang
dipercaya menjadi hakim.”
Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Konfusianisme
berusaha menuangkan hal-hal yang sesungguhnya abstrak seperti halnya
“keadilan,” ke dalam kata-kata atau hukum tertulis. Sedangkan Daoisme
mengatakan bahwa “keadilan” yang sejati tidak dapat dituangkan dengan
kata-kata. Menurut hemat penulis kedua-duanya tidak ada yang salah.
Meskipun benar bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan
kata-kata dan hukum masih dapat dicari celahnya, tetapi hukum tetap saja
diperlukan. Tidak dapat dibayangkan apabila suatu negara tidak memiliki
hukum. Jadi semuanya memiliki proporsi kebenaran sendiri-sendiri.
3.Berdirinya Daoisme sebagai lembaga keagamaan pada zaman Dinasti Han
Daoisme baru menjelma menjadi suatu agama yang terorganisasi pada masa
Zhang Daoling yang hidup semasa Dinasti Han Timur. Meskipun demikian
proses transformasi ini tidak akan terjadi begitu saja tanpa
faktor-faktor pendukungnya. Berikut ini kita akan mempelajari hal-hal
apa saja yang menjadi pendorong bagi proses tersebut.
Pada masa akhir Dinasti Zhou yang terpecah menjadi beberapa negara,
banyak orang yang terpelajar yang berkeliling untuk menjajakan kemampuan
mereka sebagai ahli ketata-negaraan maupun penasehat politik. Mereka
berkeliling untuk mencari raja atau penguasa yang bersedia memanfaatkan
jasa mereka. Profesi mereka pada masa sekarang dapat disamakan dengan
para konsultan dari berbagai bidang. Dengan penyatuan Tiongkok di bawah
Dinasti Qin, praktis jasa mereka tidak diperlukan lagi. Dinasti Han yang
merupakan kelanjutan dari Dinasti Qin juga memerintah seluruh Tiongkok.
Sama dengan Dinasti Qin, mereka menerapkan sistim pemerintahan yang
terpusat serta membatasi kekuasaan para bangsawan. Dengan demikian
persatuan negara menjadi kuat. Sistim pemerintahan terpusat tersebut
menjadikan kaum terpelajar yang sebelumnya berkeliling menjajakan jasa
mereka tidak diperlukan lagi keberadaannya.
Sebelumnya banyak dari mereka yang juga menguasai kemampuan gaib,
seperti meramal nasib, penyembuhan, dan memperpanjang usia. Karena
pengetahuan mereka dalam bidang ketata-negaraan serta politik tidak
diperlukan lagi, dilakukanlah alih profesi dengan memanfaatkan kemampuan
lain tersebut. Pada masa Dinasti Qin dan Han awal, mereka membentuk
suatu kelompok masyarakat tersendiri yang disebut dengan fangshi. Kata
ini sendiri berarti “ahli ilmu gaib” (masters of formulae). Secara umum
mereka terbagi menjadi dua, yakni yang mengkhususkan diri pada ilmu
gaib, peramalan serta penyembuhan dan mereka yang mengkhususkan diri
pada ilmu pemanjang usia serta rahasia hidup abadi. Masing-masing
golongan ini hadir guna memenuhi harapan kedua kelompok masyarakat yang
berbeda. Kaum kaya lebih menginginkan umur panjang serta hidup abadi,
sedangkan kaum miskin tidak memerlukannya. Kehidupan mereka diliputi
kesengsaraan, sehingga memperpanjang hidup bagi mereka sama saja dengan
memperpanjang penderitaan. Sebaliknya kaum miskin yang antara lain
terdiri dari petani, lebih menghendaki jaminan panen yang baik dan
kesehatan diri beserta anggota keluarganya, sehingga dapat bekerja di
ladang dengan lancar. Para fangshi memenuhi segenap dambaan mereka
dengan menuliskan jimat yang berisikan simbol-simbol tertentu serta
kata-kata yang dipercaya mengandung kekuatan gaib. Tujuannya adalah
untuk mengundang roh-roh suci agar memberikan kesembuhan dari penyakit,
perlindungan, serta mengabulkan setiap harapan. Jadi kaum fangshi ini
kemudian menjadi semacam kelas pendeta di tengah-tengah masyarakat pada
zaman itu, dimana kelas kependetaan semacam ini sebelumnya belum dikenal
dalam Daoisme.
Faktor pendorong lain, adalah ajaran seorang ahli filsafat bernama Mozi
(± 480 – 390 SM). Beliaulah yang mengawali tradisi suatu agama
terorganisasi dengan mendirikan altar-altar guna memuja roh-roh halus
lokal. Para pengikut Mozi yang disebut kaum Mohis, mengajak rakyat untuk
memuja altar-altar itu. Meskipun Ajaran Mozi (Mohisme) kehilangan
pengaruhnya pada masa Dinasti Han, tetapi tetap saja rakyat masih
melakukan pemujaan semacam itu, yang kemudian diambil alih oleh Daoisme.
Faktor ketiga yang mendorong perubahan Daoisme menjadi suatu agama,
adalah melemahnya upacara ritual kerajaan yang dilakukan oleh para
shaman. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, para raja Dinasti
Zhou memanfaatkan jasa para shaman untuk melakukan upacara keagamaan
bagi mereka. Lambat laun makna dari upacara keagamaan tersebut menjadi
tidak dikenal lagi, sehingga upacara tersebut merosot menjadi semacam
rutinitas belaka. Karenanya upacara semacam itu tidak dapat lagi
memuaskan kebutuhanan spiritual pada masa itu. Akhir upacara-upacara
kuno yang diorganisasi kerajaan terjadi semasa Dinasti Han, di mana
kaisar memutuskan untuk menganut Daoisme, dengan mendirikan altar pada
tahun 150 M guna menghormati Lao Zi. Posisi para shaman penyelenggaran
upacara ritual kerajaan digantikan oleh para fangshi.
