Ceramah yang diberikan oleh Biksu Cuan Cing di Aula Nan Hai Pu Tuo San
Singapore pada April 1987
Para Bhiksu, para Pemuka masyarakat dan para hadirin sekalian:
Hari
 ini kita dapat bertemu dan berkumpul di sini, berkat rahmat Buddha dank
 arena kita semua mempunyai hubungan erat dengan Buddha, dan pertalian 
ini telah kita pupuk sejak kelahiran kita yang lalu bahkan beberapa 
kelahiran yang lalu, maka hari ini kita memperoleh kesempatan bersua, 
bertatap muka.
Dengan kesempatan ini saya akan menceritakan 
pengalaman diriku di Ci Le Se Cie (Surga Sukhavati), dan semua yang saya
 lihat dan dengar di Surga Sukhavati akan saya sampaikan kepada para 
hadirin semuanya.
Yang akan saya bicarakan hari ini dapat disimpulkan dalam 5 point sebagai berikut:
1.Bagaimana
 saya dapat pergi dan sampai di Surga Sukhavati  mengapa saya 
memperoleh kesempatan ke Surga Sukhavati? Lamanya saya berkunjung di 
Surga Sukhavati, dari awal sampai pulang, menurut perasaanku kurang 
lebih 20 jam. Tetapi sesungguhnya mulai dari saya meninggalkan dunia 
sampai dengan saya kembali di dunia ini adalah selama lebih dari 6 tahun
 5 bulan.
2.Dalam perjalanan menuju ke Surga Sukhavati, terlebih 
dahulu saya singgah di Gua Arahat, Khayangan Trayastrimaas, Khayangan 
Tusita, terakhir sampai di Surga Sukhavati. Surga Sukhavati terbagi 3 
tingkat yaitu: Teratai Atas, Teratai Tengah, Teratai Bawah, lalu 
masing-masing tingkat terbagi lagi menjadi sub bagian, secara terinci 
terbagi 9 tingkat alam. (9 tingkat alam yaiti: 9 negeri teratai, 9 padma
 ksetra terinci sebagai berikut: Varga Atas Atas, Varga Atas Tengah, 
Varga Atas Bawah, Varga Tengah Atas, Varga Tengah Tengah. Varga Tengah 
Bawah, Varga Bawah Atas, Varga Bawah Tengah, Varga Bawah Bawah).
3.Manusia
 yang bagaimanakah yang akan lahir di tingkat mana di Surga Sukhavati? 
Dengan kata lain, manusia di dunia ini dengan kriteria apa, sesuai 
dengan jasa dan perbuatannya/karmanya, kelak akan menempati di Varga 
mana di Surga Sukhavati? Serta akan saya uraikan keadaan di setiap 
Varga. Umpanya bentuk tubuh dan ciri khas dari penghuni di masing-masing
 Varga, tentang sandang pangan, tata hidup, luas dan tingginya di 
masing-masing Varga.
4.Penghuni di Surga Sukhavati dari Varga 
rendah ingin naik ke tingkat Varga yang lebih tinggi, usaha atau 
kebaktian apa yang harus mereka lakukan? Setingkat demi setingkat, dari 
bawah ke atas, sehingga mencapai Kebuddhaan, penghuni disana tetap harus
 berusaha maju sampai ke Varga tertinggi.
5.Ada kenalanku yang 
menjadi penghuni di sana berpesan dan mengirim salam serta nasehat 
kepada familinya di dunia fana, ketika saya pamit pulang ke dunia.
		marcedes:
 		Penghuni di Varga Bawah Tengah, ketika masih hidupnya di bumi, 
mereka telah banyak berbuat kebaikan, memupuk akar-akar yang baik dan 
berkeinginan lahir di Sukhavati Loka. Berkat kekuatan Pranidhana Buddha 
Amitabha, mereka ditempatkan di tingkat alm kedua di Sukhavati Loka.
Varga
 Bawah Atas adalah tingkat alam ketiga di Sukhavati Loka, lebih tinggi 
setingkat dari Varga Bawah Tengah. Penghuni di Varga Bawah Atas ini, 
pada masa hidupnya di bumi, mereka telah menjalankan Pancasila dengan 
baik, dan tekun menjaga Delapan Larangan, serta giat melakukan kebaikan,
 berdana, dan bertindak sangat hati-hati sesuai dengan Ajaran Sang 
Buddha.
Sesudah mengelilingi Varga Bawah, Kuan She Ing Phu Sa 
mendesak kami pula, agar cepat meninggalkan Varga Bawah secepat mungkin,
 karena waktu kami sangat sempit.
NEGERI TERATAI VARGA TENGAH 
Kami
 meninggalakan Varga Bawah, segera menuju Varga Tengah. Kami memanjatkan
 Surangama Dharani. Badanku terbang melayang seperti pesawat Dalam 
perjalanan kami melihat pancaran sinar gemerlapan dari gedung istana, 
dan puncak lancip pagoda-pagoda dengan kecepatan yang tinggi terbang 
berpapasan dengan kami. Badan saya semakin menjadi tinggi dan besar. 
Bunga teratai di Varga Tengah besar-besar, sebesar satu propinsi di 
Tiongkok kurang lebih 800 li (400 Km) diameternya. Jarak dari Singapore 
ke Kuala Lumpur hanya 180 li (90 km) saja. Maka 800 li kira-kira sama 
dengan jarak Singapore ke daerah tengah Thailand. Bunga teratainya 
begitu besar, maka penghuninya ikut menyesuaikan dengan keadaan, menjadi
 sebesar raksasa.
Kuan she Ing Phu Sa berkata, “Penghuni Varga 
Tengah kebanyakan asal dari empat kelompok masyarakat (Bhiksu, Bhiksuni,
 Upasaka, dan Upasika), maka tingkat kesadaran mereka lebih tinggi 
setingkat dari penghuni di Varga Bawah. Mereka pada masa hidup di bumi 
telah bertekad berusaha melepaskan belenggu Triloka. Ketika di bumi 
mereka tidak hanya rajin melakukan kebaktian, tekun menjalankan Sila 
Vinaya, disamping itu mereka sangat bersemangat memajukan pendidikan 
Buddha Dharma, membangun Vihara, mencetak buku-buku tentang Ajaran Agama
 Buddha untuk menyebar luaskan Dharma. Tindakan dan tutur kata mereka 
selalu sesuai dengan hati yang tulus ikhlas, berdasarkan Catvari 
Apramani (Empat kebajikan yang tak terhingga yaitu Maitri, Karuna, 
Mudita, dan Upheksa) sehingga pada akhir hayat mereka, berkat jasa 
pahala mereka dan bantuan trisuci di Sukhavati Loka. Mereka di tempatkan
 di Varga Tengah. Varga Tengah seperti Varga Bawahjuga dibagi 3 tingkat,
 yaitu Varga Tengah Atas, Varga Tengah-Tengah, Varga Tengah Bawah. 
Penempatan penghuni di ketiga tingkat itu menurut tingkat ketekunan 
mereka bertapa, serta jasa pahala yang mereka pupuk pada masa hidup di 
dunia fana.
Tak lama kemudian kami telah sampai di sebuah Aula 
Istana yang amat besar, saya segera bernamaskara kepada Bodhisattva yang
 berada di Aula. Sesudah dibawah, Kuan She Ing Phu Sa melanjutkan 
perjalanan kami, tahu-tahu kami tiba di sebuah kolam teratai. Wah! 
Alangkah besar dan indahnya kolam Teratai di Varga Tengah ini ! 
