“Harta
 kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara-cara 
yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, 
juga orang tuanya, istri dan anak-anaknya, pelayan dan bawahannya, 
sahabat, kenalan dan orang-orang lain; ... dapat mempertahankan 
kekayaannya; ... memberikan hadiah atau pemberian kepada sanak keluarga,
 para tamu perbuatan baik atas nama keluarga yang telah meninggal dunia;
 membayar pajak kepada pemerintah; memberikan persembahan kepada 
orang-orang suci untuk melakukan karma baik.â€(Anguttara Nilaya III: 
45) 
Jika
 kita mengikuti kebaktian, sebelum menutupnya pastilah kita membacakan 
paritta pelimpahan jasa (Ettavata) maupun syair pelimpahan jasa dan 
biasanya jika kita telah melakukan suatu kebajikan, tak lupa pula kita 
mendedikasikan benih kebajikan kita tersebut, baik untuk kebahagian 
semua makhluk, orang tua,  keluarga, sanak saudara, maupun 
teman kita. Menjelang bulan Agustus, kita kembali diingatkan akan 
melaksanakan upacara Ulambana untuk pelimpahan jasa kepada sanak 
keluarga kita yang telah meninggal dunia. Perayaan Ulambana ini sering 
kali disamakan dengan tradisi perayaan bulan ketujuh Imlek karena kedua 
perayaan ini dirayakan tanggal 15 pada bulan ketujuh Imlek dan memiliki 
tujuan yang sama. Akan tetapi, dasar filsafat dan cara praktek kedua 
perayaan tersebut berbeda. 
Menurut
 tradisi masyarakat Tionghua, makhluk-makhluk penghuni neraka dibebaskan
 selama sebulan pada bulan ketujuh Imlek dan mereka akan mengunjungi 
bumi. Untuk mencukupi kebutuhan mereka dan untuk mengambil hati mereka 
serta mencegah mereka menyakiti makhluk hidup, para keluarga memberikan 
persembahan. Selain itu, perayaan yang dikenal dengan Tjit Gwe Pua ini 
biasanya dilakukan dengan membakar uang kertas, baju kertas, dan 
sebagainya. 
Sebenarnya,
 di tradisi Buddhis, memperingati saat-saat kematian orang kita cintai 
telah dimulai sejak zaman Sang Buddha. Tentu saja bukan hanya dengan 
mengirim makanan, mengirim pakaian kepada orang tua atau almarhum. Ada 
beberapa hal yang memang diajarkan oleh Sang Buddha dalam upacara 
peringatan kematian seperti hari ini. 
Ada
 dua cerita yang berkembang dalam masyarakat Buddhis. Cerita yang 
pertama telah sering kita dengar, yaitu cerita seorang murid Sang Buddha
 yang paling sakti, bernama Bhante Moggalana (Maha Maudgalyayana/ Muk 
Lien). Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu 
(Y.M. Moggalana menolong ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal 
masyarakat luas. Cerita ini terdapat dalam Ulambanapatra Sutra yang 
ditemukan pada Kanon China. Cerita ini tidak ditemukan pada Kanon Pali 
atau Tibet. Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante 
Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain 
selain alam manusia. Pada waktu itu Bhante Moggalana melihat surga, 
tempat para dewa dan dewi. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam 
menderita, alam setan, setan raksasa (Asura), setan
kelaparan atau alam peta dan juga alam neraka. Bhante Moggalana dengan 
prihatin melihat alamalam menderita yang sangat menyedihkan ini. Di 
salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya 
terlahir di sana. Oleh karena ibunya terlalu lama tidak dapat makan dan 
minum, maka tubuhnya tinggal tulang dan kulit yang kering, kurus, dan 
pucat. Melihat kondisi ibunya sedemikian buruk, Bhante Moggalana sangat 
sedih dan ingin membantu meringankan penderitaan ibundanya. Dengan amat 
tergesa-gesa, beliau mengisi patta-nya (mangkok makanan bagi seorang 
bhikkhu) dengan nasi, dan dengan kekuatan gaibnya nasi itu dikirim 
kepada ibunya yang malang itu. Karena ia merasa sangat lapar serta 
khawatir nasinya direbut oleh setan-setan lain, maka setelah nasi itu 
diterima, ibunya cepat-cepat menutupi nasi tersebut dengan telapak 
tangan kiri dengan serapat-rapatnya. 