Demikianlah tiga prasyarat untuk menjadikan Dao suatu agama tersedia
sudah: kelas kaum pendeta, sistim pemujaan, dan dukungan kerajaan. Pada
masa inilah Zhang Daoling tampil ke panggung sejarah. Semasa mudanya,
Zhang Daoling mempelajari kitab-kitab klasik Konfusianisme, namun
kemudian beralih pada ajaran-ajaran Lao Zi serta ilmu memperpanjang
umur. Ia lalu pindah ke wilayah Shu (Yunnan sekarang), yang pada masa
itu merupakan daerah terpencil serta bergunung-gunung. Daerah tersebut
didiami oleh suku-suku yang mempraktekkan kepercayaan shamanistik kuno.
Bagi orang yang tinggal di desa-desa terpencil semacam itu, roh-roh
adalah sesuatu yang nyata dan ilmu gaib adalah pusat kehidupan mereka.
Zhang Daoling menyatakan bahwa ia menerima ajaran langsung dari Lao Zi,
yang juga memberikannya kekuatan guna menyembuhkan penyakit serta
menaklukkan roh-roh jahat. Karena keampuhan air yang telah dibubuhi abu
hasil pembakaran jimatnya, Zhang berhasil menarik banyak pengikut. Jimat
tersebut adalah sehelai kertas kuning yang ditulisi simbol-simbol
tertentu dengan warna merah. Kebanyakan simbol-simbol tersebut merupakan
sarana untuk memanggil roh-roh atau makhluk suci. Zhang menciptakan
suatu agama yang berpusat pada dirinya sendiri, ia memberikan gelar Lao
Zi sebagai Taishang Laoqun (Penguasa Agung nan Tinggi). Zhang Daoling
dan keturunannya kemudian menjadi pemimpin gerakan keagamaan itu.
Gerakan keagamaan ini disebut dengan wudoumidao atau “Jalan Lima Gantang
Beras,” karena orang yang ingin bergabung diharuskan membayar sumbangan
sejumlah lima gantang beras. Pujaan utama aliran keagaman ini adalah
Lao Zi yang dipandang sebagai pendiri Daoisme (kendati Zhang Daoling
yang mentransformasikan Daoisme menjadi suatu agama). Zhang Daoling dan
keturunannya menyebut diri mereka sebagai “Guru-guru Langit” (Tianshi)
dan menjadi perantara antara para dewa dan umat awam. Namun, hal
terpenting di atas semua itu adalah agama baru ini dapat memenuhi
kebutuhan spiritual masyarakat. Zhang Daoling dan pengikutnya
menciptakan suatu sistim keagamaan lengkap dengan kaum pendeta, kitab
suci, upacara ritual, dan ilmu gaibnya. Mereka memerintah bagaikan paus
atas sistim keagamaan baru tersebut.
Karya Daois yang ditulis pada zaman ini adalah Taipingjing (Kitab
Perdamaian dan Keseimbangan), yang membahas berbagai hal, seperti
penciptaan dunia, pentingnya upacara ritual, aturan moralitas,
pahala-pahala, hukuman, serta ilmu menambah kesehatan dan umur panjang.
Kitab penting lainnya adalah Huainanzi yang ditulis pada pertengahan
abad ke-2 SM oleh seorang pangeran wilayah Huainan (inilah yang
menyebabkan mengapa ia juga disebut Huainanzi) yang bernama Liu An –
cucu Liu Bang. Isinya mengisahkan legenda para dewa gunung yang memiliki
kepala manusia dan tubuh naga. Selain itu disebutkan mengenai Gunung
Kunlun tempat seseorang dapat mencapai keabadian. Para kaisar lalu
berusaha menghubungkan dirinya dengan dewa-dewa melalui upacara rumit
yang dipimpin oleh pendeta Daois. Pada zaman ini tidak hanya kaisar saja
yang memiliki harapan untuk meminta bantuan kekuatan kosmis dan
meramalkan masa depan, karena hal ini juga dipraktekkan oleh rakyat
jelata. Timbul peningkatan minat terhadap hal-hal gaib keagamaan.
Pada zaman Dinasti Han ini pula timbul kultus pemujaan terhadap seorang
dewi bernama Xiwang Mu atau Xiwang Shengmu (Hokkian: See Ong Bo atau See
Ong Seng Bo) yang berarti Ibu Suci dari Barat. Ia dikabarkan memiliki
surga yang diliputi keajaiban. Di sana tumbuh pohon dan sungai
keabadian. Terdapat pula hewan-hewan ajaib seperti gagak dengan tiga
kaki, kura-kura ajaib, serigala berekor sembilan, dan lain sebagainya
yang menghasilkan obat-obatan panjang usia. Rakyat yang berasal dari
berbagai kalangan memohon berkahnya dan kuil pemujaannya-pun didirikan
di seantero negeri. Bersamaan dengan itu, muncul pula ramalan akan
segera berakhirnya Dinasti Han yang benar-benar terjadi dengan perebutan
kekuasaan oleh Wang Mang.
4. Perkembangan semasa Zaman Tiga Negara
Pada bagian sebelumnya kita telah menyinggung mengenai Zhang Daoling
beserta organisasi keagamaan yang didirikannya. Kita telah mengetahui
pula bahwa Dinasti Han berakhir pada tahun 220 dan terpecah menjadi tiga
negara, yakni: Wei, Wu, dan Shu. Organisasi keagamaan yang didirikan
oleh Zhang Daoling itu, kini dipimpin oleh Zhang Lu, cucu Zhang Daoling
dan diakui oleh Kerajaan Wei sebagai Zhengyi Mengwei (Aliran Ortodoks
Utama) dari Taoisme. Belakangan, aliran tersebut juga disebut dengan
Tianshi Dao (Aliran Para Guru Kedewaan).
Kitab Daois penting yang ditulis pada zaman ini adalah Taishang Lingbao
Wufujing (Kitab Pewahyuan Tertinggi Lima Jimat dari Roh Suci). Ini
merupakan kitab pertama dari kumpulan kitab-kitab Lingbao (Roh Suci). Di
dalam kitab ini dapat dijumpai mengenai jimat untuk melindungi serta
memanggil roh-roh suci, penggambaran kosmologi alam kedewaan, teknik
meditasi, serta resep-resep untuk meramu obat hidup abadi.
