Rabu, 28 November 2012

Pelimpahan Jasa dan Ulambana


 
“Harta kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara-cara yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, juga orang tuanya, istri dan anak-anaknya, pelayan dan bawahannya, sahabat, kenalan dan orang-orang lain; ... dapat mempertahankan kekayaannya; ... memberikan hadiah atau pemberian kepada sanak keluarga, para tamu perbuatan baik atas nama keluarga yang telah meninggal dunia; membayar pajak kepada pemerintah; memberikan persembahan kepada orang-orang suci untuk melakukan karma baik.”(Anguttara Nilaya III: 45)
  
Jika kita mengikuti kebaktian, sebelum menutupnya pastilah kita membacakan paritta pelimpahan jasa (Ettavata) maupun syair pelimpahan jasa dan biasanya jika kita telah melakukan suatu kebajikan, tak lupa pula kita mendedikasikan benih kebajikan kita tersebut, baik untuk kebahagian semua makhluk, orang tua,  keluarga, sanak saudara, maupun teman kita. Menjelang bulan Agustus, kita kembali diingatkan akan melaksanakan upacara Ulambana untuk pelimpahan jasa kepada sanak keluarga kita yang telah meninggal dunia. Perayaan Ulambana ini sering kali disamakan dengan tradisi perayaan bulan ketujuh Imlek karena kedua perayaan ini dirayakan tanggal 15 pada bulan ketujuh Imlek dan memiliki tujuan yang sama. Akan tetapi, dasar filsafat dan cara praktek kedua perayaan tersebut berbeda.
  
Menurut tradisi masyarakat Tionghua, makhluk-makhluk penghuni neraka dibebaskan selama sebulan pada bulan ketujuh Imlek dan mereka akan mengunjungi bumi. Untuk mencukupi kebutuhan mereka dan untuk mengambil hati mereka serta mencegah mereka menyakiti makhluk hidup, para keluarga memberikan persembahan. Selain itu, perayaan yang dikenal dengan Tjit Gwe Pua ini biasanya dilakukan dengan membakar uang kertas, baju kertas, dan sebagainya.
  
Sebenarnya, di tradisi Buddhis, memperingati saat-saat kematian orang kita cintai telah dimulai sejak zaman Sang Buddha. Tentu saja bukan hanya dengan mengirim makanan, mengirim pakaian kepada orang tua atau almarhum. Ada beberapa hal yang memang diajarkan oleh Sang Buddha dalam upacara peringatan kematian seperti hari ini.
 
Ada dua cerita yang berkembang dalam masyarakat Buddhis. Cerita yang pertama telah sering kita dengar, yaitu cerita seorang murid Sang Buddha yang paling sakti, bernama Bhante Moggalana (Maha Maudgalyayana/ Muk Lien). Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M. Moggalana menolong ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal masyarakat luas. Cerita ini terdapat dalam Ulambanapatra Sutra yang ditemukan pada Kanon China. Cerita ini tidak ditemukan pada Kanon Pali atau Tibet. Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain selain alam manusia. Pada waktu itu Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan dewi. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam menderita, alam setan, setan raksasa (Asura), setan kelaparan atau alam peta dan juga alam neraka. Bhante Moggalana dengan prihatin melihat alamalam menderita yang sangat menyedihkan ini. Di salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya terlahir di sana. Oleh karena ibunya terlalu lama tidak dapat makan dan minum, maka tubuhnya tinggal tulang dan kulit yang kering, kurus, dan pucat. Melihat kondisi ibunya sedemikian buruk, Bhante Moggalana sangat sedih dan ingin membantu meringankan penderitaan ibundanya. Dengan amat tergesa-gesa, beliau mengisi patta-nya (mangkok makanan bagi seorang bhikkhu) dengan nasi, dan dengan kekuatan gaibnya nasi itu dikirim kepada ibunya yang malang itu. Karena ia merasa sangat lapar serta khawatir nasinya direbut oleh setan-setan lain, maka setelah nasi itu diterima, ibunya cepat-cepat menutupi nasi tersebut dengan telapak tangan kiri dengan serapat-rapatnya.
 