Dibandingkan dengan yang di Varga Bawah, entah berapa kali lebih besar, 
lebih indah, lebih megah dan lebih agung. Sekeliling tepi kolam 
bertahtahkan tujuh macam intan manikam, bunga teratai di dalam kolam 
luar biasa bagusnya, garis-garis urat setiap kelopak (mahkota) sangat 
indah dan halus sekali serta setiap garis berkilauan dengan warna 
masing-masing. Garis-garis yang beraneka warna saling bersilang 
membentuk gambar-gambar yang indah dan menarik, sungguh sulit dilukiskan
 dengan kata-kata.
Aneh bin ajaib! Setiap kuntum bunga teratai 
terdiri dari entah beberapa sap mahkota dan setiap sap terdiri entah 
beberapa mahkota, dalam setiap mahkota yang luas itu terdapat beraneka 
ragam bangunan, ada pavilion, teras, gedung bertingkat serta pagoda 
pagoda tinggi dan semuanya memancarkan puluhan jenis warna sinar sangat 
menakjubkan! Para penghuni di bunga teratai semua berbadan merah meas 
yang tembus cahaya bagaikan kristal, serta berkilau kilau oleh pantulan 
sinar, mereka mengenakan baju seragam dan mereka semua pemuda berumur 
kurang lebih 20 tahun, diantaranya tak ada orang tua atau anak kecil.
Keadaan
 orang-orang disekeliling kami mengingatkan saya terhadap badan diriku. 
Saya terperanjat menengok diriku, entah kapan keadaan diriku telah 
berobah bentuk dan tampang mukaku mirip dengan mereka dan bajuku juga 
seragam sama dengan mereka, Cuma Kwan She Ing Phu Sat yang tetap seperti
 keadaan semula.
Saya bertanya kepada Beliau, “Mengapa semua 
benda, orang di sini bersinar sesuai dengan warna cahaya masing-masing. 
Dang mengapa badanku juga berobah menjadi seperti mereka?�
Beliau
 menjelaskan, “Hal ini semuanya oleh karena Abhijina (kekuatan sakti) 
Sang Buddha Amitabha, sehingga semua benda makhluk di sini berkilau 
terpantul sinar Sang Amitabha yang tak terbatas. Dan kekuatan Abhijna 
Beliau merobah bentuk warna benda-benda, makhluk-makhluk di sini 
termasuk Anda dan mereka. Kecuali bila anda telah mempunyai kekuatan 
Abhijna pada dirimu, Anda dapat mempertahankan ciri khas 
kepribadianmu.�
Di Varga Tengah kadang-kadang juga mempunyai 
gedung bertingkat yang agak suram, ini hanya suatu pemandangan delusi 
yang sementara jikalau si penghuni tiba-tiba mengigat keluarganya pada 
masa hidupnya di dunia fana. Kuan She Ing Phu Sa mengajak saya masuk ke 
sebuah gedung yang suram. Sekitar gedung itu dikelilingi taman bunga 
yang luas dan indah, ratusan bunga berkembang seolah-olah berlomba 
memamerkan keindahannya, burung-burung berkicau serta melompat dari 
dahan ke dahan, pemandangan taman demikian tidak beda dengan rumah mewah
 seorang yang kaya raya di dunia fana. Semua keluarganya sangat bertakwa
 kepada Triratna, di ruang tamu mereka terpampang altar yang indah dan 
rupang Trisuci adalah pujaan mereka. Ibu, bapak, istri, saudara, anak 
famili dan sebagainya semua berkumpul di ruang tamu yang luas itu. 
Mereka bersama-sama mengadakan kebaktian, membaca Sutra, menyebut-nyebut
 nama Sang Buddha. Laki perempuan, tua muda semuanya berjumlah lebih 
dari 20 orang.
Kuan She Ing Phu Sa bercerita, “Keluarga ini 
pada masa hidup di dunia fana, berkelakukan baik, suka berdana, 
menghayati Catvari Apramani yaitu Maitri, Karuna, Mudita, dan Upeksa. 
Antara mereka ada yang lahir di Varga Tengah, namun pertalian kasih 
sayang dengan keluarganya belum putus sama sekali, maka bayangan 
keluarga bearnya kadang-kadang terpantul di layar batinnya.�
Menurut
 Kuan She Ing Phu Sa bahwa Sukhavati Loka terbagi tiga Varga dan setiap 
Varga terbagi lagi tiga tingkatan, maka jumlah semuanya 9 tingkat, 
penghuni-penghuni di Varga Bawah-Bawah dapat meningkat setingkat lebih 
tinggi dari Varga Bawah Tengah, melalui meditasi yang tekun, naik 
setingkat demi setingkat, bunga teratai yang dimilikinya di Varga Bawah 
Tengah bagaikan kendaraan dapat dipindahkan ke Varga Bawah Tengah. 
Peristiwa demikian seperti terjadi dalam Samadhi dari Dhayana pertama 
masuk ke Dhyana kedua, masuk ke Dhyana ketiga, terakhir sampai masuk ke 
Dhyana keempat, setahap demi setahap terakhir sampai pada Varga Atas 
Atas tidak perlu melompat lagi.
		marcedes:
 		Tiba-tiba terdengar suara genta, bergema di angkasa, dengan 
sekejap mata, semua gedung, taman yang indah tadi lenyap tanpa bekas. 
Mereka memakai baju seragam. Jumlah orang makin lama makin banyak, 
sehingga tidak terhitung banyaknya memenuhi lapangan yang besar dan luas
 sekali.
Kuan She Ing Phu Sa memberitahu saya, “Hari ini 
Bodhisattva Mahasthamaprapta dan Bodhisattva Nityadukta akan memberikan 
khotbah tentang Sutra Sad Dharma Pundarika, maukah anda ikut 
mendengarkannya?�
“Saya paling gemar mendengar khotbah yang 
bertema Sad Dharma Pundarika, mari kita segera ke sana !� saya 
menjawab dengan gembira.
Sambil berbincang, kami teah sampai di 
podium. Di sekitar podium dikurung oleh jala-jala berkilau-kilau seperti
 ribuan pelangi silang menyilang melengkungi podium. Beribu-ribu mata 
jala bagaikan mutiara-mutiara warna-warni menghiasi sekitar podium yang 
tingginya puluhan meter terbuat dari emas, perak bertahtahkan denga 
tujuh jenis intan permata, luar biasa agung dan megah. Di dua sisi 
podium terdapat jajaran pohon besar setinggi pencakar langit di Amerika.
 Setiap dahan pohon terdapat bangunan teras pavilion, gedung bertingkat,
 dan lain sebagainya, di mana banyak Bodhisattva- Bodhisattva berkumpul 
menanti khotbah.
Kuan She Ing Phu Sat membawa saya naik ke 
podium, dan memperkenalkan saya kepada Bodhisattva Mahastamaprapta dan 
Bodhisattva Nityadyukta. Saya segera bersujud kepada mereka. Beliau 
mempersilahkan saya duduk dibaris samping podium. Saat ini asap 
wewangian entah dari mana berluik-liuk naik ke atas, harum dan segar 
sekali. Alunan musik kayangan yang merdu datang dari angkasa jauh. 
Banyak burung-burung cantik mungil beterbangan, menari-nari naik turun 
mengikuti tinggi renda nada irama musik. Setelah saling memberi salam 
Bodhisattva Mahastamaprapta berdirimengumumkan perjamuan dibuka dan 
khotbah dimulai.