Aliran filosofi Daois lainnya berkembang adalah apa yang dinamakan
Aliran Misteri. Tokoh-tokohnya adalah He Yan (wafat tahun 249), yang
mengarang sebuah karya berjudul Wuminglun (Risalah Mengenai yang Tak
Bernama), Wang Bi (226 – 249), seorang ahli filsafat cendekia yang wafat
pada usia 23 tahun dan telah menulis komentar terhadap kitab Laozi dan
Yijing, Xiang Xiu (223? – 300), pengarang komentar terhadap kitab
Zhuangzi, Guo Xiang (wafat 312) yang menambahkan komentarnya sendiri
pada kitab karangan Xiang Xiu, dan Pei Wei (267 – 300) yang mengarang
Chongyoulun (Risalah Mengenai Keberadaan). Aliran Misteri membahas
masalah-masalah metafisika yang rumit, seperti masalah Keberadaan dan
Ketidak-beradaan, yang dipandang bukan sebagai sesuatu yang berlawanan,
melainkan sesuatu yang tak terpisahkan satu sama lain.
5.Perkembangan Daoisme semasa Dinasti Jin
Ge Hong (281 – 340) adalah seorang ahli patologi dan alkimia terkemuka
semasa Dinasti Jin serta dikenal pula sebagai tokoh Daoisme. Ia
dilahirkan di daerah yang sekarang menjadi bagian Propinsi Jiangsu dan
telah mengalami kehidupan yang sulit serta miskin semasa mudanya. Ia
harus bekerja sebagai penebang kayu, agar dapat membeli kertas dan tinta
- dua perlengkapan yang wajib dimiliki seorang pelajar. Karena tidak
memiliki cukup uang untuk bersenang-senang, Ge Hong lebih memilih untuk
menenggelamkan diri dalam literatur-literatur kuno dan melatih senam
pernafasan. Dengan segera ia menjadi salah seorang murid terpandai
pamannya yang bernama Ge Xuan, yang mengajarkan padanya rahasia ilmu
pengobatan tradisional Tiongkok kuno. Semasa pemberontakan Shibing yang
terjadi sekitar tahun 302 – 303, Ge Hong diangkat sebagai pejabat dan
berhasil memadamkan pemberontakan itu. Oleh karena jasanya ini, ia
diangkat sebagai penasehat militer gubernur setempat. Ge Hong kemudian
membaktikan sisa hidupnya untuk menemukan ramuan obat panjang umur dan
mempelajari Dao. Ia wafat saat berusia 81 tahun. Legenda mengatakan
bahwa ketika peti jenazahnya hendak dibawa ke pemakaman, ternyata peti
itu kosong, sehingga masyarakat meyakini bahwa Ge Hong telah menjadi
dewa.
Ge Hong pada sekitar tahun 326 menulis sebuah kitab berjudul Baopuzi
Neiwaipian. Isinya membahas mengenai alkimia, ilmu tentang diet, dan
kegaiban. Karya ini sangat dijunjung tinggi oleh umat Daois hingga
sekarang. Saran-saran Ge Hong di dalam Baopuzi yang berhubungan dengan
kesehatan ternyata masih relevan hingga saat ini. Sebagai contoh pada
bab Yangshen ia menganjurkan kita untuk berpakaian hangat sebelum merasa
kedinginan, makan sebelum merasa lapar, berhenti makan sebelum
kekenyangan, bila minum alkohol jangan terlalu lama begadang, jangan
tidur di udara terbuka, jangan tidur terlalu lama, jangan bekerja
berlebihan, makan teratur serta secukupnya, dan lain sebagainya. Ge Hong
juga mengajarkan bahwa memperkuat qi (energi vital kehidupan) melalui
latihan pernafasan serta menambah darah melalui makanan dan vitamin
tertentu dapat memperpanjang usia kita. Prinsip latihan itu adalah
“membuang” nafas yang lama dan menarik nafas yang baru. Ia menjelaskan
sebagai berikut:
Manusia hidup di tengah-tengah udara, sebagaimana halnya udara (nafas)
di dalamnya. Semua makhluk di muka bumi ini, tidak ada yang dapat hidup
tanpa udara. Jika seseorang menguasai teknik pernafasan, maka hal ini
dapat menunjang kesehatan tubuhnya dari dalam. Dengan demikian, ini akan
melindungi dirinya terhadap pengaruh merusak dari luar. Siklus alami
nafas mengikuti aturan sebagai berikut: dari tengah malam sampai tengah
hari merupakan masa pembangkitan nafas (shengqi, yang secara harafiah
berarti “nafas hidup”), sedangkan dari tengah hari hingga tengah malam
merupakan masa siqi atau “nafas mati.” Oleh karenanya, pada kurun waktu
ini seseorang harus banyak menghirup nafas. Teknik pernafasan (yinqi)
meliputi hal-hal sebagai berikut: seseorang menghirup nafas melalui
hidungnya. Hiruplah banyak udara tetapi sedikit menghembuskannya lagi.
Hiruplah udara, lalu tahanlah nafas. Berikutnya bernafaslah secara
perlahan-lahan dan tanpa suara. Jika seseorang menguasa hal ini dengan
sempurna, ia dapat menahan nafas dalam jangka yang waktu yang cukup
lama, [bahkan] hingga mencapai hitungan ke-1000. Inilah yang disebut
taixi (benih nafas) .
Dalam bidang patologi, Ge Hong menyumbangkan pembahasan mengenai
penyakit cacar, beri-beri, dan juga penyakit lainnya. Bahan-bahan bagi
resep obat Ge Hong tergolong murah tetapi manjur, sehingga cocok bagi
rakyat kebanyakan.
Pada bagian ini, kita akan membahas kelanjutan perkembangan Aliran
Tianshi Dao terlebih dahulu. Di atas telah diuraikan bahwa Sima Yan
mempersatukan Tiongkok kembali dan mendirikan Dinasti Jin. Namun pada
tahun 317 M, mereka terpaksa melarikan diri ke selatan oleh karena
serangan suku bangsa barbar dari utara. Dengan didukung oleh orang-orang
yang masih setia pada Dinasti Jin, mereka mendirikan Dinasti Jin Timur.
Di antara para pengikut setia Dinasti Jin, terdapatlah Sun Yin dan Lu
Dun. Mereka berdua adalah pengikut Aliran Tianshi Dao dan dipandang
sangat berjasa dalam menegakkan kembali Dinasti Jin. Kerajaan kemudian
memberikan sokongan bagi aliran tersebut, sehingga menjadikannya makin
berkembang.