Kemudian dengan tangan kanan ia mengambil segenggam nasi untuk meringankan rasa laparnya, tetapi betapa malangnya, begitu nasi itu sampai di depan mulutnya berubah menjadi arang yang membara dan ia pun tak dapat memakannya dan tetap kelaparan. Melihat nasib ibunya yang malang itu, Bhante Moggalana sebagai seorang anak yang sangat cinta kepada orangtuannya tambah sedih karena gagal menolong ibundanya. Karena tidak ada jalan lain, beliau dengan perasaan dukacita kembali ke Vihara dan menyampaikan apa yang telah dialaminya kepada Buddha. Bhante Moggalana bertanya kepada Guru Buddha tentang sebab musabab kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya. Buddha menerangkan kepada Bhante Moggalana dalam Ulambanapatra Sutra sebagai berikut.
 
“O, Maha Maudgalyayana yang berbudi, apa sebabnya hingga kemampuan kegaibanmu tidak dapat berbuah sesuatu terhadap seseorang yang bertubuh setan kelaparan? Ketahuilah, sebabnya adalah karma buruk yang pernah ditimbun oleh ibumu pada masa silam itu akarnya terlalu dalam, tentu saja kamu sendiri tidak dapat mencabut akar itu hanya dengan kemampuan gaib tanpa disertai kebajikan. Dan akar kejahatan itu tidak dapat kamu cabut seorang diri dengan mengandalkan daya gaib saja. Walaupun kamu bermaksud baik, bercita-cita luhur, sampai-sampai teriakanmu yang mengharukan bias mengguncangkan langit dan bumi, tetap saja para dewata, para dewa bumi dan surga, para orang suci, bahkan raja adikuasa dari surge catur maharajakayika, dan sebagainya, tidak dapat berbuat apa-apa; kesemuannya kehilangan cara untuk membantumu dan semua maksud baik dan segala keingianmu itupun sia-sia.”
 
Buddha melanjutkan sabda-Nya: “Ketahuilah Maha Maudgalyayana yang berbudi! Jika segala keinginan dan citacitamu ingin terwujud, undanglah para Bhiksu dan Bhiksuni dari Sravaka-Sangha yang berada di 10 penjuru; butlah suatu kebaktian bersama dan buatlah juga kebajikan-kebajikan untuk dianugerahkan kepada ibumu. Dengan demikian segala belenggu dan kesengsaraan yang menimpa ibumu akan lepas semua.” “Sekarang akan Kuuraikan cara untuk menyelamatkan para umat yang sedang mengalami siksaan di alam Samsara kepada anda sekalian.”
 
Buddha bersabda kepada Maha Maudgalyayana lagi: “Dengarlah baikbaik Maha Maudgalyayana yang berbudi! Pada setiap tanggal 15 bulan 7 (menurut penanggalan Candrasangkala) adalah Hari Pravarana Sangha. Pada saat inilah para Bhiksu dan Bhiksuni yang berada di 10 penjuru berlibur, dan pada saat itu pulalah mereka sering mengadakan pembincangan untuk pertobatan.” “Pada saat itu, kamu bias mengambil kesempatan untuk mengadakan suatu upacara berdana makanan kepada para orang suci, yakni upacara Ulambana namanya. Dan gunannya khusus untuk menyelamatkan orang tua si pemuja baik mereka yang masih hidup maupun yang telah meninggal atau yang sedang tertimpa malapetaka.. ..”
 
Kemudian Maha Maudgalyayana bertanya pada Buddha lagi, “Apakah para putra-putri yang berbudi atau siswasiswi Buddhis di masa yang akan dating dapat menggunakan cara Ulambanapatra ini untuk menyelamatkan orangtua atau ayahibunya dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa silam?
 