Bodhisattva Nityadyukta memulai khotbahnya, 
:�Sutra Sad Dharma Pundarika Sutra adalah akar dan sumber dari semua 
Buddha di Negeri teratai, adalah pedoman dan dasar untuk mencapai 
ke-Buddha-an. Setiap insan yang bercita-cita mencapai Samyaksambodhi 
harus membaca Sutra ini. Pada pertemuan lalu telah saya jelaskan tentang
 ‘Apakah Saddharma Pundarika itu?� Sad Dharma Pundarika Sutra suatu 
harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Dan hari ini akan saya 
uraikan tentang fungsi-fungsinya..� Uraian Beliau hampir 1 jam 
lamanya.
Setelah saya mendengar kata-kata yang Beliau kutip dari 
Sutra Sad Dharma Pundarika berbeda dengan Sutra Sad Dharma Pundarika 
Sutra yang saya baca di dunia fana, saya lalu bertanya keapda Kuan She 
Ing Phu Sa mengenai keraguanku. Beliau menjelaskan, “Sutra Sad Dharma 
Pundarika sutra di bumi mienggunakan kata-kata dan contoh-contoh yang 
mudah dimengerti oleh orang di bumi, sedangkan sutra Sad Dharma 
Pundarika di sini lebih mendalam, namun bagi penghuni Sukhavati Loka 
yang pengetahuannya lebih luas malahan lebih mudah dipahami. Biarpun 
penggunaan kata-kata berbeda-beda, naumn arti yang terkandung sama. Hal 
ini sama dengan Alam Dewa yang tidak mengerti Alam Arahat, Arahat tidak 
mengerti Alam Bodhisattva, dan Bodhisattva tidak memahami alam Buddha. 
Anda tadi mendengarkan uraian Bodhisattva Nityadyukta, Beliau 
mengucapkan dengan satu bahawa saja, namun beribu-ribu bangsa dari manca
 negara mendengar dan memahami seperti bahasa mereka masing-masing. 
Inilah yang disebut Dharani/dharani Samaya.�
Seusai khotbah, 
terjadilha suatu peristiwa yang tidak dapat dibayangkan oleh orang bumi.
 Saat ini banyak benda-benda aneh berguguran dari angkasa bagaikan 
hujan. Bunga-bunga warna-warni beraneka ragam serta macam-macam intan 
permata berkilau-kilau menggores angkasa bagaikan kembang api 
memancarkan beribu-ribu sinar beraneka warna yang menakjubkan. Para 
hadirin yang di bawah podium hampir semuanya mengulurkan tangannya atau 
mengangkat ujun g bajunya untuk menadahi bunga atau benda yang jatuh 
itu. Kemudian terdengan alunan musik yang merdu hening entah dari mana. 
Tiba-tiba para hadirin di bawah podium yang semuanya terdiri dari pemuda
 laki-laki berbaju merah dengan serentak menjelma menjadi pemudi-pemudi 
mengenakan blus hijau dan rok merah, pada pinggangnya diikat pita 
(sabuk) kuning emas, mereka melompat-lompat, menari-nari dengan riang 
gembira. Dengan sekejap mata mereka menghilang dan sekonyong-konyong 
lapangan yang penuh dengan gadis cantik menjelma menjadi taman bunga 
yang penuh dengan bunga teratai yang subur dan bulat-bulat, 
masing-masing memancarkan sinar berwarna indah sesuai dengan warna 
masing-masing. Beratus ribu bunga teratai beraneka warna berkilau-kilau 
memantulkan cahaya masing-masing yang mengagumkan bagaikan ombak-ombak 
panca warna di lautan luas. Tiba-tiba di atas setiap bunga teratai 
muncul seorang Bodhisattva bersila dengan tenang dan agung sekali. 
Dengan tidak terduga pula taman teratai dengan serentak menjadi rimba 
pagoda, pagoda emas, pagoda perak, dan warna-warna lainnya yang tidak 
terhitung banyaknya. Setiap pagoda memancarkan sinar ke empat penjuru 
sesuai dengan warna masing-masing. Pemandangan yang demikian indah 
menakjubkan mempesona sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika
 saya sedang terpaku pada pertjunjukan yang luar biasa itu, 
sekonyong-konyong beratus-ratus gadis ebrbagju hijau muncul dari angkasa
 melayang dengan cepat lalu menukik menuju gedung aula menembus atap, 
menerobos dinding dan pilar seolah-olah melayang di udara bebas tanpa 
halangan. Saya terkejut sekali dan bertanya kepada Kuan She Ing Phu Sa.
Beliau
 menjelaskan, “Sukhavati Loka adalah penjelmaan kekuatan Abijna Sang 
Buddha Amitabha, maka makhluk, benda, gedung, teras, pavilion, istana, 
pagoda maupun sungai, gunung, bunga rumput, pepohonan semuanya seperti 
kristal yang tembus cahaya, dan tiada satupun bersifat materi. Karena 
itulah mereka dapat menembusnya sebebasnya tanpa halangan, sekarang 
silakan anda coba sendiri.�
Mengikuti sarannya, sya mencoba 
menancapkan tangaku pada dinding pilar, semuanya dapat kutembusi dengan 
mudah, Tangan, kaki dan Badanku dapat menembus masuk keluar dengan 
bebas, tetapi bila diraba dengan tangan, semua benda, bangunan 
seolah-olah barang nyata dan padat seperti benda-benda di bumi. Saat 
kita berniat menerobosnya maka kita dapat sesuka hati menerobosinya.
Selanjutnya
 Kuan She Ing Phu Sa membawa saya meninjau kedua tempat yang ajaib, 
yaitu Gunung Delapan Pemandangan Besar dan Pusat Pameran Dunia teratai.
GUNUNG DELAPAN PEMANDANGAN BESAR
Penghuni
 Varga Tengah Bawah pada umumnya masih mempunyai delusi sedikit namun 
sebagian kecil sudah bersih dari delusi. Tampang mereka rata-rata sama 
dan usianya antara 16 tahun sampai 20 tahun. Mereka berpakaian seragam, 
tak ada perbedaan jenis kelamin (bukan laki-laki dan juga bukan 
perempuan). Kegiatan harian mereka kebanyakan berkumpul melakukan puja 
bhakti bersama, menyani menari bersama, mereka suka hidup berkelompok. 
Bunga teratai di sana dibandingkan dengan yang di Varga Bawah jauh lebih
 besar, lebih super, sap (kelopak) nya lebih banyak, warnaya juga lebih 
banyak dan sinar-sinarnnya lebih cemerlang.
Di sini terdapat 
sebuah gunung ajaib yang disebut “Gunung Delapan Pemandangan Besar�,
 delapan pemandangan tersebut melambangkan Parijana (8 indra, konsepsi, 
pencerapan) yaitu:
1.Caksur Vijnana : Indera penglihatan/mata
2.Srotra Vijnana : Indera pendengaran/telinga
3.Ghrana Vijnana: Indera Penciuman/hidung
4.Jihva Vijnana: Indera Rasa / lidah
5.Kaya Vijnana: Indera Penyentuhan / badan
6.Mano Vijnana : Indera pengertian/perasaan hati atau paham
7.Klisa-Mano Vijnana : Indera Diskriminasi/akal, pertimbangan, pembadingan, pembeda, serta kalkulasi.
8.Alaya Vijnana : Indera pengingatan.
Gunung
 8 Pemandangan Besar ini didirikan oleh Buddha Amitabha khusus untuk 
mendeteksi, mengukur sisa-sisa delusi atau karma yang masih tertinggal 
di 8 Vijnana bagi pendatang baru di Varga Tengah Bawah. Penghuni di sini
 harus bertapa terus menerus sehingga tercapai sunyata (kosong,tanpa 
kilesa, tanpa delusi).