Perkembangan penting lainnya yang mewarnai Daoisme pada kurun waktu ini
adalah timbulnya suatu aliran pemikiran yang disebut dengan Neo-Daoisme.
Runtuhnya Dinasti Han yang diikuti oleh zaman kekacauan, menjadikan
banyak mantan pejabat dan kaum cendekiawan memilih untuk mengasingkan
dirinya. Mereka lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan menulis
puisi atau mempelajari berbagai aliran filosofi termasuk Daoisme. Inilah
yang menjadi cikal bakal bangkitnya gerakan Neo-Daoisme. Kaum
cendekiawan dan mantan pejabat itu merasa menemukan kebebasan dalam
gagasan mendasar Daoisme yang disebut dengan “spontanitas” atau
“kealamian” (ziran). Secara praktis ini berarti bahwa seseorang dapat
bertindak atau berkata seturut kehendak hatinya tanpa dibatasi oleh
aturan-aturan kaku dalam masyarakat. Meskipun seseorang dapat bertindak
atau berkata seturut kehendak hatinya, tetapi itu semua harus dilandasi
oleh spontanitas atau kealamian. Dengan kata lain segenap tindakan itu
tidaklah didasari oleh niat-niat tidak baik seperti kebencian, iri hati,
kemarahan, keserakahan, dan lain sebagainya. Oleh karena hal-hal
negatif itu akan menjadikannya tidak murni, alami, atau spontan lagi.
Para penganut Neo-Daoisme mulai menyadari adanya kemiripan antara
gagasan-gagasan mereka dengan Buddhisme, seperti dalam hal konsep
“kekosongan” (sunyata). Inilah yang mendorong sintesa antara Daoisme dan
Buddhisme. Salah seorang penganut Neo-Daoisme yang bernama Liu Qiu (438
– 495) menyatakan:
Dari Gunung Kunlun ke arah timur (maksudnya Tiongkok – penulis) istilah
“Kesatuan Agung” dipergunakan. Sementara itu dari Kashmir ke arah barat
(maksudnya lingkup pengaruh budaya India – penulis), dipergunakan
istilah sambodhi. Terlepas dari seseorang memusatkan perhatian pada
prinsip “ketidak-beradaan” (non-being, istilah Daois – penulis) atau
pada “kekosongan” (emptiness, istilah Buddhis – penulis) prinsip
dasarnya adalah sama saja .
Tokoh lainnya yang bernama Fan Ye (398 – 445) juga memiliki pendapat sama dengan menyatakan:
Bila kita mengamati lebih dekat lagi ajaran Buddhisme mengenai pemurnian
pikiran dan pencapaian kebebasan dari belenggu kehidupan, ajaran
tersebut menekankan pula daya upaya untuk membuang [pandangan dualistis]
akan “tiada” dan “ada,” dimana kita memandangnya sebagai sesuatu yang
selaras dengan Daoisme .
Untuk jelasnya, kita akan membahas terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan pandangan dualistis ini. Kita cenderung untuk memandang sesuatu
berdasarkan dua kutub pandangan yang berbeda, seperti baik – buruk,
menyenangkan – tidak menyenangkan, untung – rugi, dan lain sebagainya.
Ternyata bila direnungkan secara lebih mendalam, pandangan dualistis ini
tidak mencerminkan realita yang sebenarnya. Sebagai contoh, Anda
mengatakan bahwa seseorang adalah baik, tetapi orang lain mungkin
mengatakan yang sebaliknya. Sehingga kriteria itu tidak memiliki nilai
kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu, para penganut pandangan
filosofis ini menganjurkan untuk membuang pandangan dualistis semacam
itu.
Kedekatan antara Buddhisme dan Neo-Daoisme ini disebabkan karena para
penganutnya berasal dari kalangan yang kurang lebih sama dengan para
bhikshu Buddhis, yakni dari kaum bangsawan ataupun pejabat.
6.Perkembangan semasa Zaman Dinasti Utara-Selatan
Tokoh Daois terkemuka yang hidup pada zaman ini adalah Kou Qianzhi yang
sudah kita singgung di atas, ia merupakan seorang sarjana serta pendeta
Daois terkemuka pada masanya. Kou menjadi penasehat spiritual bagi para
penguasa Dinasti Wei Utara, oleh karena diperkenalkan namanya oleh Cui
Hao. Kou Qianzhi lalu mendirikan cabang utara Aliran Tianshi Dao. Aliran
yang didirikannya ini lebih mementingkan pada upacara dan liturgi
keagamaan dan berbeda dengan Aliran Tianshi Dao asli yang mementingkan
ilmu pembuatan jimat. Dengan diilhami oleh sila-sila dan vinaya (aturan
moralitas) Buddhisme, Kou Qianzhi menciptakan aturan mengenai apa yang
dilarang dan harus dilakukan oleh seorang praktisi Dao. Para penguasa
Kerajaan Wei Utara sangat terkesan dengan Kou Qianzhi dan menjadikan
bentuk Aliran Tianshi Dao yang diperkenalkannya sebagai agama negara.
Tetapi, ketika kaisar memutuskan untuk membantai seluruh biarawan
Buddhis, Kou memprotes hal itu.
Lu Xiujing, merupakan tokoh Aliran Tianshi Dao di Tiongkok Selatan. Jasa
pentingnya adalah pengumpulan menjadi satu kitab-kitab Taois, yang
menjadi inti bagi kanon kitab suci Taoisme pada masa sekarang. Pada
masanya jumlah kitab suci Taois telah semakin banyak jumlahnya. Di
samping kitab-kitab Daodejing, Zhuangzi, dan Liezi yang telah dibahas
pada bagian terdahulu, timbul pula kitab-kitab mengenai ramuan-ramuan
serta teknik untuk mencapai keabadian yang diwariskan oleh para fangshi.
Selain itu masih terdapat pula kitab-kitab Lingbao, yang pada jaman Lu
telah berjumlah 50 jilid. Sebagai tambahan timbul pula jenis kitab-kitab
baru yang disebut kitab-kitab Shangqing. Kitab-kitab ini merupakan
pertanda masuknya mistisisme dalam Daoisme.