Buddha menjawab, “Sekarang dengarlah baik-baik putra-putri yang berbudi! Apabila terdapat bhiksu, bhiksuni, para raja, pangeran, pejabat-pejabat kerajaan, serta para rakyat jelata yang berada di masa sekarang atau di masa mendatang berkasrat ingin melaksanakan bakti, membalas budi kepada orangtuannya; iba hati kepada para makhluk yang sengsara, mereka boleh menyediakan berbagai macam makanan serta sajian lain pada Hari Pravarana Sangha itu, dan mengadakan upacara Ulambana di suatu tempat suci dengan maksud berdana makanan kepada para suci yang datang dari 10 penjuru, sehingga ayah-bunda mereka yang masih hidup mendapat umur panjang dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan orangtua mereka yang telah meninggal beserta ayah-bunda dalam 7 turunan dari masa yang lampau itu dapat keluar dari alam setan kelaparan atau alam samsara lain, dan mereka dapat dilahirkan di alam manusia atau di alam kebahagiaan, agar mereka dapat berbahagia selamalamanya.”
 
Buddha menjelaskan bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang melakukannya dengan cara pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan ditolong. Oleh karena itu, Bhante Moggalana kemudian disarankan oleh Sang Buddha untuk memberikan persembahan jubah dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya. Nasehat Sang Buddha ini diikuti oleh Bhante Moggalana. Beberapa waktu kemudian Bhante Moggalana mengundang para bhikkhu, mempersembahkan dana makan, mempersembahkan jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi lagi. Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta. Ketika bertemu, keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda, pakaiannya bagus, rapi dan bersih. Melihat hal itu, Bhante Moggalana berbahagia. Berdasarkan cerita itulah orang mengenal upacara pelimpahan jasa. Upacara pelimpahan jasa ini juga sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan para makhluk menderita yang dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut penanggalan Imlek.
 
Selain itu, kitab suci Tri Pitaka, Sutta Pitaka, Khuddhaka Nikaya, yaitu Tirokudda Sutta memberikan cerita dengan versi lain tentang upacara pelimpahan jasa. Cerita ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja Bimbisara suatu ketika mengundang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana. Raja dalam kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. Setelah berdana, raja merasakan kebahagiaan. Para bhikkhu pun lalu pulang ke vihara bersama dengan Buddha. Raja Bimbisara sangat berbahagia pada hati itu, karena dia memiliki kesempatan mengundang Buddha ke istana. Akan tetapi, pada malam harinya raja memperoleh banyak gangguan dari para makhluk tak tampak. Ia banyak mendengar jeritan dan tangisan dari makhluk tak tampak. Raja akhirnya tidak dapat tidur semalaman. Pada pagi keesokan harinya, raja Bimbisara segera pergi ke vihara bertemu dengan Buddha. Sang raja bertanya kepada Buddha tentang gangguan yang dialaminya, padahal ia baru saja melakukan perbuatan baik. Buddha menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu sebenarnya adalah sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang lalu. Namun, karena mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian terlahir di alam menderita, alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Buddha kemudian menyarankan kepada raja agar ia sekali lagi mengundang para bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu telah sampai di istana, raja hendaknya mempersembahkan dana makanan dan jubah atas nama para makhluk menderita yang pernah menjadi saudaranya itu. Keesokan harinya, raja Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Buddha untuk menerima persembahan dana makan dan jubah. Kemudian jasa kebaikannya dilimpahkan kepada mereka. Para makhluk menderita itu merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia.
 
Dalam kesempatan itulah Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Buddha bersabda bahwa di dindingdinding, di gerbang-gerbang, di persimpangan- persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati kita. Mereka menanti pelimpahan jasa kita dengan penuh kesedihan. Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal di sana tidak ada perdagangan, tidak ada warung dan restoran. Lalu bagaimana caranya kita menolong mereka? Kita bisa menolong mereka dengan melakukan kebaikan, dan melimpahkan jasanya kepada mereka.
 