Pemandangan pertama disebut Dunia Sinar 
Terang yang melambangkan Caksur Vijnana (Indera Penglihatan) kita, di 
dalam alam pemandangan ini, kita dapat melihat dengan mata telanjang 
segala sesuatu yang terjadi di seluruh penjuru. Misalnya kita ingin 
melihat riwayat seseorang di dunia fana, tentang keadaannya pada 
kelahiran yang lalu, atau beberapa kelahiran yang lampau, dengan sekejab
 mata kita akan tampak suatu kejadian si anu pada beberapa kelahiran 
yang lalu ia adalah seekor babi, kemudian bertumimbal lahir menjadi 
pembantu, tumimbal lahir lagi menjadi orang kaya, sampai menjadi 
jendral, menteri atau raja... , semuanya tampil ke depan mata kita satu 
per satu seperti film serial. Bahkan keadaan tanah suci, Buddha Ksetra, 
alam dewa dan lain-lainnya seuanya dapat dipantau di sini.
Pemandangan
 kedua disebut “Dunia Suara Gema� yang melambangkan Srotra Vijnana 
(Indera Pendengaran) kita, dari alam kita dapat mendengar segala suara 
dari dunia di sepuluh penjuru. Di sini pendengaran kita menjadi sangat 
peka, suara dari jauh, suara semut pun dapat kita dengar dengan jelas, 
bahkan suara yang bising dan campuran dari beberapa suara dapat kita 
beda-bedakan terdiri dari suara apa saja. Kita pun dapat mendengar Sang 
Buddha sedang berkotbah di tempat jauh, sekarang Beliau sedang 
menguraikan Sutra apa?.. di bab apa?... kalimat apa? ... suaranya, 
intonasinya sangat jelas sehingga artinya dapat dimengerti dengan jelas.
Pemandangan
 ketiga disebut Dunia Harum Semerbak yang melambangkan Ghrana Vijnana 
(Indera Penciuman) kita, di dunia ini hidung kita menjadi sangat peka 
sekali, segala aroma bau setelah kita cium dengan hidung, kita segera 
dapat mengetahui beberapa wewangian yang terkandung di dalam bau itu. 
Misalnya dari bau wanita hamil, kita segera dapat mengetahui bayi di 
dalam kandungan itu bakal laki-laki atau perempuan. Dengan mencium 
sebatang logam aloi kita dapat mengetahui logam tersebut campuran emas, 
perak, besi, aluminium, dan lain-lain.
Pemandangan keempat 
disebut ‘Dunia suara Kecap’ yang melambangkan Jihva Vijnana (Indera 
Lidah), segala suara ataupun bahasa yang keluar dari mulut 
makhluk-makhluk di sepuluh penjuru, dari Buddha Dhatu sampai dengan 
Niraya Dhatu (neraka), dapat kita dengar dan mengerti dengan jelas.
Pemandangan
 kelima disebut ‘Dunia Tubuh Emas’ yang melambangkan Kaya Vijnana 
(Indera Penyentuhan), di dunia ini indera penyentuhan kita luar biasa 
pekanya, kita dapat membedakan segala sesuatu dengan menyentuh saja kita
 dapat mengetahui bentuk warna benda tersebut dengan jelas seolah-olah 
kita lihat dengan mata. Dengan rasa sentuh kita dapat merasakan 
beradanya para Buddha Bodhisattva di Buddha Ksetra di Sepuluh Penjuru. 
Misalnya Dvatrimsa (Tiga puluh dua bentuk) penjelmaan Kuan She Ing Phu 
Sat dapat kita lihat dengan indera penyentuhan.
Pemandangan 
keenam disebut ‘Dunia Batin’ yang melambangkan Kaya Vijnana (Indera 
Pengertian, Kesadaran), di dunia ini kita dapat membatin, mengetahui 
jalan pertapaan para Buddha di segala penjuru, dari masa manusia mereka,
 sampai mencapai Ke-Buddha-annya. Semua peristiwa Beliau tampil di alam 
batin kita, dan kami dapat mengetahui dengan jelas riwayat tumimbal 
lahir Beliau sampai beribu-ribu kali seperti gambar bioskop tampil di 
layar batin kita.
Pemandangan kedelapan, disebut ‘Dunia Luas 
Tanpa Batas’ yang melambangkan Alaya Vijnana (Indera Pengingat), alam 
ini luas mencakup ruang dan waktu yang tak terbatas. Segala peristiwa 
yang terjadi di trirukun waktu, di sepuluh penjuru dharmadatu, tidak ada
 sesuatupun yang tak dapat dilihat, diketahui.
PUSAT PAMERAN NEGERI TERATAI
Pada
 umumnya, penghuni-penghuni di Varga Tengah-Tengah, pada masa hidupnya 
di dunia fana, mereka cukup mengerti Dharma, selalu menghayati dan 
mengamalkan Dharma. Mereka tekun bertapa, rajin menjalankan kebaktian, 
serta berdana tanpa pamrih, maka mereka telah menanam bibit baik di 
Varga Tengah-Tengah, serta memupuk akar baiknya (Kusala Mula) dengan 
baik sehingga bunga teratainya bertumbuh dengan subur. Pendeknya, 
penghini di Varga Tengah-Tengah baik dalam penghayatan ajaran Buddha, 
melakukan meditasi maupun dalam menjalankan pengamalan lebih maju dan 
rajin dari penghuni di Varga Bawah.
Di alam ini, gedung, pagoda, 
dan bangunan lainnya lebih banyak , lebih besar, dan lebih tinggi, serta
 lebih indah dan megah dari yang di Varga Bawah. Di sini setiap hari 
turun hujan bunga, dan penghuninya setiap hari memungut bunga-bunga yang
 indah itu untuk mempersembahkan kepada Para Buddha di Seluruh Penjuru. 
Bunga-bunga yang harum dan cantik itu entah berapa ribu kali lebih indah
 dari bunga-bunga di bumi. Alunan musik merdu, halus dan sentimental 
datang dari langit sungguh sulit melukiskan keindahan dengan kata-kata. 
Saya kutip beberapa kalimat dari Sutra sebagai berikut, saya kira paling
 sesuai dengan keadaan yang sebenarnnya, “Beribu-ribu jenis musik 
istana di dunia fana, tak dapat menandingi satu nada yang ada di Kerajan
 Pemutar Roda Dharma. Beribu-ribu jenis musik di Alam Dewa 
Travastrimsas, tidak dapat menandingi satu nada musik dari Alam Dewa 
Mahasvara, dan beribu-ribu jenis musik di Alam Dewa Mahasvara, tidak 
dapat menandingi satu nada musik dari tujuh baris jajaran pohon ajaib di
 Sukhavati Loka!�
Tubuh penghuni di Varga Tengah-tengah 
bagaikan kristal berwarna merah emas yang memancarkan sinar 
kemerah-emasan pula. Mereka dapat mendatangi setiap Ksetra Buddha 
melakukan kebaktian kepada Para Buddha di sepuluh penjuru dengan sekejab
 mata saja. Dan kembali ketempat asalnya dengan sekejab mata pula. 
Andaikan pada masa hidupnya di dunia fana, tidak berbuat kebajikan, 
menimbun banyak jasa pahala, tidak mungkin mereka dapat lahir di alam 
yang sangat indah ini.
Mereka yang memperoleh pahala lahir di 
Varga Tengah-Tengah, boleh dikatakan delusi mereka hampir tidak ada. Dan
 selera makan mereka kecil sekali, tidak seperti mereka yang berada di 
Varga Tengah Bawah, mereka masih sering berkeinginan makan, makanan 
mereka adalah kue yang terbuat dari madu bunga. Jika meditasi mereka 
makin meningkat, makin kecil kebutuhan mereka terhadap makanan.