Dengan diilhami oleh kanon Tripitaka Buddhis, Lu menyusun kanon Kitab
Suci Taois (Daozang) yang dipublikasikan pada tahun 471. Susunannya
terbagi menjadi dua bagian besar, yakni “bagian besar” dan “bagian
kecil.” Bagian besar terbagi menjadi tiga bagian yang disebut Dongzhen
(Gua Realisasi), Dongxuan (Gua Rahasia-rahasia), dan Dongshen (Gua
Roh-roh suci). Empat “bagian kecil” terbagi lagi menjadi empat, yakni
Taixuan (Misteri Agung), Taibing (Keseimbangan Agung), Taiqing
(Kemurnian Agung), dan Zhengyi (Kitab-kitab Klasik Ortodoks). Kanon ini
telah mencakup semua naskah dari berbagai bentuk utama Daoisme masa itu,
yakni aliran yang mengembangkan ilmu memperpanjang usia, ilmu gaib dan
upacara-upacara dari Aliran Tianshi Dao dan Taoisme Mistik yang kemudian
dikenal sebagai Aliran Shangqing. Pada saat kematian Lu Xiujing pada
tahun 477, Daoisme telah memiliki pengaruh penting di Tiongkok Selatan.
Atas jasanya itu, Daoisme menjadi agama yang dapat diterima oleh semua
kalangan masyarakat.
Di atas kita telah menyinggung sedikit mengenai kumpulan kitab Daoisme
baru yang disebut dengan Shangqing. Kitab-kitab ini mendorong
terbentuknya aliran Daoisme baru di samping Tianshi Dao yang sudah ada
sebelumnya, yakni Aliran Shangqing atau Daoisme Mistik. Cikal bakal
Aliran Shangqing ini sebenarnya adalah seorang wanita bernama Wei Huacun
pada masa Dinasti Jin. Nyonya Wei dikatakan telah menerima wahyu dari
para dewa dan mencatat ajaran mereka pada sebuah kitab yang berjudul
Shangqing Huangding Neiqing Yujing (Kitab Klasik Batu Giok Istana Kuning
Mengenai Gambaran-gambaran Internal atas Alam Murni nan Tinggi) pada
tahun 288 M. Isinya mengajarkan bahwa organ-organ dalam tubuh manusia
dikendalikan oleh sesuatu kekuatan yang disebut dengan “roh-roh
penjaga.” Meskipun demikian, gagasan mengenai adanya “roh-roh penjaga”
pada tiap-tiap organ tubuh manusia telah dikenal sebelumnya. Kitab
Taibingjing yang telah ada sebelumnya menyebutkan:
Jika tubuh berada dalam ketenangan dan energi kehidupan [atau “roh”]
dijaga di dalamnya, penyakit tidak akan sanggup berkembang-biak. Anda
akan berumur panjang, oleh karena energi-energi yang baik melindungi
Anda.
Pada kitab komentar Daodejing yang ditulis oleh He Shanggong, disebutkan
apabila seseorang dapat membina “roh-roh penjaga” yang terdapat dalam
tubuhnya, ia dapat mencapai keabadian. Kelima “roh-roh penjaga” yang
berdiam dalam organ manusia itu adalah sebagai berikut:
1. Hati tempat berdiam roh manusia
2. Paru-paru tempat berdiam jiwa manusia
3. Jantung tempat benih roh abadi
4. Limpa tempat berdiam keinginan-keinginan manusia
5. Empedu tempat berdiam energi pembangun
Apabila kelima organ tersebut mengalami gangguan, kelima roh itu akan meninggalkannya.
Orang yang berjasa menyebarkan Aliran Shangqing ini adalah Yang Xi.
Dikatakan bahwa ia telah menerima penampakan dari Nyonya Wei yang saat
itu telah menjadi dewi. Ia kemudian mencatat ajaran-ajaran dari Nyonya
Wei tersebut dan selanjutnya diwariskan kembali pada Xu Hui dan Xu Mi
(ayah dan anak). Kitab-kitab Aliran Shangqing lainnya adalah Taishang
Baowen (Tulisan Suci dari Yang Tertinggi), Dadong Zhenjing (Kitab Sejati
dari Gua Agung), dan Basu Yinshu (Kitab Tersembunyi mengenai Delapan
Kesederhanaan).
Para penganut Aliran Shangqing ini berhubungan satu sama lain melalui
ikatan keluarga atau perkawinan. Xu Hui dan Xu Mi ini berkerabat dengan
Ge Hong, yang menulis kitab Baopuzi (lihat kembali bagian 8.4). Anggota
lain keluarga Ge yang ikut berjasa dalam Aliran Shangqing adalah Ge
Xuan. Ia mengumpulkan menjadi satu Kitab-Kitab Lingbao dari Daoisme.
Bentuk awal dari Aliran Shangqing menggabungkan banyak aspek dari Aliran
Tianshi Dao. Mereka menggunakan jimat-jimat dan menjadikan Yuanshi
Tianqun (nama lain dari Lao Zi), sebagai dewa tertinggi mereka. Mereka
juga memakai kitab-kitab Taipingjing, Zhengyi Fawen (Aturan-aturan dan
Kitab-kitab aliran Tianshi Dao), Taishang Lingbao Wufujing, dan
kitab-kitab Lingbao lainnya sebagai kitab utama mereka.
Apa yang menjadi pembeda antara Aliran Shangqing dengan Tianshi Dao adalah:
1. Aliran Shangqing mengajarkan untuk memelihara “roh-roh
penjaga” dalam tubuh, demi tercapainya kesehatan tubuh umur panjang,
sedangkan Aliran Tianshi Dao tidak mengenal paham ini dan lebih meyakini
bahwa penggunaan jimat dan ramuanlah yang bertujuan menyembuhkan
penyakit serta menjaga kesehatan tubuh.
2. Aliran Tianshi Dao menggunakan jimat untuk menyembuhkan
penyakit, mengusir setan, dan melindungi diri terhadap roh jahat,
sedangkan Aliran Shangqing menggunakan jimat untuk memanggil dan
memvisualisasikan “roh-roh penjaga” di dalam tubuh serta mengadakan
perjalanan menuju alam realita lainnya.