Kemudian dengan tangan kanan ia mengambil segenggam nasi untuk meringankan rasa laparnya, tetapi betapa malangnya,
 begitu nasi itu sampai di depan mulutnya berubah menjadi arang yang 
membara dan ia pun tak dapat memakannya dan tetap kelaparan. Melihat 
nasib ibunya yang malang itu, Bhante Moggalana sebagai seorang
 anak yang sangat cinta kepada orangtuannya tambah sedih karena gagal 
menolong ibundanya. Karena tidak ada jalan lain, beliau dengan perasaan 
dukacita kembali ke Vihara dan menyampaikan apa yang telah dialaminya 
kepada Buddha. Bhante Moggalana bertanya kepada Guru Buddha tentang 
sebab
musabab kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya. Buddha menerangkan
 kepada Bhante Moggalana dalam Ulambanapatra Sutra sebagai berikut. 
“O,
 Maha Maudgalyayana yang berbudi, apa sebabnya hingga kemampuan 
kegaibanmu tidak dapat berbuah sesuatu terhadap seseorang yang bertubuh 
setan kelaparan? Ketahuilah, sebabnya adalah karma buruk yang pernah 
ditimbun oleh ibumu pada masa silam itu akarnya terlalu dalam, tentu 
saja kamu sendiri tidak dapat mencabut akar itu hanya dengan kemampuan 
gaib tanpa disertai kebajikan. Dan akar kejahatan itu tidak dapat kamu 
cabut seorang diri dengan mengandalkan daya gaib saja. Walaupun kamu 
bermaksud baik, bercita-cita luhur, sampai-sampai teriakanmu yang 
mengharukan bias mengguncangkan langit dan bumi, tetap saja para dewata,
 para dewa bumi dan surga, para orang suci, bahkan raja adikuasa dari 
surge catur maharajakayika, dan sebagainya, tidak dapat berbuat apa-apa;
 kesemuannya kehilangan cara untuk membantumu dan semua
maksud baik dan segala keingianmu itupun sia-sia.†
Buddha
 melanjutkan sabda-Nya: “Ketahuilah Maha Maudgalyayana yang berbudi! 
Jika segala keinginan dan citacitamu ingin terwujud, undanglah para 
Bhiksu dan Bhiksuni dari Sravaka-Sangha yang berada di 10 penjuru; 
butlah suatu kebaktian bersama dan buatlah juga kebajikan-kebajikan 
untuk dianugerahkan kepada ibumu. Dengan demikian segala belenggu dan 
kesengsaraan yang menimpa ibumu akan lepas semua.†“Sekarang akan 
Kuuraikan cara untuk menyelamatkan para umat yang sedang mengalami 
siksaan di alam Samsara kepada anda sekalian.†
Buddha
 bersabda kepada Maha Maudgalyayana lagi: “Dengarlah baikbaik Maha 
Maudgalyayana yang berbudi! Pada setiap tanggal 15 bulan 7 (menurut 
penanggalan Candrasangkala) adalah Hari Pravarana Sangha. Pada saat 
inilah para Bhiksu dan Bhiksuni yang berada di 10 penjuru berlibur, dan 
pada saat itu pulalah mereka sering mengadakan pembincangan untuk 
pertobatan.†“Pada saat itu, kamu bias mengambil kesempatan untuk 
mengadakan suatu upacara berdana makanan kepada para orang suci, yakni 
upacara Ulambana namanya. Dan gunannya khusus untuk menyelamatkan orang 
tua si pemuja baik mereka yang masih hidup maupun yang telah meninggal 
atau yang sedang tertimpa malapetaka.. ..†
Kemudian
 Maha Maudgalyayana bertanya pada Buddha lagi, “Apakah para 
putra-putri yang berbudi atau siswasiswi Buddhis di masa yang akan 
dating dapat menggunakan cara Ulambanapatra ini untuk menyelamatkan 
orangtua atau ayahibunya dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa 
silam? 
Buddha
 menjawab, “Sekarang dengarlah baik-baik putra-putri yang berbudi! 