Di
 Varga Tengah-Tengah terdapat Pusat Pameran Negeri-Negeri Teratai yang 
memamerkan aneka cara Para Buddha menjalankan pertapaan mereka untuk 
mencapai ke-Buddha-an.
Gedung pusat pameran tersebut 
bertingkat-tingkat, setiap tingkat menampilkan riwayat perjuangan salah 
satu Buddha, mulai dari masa manusianya sampai beliau mencapai 
ke-Buddha-an. Misalnya di salah satu tingkat yang menampilkan riwayat 
Sang Buddha Amitabha, mulai dari masa hidupnya di dunia fana Beliau 
masih bernama Bhiksu Dharmakara dan Beliau berguru pada Lokesvararaja 
Tathagata.
Saat itu pintu dharma mana yang beliau tekuni, dan 
Pranidhana apakah yang diikrarkan, semuanya dapat kita lihat dengan mata
 kepala sendiri peristiwa yang sesungguhnya. Bahkan kita dapat 
menyaksikan peristiwa-peristiwa sekian ribu kali tumimbal lahir sebelum 
Beliau mencapai ke-Buddha-an, bila kita inginkan. Jikta kita pergi ke 
lain tingkat kita dapat lihat riwayat hidup Bodhisattva Avalokitesvara 
(Kuan She Ing Phu Sa) pada setiap tumimbal lahirnya, serta bagaimana 
perjuangan-Nya untuk mencapai penerangan. Kita dapat menelusuri riwayat 
Buddha Sakyamuni, Buddha Bhaisajya, Buddha Samanthabhadra, Buddha 
Manjusri, dan lain sebagainya. Pada pokoknya di pusat pameran tersebut 
bagaikan ensiklopedi riwayat hidup yang lengkap dan terperinci para 
Buddha dan Bodhisattva, bahkan seba otomatis dan visualis.
		marcedes:
 		NEGERI TERATAI VARGA ATAS BILA BUNGA BERKEMBANG MEKAR, BERJUMPALAH DENGAN BUDDHA 
Meninggalkan
 Varga Tengah, kami memanjatkan mantra “Surangama Dharani�, Bunga 
teratai yang kami kendarai terbang kencang ke atas, badanku terasa makin
 membesar sampai sebesar ketika bertemu dengan Sang Buddha Amitabha.
Kuan
 She Ing Phu Sa menjelaskan, “Penghuni Varga Atas Atas pada masa 
hidupnya di dunia fana, mereka rajin bertapa, tekun menjalankan Sila 
Vinaja bersih suci bagaikan mutiara putih tanpa noda. Mereka memperdalam
 Ajaran Buddha, menjauhi/memutuskan Sepuluh Perbuatan Jahat, dan 
melakukan/mengembangkan Sepuluh Perbuatan Baik, mentaati 
petunjuk-petunjuk Pintu Dharma yang mereka anut, dan menyelaminya satu 
demi satu secara lahiriah maupun batiniah maju terus pantang mundur, 
sepuluh tahun bagaikan sehari, sehingga akhir hayatnya ditambah pula 
mereka banyak melakukan kebaikan yang terbentuk/nyata, misalnya berdana,
 menolong orang sakit, miskin, derita, dan lain sebagainya telah menanam
 banyak jasa pahala. Maka pada saat mereka melepaskan napas terakhirnya,
 bunga teratainya telah tumbuh dengan subur di Varga Atas dan segera 
berpenjelmaan teratai di sana.
Mereka yang di Varga Atas boleh 
dikatakan telah bersih dari polusi duniawi tanpa ternoda oleh delusi 
karma-karma seperti di Varga Tengah dan Varga Bawah. Mereka telah 
membersihkan Enam Debu Indra, telah mencapai Alam Bodhisattva, dapat 
menjelma sesuka hati, dan dapat memperagakan Abbijna (kesaktian) dengan 
terampil. Para Bodhisattva berkumpul, mereka bisa bermain sesuka hati, 
ingin menjadi bunga, mereka semua menjadi bunga, menjadi pagoda, batu, 
pohon dan semuanay menjadi pagoda, batu, dan pohon.
Selanjutnya 
Kuan She Ing Phu Sa mengajak saya berkunjung ke kolam teratai. Kolam 
bunga Teratai di Varga Atas, betul-betul istimewa, luar biasa. Tepi-tepi
 kolam lebih bagus, lebih megah dari yang di Varga lainnya, dikelilingi 
baris-baris teratai yang segar semerbak di sekitar kolam yang 
menyejukkan hati. Pagoda-pagoda besar berdiri di tengah-tengah kolam 
bagaikan gunung menjulang tinggi, pagoda-pagoda tesebut berbentuk 
poligon memancarkan berjuta-juta sinar aneka warna. Di antara 
pagoda-pagoda dihubungi dengan jembatan-jembatan yang unik dan cantik 
sekali. Entah berapa luas kolam tersebut, bagaikan lautan yang tak dapat
 melihat ujung seberangnya. Di dalam kolam tidak hanya dihiasi 
berjuta-juta bunga teratai yang indah dan segar, juga dibayangi jutaan 
pemandangan indah. Di angkasa dipenuhi kanopi-kanopi Ratna yang 
bertatahkan beraneka macam intan permata berkilau. Setiap kuntum bunga 
teratai mempunyai mahkota (kelopak) bersap-sap yang tak terhitung 
banyaknya. Setiap sap mahkota mempunyai bangunan pagoda, teras veranda 
bertingkat dan lain sebagainya semuanya indah dan megah menakjubkan. 
Penghuni di sini semuanya berbadan kuning emas kristal, mengenakan baju 
anggun sekali yang dapat memancarkan sinar beraneka warna.
Tiba-tiba
 Kuan She Ing Phu Sa berkata, “Di sini ada seorang penghuni Bhiksu Yin
 Kwang (salah satu dari tiga Bhiksu agung tersohor di Tiongkok pada abad
 ke-20), apakah anda mengenal Beliau?�
“Di manakah Beliau sekarang? Sudah lama saya dengar nama besarnya, namun belum pernah menjumpainya.� Kujawab dengan spontan.
Seusai
 perkataanku, segera muncul seorang pemuda berumur sekitar 30 tahun di 
depan kami, dan sekonyong-konyong beliau berubah menjadi seorang Bhiksu 
Tua, bentuk asal Bhiksu Yin Kwang ketika di dunia fana. Kami bertemu 
dengan suasana yang sangat hangat dan gembira, seolah-olah reuni dua 
sobat lama yang sudah lama berpisah. Kami saling memberi salam hormat 
dengan beranjali, beramah-tamah mesra akrab sekali. Dengan 
mempercakapkan masalah-masalah di dunia fana, khususnya mengenai Agama 
Buddha di Tiongkok. Namun sayang, saya tidak dapat ingat pembicaraanya 
seutuhnya, ada sebagian telah lupa. Beliau berulang-ulang berpesan 
“Saya harap sesudah anda pulang ke dunia fana, tolong sampaikan 
pesanku kepada saudara-saudara se-Dharma, bahwa Sila Vinaya adalah 
sokoguru, guru sejati bagi para pengamal Dharma, para petapa. 