Meskipun terdapat perbedaan, hal ini tidaklah mengundang permusuhan dari
Aliran Tianshi Dao yang lebih tua. Memang, toleransi beragama telah
dijunjung tinggi di Tiongkok semenjak jaman dahulu.
Tokoh selanjutnya yang ikut mengembangkan Aliran Shangqing adalah Tao
Hongjing (yang warisannya dalam ilmu pengobatan telah kita bahas pada
bagian 9.5). Setelah mengundurkan diri dari jabatannya dan berdiam di
Maoshan, sebuah gunung di Propinsi Jiangsu, ia menulis kembali silsilah
Aliran Shangqing, mencatat otoritas pewariskan ajarannya, mencatat
susunan penghuni alam kedewaan beserta jabatan-jabatan dan wewenang di
dalamnya. Oleh karena itu Tao Hongjinglah yang berjasa menetapkan
kosmologi kedewaan Taois. Tingkatan para dewa tersebut dibagi-bagi
berdasarkan tingkat pencapaian kesucian mereka. Tao Hongjing juga
tertarik dengan ilmu alkimia (nenek moyang ilmu kimia) dan ia mempunyai
sebuah laboratorium di Maoshan (Gunung Mao) yang dibiayai oleh kerajaan.
Dengan laboratorium itu ia berusaha menciptakan pil panjang umur dan
memperkenalkan penggunaan mineral serta rempah-rempah untuk menjaga
kesehatan dan memperpanjang usia ke dalam Aliran Shangqing. Aliran
Shangqing yang didirikan oleh Tao ini dikenal sebagai Cabang Maoshan
atau lengkapnya Aliran Maoshan Shangqing (Aliran Maoshan Shangqing ini
berbeda dengan Aliran Maoshan yang menekankan ilmu gaib pada masa
Dinasti Ming).
Kita akan mempelajari secara sekilas mengenai Gunung Mao tersebut,
mengingat arti pentingnya bagi Daoisme, dimana gunung ini dianggap suci
oleh umat Daois. Maoshan sebagai gunung suci ini tercantum dalam kanon
kitab-kitab Dao (Daozhang) dan juga kitab-kitab lainnya. Sesungguhnya,
nama asli gunung ini adalah Di Fei dan terkadang disebut pula Ji Qi.
Pada tahun 153 SM, terdapat seorang sesepuh bernama Mao Ying, yang
bertapa mendalami Dao di sana. Mao Ying kemudian diikuti oleh dua
adiknya yang lain. Ketiga Mao bersaudara itu sering menolong rakyat
tanpa pamrih dan tidak membeda-bedakan antara kaya dan miskin. Untuk
mengenang jasa-jasa mereka, nama gunung tersebut diganti menjadi Gunung
Mao (Maoshan). Gunung Mao ini telah menghasilkan pakar-pakar Taoism yang
terkenal seperti: Ge Hong, Lu Xiujing , dan Tao Hongjing sendiri.
Kini kita akan sedikit membahas lebih dalam ajaran Aliran Shangqing.
Ajaran aliran ini dibagi menjadi tiga hal: “alam semesta bagian dalam”,
“alam semesta bagian luar”, dan perpaduan keduanya. Alam semesta bagian
dalam meliputi tubuh manusia sendiri, yang dipenuhi oleh makhluk suci,
roh, dan monster. Sehingga dengan demikian Aliran Shangqing meyakini
bahwa terdapat makhluk suci dan roh-roh yang menjaga tubuh dari
penyakit. Hal ini menarik sekali, mengingat ilmu kedokteran modern, juga
menemukan keberadaan darah putih, yang juga menjaga tubuh manusia dari
penyakit (fungsi kekebalan tubuh). Apabila para roh pelindung ini telah
meninggalkan tubuh, maka tubuh manusia akan melemah dan akhirnya mati.
Oleh sebab itu, Aliran Shangqing sebagian besar menitik beratkan pada
usaha untuk menjaga agar “roh-roh penjaga” tersebut tidak lemah atau
pergi. Selain adanya makhluk-makhluk suci tersebut, mereka juga meyakini
keberadaan tiga monster yang menjaga tiga titik pada tulang punggung.
Monster-monster tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat jalan
energi kita, namun mereka menjadi kuat dikarenakan oleh makanan yang
kita makan. Karenanya, demi menjaga agar monster tersebut tidak menjadi
terlampau kuat, para praktisi melakukan puasa atau diet tertentu. Alam
semesta bagian luar meliputi segala sesuatu di luar kita yang juga
dihuni banyak roh dan dewa. Yang terpenting dari mereka hidup di
matahari, bulan, dan bintang-bintang.
7.Perkembangan semasa Dinasti Tang
a. Kondisi umum
Zaman Dinasti Tang adalah masa kejayaan Daoisme. Seluruh kaisar Dinasti
Tang, dengan Wu Zetian sebagai pengecualian adalah penganut Daoisme yang
taat (meskipun mereka juga menghargai Buddhisme). Kejayaan Daoisme
semasa Dinasti Tang didukung oleh dua faktor. Yang pertama adalah karena
nama keluarga kaisar kebetulan sama dengan Laozi, sang pendiri Daoisme.
Oleh karena itu, mereka memandang diri mereka sebagai keturunan Laozi.
Faktor kedua adalah karena Daoisme menjanjikan pil panjang umur atau
hidup abadi bagi para kaisar, padahal obat yang diramu pada pendeta
Daois itu justru membahayakan kesehatan kaisar sendiri, karena
mengandung berbagai substansi beracun. Beberapa kaisar Dinasti Tang
tewas keracunan "obat panjang usia" ini. Puncak keemasan Daoisme terjadi
semasa pemerintahan Kaisar Xuanzong. Kuil-kuil Daois dibangun di
seantero negeri, namun keyakinan ini hanya tersebar di kalangan
bangsawan saja, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan pengaruh
Buddhisme terhadap rakyat jelata.
b. Berkembangnya Daoisme Alkimia (Aliran Taijing)
Alkimia merupakan nenek moyang dari ilmu kimia, dan telah diterapkan
pada sebagian besar belahan dunia ini jauh sebelum ilmu kimia yang
berdasarkan metode ilmiah berkembang. Aliran Daoisme yang
menitik-beratkan pada alkimia ini juga disebut sebagai Taijing. Aliran
Taijing membagi alkimia menjadi dua, yakni alkimia eksternal dan
internal. Alkimia eksternal menitik-beratkan penggunaan rempah-rempah
dan mineral-mineral tertentu untuk menjaga kesehatan, memperpanjang
usia, atau bahkan menjadikan orang yang meminumnya tidak dapat mati.