Apabila terdapat bhiksu, bhiksuni, para raja, pangeran, pejabat-pejabat 
kerajaan, serta para rakyat jelata yang berada di masa sekarang atau di 
masa mendatang berkasrat ingin melaksanakan bakti, membalas budi kepada 
orangtuannya; iba hati kepada para makhluk yang sengsara, mereka boleh 
menyediakan berbagai macam makanan serta sajian lain pada
 Hari Pravarana Sangha itu, dan mengadakan upacara Ulambana di suatu 
tempat suci dengan maksud berdana makanan kepada para suci yang datang 
dari 10 penjuru, sehingga ayah-bunda mereka yang masih hidup mendapat 
umur panjang dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan 
orangtua mereka
yang telah meninggal beserta ayah-bunda dalam 7 turunan dari masa yang 
lampau itu dapat keluar dari alam setan kelaparan atau alam samsara 
lain, dan mereka dapat dilahirkan di alam manusia atau di alam 
kebahagiaan, agar mereka dapat berbahagia selamalamanya.†
Buddha
 menjelaskan bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita 
hendaknya orang melakukannya dengan cara pelimpahan jasa. Pelimpahan 
jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah 
meninggal yang akan ditolong. Oleh karena itu, Bhante Moggalana kemudian
 disarankan oleh Sang Buddha untuk memberikan persembahan jubah dan 
makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya. Nasehat Sang Buddha
 ini diikuti oleh Bhante Moggalana. Beberapa waktu kemudian Bhante 
Moggalana mengundang para bhikkhu, mempersembahkan dana makan, 
mempersembahkan jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama 
ibunya. Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana 
bermeditasi lagi. Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam 
peta. Ketika bertemu, keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini
kelihatan segar, sehat, awet muda, pakaiannya bagus, rapi dan bersih. 
Melihat hal itu, Bhante Moggalana berbahagia. Berdasarkan cerita itulah 
orang mengenal upacara pelimpahan jasa. Upacara pelimpahan jasa ini juga
 sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan para makhluk menderita yang
 dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut penanggalan Imlek. 
Selain
 itu, kitab suci Tri Pitaka, Sutta Pitaka, Khuddhaka Nikaya, yaitu 
Tirokudda Sutta memberikan cerita dengan versi lain tentang upacara 
pelimpahan jasa. Cerita ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja 
Bimbisara suatu ketika mengundang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana. 
Raja dalam kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. 
Setelah berdana, raja merasakan kebahagiaan. Para bhikkhu pun lalu 
pulang ke vihara bersama dengan Buddha. Raja Bimbisara sangat berbahagia
 pada hati itu, karena dia memiliki kesempatan mengundang Buddha ke 
istana. Akan tetapi, pada malam harinya raja memperoleh banyak gangguan 
dari para makhluk tak tampak. Ia banyak mendengar jeritan dan tangisan 
dari makhluk tak tampak. Raja akhirnya tidak dapat tidur semalaman. Pada
 pagi keesokan harinya, raja Bimbisara segera pergi ke
vihara bertemu dengan Buddha. Sang raja bertanya kepada Buddha tentang 
gangguan yang dialaminya, padahal ia baru saja melakukan perbuatan baik.
 Buddha menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu sebenarnya 
adalah sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang lalu. 
Namun, karena mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian terlahir
 di alam menderita, alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Buddha 
kemudian menyarankan kepada raja agar ia sekali lagi mengundang para 
bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu telah sampai di istana, raja 
hendaknya mempersembahkan dana makanan dan jubah atas nama para makhluk 
menderita yang pernah menjadi saudaranya itu. Keesokan harinya, raja 
Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Buddha untuk menerima persembahan 
dana makan dan jubah. Kemudian jasa kebaikannya dilimpahkan kepada 
mereka. Para makhluk menderita itu merasakan pula kebahagiaan yang luar 
biasa. Kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari
alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia. 
Dalam
 kesempatan itulah Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Buddha bersabda 
bahwa di dindingdinding, di gerbang-gerbang, di persimpangan- 
persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam menderita 
menunggu kebaikan hati kita. Mereka menanti pelimpahan jasa kita dengan 
penuh kesedihan. Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati 
kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal 
di sana tidak ada perdagangan, tidak ada warung dan restoran. Lalu 
bagaimana caranya kita menolong mereka? Kita bisa menolong mereka dengan
 melakukan kebaikan, dan melimpahkan jasanya kepada mereka. 
