Di sutra Jivaka tercatat salah satu jivaka mengajukan pertanyaan kepada Sang Buddha. Katanya dia mendengar bahwa binatang boleh disembelih “karena orang suci Gautama makan daging yang disediakan dan dengan sengaja diberikan kepadanya.” Setelah mengatakan bahwa sang Jivaka telah salaf tafsir, Sang Buddha dikabarkan bersabda:

...Aku melarang makan daging dalam tiga hal. Jika ada bukti baik oleh mata atau telingamu atau jika ada keraguan. Dalam tiga kasus ini saya membolehkan daging, jika tak ada bukti baik oleh mata atau telingamu atau jika ada keraguan.

I.B.Horner dalam bukletnya “Early Buddhism and the Taking of Life” dengan bijaksana menafsirkan kata-kata yang mengatasnamakan Sang Buddha:

Walaupun praktek makan daging oleh umat awam dan bikhu diam-diam dimaafkan, tetapi perdagangan berdarah yang menyebabkan binatang berakhir dengan kematian demi dagingnya dimakan manusia, dengan sendirinya tak terlepas dari pengutukan...

Dan (Buddhisme membabarkan doktrin tanpa kekerasan) pengutukan ini lebih didasari binatang juga mempunyai hak atas hidupnya sebagaimana manusia dan layak mendapatkan welas kasih.
Horner berbicara dengan logika dan kepala dingin ketika dia menyatakan doktrin tanpa kekerasan dalam sila pertama Buddhisme bertitik tolak dari dasar bahwa binatang juga memiliki hak hidup sebagaimana manusia. Juga pertanyaan berikutnya tentang praktek makan daging yang telah mengakibatkan penderitaan dan kesakitan binatang meski Sang Buddha “diam-diam memaafkan”.

Horner lebih jauh mengaitkan istilah “murni” dengan makan daging. Tak pernah ada guru spiritual sejati, baik sebelum, selama, atau setelah Sang Buddha yang mempertahankan atau membantah bahwa daging adalah batu penghalang untuk mencapai pencerahan spiritual yang sempurna. Mengapa? Karena daging merangsang nafsu rendah, menimbulkan rasa gelisah dan gerah. Secara fisik daging juga mengganggu dan mengandung sejumlah racun sebagai produk ketakutan dan teror yang dialami oleh binatang pada saat akan disembelih.

Dengan kenyataan begini, bagaimana mungkin Sang Buddha membolehkan bikhu-bikhunya memakan daging dalam segala situasi, kecuali jika mereka memiliki alasan menduga binatang telah dibunuh khusus untuk mereka? Bukankah binatang ternak disembelih untuk siapa saja yang memakan daging mereka? Jika tidak ada orang yang memakan daging jelas mereka tak akan disembelih. Jadi apa bedanya “Tidak dibunuh khusus untuk saya” dan “Dibunuh untuk saya”? Adakah orang yang bisa membayangkan bagaimana seorang bikhu mengatakan kepada tuan rumah yang memberinya daging, “Tuan, sungguh baik anda memberikan makanan ini kepada saya, tetapi jika saya memiliki alasan untuk mempercayai bahwa binatang ini dibunuh hanya untuk saya, maka saya tidak dapat menerimanya!” Sebenarnya berapa banyak pendonor bahkan pada hari besar Buddha telah menyembelih babi atau sapi hanya demi beberapa bikhu tertentu? Hanya beberapa memang.

Kalaupun benar Sang Buddha mengucapkan kata-kata seperti itu maka dengan pengecualian orang-orang yang pekerjaannya seperti pemburu, tukang jagal, penangkap ikan, berarti praktis bikhu-bikhu dan semua umatnya bebas merdeka memakan daging. Karena hanya orang-orang itu yang membunuh binatang secara langsung. Bolehnya makan daging ini tak hanya bertentangan dengan sila pertama, yakni mengimplikasikan dosa yang sama bagi mereka yang menyebabkan manusia lain melakukan pembunuhan demi makanannya tetapi pernyataan ini juga menunjukkan bahwa Sang Buddha mengizinkan penyembelihan dan horor di rumah jagal. Padahal penyembelihan adalah salah satu bentuk perdagangan yang terlarang bagi umat buddhis dengan alasan yang masuk akal. Mengatakan bahwa Sang Buddha melarang praktek makan daging dalam segala kondisi kecuali hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya dan di sisi lain Sang Buddha mengutuk “perdagangan berdarah” seperti penyembelihan, memburu dan memasang perangkan hewan, tidak hanya membantah hubungan di antara keduanya tetapi melibatkannya dalam pertentangan yang tak masuk akal.

Siapa lagi yang bertanggung jawab kecuali pemakan daging atas penyembelihan, pemburuan dan penangkapan ikan? Bagaimanapun tukang jagal dan pabrik pengolahan daging hanya memberikan reaksi terhadap kebutuhan pemakan daging. “Saya hanya melakukan pekerjaan kotormu,” adalah jawaban tukang jagal kepada seorang pria yang menyaksikan kebrutalan rumah jagal. “Seperti itulah anda yang menyebabkan kami seperti ini.” Setiap orang yang memakan daging, baik dari binatang yang dibunuh khusus untuk dirinya maupun tidak, adalah penyebab penyembelihan. Mereka telah mengambil bagian dalam kekejaman dan kematian binatang tak berdosa. Apakah Sang Buddha sudah mati rasa jika dia gagal memahami kenyataan ini. Dia yang dihormati sebagai “Hyang Sempurna, paripurna spiritual, mental, dan psikis... dan kesadaran membungkus semesta yang tiada batas”? Apakah Sang Buddha tak berwawasan luas jika dia tidak menyadari bahwa hanya dengan tak makan daging maka pembunuhan binatang maupun penderitaan yang mereka alami bisa diakhiri?

Namun di dalam hati kita semua baik pemakan daging maupun vegetarian, kita memikul tanggung jawab atas kekejaman dan penderitaan mereka. “Cap rumah jagal ada di kening kita semua,” dikatakan Henry Salt di masa lalu.