Rempah-rempah dan mineral tersebut kemudian diolah menjadi pil. Alkimia
internal menunjukkan bahwa segala macam unsur untuk menjadikan seseorang
sehat, panjang umur, atau bahkan hidup abadi telah terdapat dalam tubuh
manusia itu sendiri. Sehingga alkimia internal lebih bertujuan untuk
mengembangkan serta mengolah energi hidup dalam tubuh manusia sendiri
tanpa bantuan obat-obatan dari luar.
Sesungguhnya, perhatian Daoisme pada kesehatan dan umur panjang dapat
ditelusuri pada karya-karya Lao Zi dan Zhuangzi. Sebagaimana yang telah
kita bahas sebelumnya, terdapat dua golongan kaum fangshi. Yang pertama
mengkhususkan diri pada penggunaan jimat-jimat untuk kesembuhan dan
mereka merupakan pendahulu dari Aliran Tianshi Dao. Sementara kelompok
lainnya menekankan pada teknik-teknik utuk memperpanjang usia, menjaga
kesehatan, dan mencapai kehidupan abadi dengan bantuan ramuan-ramuan dan
merupakan pendahulu bagi Aliran Taoisme Alkimia (Taijing).
Cikal bakal aliran ini adalah Wei Boyang yang hidup pada masa Dinasti
Han Timur. Legenda mengisahkan bahwa ia bereksperimen menciptakan pil
hidup abadi. Ketika yakin telah berhasil, ia memberikan pil tersebut
pada anjingnya. Anjing tersebut terjatuh dan seolah-olah telah mati. Wei
Boyang sendiri kemudian menelan pil itu dan juga jatuh tak sadarkan
diri. Wei Boyang mempunyai dua orang murid, yang seorang setelah melihat
kejadian itu menjadi kehilangan kepercayaan dan meninggalkan tempat
tersebut. Sementara itu murid lainnya yang memiliki keyakinan kuat,
menelan pil terakhir dan juga jatuh bagaikan mati. Tak lama kemudian
mereka bertiga hidup kembali, merasakan tubuhnya ringan dan selanjutnya
terbang ke langit menjadi dewa. Wei meninggalkan sebuah kitab yang
berjudul Candongqi (Kesatuan Rangkap Tiga). Sama dengan ajaran yang
terdapat pada Aliran Daoisme sebelumnya, Candongqi menyebutkan bahwa Dao
adalah sumber segala sesuatu, termasuk kehidupan. Ketika alam terus
menerus memperbaharui dirinya sesuai dengan Dao, begitu pula manusia
dapat memperbaharui dirinya terus menerus dan mencapai keabadian dengan
cara menyelaraskan diri dengan prinsip-prinsip ini.
Pada perkembangan selanjutnya, para kaisar Dinasti Tang benar-benar
tergila-gila pada pil yang dapat membuat hidup abadi atau memperpanjang
usia. Jumlah kaisar Dinasti Tang yang mati keracunan obat-obatan pembuat
hidup abadi melebihi dinasti-dinasti lainnya. Obat pembuat hidup abadi
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan dan
kerajaan menunjang eksperimen untuk menciptakan obat semacam itu.
Pada masa akhir Dinasti Tang, orang mulai bertanya-tanya apakah
pembuatan pil hidup abadi merupakan hal yang masuk akal. Pertanyaan ini
menyebabkan orang untuk merenungkan dan mendefinisi ulang makna
keabadiaan. Salah satu makna keabadian ini disumbangkan oleh Agama
Buddha: keabadian merupakan hasil pembebasan dari lingkaran kelahiran
dan kematian yang tanpa akhir. Definisi lainnya adalah umur panjang dan
kesehatan yang baik. Pandangan-pandangan baru tersebut di atas yang
menyebabkan para penganut Aliran Taijing berpaling pada yoga dan
meditasi. Setelah runtuhnya Dinasti Tang, usaha manusia untuk mencari
keabadian dengan jalan mengkonsumsi dan mengolah berbagai rempah-rempah
dan mineral berakhir sudah, dan dengan demikian alkimia eksternal ikut
berakhir. Sebagai ganti mengkonsumsi substansi pemanjang usia, orang
mulai mengembangkan berbagai teknik yoga demi menjaga dan meningkatkan
kesehatan, yang di antaranya disebut Qigong.
8.Perkembangan semasa Dinasti Song
Kehancuran Dinasti Tang diikuti masa kacau selama kurang lebih 60 tahun,
dan sesudahnya Dinasti Song (960 – 1279) berhasil mempersatukan
Tiongkok kembali. Masa pemerintahan Dinasti Song ini merupakan zaman
keemasan ilmu alkimia internal. Tokoh terkenal alkimia internal pada
masa ini adalah Lu Dongbin yang merupakan murid Zhongli Quan. Lu Dongbin
mewariskan ajarannya pada berbagai muridnya. Salah seorang di antara
mereka adalah Chen Xiyi yang terkenal dengan pelatihan Qigongnya, di
mana teknik ini merupakan penggabungan Yijing serta usaha untuk
melancarkan aliran energi dalam tubuh. Murid lainnya adalah Wang Zhe
atau juga disebut Wang Chongyang (1123 – 1170). Dialah yang
menggabungkan Ajaran Dao, Buddha, dan Konfusianisme. Selain itu, ia juga
merupakan pendiri Aliran Quanzhen (Realitas Sempurna, juga disebut
aliran Dan Ding), meskipun aliran tersebut baru dinamakan demikian
setelah kematiannya. Tokoh-tokoh alkimia internal berikutnya adalah
Zhang Boduan, Qiu Changchun, Qiu Chuji, dan Zhang Sanfeng. Zhang Sanfeng
(lebih terkenal dengan nama Thio Sam Hong) inilah yang menggabungkan
antara alkimia internal dan ilmu bela diri, dimana ia juga merupakan
pencipta Taiqichuan.