Dalam
 masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan tradisi 
melakukan upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan Imlek. 
Padahal menurut agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak harus 
menunggu bulan tujuh. Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti kita 
masih tetap hidup! Kalau kita juga ikut meninggal, justru malahan 
kitalah yang menerima pelimpahan jasa! Sebetulnya pelimpahan jasa bisa 
dilaksanakan setiap saat, bahkan setiap malam pun kita bias merenung. 
‘Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai malam 
hari ini, almarhum papa dan mama memperoleh kebahagiaan sesuai dengan 
kondisi karmanya saat ini.’ Kenapa dipilih ‘bulan tujuh’, ini 
tentu ada sebabnya. Dasar pemilihan ini dari kebiasaan Tiongkok. Bulan 
tujuh adalah bulan pergantian musim. Kita pun dapat
melihat di Indonesia kalau pada Bulan Tujuh udara sangatlah dingin, 
bulan menggigil! Oleh karena itu, dalam bulan ini cukup banyak orang 
yang sakit. Karena banyaknya orang sakit maka para orang tua jaman 
dahulu menganggapnya sebagai banyaknya gangguan setan. Setan yang 
mengganggu berasal dari neraka yang, katanya, sedang ‘dibuka’. Oleh 
sebab itu, para leluhur kita dahulu kemudian melakukan upacara tertentu 
agar tidak memperoleh bencana karena gangguan para setan tadi. Itulah, 
secara singkat, awal munculnya tradisi upacara di bulan tujuh tanggal 
lima belas. Secara agama Buddha, sekali lagi, pelimpahan jasa dapat 
dilakukan setiap saat, tanpa harus menunggu bulanbulan tertentu. 
Apakah
 pelimpahan jasa itu masih bermanfaat bila dilakukan di zaman sekarang 
ini? Masih! Ada kisah nyata. Ada seorang samanera yang ibunya meninggal 
dunia. Karena dia Buddhis, dia mengerti bagaimana caranya berbuat baik. 
Dia mengundang seorang bhikkhu dengan satu samanera yang lain lagi untuk
 membacakan paritta. Setelah selesai dia mempersembahkan dana. Di sini 
ada baiknya disebutkan jumlahnya karena jumlahnya ini berhubungan dengan
 cerita ini. Mereka masing-masing mendapatkan selembar amplop yang 
berisi Rp. 5000,00. Beberapa hari kemudian samanera yang mengadakan 
pelimpahan jasa itu menceritakan bahwa ibunya telah mendatanginya lewat 
mimpi. Dalam mimpi, ibunya mengatakan kini ia telah mempunyai uang. 
Ibunya, dalam mimpi, menunjukkan uang dua lembar @ Rp. 5000,00! 
Ada
 cerita yang lain lagi. Ada seorang ibu yang sudah lama menjadi janda. 
Suatu malam suaminya datang dalam mimpi dan meminta selembar baju. 
Setelah bangun, sang istri kemudian pergi ke pasar untuk membeli kain 
yang seukuran suaminya, juga yang warna dan motifnya yang disenangi 
suaminya. Si istri kemudian meletakkan semuanya itu di meja penghormatan
 yang ada foto almarhum di atasnya. Dia kemudian membaca paritta. 
Selesai membaca paritta, dia mengatakan; ‘Niat saya hari ini mau 
berdana, atas nama suami saya, semoga dengan kekuatan kebaikan ini suami
 saya memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.’
 Sesudah selesai, kainnya ini tidak dibakar, tetapi didanakan kepada 
salah seorang pengurus vihara atas nama almarhum suaminya. Seminggu 
kemudian ibu ini mimpi lagi suaminya datang. Suaminya puas
dengan pemberian bajunya, hanya saja ia mengeluh kalau ukuran bajunya 
tidak sesuai, kekecilan. Ibu ini terbangun, kemudian merenungkan arti 
mimpinya. Dia teringat bahwa ketika membeli kain ukurannya sama dengan 
ukuran suaminya, padahal orang yang menerima dana badannya lebih besar 
daripada suaminya. Pantas kekecilan! Keesokan harinya, istri yang setia 
ini pergi ke pasar lagi untuk membeli kain kekurangannya, dan dia 
berikan kepada penjaga vihara itu. Penjaga vihara itu justru heran atas 
pengertian si ibu. Ia baru saja akan menghubungi si ibu karena kainnya 
memang kurang ukurannya. 