Jalankanlah dengan sungguh-sungguh Sila Vinaya, menghayati sutra setiap 
hari, memanjatkan nama Sang Buddha dengan tulus ikhlas apabila mempunyai
 waktu luang, selalu mengingat Sang Buddha setiap tindakannya. Sraddha 
(berkeyakinan) , Pranidhana (berikrar melakukan kebajikan), dan 
Samsakara (melaksanakan) adalah tiga persyaratan mutlak penting bagaikan
 tiga mata rantai untuk mencapai penerangan, jika mereka menjalankan 3 
persyaratan itu dengan konsekuen, mereka pasti dapat lahir di Sukhavati 
loka..., janganlah cepat menyombongkan diri setelah memperoleh sedikit 
kenamaan, mengira dirinya sudah lebih pandai dari orang lain, lalu 
merubah-rubah Sila Vinaya yang ditentukan Buddha Sakyamuni dan para 
Sesepuh Agama Buddha dengan sesuka hati. Jaman sekarang banyak orang 
suka merubah Vinaya dengan dalil ‘pembaharuan’, ’modernisasi’, 
hanya untuk mencari kepoluleran, hal-hal demikian sungguh 
menyedihkan!�
Sepanjang perjalanan kami menuju istana besar 
bertingkat, kami berjumpa beraneka jenis burung yang langka beterbangan 
dan berkicau di dahan-dahan pohon emas erdaun ‘jade (giok)’. Kicauan
 burung, panjatan mantra serta nyanyian pujian menjalin menjadi 
perpaduan suara yang merdu. Di mana-mana ada bunga-bunga bulat yang 
bertumbuh subur, wewangi bunga segar menyemerbakkan setiap partikel 
udara, lentera-lentera mutiara, koral, kristal yang beraneka warna 
berbaris-baris, berjajar-jajar, memancarkan sinar macam-macam warna, 
sehingga mataku tak keburu menikmati keindahannya.
Di dalam 
istana dihiasi, didekorasi dengan luar biasa megahnya membuat kami 
terpukau sejenak. Pilar, dinding, pintu, jendela, lantai, dan 
langit-langit semuanya menyilaukan warna emas, perak, mutiara, koral, 
safir, dan lain sebagainya. Setiap benda di dalam aula istana 
memancarkan sinar sesuai dengan warna masing-masing. Khususnya lantai 
dan langit-langit memantulkan sinar benda lain menjadi berwarna-warni 
yang indah semarak. Saya mengikuti Kuan She Ing Phu Sa naik ke tingkat 
atas, di salah satu ruangan tersimpan banyak jenis cermin kristal dan 
bermacam-macam bentuk ada yang besar, ada yang yang kecil. Di antara 
cermin-cermin tersebut terdapat sebuah cermin yang paling unik, paling 
besar dan menonjol. Kuan She Ing Phu Sa memberitahukan, “Cermin ini 
lain dari pada yang lain, dapat mencerminkan Jati Diri setiap orang yang
 berdiri di depannya. Bersih atau tidaknya jati diri seseorang tidak 
bisa luput dari sorotan tajam dari cermin ini. Dengan kata lain, ternoda
 atau tidaknya jati diri seseorang akan terlihat jelas di dalam cermin 
ini.�
Di kedua sisi ruang ini terdapat dua baris kursi yang 
terbuat dari 7 macam intan manikam yang berkilau-kilau, dan berjajar 
dengan rapi sekali. Di atas sebuah meja terletak barang aneh yang tak 
tahu apa gerangan barang itu. Kuan She Ing Phu Sa seolah-olah tahu saya 
sedang lapar dan menawarkan, “Laparkah Anda?� “Ya, tetapi disini 
ada apa yang dapat dimakan?� saya jawab dengan spontan, karena saya 
betul-betul sudah lapar.� Makanna disini sama dengan apa yang ada di 
Varga Bawah dan Varga Tengah. Apa yang anda sedang inginkan akan segera 
tersajikan (secara otomatis) !� kata Kuan She Ing Phu Sa. “Bagus 
sekali, saya minta nasi putih dan sup sayur putih saja, lain tidak!� 
perkataanku belum selesai, hidangan nasi putih dan sup sayur putih telah
 terletak di atas meja. Saya menawarkan kepada Beliau, “Mari kita 
makan bersama-sama!� Beliau menjawab, “Kami disini (penghuni Varga 
Atas), pada umumnya, tidak makan, silahkan anda makan sendirian.�
Kebanyakan
 penghuni Varga Atas Atas, mereka telah mencapai ke-Bodhisattva-an, dan 
telah berkurang sekali gairah makannya, atau sama sekali tidak ada nafsu
 makan. Karena mereka sudah tanpa delusi, sudah bersih dari kebiasaan 
duniawi. Membandingkan diri dengan mereka, saya merasa malu, namun saya 
tetap makan sampai kenyang. Selesai makan saya letakkan mangkok dan 
sumpit di atas meja, dengan sekejap mata mangkok, piring, sendok, dan 
sumpit semuanya hilang tanpa bekas. Saya ternganga melihat kejadian 
tersebut “Mengapa Demikiran?� tanyaku.
Kuan She Ing Phu Sa 
menjelaskan, “Hal ini disebabkan delusi hidup sehari-harimu di dunia 
fana membuat anda merasa lapar dan ingin makan. Dan seperti anda sedang 
bermimpi merasa peristiwa itu serba nyata dan ada sungguh-sungguh, 
kemudian anda bangun dari mimpi dengan segera semuanya lenyap tanpa 
bekas. Waktu anda berangan-angan makan, maka makanan segera datang. 
Sesudah kenyang, angan-anganmu terhadap makanan hilang, maka semua 
makanan serta alat-alatnya ikut hilang juga!�
(bersambung...)
		marcedes:
 		Saya mengangguk-anggukkan kepalaku menyatakan telah mengerti. 
Beliau menegaskan pula, “Jika jati dirimu bersih, tentu tidak ingin 
makan, tidak ingin sesatu yang duniawi. Seperti ruang hampa tanpa 
sesuatu. Jika angan-angan timbul bagaikan angkasa kosong bersih mulai 
berkabut dan bermega. Renungkanlah perumpamaan ini, lambat laun anda 
akan mengerti dan akan bermanfaat bagi anda mencapai penerangan.�
Mereka
 yang lahir di Varga Atas-Atas telah meninggalkan semua delusi karma di 
dunia fana, telah mencapai pahala ke-Bodhisattvaan yang tidak akan 
mundur lagi. Apa mereka sekarang yang mengalami adalah alam hakiki. 
Dengan selintas saja, mereka atas bantuan kekuatan Purva-Parinidhana 
Sang Amitabha dapat memperoleh bunga-bunga indah, buah-buahan segar, dan
 sesajian yang lain menurut keikhlasan hatinya untuk dipersembahkan 
kepada Para Buddha di sepuluh penjuru. Jika pada saat khotbah tiba, 
dengan serentak, beribu-ribu juta Bodhisattva hadir di Aula, ada yang 
duduk di atas bunga teratai, ada di ruang atas aula istana, ada yang di 
beranda, di pagoda, di atas pohon yang tujuh baris berjajar-jajar, 
mereka mendengarkan Buddha Amitaba berkotbah, tanpa ada satu yang 
meninggalkan tempat mereka.
Saya bertanya kepada Kuan She Ing Phu
 Sa, “Mereka yang lahir di Sukhavati Loka pasti banyak berasal dari 
dunia fana (Saha Loka), mengapa saya tidak melihat mereka bersama dengan
 sanak keluarganya?�
Beliau menjelaskan , “Dalam sekeluarga 
jarang terdapat dua orang atau lebih yang bersamaan lahir di Sukhavati 
Loka, karena tingkat kesadaran mereka berbeda masing-masing. Orang dunia
 fana kebanyakan terselubung oleh delusi karma atau polusi yang tebal 
sekali, sehingga mereka sangat sulit melihat keadaan yang hakiki/sejati.