Qiu Chuji (1148 –1237) adalah penerus ajaran Wang Zhe yang diundang oleh
Genghis Khan, karena tertarik oleh obat keabadian. Ia mengatakan pada
penguasa Mongol tersebut, bahwa obat semacam itu sebenarnya tidak ada
dan keabadian hanya dapat dicapai melalui perealisasian Dao. Qiu banyak
memberikan nasihat agar Khan tidak banyak membunuh. Ia pandai pula
menulis puisi dan banyak sekali puisinya yang tersimpan hingga saat ini,
demikian pula catatan perjalanan perjalanannya ketika mengunjungi
Genghis Khan.
9.Perkembangan semasa Dinasti Yuan
Barangkali episode paling menarik semasa Dinasti Yuan adalah
perselisihan antara Buddhisme dan Daoisme, dimana khan harus turun
tangan untuk menyelesaikannya. Sebelum mengenal Buddhisme, para penguasa
Mongol lebih dahulu tertarik pada Daoisme. Qiu Chuji yang merupakan
seorang mahaguru Daois aliran Quanzhen diundang oleh Genghis Khan karena
tertarik dengan obat panjang usia., Genghis Khan yang kagum dengan
ajarannya lalu mengangkat Qiu sebagai pemimpin tertinggi Daois dan juga
agama-agama lainnya termasuk Buddhisme. Dengan memanfaatkan kedudukan
pemimpin mereka, para pendeta Daois mulai bertindak ugal-ugalan dan
dengan seenak sendiri menyita serta mengambil alih vihara-vihara
Buddhis. Bahkan mereka menghancurkan dan mengganti patung-patung Buddha
dengan dewa-dewi Daois.
Mereka mengembangkan doktrin yang menyatakan bahwa Buddha hanyalah salah
satu dari 81 penjelmaan Laozi, sehingga Daoisme dianggap lebih unggul
dan merupakan asal muasal Buddhisme. Lukisan-lukisan yang menggambarkan
81 penjelmaan Laozi (Bashiyihuatu) ini disebarkan ke mana-mana. Kaum
Daois menyebarkan pula doktrin lainnya bahwa Laozi pernah pergi ke India
dan mengajarkan Daoisme pada Buddha. Doktrin ini didasarkan atas kitab
palsu berjudul Laozi Huahujing (Kitab Laozi Mempertobatkan Kaum Barbar),
yang ternyata isinya justru banyak mengutip kitab-kitab Buddhis.
Setelah kematian Qiu Chuji, perseteruan makin menjadi-jadi, sehingga
Mangu Khan mengundang mereka semua untuk menyelesaikan masalahnya.
Karena gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (termasuk
bukti keotentikan Laozi Huahujing), kaum Daois dianggap kalah. Pihak
Buddhis dengan segera menuntut umat Daois yang telah merampas vihara dan
menghancurkan patung-patung mereka. Mangu lalu mengeluarkan titah bahwa
vihara yang telah dirampas harus dikembalikan kepada umat Buddha,
patung-patung yang dihancurkan harus diganti oleh pihak Daois, serta
melarang penyebaran kitab-kitab palsu yang merendahkan Buddhisme.
Oleh karena kaum Daois menolak untuk memenuhi titah ini, umat Buddhis
melaporkannya kembali pada khan (1256). Namun, Mangu Khan yang sudah
jenuh dengan masalah ini lalu meminta saudaranya Kubilai untuk mengambil
alih penyelesaiannya. Pada tahun 1258, Kubilai mengundang 300 umat
Buddhis, 200 umat Daois, dan 200 kaum Konfusianis ke ibukotanya di
Karakorum. Setelah melalui perdebatan panjang, pihak Daois akhirnya
mengakui bahwa naskah Daois yang asli hanyalah Daodejing dan di sana
tidak pernah disebutkan bahwa Laozi pernah pergi ke India dan mengajar
Buddha. Kubilai lalu memerintahkan agar seluruh naskah Laozi Huahujing
dikirim ke ibukota untuk dibakar dan begitu pula halnya dengan lukisan
Bashiyihuatu. Pelanggaran akan hal ini akan mendapatkan hukuman yang
berat. Setelah menjadi kaisar, Kubilai meneguhkan kembali perintah ini
dalam bentuk titah kekaisaran yang dikeluarkan pada tahun 1261.
Untuk sementara waktu perseteruan ini mereda, tetapi pada tahun 1280,
umat Daois membakar sendiri kuil mereka, tetapi menuduh umat Buddhis
sebagai pelakunya. Penipuan ini segera terbongkar dan pencetusnya
dijatuhi hukuman mati. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh umat Buddhis
untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang masih dilakukan oleh kaum
Daois, seperti mengedarkan secara sembunyi-sembunyi kitab-kitab yang
dilarang. Investigasi yang dilakukan oleh pihak berwenang ternyata
mengungkapkan hal yang jauh lebih parah dibandingkan dengan tuduhan itu.
Plat dan huruf-huruf untuk mencetaknya masih disembunyikan oleh kaum
Daois dan karya-karya terlarang memang masih diedarkan dengan judul
lain. Mengetahui kenyataan ini, Kubilai Khan mengeluarkan titah pada
bulan ke-10 tahun 1281 bahwa seluruh naskah Daois dengan Daodejing
sebagai pengecualian harus dimusnahkan beserta plat-plat pencetaknya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Perdebatan dari awal lahirnya ilmu tao, banyak yang mengira ini ilmu hitam. karena dari petinggi dan suhu tao memiliki ilmu dahsyat, yang pada umumnya dapat mengobati penyakit. adapun Prediksi Bolajitu yang menguji kemampuan dari sang guru taoisme, Thai Sang lau Jen yang memiliki kemampuan luar biasa dalam menyembuhkan penyakit. dimaknai dari berbagai sumber utama seperti pada Prediksi Liga Inggris yang kian diminati banyak pecinta taoisme juga. Salah satu pendiri Tao yang terkenal oleh juga dari pihak Bolajitu sudah banyak mengemukakan bahwa ilmu mereka adalah hasil meditasi dengan sang Budha.
Posting Komentar