Dari
 cerita ini jelas kelihatan bahwa sebetulnya pelimpahan jasa secara 
Buddhis itu dapat diterima oleh para makhluk yang kita kirimi. Hanya 
saja, syaratnya makhluk itu harus terlahir di alam Paradatupajivika 
Peta. Kalau dia tidak terlahir di alam itu, kalau dia terlahir di salah 
satu dari 26 alam surga, atau terlahir di alam neraka, maka makhluk ini 
tidak bisa menerima pelimpahan jasa kita. Kalau demikian, apakah manfaat
 bagi kita membacakan paritta untuk makhluk yang tidak terlahir di alam 
peta tersebut? Apabila orang yang meninggal itu tidak terlahir di alam 
Peta tersebut, minimal selama kita membacakan paritta, selama itu pula 
pikiran, ucapan serta perbuatan kita dipupuk untuk sesuatu yang baik, 
mendoakan agar almarhum berbahagia. Kenal atau pun tidak kenal kepadanya
 kita tetap mendoakan semoga almarhum
berbahagia. Maka selama setengah jam itu, pikiran, ucapan dan perbuatan 
kita telah melaksanakan kebaikan. Bayangkan kalau pagi setengah jam, 
malam setengah jam lagi, berarti hari ini kita punya satu jam yang 
berisi pikiran, ucapan, dan perbuatan kita baik. Kalau tiap pagi dan 
malam kita bisa membaca paritta setengah jam, maka dalam satu bulan kita
 dapat mengumpulkan sekitar 30 jam untuk berpikir dan berbuat yang baik.
 Luar biasa, begitu besar kesempatan melakukan perbuatan baik. Hanya 
dengan membaca paritta saja! Cobalah bila kita duduk selama satu jam. 
Pikiran dengan mudah mengembara kemana-mana. Kadang timbul pikiran baik,
 tetapi tidak jarang muncul pikiran jahat. Tetapi dengan diisi kegiatan 
membaca paritta, maka pikiran, ucapan serta perbuatan kita otomatis 
terisi pula dengan kebaikan. Satu jam setiap hari, 30 jam satu bulannya 
kita berkesempatan mengembangkan kebaikan hanya dengan membaca paritta. 
Oleh karena itu, seringlah membaca paritta, apalagi
pada upacaraupacara semacam ini. Bagus. Dalam upacara ini, selain kita 
telah melaksanakan kebaikan dengan membaca paritta, kita juga dapat 
melimpahkan jasa kebaikan itu kepada almarhum. Bukankah kita dengan 
mambaca paritta berarti telah berbuat baik? Datang dari tempat yang jauh
 khusus untuk membacakan paritta. Kita pun juga bias melimpahkan jasa 
itu kepada sanakkeluarga kita sendiri yang sudah meninggal. Sanak 
keluarga kita yang terdiri dari kakeknenek, orang tua maupun para 
leluhur dan kerabat kita lainnya. Mereka juga perlu kita berikan 
pelimpahan jasa agar mereka berbahagia. Jadi, pelimpahan jasa dapat 
dilaksanakan oleh siapa pun dan kapan pun juga. Karena pelimpahan jasa 
ini akan membawa manfaat baik bagi yang  meninggal maupun kita yang hidup. 
Paradattupajivika
 peta yang disebutkan dalam Tirokkuda Sutta, adalah peta yang bila 
mendapat “pembagian†atau “kiriman jasa†dari keluarganya yang 
masih hidup, maka ia dapat tertolong dan akibatnya ia dapat terlahir 
kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Tetapi sesungguhnya 
tidak ada pembagian, pelimpahan atau kiriman jasa kepada mereka. Mereka 
tertolong karena mereka melihat keluarga mereka berbuat kebaikan atas 
nama mereka. Ketika mereka melihat perbuatan baik dari keluarga mereka 
itu, yang dilakukan atas nama mereka, mereka menjadi senang dan turut 
bergembira (mudita citta) dengan perbuatan baik itu. Karena ia 
memunculkan pikiran baik (mudita citta) pada dirinya sendiri, maka 
secara langsung ia telah berbuat karma baik melalui batinnya sendiri. 
Karma baik inilah yang menolong peta tersebut,
yaitu karma baik yang dibuatnya sendiri. 
Apakah perlu meletakkan makanan bagi almarhum? Bagaimana dengan membakar kertas uang dan seterusnya bagi mereka? 
Setelah batin orang meninggalkan badan kasar, ia memasuki alam antara sebelum memasuki badan kasar lain. 
Tergantung
 pada kondisi, seseorang dapat berada di alam antara ini hanya beberapa 
saat, atau hidup paling lama empat puluh sembilan hari. Dikatakan bahwa 
mahluk di alam antara bertahan dengan “memakan†bau-bauan, jadi 
meletakkan makanan mungkin membantu. Menurut perbuatannya terdahulu, 
orang ini terlahir di alam bahagia atau menderita. Bila sanak kita telah
 terlahir sebagai dewa, manusia, binatang atau kehidupan lain, makanan 
yang disajikan tidak menjangkaunya, dan lebih lagi, ada makanan tersedia
 di alam kehidupannya. Bila ia terlahir sebagai hantu kelaparan, ada 
mantra tertentu diucapkan pada makanan, yang dapat mengurangi kekaburan 
karma dari hantu lapar dalam menemukan makanan. 
Membakar
 mobil atau pakaian kertas atau uang kertas tidak memberikan almarhum 
barang-barang ini di kelahirannya mendatang. Tidak ada perlunya membakar
 barang-barang ini. Tradisi melakukan ini adalah kebudayaan Cina kuno, 
bukan praktik yang diajarkan oleh Sang Buddha. Jika kita benar-benar 
ingin membantu keluarga dan teman memiliki kekayaan di kehidupannya yang
 akan datang, kita seharusnya mendorong mereka melakukan persembahan dan
 menjadi dermawan saat mereka hidup. Sang Buddha berkata bahwa 
kedermawanan adalah sebab dari kekayaan, bukannya membakar kertas. 
Kadang-kadang,
 kita menasehati keluarga kita, “Jangan memberikan terlalu banyak, 
maka keluarga kita akan kekuranganâ€. Dengan mendorong agar mereka 
pelit saat hidup, kita menyebabkan mereka menanam bibit dalam arus batin
 mereka menjadi miskin di kehidupan berikutnya. Juga kita menanam bibit 
yang sama di arus batin kita. Di sisi lain, bila kita dorong mereka 
untuk jadi dermawan dan menghindari mencuri dan berbuat curang pada yang
 lain dalam bisnis, maka kita membantu mereka memiliki kekayaan. 
Jika
 kita ingin orang yang kita cintai memiliki kelahiran kembali yang baik,
 bantuan terbaik yang dapat kita berikan adalah mendorong mereka saat 
hidup untuk menghindari sepuluh perbuatan buruk dan melatih sepuluh 
kebajikan yang merupakan lawannya. Kesepuluh perbuatan buruk adalah 
membunuh, mencuri, tindakan seksual tidak pantas, berbohong, ucapan yang
 memecah belah, ucapan yang menyakitkan, menggosip, iri atas milik orang
 lain, keinginan jahat, dan pandangan salah. Malahan, bila kita 
mendorong mereka untuk berbohong guna melindungi kita atau mencurangi 
orang lain, kita membantu mereka membuat sebab dari kelahiran di alam 
menderita. Kita habiskan berjam-jam bergosip, dan mengkritik yang lain, 
kita hanya mengagalkan tujuan kita sendiri. Oleh karena kita tulus 
menginginkan mereka bahagia setelah kematian, kita
seharusnya membantu mereka meninggalkan perbuatan destruktif dan 
mempraktikkan perbuatan konstruktif. Kita dapat mendorong (bukan 
memaksa) mereka untuk mengambil janji pancasila atau bahkan menjadi 
bhikkhu atau bhikkuni. Hal itu benar-benar bermanfaat untuk kehidupannya
 mendatang. 
Dharma Prabha edisi 46, Agustus 2005 
(artikel ini perlu diedit ulang) 
 
 
 
 

0 komentar:
Posting Komentar