Dalam masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan tradisi melakukan upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan Imlek. Padahal menurut agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak harus menunggu bulan tujuh. Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti kita masih tetap hidup! Kalau kita juga ikut meninggal, justru malahan kitalah yang menerima pelimpahan jasa! Sebetulnya pelimpahan jasa bisa dilaksanakan setiap saat, bahkan setiap malam pun kita bias merenung. ‘Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai malam hari ini, almarhum papa dan mama memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.’ Kenapa dipilih ‘bulan tujuh’, ini tentu ada sebabnya. Dasar pemilihan ini dari kebiasaan Tiongkok. Bulan tujuh adalah bulan pergantian musim. Kita pun dapat melihat di Indonesia kalau pada Bulan Tujuh udara sangatlah dingin, bulan menggigil! Oleh karena itu, dalam bulan ini cukup banyak orang yang sakit. Karena banyaknya orang sakit maka para orang tua jaman dahulu menganggapnya sebagai banyaknya gangguan setan. Setan yang mengganggu berasal dari neraka yang, katanya, sedang ‘dibuka’. Oleh sebab itu, para leluhur kita dahulu kemudian melakukan upacara tertentu agar tidak memperoleh bencana karena gangguan para setan tadi. Itulah, secara singkat, awal munculnya tradisi upacara di bulan tujuh tanggal lima belas. Secara agama Buddha, sekali lagi, pelimpahan jasa dapat dilakukan setiap saat, tanpa harus menunggu bulanbulan tertentu.
 
 
Apakah pelimpahan jasa itu masih bermanfaat bila dilakukan di zaman sekarang ini? Masih! Ada kisah nyata. Ada seorang samanera yang ibunya meninggal dunia. Karena dia Buddhis, dia mengerti bagaimana caranya berbuat baik. Dia mengundang seorang bhikkhu dengan satu samanera yang lain lagi untuk membacakan paritta. Setelah selesai dia mempersembahkan dana. Di sini ada baiknya disebutkan jumlahnya karena jumlahnya ini berhubungan dengan cerita ini. Mereka masing-masing mendapatkan selembar amplop yang berisi Rp. 5000,00. Beberapa hari kemudian samanera yang mengadakan pelimpahan jasa itu menceritakan bahwa ibunya telah mendatanginya lewat mimpi. Dalam mimpi, ibunya mengatakan kini ia telah mempunyai uang. Ibunya, dalam mimpi, menunjukkan uang dua lembar @ Rp. 5000,00!
  
Ada cerita yang lain lagi. Ada seorang ibu yang sudah lama menjadi janda. Suatu malam suaminya datang dalam mimpi dan meminta selembar baju. Setelah bangun, sang istri kemudian pergi ke pasar untuk membeli kain yang seukuran suaminya, juga yang warna dan motifnya yang disenangi suaminya. Si istri kemudian meletakkan semuanya itu di meja penghormatan yang ada foto almarhum di atasnya. Dia kemudian membaca paritta. Selesai membaca paritta, dia mengatakan; ‘Niat saya hari ini mau berdana, atas nama suami saya, semoga dengan kekuatan kebaikan ini suami saya memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.’ Sesudah selesai, kainnya ini tidak dibakar, tetapi didanakan kepada salah seorang pengurus vihara atas nama almarhum suaminya. Seminggu kemudian ibu ini mimpi lagi suaminya datang. Suaminya puas dengan pemberian bajunya, hanya saja ia mengeluh kalau ukuran bajunya tidak sesuai, kekecilan. Ibu ini terbangun, kemudian merenungkan arti mimpinya. Dia teringat bahwa ketika membeli kain ukurannya sama dengan ukuran suaminya, padahal orang yang menerima dana badannya lebih besar daripada suaminya. Pantas kekecilan! Keesokan harinya, istri yang setia ini pergi ke pasar lagi untuk membeli kain kekurangannya, dan dia berikan kepada penjaga vihara itu. Penjaga vihara itu justru heran atas pengertian si ibu. Ia baru saja akan menghubungi si ibu karena kainnya memang kurang ukurannya.
  
Dari cerita ini jelas kelihatan bahwa sebetulnya pelimpahan jasa secara Buddhis itu dapat diterima oleh para makhluk yang kita kirimi. Hanya saja, syaratnya makhluk itu harus terlahir di alam Paradatupajivika Peta. Kalau dia tidak terlahir di alam itu, kalau dia terlahir di salah satu dari 26 alam surga, atau terlahir di alam neraka, maka makhluk ini tidak bisa menerima pelimpahan jasa kita. Kalau demikian, apakah manfaat bagi kita membacakan paritta untuk makhluk yang tidak terlahir di alam peta tersebut? Apabila orang yang meninggal itu tidak terlahir di alam Peta tersebut, minimal selama kita membacakan paritta, selama itu pula pikiran, ucapan serta perbuatan kita dipupuk untuk sesuatu yang baik, mendoakan agar almarhum berbahagia. Kenal atau pun tidak kenal kepadanya kita tetap mendoakan semoga almarhum berbahagia. Maka selama setengah jam itu, pikiran, ucapan dan perbuatan kita telah melaksanakan kebaikan. Bayangkan kalau pagi setengah jam, malam setengah jam lagi, berarti hari ini kita punya satu jam yang berisi pikiran, ucapan, dan perbuatan kita baik. Kalau tiap pagi dan malam kita bisa membaca paritta setengah jam, maka dalam satu bulan kita dapat mengumpulkan sekitar 30 jam untuk berpikir dan berbuat yang baik. Luar biasa, begitu besar kesempatan melakukan perbuatan baik. Hanya dengan membaca paritta saja! Cobalah bila kita duduk selama satu jam. Pikiran dengan mudah mengembara kemana-mana. Kadang timbul pikiran baik, tetapi tidak jarang muncul pikiran jahat. Tetapi dengan diisi kegiatan membaca paritta, maka pikiran, ucapan serta perbuatan kita otomatis terisi pula dengan kebaikan. Satu jam setiap hari, 30 jam satu bulannya kita berkesempatan mengembangkan kebaikan hanya dengan membaca paritta. Oleh karena itu, seringlah membaca paritta, apalagi pada upacaraupacara semacam ini. Bagus. Dalam upacara ini, selain kita telah melaksanakan kebaikan dengan membaca paritta, kita juga dapat melimpahkan jasa kebaikan itu kepada almarhum. Bukankah kita dengan mambaca paritta berarti telah berbuat baik? Datang dari tempat yang jauh khusus untuk membacakan paritta. Kita pun juga bias melimpahkan jasa itu kepada sanakkeluarga kita sendiri yang sudah meninggal. Sanak keluarga kita yang terdiri dari kakeknenek, orang tua maupun para leluhur dan kerabat kita lainnya. Mereka juga perlu kita berikan pelimpahan jasa agar mereka berbahagia. Jadi, pelimpahan jasa dapat dilaksanakan oleh siapa pun dan kapan pun juga. Karena pelimpahan jasa ini akan membawa manfaat baik bagi yang  meninggal maupun kita yang hidup.
 
Paradattupajivika peta yang disebutkan dalam Tirokkuda Sutta, adalah peta yang bila mendapat “pembagian” atau “kiriman jasa” dari keluarganya yang masih hidup, maka ia dapat tertolong dan akibatnya ia dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Tetapi sesungguhnya tidak ada pembagian, pelimpahan atau kiriman jasa kepada mereka. Mereka tertolong karena mereka melihat keluarga mereka berbuat kebaikan atas nama mereka. Ketika mereka melihat perbuatan baik dari keluarga mereka itu, yang dilakukan atas nama mereka, mereka menjadi senang dan turut bergembira (mudita citta) dengan perbuatan baik itu. Karena ia memunculkan pikiran baik (mudita citta) pada dirinya sendiri, maka secara langsung ia telah berbuat karma baik melalui batinnya sendiri. Karma baik inilah yang menolong peta tersebut, yaitu karma baik yang dibuatnya sendiri.
 
Apakah perlu meletakkan makanan bagi almarhum? Bagaimana dengan membakar kertas uang dan seterusnya bagi mereka?
 
Setelah batin orang meninggalkan badan kasar, ia memasuki alam antara sebelum memasuki badan kasar lain.
 
Tergantung pada kondisi, seseorang dapat berada di alam antara ini hanya beberapa saat, atau hidup paling lama empat puluh sembilan hari. Dikatakan bahwa mahluk di alam antara bertahan dengan “memakan” bau-bauan, jadi meletakkan makanan mungkin membantu. Menurut perbuatannya terdahulu, orang ini terlahir di alam bahagia atau menderita. Bila sanak kita telah terlahir sebagai dewa, manusia, binatang atau kehidupan lain, makanan yang disajikan tidak menjangkaunya, dan lebih lagi, ada makanan tersedia di alam kehidupannya. Bila ia terlahir sebagai hantu kelaparan, ada mantra tertentu diucapkan pada makanan, yang dapat mengurangi kekaburan karma dari hantu lapar dalam menemukan makanan.
 
Membakar mobil atau pakaian kertas atau uang kertas tidak memberikan almarhum barang-barang ini di kelahirannya mendatang. Tidak ada perlunya membakar barang-barang ini. Tradisi melakukan ini adalah kebudayaan Cina kuno, bukan praktik yang diajarkan oleh Sang Buddha. Jika kita benar-benar ingin membantu keluarga dan teman memiliki kekayaan di kehidupannya yang akan datang, kita seharusnya mendorong mereka melakukan persembahan dan menjadi dermawan saat mereka hidup. Sang Buddha berkata bahwa kedermawanan adalah sebab dari kekayaan, bukannya membakar kertas.
  
Kadang-kadang, kita menasehati keluarga kita, “Jangan memberikan terlalu banyak, maka keluarga kita akan kekurangan”. Dengan mendorong agar mereka pelit saat hidup, kita menyebabkan mereka menanam bibit dalam arus batin mereka menjadi miskin di kehidupan berikutnya. Juga kita menanam bibit yang sama di arus batin kita. Di sisi lain, bila kita dorong mereka untuk jadi dermawan dan menghindari mencuri dan berbuat curang pada yang lain dalam bisnis, maka kita membantu mereka memiliki kekayaan.
 
Jika kita ingin orang yang kita cintai memiliki kelahiran kembali yang baik, bantuan terbaik yang dapat kita berikan adalah mendorong mereka saat hidup untuk menghindari sepuluh perbuatan buruk dan melatih sepuluh kebajikan yang merupakan lawannya. Kesepuluh perbuatan buruk adalah membunuh, mencuri, tindakan seksual tidak pantas, berbohong, ucapan yang memecah belah, ucapan yang menyakitkan, menggosip, iri atas milik orang lain, keinginan jahat, dan pandangan salah. Malahan, bila kita mendorong mereka untuk berbohong guna melindungi kita atau mencurangi orang lain, kita membantu mereka membuat sebab dari kelahiran di alam menderita. Kita habiskan berjam-jam bergosip, dan mengkritik yang lain, kita hanya mengagalkan tujuan kita sendiri. Oleh karena kita tulus menginginkan mereka bahagia setelah kematian, kita seharusnya membantu mereka meninggalkan perbuatan destruktif dan mempraktikkan perbuatan konstruktif. Kita dapat mendorong (bukan memaksa) mereka untuk mengambil janji pancasila atau bahkan menjadi bhikkhu atau bhikkuni. Hal itu benar-benar bermanfaat untuk kehidupannya mendatang.
 
 
 
Dharma Prabha edisi 46, Agustus 2005
(artikel ini perlu diedit ulang)
 

0 komentar:

Posting Komentar

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;