 Jika mereka memusatkan pikirannya, rajin menyebut, mengingat, nama Sang
 Buddha dengan ikhlas, maka delusi/polusi mereka akan kurang atau 
bersih, dan hati mereka akan bersih tanpa noda bagaikan angkasa terang 
hampa, dengan demikian mereka yang di dunia fana juga dapat melihat 
Sukhavati loka dengan jelas.�
Dengan kesempatan ini, saya mohon
 petunjuk Beliau, “Cara bagaimanakah yang paling baik dan tepat guna 
untuk memanjatkan mantra dan doa?�
“Bertapa (pembersihan 
karma buruk/ delusi) dan Samadhi harus dilakukan berdampingan. Yaitu 
disamping menyebut/mengingat Buddha, kita harus selalu mengintrospeksi 
diri, inilah yang disebut “Dhyana Tanah Suci.�
“Tolong jelaskan bagaimana cara melakukan Dhyana Tanah Suci tersebut.� mohonku.
Demikian
 petunjuk Beliau, “Siswa-siswa yang melakukan kebaktian bersama boleh 
dibagi menjadi dua kelompok (menurut tata cara sekte Liturgi/Tanah 
Suci). Kelompok A dan kelompok B bergilir memanjatkan mantra dan doa. 
Misalkan sesudah Kelompok A memanjatkan kalimat 'Namo Amitahaya' dua 
kali, kemudian kelompok B meneruskan dua kali. Dan kelompok A yang 
sedang menunggu giliran mendengar dengan seksama, melafalkan, dan 
menghayati dalam hati. Sebaliknya bila Kelompok B sedang menunggu 
giliran juga melakukan hal yang sama, Dengan demikian memberpoleh dua 
manfaat, kesatu dapat mengurangi kelelahan, kedua suara mantra 
berkumandang terus tanpa terputus-putus. Lagi pula pendengaran telinga 
kita akan dilatih menjadi lebih peka, telinga kita mendengar, sama 
dengan hati kita ikut membaca, menghayati. Melakukan pembersihan karma 
ucapan, sekaligus pembersihan karma pikiran, lambat laun jati diri/ 
sifat ke-Buddha-an kita akan timbul. Hening akan melahirkan ketenangan, 
dan ketenangan akan melahirkan kebijaksanaan.�
“Waktu tidak banyak lagi, mari kita ke Pagoda Amitabha/Pagoda Teratai.� desak Kuan She Ing Phu Sa.
Kita
 terbang melewati beberapa bangunan bertingkat, dan beberapa pucuk 
lancip pagoda. Tak lama kemudian, kita telah tiba di kaki sebuah pagoda 
raksasa yang luar bisasa besarnya, berdiri dengan perkasa di depan kita,
 bagaikan gunung Kun Lun di Tiongkok yang tinggi dan besar. Pagoda ini 
entah ada beberapa ribu tingkat (diperkirakan paling sedikit ada 
beberapa puluh ribu tingkat), dan berbentuk poligon yang entah ada 
berapa sudut/ sisinya, seluruh pagoda tembus cahaya bagaikan kristal 
berwarna kuning emas yang memancarkan berjuta sinar cahaya emas. Dari 
dalam pagoda tersiar suara redup nyanyian 'Namo Amitabha'. Dua bait dari
 awal seolah-olah memohon pertolongannya, dan bait yang kedua dengan 
suara lantang dan semangat, namun intim dan penuh kasih sayang.
Pagoda
 Teratai tersebut adalah tempat tamasya (bermain) khusus bagi beribu 
juta penghuni Varga Atas Tengah. Pagoda sangat besar, besarnya tidak 
dapat dibayangkan oleh orang bumi, katanya ada beberapa ribu kali besar 
dari bumi, maka tingginya juga tidak dapat dibayangkan. Di dalam pagoda 
terdapat macam-macam istana, masing-masing mempunyai warna tersendiri 
dan memancarkan sinar sesuai dengan warna masing-masing, semuanya tembus
 cahaya. Penghuni Varga Atas Tengah yang bertamasya ke sini dapat 
menerobos dinding dengan bebas keluar masuk istana, tanpa sedikit 
hampatan pun. Naik turun lantai tingkatan pun mereka menereobos lantai 
dengan sebebas-bebasnya. Mereka dapat bergerak sesuka hatinya, hati 
ingin naik segera naik, hati ingin turun ke bawah, segera turun ke 
bawah. Niat hati mereka yang memegang kendali segala gerak-geriknya. 
Asal ada selintas angan-angan di hati mereka, mereka segera mencapai 
pada tujuan walaupun tempatnya jauh tak terbayangkan. Di dalam pagoda 
teratai boleh dikata serba ada, serba lengkap. Di sana kita dapat 
memantau seluruh Dharma Dhatu, termasuk Padma Ksetra (Negeri-negeri 
Buddha), serta keadaan, tata hidup makhluk-makhluk yang menghuni di alam
 masing-masing. Pemandangan setiap Padma Ksetra yang unik dan super 
mengagumkan, sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata dan tulisan 
bahkan hanya sepersepuluh ribu bagian saja. Penghuni di Varga Atas 
Tengah bila ingin berkunjung ke salah satu Padma Ksetra dari berjuta 
miliar banyaknya, yang jaraknya sampai jutaan cahaya tahun, hanya dalam 
sekejab mata saja sudah sampai pada tujuan yang diinginkan.
Memasuki
 Pagoda Teratai, kita seolah-olah naik lift dapat naik ke atas dengan 
sendirinya setingkat demi setingkat, kita menerobosi setiap lantai 
kristal tanpa halangan apapun. Terlihat setiap lantai ada banyak orang 
sedang rajin menyebut nama Buddha, semuanya laki-laki berumur sekitar 30
 tahun. Para penghuni di setiap tingkat mengenakan seragam lain daripada
 yang lain, kami kira-kira menjumpai lebih dari 20 macam warna seragam 
yang berbeda-beda. Namun tidak menjumpai seorang perempuan pun. Semua 
laki-laki duduk tegak di atas alas teratai memanjatkan doa.
Kuan 
She Ing Phu Sa berkata, “Jadwal hidup sehari-hari di sini dibagi 6 
waktu, 2 waktu untuk membaca sutra dan memanjatkan sutra dan mantra, 2 
waktu untuk meditasi, 2 waktu lagi untuk istirahat, saat ini adalah 
waktu belajar, menjalankan kebaktian.�
Kami memasuki satu 
ruangan yang berada di salah satu tingkat di pertengahan pagoda Teratai.
 Terlihat mereka duduk berjajar terbagi dua kelompok, masing-masing 
kelompok mengambil tempat salah satu sisi dari dua sisi ruangan 
tersebut. Kelompok A dan Kelompok B duduk berhadapan. Mereka membaca 
Sutra diiringi dengan suara genta genderang, ketukan, dan lain-lain, 
namun tidak terlihat alat musik sepotongpun. Mereka duduk diatas alas 
yang sangat indah sekali, dipimpin oleh seorang Bodhisattva yang duduk 
di tengah-tengah mereka. Mereka yang membaca dengan baik, di sekitar 
bagian kepalanya memancarkan Candra Prabu (sinar bulan) yang terang 
benderang, dan setiap utas sinar menjelama menjadi seorang Buddha, 
sehingga id sekelilingnya dikitari bayangan Buddha-Buddha yang tak 
terhitung banyaknya. Seperti sinar emas Candra Prabu Sang Buddha 
Amithaba beterbangan mengitari aula dan pucuk lancip pagoda, berkicauan,
 menyanyi mengiringi suara mantra dan doa dengan merdu dan serasi 
sekali. Di aula dan pagoda dihiasi lampu mutiara, lampu kristal beraneka
 ragam, dan warna semuanya memancarkan sinar indah yang menyenangkan. 
