Hidup bahagia tadinya adalah milikku,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai godaan dari seorang gadis yang gemuk (atau kasar). Kejadian ini akan diceritakan dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka189 di Buku Ketiga Belas.
Saat menanyai bhikkhu tersebut, Sang Buddha mendapat pengakuan darinya bahwa benar ia sedang jatuh cinta, dan mencintai gadis gemuk itu. “Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ia akan menyesatkan dirimu. Demikian juga di masa yang lampau ia membuat engkau menjadi jahat, dan engkau dipulihkan hingga dapat merasa bahagia kembali oleh ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, terjadilah hal-hal seperti yang diceritakan dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka. Namun dalam kesempatan ini, Bodhisatta tiba di sore hari dengan membawa buah-buahan di tempat pertapaannya, membuka pintu dan berkata kepada putranya, “Di hari-hari biasa, engkau selalu membawakan kayu dan makanan, serta menyalakan perapian. Mengapa hari ini engkau tidak melakukan satu pun dari hal tersebut di atas, melainkan duduk termenung disini dengan menyedihkan?”
“Ayah,” kata anak muda itu, “ketika engkau pergi mengumpulkan buah-buahan, seorang gadis datang kemari, yang mencoba memikat saya dengan rayuan. Namun, saya tidak akan pergi sebelum berpamitan denganmu, jadi saya membuatnya pergi ke sana, duduk menunggu kedatanganku. Sekarang saya berharap untuk bisa pergi.”
Melihat anaknya terlalu kasmaran untuk bisa melepaskan gadis itu, Bodhisatta mengizinkannya pergi, berkata, “Saat ia menginginkan daging , ikan, biji-bijian, garam atau beras, maupun hal-hal lainnya untuk dimakannya, dan membuat engkau ke sana kemari atas perintahnya, ingatlah pada pertapaan ini dan kembalilah kemari.”
Maka anak tersebut pergi bersama gadis itu ke tempat tinggal penduduk; setibanya di rumah, gadis itu membuat anak muda tersebut berlari ke sana kemari untuk mengambilkan semua barang yang ia inginkan.
“Saya lebih seperti budaknya jika begini,” pikirnya, dan segera kembali ke tempat ayahnya, memberi hormat padanya, berdiri dan mengulangi syair berikut ini: —
Hidup bahagia tadinya adalah milikku,
hingga aku jatuh cinta padanya,
— Kendi yang mengkhawatirkan dan menjemukan,
istriku — membuat saya menjalankan perintahnya
dengan berlari ke sana kemari.
Bodhisatta memuji anak muda tersebut, menasihatinya untuk berbaik hati dan bermurah hati, mengajarinya mengembangkan empat kediaman luhur dan cara-cara meditasi. Tak lama kemudian, anak muda itu telah memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, dan tanpa terputus dari keadaan baik tersebut, bersama ayahnya, ia terlahir kembali di alam brahma.
Setelah uraian tersebut berakhir, dan Empat Kebenaran Mulia telah dibabarkan (di akhir khotbah, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna), Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Gadis gemuk di saat ini merupakan gadis gemuk di masa itu; bhikkhu muda ini adalah anak tersebut dan Saya sendiri adalah sang ayah di masa itu.”
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
0 komentar:
Posting Komentar