Diantaranya ada sejenis lentera bulat dapat berubah-rubah bentuk dan 
warnanya. Pendek kata tak habis-habis diceritakan dan tak ada kata yang 
cocok untuk melukiskan. Acara puca bhakti diselenggarakan di sini, 
karena di sini kita dapat melihat dengan jelas seluruh alam semesta, 
baik makhluk-makhluk di tiga alam derita, dunia fana, dewa-dewi yang 
riang gembira di alam Dewa, maupun Para Buddha di Buddha ksetra yang 
berjuta-juta banyaknya. Pemandangan yang menakjubkan satu demi satu 
tampil di depan kita.
Petunjuk dari Buddha Amithaba
Sesudah
 melewati 3 Varga (9 tingkat) Sukhavati Loka, kami menghadap Sang Buddha
 Amithaba. Saya segera bernamaskara kepada Sang Amithaba 3 kali, 
selanjutnya saya mohon petunjuknya dengan ikhlas. 
Beliau 
bersabda, sekata demi sekata, dengan seksama dan serius, 
“Sesungguhnya, sifat ke-Buddhaan terkandung pada setiap makhluk, tanpa
 perkecualian baik yang tinggi maupun rendah derajatnya. Oleh karena 
Avidya (kegelapan) maka pandangan mereka terbalik, dan kesadaran 
tersesat, yang palsu dianggap benar, yang khayal dianggap nyata. Maka 
tertaburlah bibit yang buruk, bibit menghasilkan buah, buah mengandung 
bibit baru, lahir mati, mati lahir membentuk siklus delusi (samsara) 
berputar tiada henti-hentinya. Sedih-pedih, derita dan sengsara menyiksa
 mereka silih berganti. Dengan 48 Purva Pranidhana, saya telah berikrar 
akan menolong mereka di alam sengsara tanpa terkecuali. Kepada mereka 
yang betul-betul dapat menunaikan tiga persyaratan, yaitu: Sin 
(Sradha/keyakinan), Yuen (Pranidhana/tekad), Sing (Smskara/ jalani). 
Dengan melatih diri untuk bertindak, mengucap dan berpikir dengan 
konsekuen dari saat ke saat, sampai akhir hayat mereka, mereka cukup 
mengucapkan Sepuluh Panjatan 'Namo Amithabaya' dengan konsentrasi dan 
penuh ikhlas, mereka pasti akan terlahir di Sukhavati Loka.�
Saya bernamaskara kepada Beliau, memohon melanjutkan petunjuk Beliau. Beliau melanjutkan:
“Pertama,
 anda mempunyai hubungan erat dengan dunia fana, maka anda berkewajiban 
menyeberangkan Ayah Bunda, saudara-saudara, famili, dan teman sahabat 
anda yang sekarang dan beberapa puluh tumimbal lahir yang lampau. Anda 
ditugaskan mengajari mereka tentang 'Dhyana Tanah Suci (Sukhavati 
Loka)', dan mengajari mereka betul-betul untuk mentaati sila Vinaya.�
“Kedua,
 anda diharapkan menjaga kerukunan antar agama, apalagi antar 
mazhab-mazhab/ sekte-sekte seagama. Membererat kerjasama antar agama dan
 antar sekte. Antar umat berlainan agama atau sekte jangan saling 
membenci, merongrong, dan memfitnah, jangan selalu menganggap dirinya 
murni, dan orang lain tidak, memandang diri besar, orang lain kecil, 
dirinya tinggi orang lain rendah. Jangan suka mengorek-ngorek 
kesalahan/kelemahan orang. Hal-hal demikian tidak dibenarkan. Buddha 
Dharma maha luas tiada batasnya, mempunyai 84.000 pintu Dharma, dan 
setiap pintu Dharma mempunyai aspek kebenarannya, dan aspek positifnya. 
Mereka yang menekuni dan mentaati ajaran dari salah satu pintu dharma 
pasti akan membimbing dari arah yang sesat ke arah yang benar/tepat, 
yang negatif dapat dirubah menjadi positif, Sang Mara jika sudah sadar 
akan menjadi Buddha. Yang cita-citanya kecil/kerdil dapat berubah 
menjadi cita-cita agung luhur. Antar agama atau sekte harus saling 
bertoleransi, saling membantu, saling mencintai, meluruskan apa yang 
bengkok, menegakkan apa yang miring, pada hakekatnya, hal tersebut 
adalah misi luhur dari umat Buddha dan kebijaksanaan umat Buddha.�
Setelah berhenti sejenak Beliau bersabda lagi, “Baiklah, sekarang anda boleh pulang.�
Berulang-ulang saya bernamaskara kepada Amitabha Buddha menyampaikan rasa terima kasihku sedalam-dalamnya.
Sepanjang
 perjalanan pulang, dua kuntum bunga teratai di atas kedua kakiku 
membawa saya terbang dengan cepat, sebentar saja 'Pintu alam dewa 
selatan' telah kutinggalkan, dan tiba di Istana Arahat Langit Tengah. 
Saya berhenti memanjatkan mantra, dan dengan sekejab teratai di bawah 
kaki lenyap. Seorang bocah menyuguhi kami secangkir air putih, saya 
segera habiskan air tersebut. Lalu seorang biarawan menunjukkan kepada 
saya sebuah kamar agar saya istirahat, entah mulai kapan saya tertidur 
pulas.
Kembali ke dunia fana, di gua maitreya gunung 9 dewa
Saat
 saya terbangun semua pagoda, kuil, teras, istana, para suci, para 
Bodhisattva, dan Buddha, semuanya hilang tanpa bekas. Menurut ingatanku 
perjalananku pergi dan kembali dari Sukhavati Loka hanya sekitar 20 jam.
 Pemandangan dan peristiwa yang memukau masih seperti baru dan sangat 
jelas di depan mata. Saat ini bukanlah saya di dalam istana megah yang 
memancarkan sinar emas, melainkan saya di kelilingi gelap gulita. 
Walaupun saya telah mengangkat tanganku di depan mata, saya tidak dapat 
melihat lima jariku. Saya merasa duduk sendirian di sebuah batu. Tak 
lama kemudian fajar menyingsing. Sinar surya menembus awan di tepi 
langit, keadaan badan saya telah pulih seperti sedia kala. 
Saya bernamaskara selama dua hari dua malam, berteriak, melompat-lompat, menangis, namun tanpa sedikitpun jawaban dari luar.
Selangkah
 demi selangkah saya turun dari gunung, kira-kira telah berjalan 10 
kilometer, sampai pada jalan Je Sue (air Merah), terlihat banyak pejalan
 kaki lalu lalang. Saya bertanya kepada salah seorang yang lewat, dan 
terperanjat oleh jawabannya. “Hari ini tanggal 8 Mei 1973.� Dihitung
 mulai tahun 1967, saya meninggalkan dunia fana sampai dengan pulang 
kembali ditempuh lebih dari 6 tahun 5 bulan lamanya.
Mereka yang insaf akan kebenaran adalah Bodhisattva.
Mereka yang sesat di keduniawian adalah manusia biasa,
Yang beruntung mendengar Ajaran Kebenaran Sang Buddha,
Bertalian erat dengan sebab masa-masa yang lampau.
Hanya yang berjodoh dengan Sang Buddha dapat diseberangkan.
Mewariskan cita-cita luhur Master Si Yin yang karuna,
Kami berikrar menyebarkan Buddha Dharma
Ke setiap pelosok di Dunia Saha.
Kami bertekad menyeberangkan mereka yang membutuhkan bantuan
Dari alam sengsara ke pantai bahagia
Semoga semua jasa pahala kami,
Dilimpahkan kepada setiap makhluk yang menderita,
Agar mereka bersama-sama kami,
Semuanya mencapai ke-Buddha-an.
-- The End --
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar