Kamis, 29 November 2012 0 komentar

MA SANG YOU CHIEN



MA SANG YOU QIAN (Segera Kaya atau Ada Uang di Atas Kuda)
Terjemahan ivan taniputera.
金母馬上有錢法
先祈求根本傳承加持:Terlebih dahulu memohon adhistana Mahamulacarya :
先觀空,次觀想根本傳承上師蓮生活佛住頂放光加持,持「根本傳承上師心咒」七遍,祈求修法圓滿 。
Visualisasi kesunyataan, kemudian bervisualisasi Mahamulacarya Liansheng menetap di cakra usnisa memancarkan cahaya adhistana, menjapa Mantra Hati Guru 7 kali, memohon kesempurnaan sadhana.
再作四無量心觀。
Visualisasi Caturapramana.
作驚醒手印:拍掌兩下,再交加彈指。
Mudra Pembuka : Bertepuk tangan dua kali , tangan disilangkan dan mengklik jari.
一、唸清淨咒
Menjapa mantra pembersihan.
二、唸召請咒
Menjapa mantra pengundang.
三、大禮拜
Mahanamaskara.
四、大供養
Mahamandalapuja.
五、四皈依咒
Mantra Catursarana.
六、披甲護身
Simabandhana diri.
七、唸高王觀世音真經
Melafalkan Sutra Raja Agung Avalokitesvara.
八、加唸往生咒(七遍)
Menjapa Sukhavativyuha Dharani (7x)
九、加唸根本傳承上師心咒:嗡。咕嚕。蓮生。悉地。吽。(一○八遍)
Mantra Mulacarya : “Om Gulu Liansheng Xidi Hum ” (108x)
十、結印及觀想
Membentuk mudra dan bervisualisasi :
結印:雙手結「金母手印」:
Mudra Yaochijinmu :
雙手先內縛,火指豎立接觸,風指豎立斜斜而立,空指豎立並列,則成印。(置胸前)
Kedua tangan dirangkap ke dalam, kedua jari api berdiri saling bersentuhan, kedua jari angin berdiri dan dibuka, jari akasha sejajar. (mudra di depan dada)
金母手印
Mudra Yaochijinmu
觀想:
Visualisasi :
先觀空,唸觀空咒:
Visualisasi kesunyataan, menjapa mantra visualisasi kesunyataan 3x :
嗡。司巴瓦。速達。沙爾瓦。打爾嘛。司巴瓦。速朵杭。(三遍)
“Om Sibawa Suda Saerwa Daerma Sibawa Suduohang “
(一)大海上面,萬里無雲晴空,月輪從海上昇起虛空,月輪中有白色種子字「 」吽字,放大白光。
Diatas samudera, langit cerah tanpa awan, cakracandra muncul dari permukaan laut, ditengah cakracandra terdapat bijaksara HUM berwarna putih, memancarkan cahaya putih.
(二)月輪中「 」吽字旋轉,化為無極瑤池金母,戴鳳冠持拂塵及如意,面帶微笑,法相莊嚴,慈眼視眾生。
Bijaksara HUM berputar searah jarum jam, berubah menjadi Yaochijinmu, memakai mahkota feniks, tangan kanan membawa Vjayana, tangan kiri membawa Ruyi. Berupa agung, tersenyum dan menatap para makhluk dengan penuh kasih .
(三)觀想金母的手中拂塵及如意放白光上昇,成一弧形從密宗行者的頂竅灌入,行者透體成白色水晶透明,業障 全消除。
Bervisualisasi vyajana dan ruyi memancarkan cahaya putih melesat keatas, membusur memasuki ubun ubun sadhaka, menyebar ke seluruh tubuh, karma buruk berubah menjadi asap hitam keluar melalui pori pori tubuh, sekujur tubuh menjadi sebening kristal.
(或觀想金母天心部位放出一道白光,直照自己天心。金母喉部放出一道紅光,直照自己喉部。金母心輪放出一道 藍光,直照自己心輪,白、紅、藍三光溶入自己身心。)
(Atau bervisualisasi cakra dahi Yaochijinmu memancarkan cahaya putih menyinari dahi kita. Leher Yaochijinmu memancarkan seutas sinar merah menyinari leher kita, dan cakra hati Yaochijinmu memancarkan sinar biru menyinari cakra hati kita.)

(四)再觀想虛空中有月輪,月輪中有「啊」字及一匹莊嚴的馬。馬有佩帶金鈴,背上載著很多金銀珠寶。再觀想 馬很快的將金銀珠寶送向行者。
Kemudian bervisualisasi di tengah cakra candra yang berada di tengah angkasa itu terdapat aksara Ah dan seekor kuda yang gagah. Kuda tersebut memakai lonceng emas. Punggung kuda itu membawa banyak emas dan barang-barang berharga. Kemudian bervisualisasi kuda itu berlari dengan cepatnya demi mengantar benda-benda berharga tersebut pada kita.
十一、持金母心咒
Menjapa Mantra Hati Yaochijinmu.
持唸珠觀想:
Visualisasi penggunaan japamala :
(雙手持唸珠置胸前,唸時用大拇指撥珠。)左手觀想成金剛鈴,右手觀想成金剛杵,佛頭珠觀想成多寶佛塔,四 粒間珠觀想成四大天王,穗鬚觀想成蓮花手(佛手)。串珠的線觀想成金剛薩埵本性的白光繞一圈。持咒時每撥一 粒珠子都觀想成一尊金母,來到自己面前。
(kedua tangan memegang japamala di depan dada, ibu jari digunakan untuk menggeser butir mala) visualisasi tangan kiri berubah menjadi Vajragantha. Tangan kanan menjadi Vajra. Butir kepala japamala berubah menjadi stupa Prabhutaratna, empat butir pembatas japamala berrubah menjadi Caturmaharajika, rumbai berubah menjdai tangan teratai (tangan Buddha). Benang penghubung mala berubah menjadi seutas sinar putih sifat sejati Vajrasattva. Saat menjapa mantra, tiap butir mala yang digeser berubah menjadi Yaochijinmu di hadapan kita.
咒語:嗡。金母。悉地。吽。(一○八遍)
Mantra : “Om Jinmu Xidi Hum” (108x)
十二、入三摩地
Memasuki Samadhi.
(請詳閱蓮花童子相應法之九節佛風、入我我入觀、數息觀。)
(Silahkan menyimak Sembilan Langkah Pernafasan Buddha, memasuki diriku dan diriku memasuki, dan metode menghitung pernafasan di kitab Sadhana Padmakumarayoga)
十三、加持其他心咒
Menjapa mantra 8 Yidam.
十四、唸佛(三遍)
Melafal nama Buddha (3x)
十五、迴向
Menyalurkan jasa.
願同唸佛者,同生極樂國,上報四重恩,
yuan tong nian fo zhe, tong sheng ji le guo, shang bao si zhong en
下濟三途苦,見佛了生死,如佛度一切。
Xia ji san tu ku, jian fo liao sheng si, ru fo du yi qie.
Semoga kami umat Buddha, terlahir di Sukhavatiloka.
Keatas berbakti kepada Sang Buddha, Guru, Ayah ibu dan Negara.
Kebawah membantu mereka di tiga alam samsara.
Bertekad mencapai pencerahan Buddha.
Terbebas dari tumimbal lahir menyeberangkan makhluk samsara.
弟子○○○今依此作迴向。願將修法功德迴向給根本傳承上師,祈願師佛常住世間,不入涅槃,永轉法輪,佛體安 康。恭祝大家身體健康,萬事如意,道心堅固,逢凶化吉。願一切所求的願望都得到圓滿。願一切災 難退散。嗢!
Siswa (nama) dengan ini melimpahkan jasa, jasapahala sadhana dilimpahkan kepada Mahamulacarya, semoga sehat walafiat, senantiasa menetap di dunia, tidak memasuki Parinirvana, selamanya memutar Roda Dharma. Semoga kita semua sehat lahir dan batin,memiliki sraddha yang kokoh, segala permohonan yang baik dan wajar dapat terpenuhi, semoga semua malapetaka sirna. WUN!
(有關「迴向」的觀想及細節,請詳閱『密教大光華—細說真佛密法完整修持儀軌』第172頁。)
(Mengenai visualisasi dan detil dari “Penyaluran Jasa “, silahkan menyimak ” Mijiao Da Guang Hua–Penjelasan Lengkap Tatacara Sadhana Tantra Zhenfo” halaman 172)
十六、唸百字明咒(三遍)
Menjapa Mantrasatksara 3x
十七、大禮拜
Mahanamaskara.
十八、唸圓滿咒
Menjapa mantra paripurna
嗡。部林。(三遍)
Om Pulin (3x)
嗡。嗎呢。唄咪。吽。
Om Mani Beimi Hum.
作遣散手印:拍掌兩下,再交加彈指。
Mudra penutup : Bertepuk tangan dua kali, kedua tangan bersilangan dan mengklik jari.
修法圓滿。如意吉祥。
Sadhana selesai dengan baik dan sempurna.
0 komentar

Tongtian Jiaozhu,Pemimpin Agung Para Siluman



Pendahuluan

Saat alam semesta baru saja terbentuk , tersebutlah 3 orang sesepuh dewata yaitu YuanShi TianZun, TaiShang LaoJun & TongTian JiaoZhu yg membagi Taoisme menjadi 2 aliran, yaitu;

-Aliran pegunungan (Chan) yg dipimpin oleh YuanSi TianZun & TaiShang LaoJun.
Pengikut dari aliran ini berasal dari orang2 suci yg mayoritas berwatak welas asih, sabar & suka menolong. (dewa2 macam Er Lang, Nacha, dewa petir, dewa pagoda dsb tergabung dalam aliran ini)

-Aliran kepulauan (Jie) yg dipimpin TongTian JiaoZhu.
Berkebalikan dg aliran pegunungan yg dihuni oleh orang2 suci, aliran kepulauan justru diisi oleh siluman2, baik yg berasal dari hewan, tumbuhan ato bahakan benda mati yg berwatak arogan, egois, pencemburu & gemar mengumbar hawa nafsu .

Karena sifatnya yg sangat bertolak belakang itulah kedua aliran ini tidak pernah akur & sering bentrok diberbagai kesempatan


Pertempuran para dewa

(disarikan dari novel FengShen YanYi bab 76-78 & 82-84)

Raja Zhou (Hokkian; Tiu Ong) dari dinasti Shang adl tiran terkejam dalam sejarah China yg terkenal suka menindas rakyat. Karena tidak tahan lagi dg kekejamannya maka rakyatpun ahirnya memberontak dibawah pimpinanan raja Wu (Hokkian; Bu Ong). Dalam peperangan itu pasukan raja Wu mendapat bantuan dari para dewa & calon dewa dari aliran Chan, sementara pasukan dinasti Shang didukung oleh para siluman2 dari aliran Jie. Karena dewa2 aliran Chan berada dipihak yg benar maka mereka selalu menang & mengalahkan murid2 aliran Jie.

Setelah melalui perjuangan yg panjang & melelahkan pasukan raja Wu yg dipimpin Jiang ZiYa (Hokkian; Kiang Cu Gee) sudah semakin dekat dg ibukota dinasti Shang, namun sesampainya dilintasan Jie Pai perjalanan mereka terpaksa terhenti karena dihadang oleh kabut merah yg sarat dg kekuatan jahat.

Dari balik kabut muncullah sesososk pertapa tua yg nampak sangat agung & berwibawa. "Salam paman guru, saya beserta seluruh murid2 aliran Chan memberi hormat pada paman" kata Jiang ZiYa sambil membungkuk hormat pada sang pertapa yg ternyata adl TongTian JiaoZhu, mahaguru dari aliran Jie.

"Hmmm, bagus kau masih mengenalku sebagai paman gurumu, tapi kenapa kalian seenaknya membunuhi murid2 aliran kami heh?" saut TongTian ketus.

"Sejak dulu guru selalu mengajari kami untuk menghormati aliran paman, sayang ada beberapa murid paman yg membela raja Zhou sehingga.......".

"Sehingga kalian boleh seenaknya membantai mereka karena aliran kalian aliran putih sementara aliranku inialiran sesat, begitu? bentak TongTian memotong kalimat JianZiya. "Sudah tidak perlu munafik lagi, dari dulu aku sudah tahu kalian memang selalu meremehkanku, tp CUKUP SAMPAI DISINI!" lanjutnya sambil mengibaskan tangannya menyibak kabut merah yg menutupi lintasan JiePai. Sekonyong2 nampaklah sebuah benteng pertahanan yg sangat kokoh & angker dilengakpi dg 4 pedang pusaka dikeempat gerbangnya.

"Yg ada dihadapan kalian adl Jiu Xian Zhen (formasi pemusnah dewata) ciptaanku & bila kalian ingin pergi keibukota Shang maka harus melewatinya dulu. Tapi kuperingatkan formasiku ini sangat sempurna & tidak punya kelemahan, sehingga tanggung sendiri akibatnya kalau kalian berani menerobosnya!" tantang sang mahaguru.

Melihat keangkeran Jiu Xian Zhen para dewa alrian Chan keder jg, apalagi merekapun mahfum dg kehebatan ilmu paman gurunya itu sehingga tidak berani bertindak sembarangan. Tiba2 muncullah seberkas sinar keemasn yg sangat indah dilangit disertai munculnya dua mahaguru aliran Chan yaitu YuanShi TianZun & TaiShang LaoJun.

"Hahaha adik TongTian kenapa kau galak sekali, lihat anak2 itu sampai ketakutan begitu. Bila kau memang ingin bermain2 bagaimana bila aku saja yg melayanimu" kata LaoJun santai seraya menggiring kerbaunya memasuki Jiu Xian Zhen. Begitu LaoJun tiba digerbang utama dy langsung disambut oleh pedang pusaka yg terbang menghujam kearahnya, namun sekonyong2 muncullah pagoda emas yg melindungi tubuh Lao Jun sehingga diapun dapat melewati Jiu Xian Zhen dg selamat tanpa terluka sedikitun.

"Nah bagaimana? Nampaknya formasi pemusnah dewamu itu tidak begitu hebat jg ya?" kata LaoJun meledek.

"Puih jangan melucu Li Er (2), kau baru melewati 1 gerbang & masih ada 3 yg tersisa! Kita lihat saja bagaimana kau mengatasi sisanya" saut TongTian geram.

"Wah masih ada 3 lagi? Aduh adik, tega benar kau pada kakek tua ini.... untunglah aku membawa beebrapa teman untuk membantuku" jawab LaoJun ringan seraya menunjuk 2 orang biksu India disampingnya yg bernama JieYin (3) & ZhunTi

Kini Tongtian baru sadar akan kehadiran Jie Yin & Zhun Ti yg merupakan mahaguru tertinggi Budhisme kala itu (4). "Mau apa kalian para biksu kesini, bukannya baik2 membaca sutra malah ikut campur urusan orang lain" gerutu TongTian.

Dengan tenang JieYn pun menjawabnya"Amithaba, kami para biksu memang biasanya menghindari kekerasan, sayangnya formasi pemusnah dewamu itu terlalu membahayakan umat manusia sehingga kami terpaksa ikut campur, apalagi LaoJun & YuanShi TianZun sudah berbaik hati mengijinkan kami menyebarkan Budhisme diTiongkok, sehingga kamipun harus membalas budi mereka".

"Terserah! Tapi jangan katakan aku menindas agama kalian bila kalian berdua tewas oleh formasiku" balas TongTian ketus.

Tanpa dikomando lagi keempat mahaguru; TaiShang LaoJun, YuanShi TianZun, Jie Yin & Zhun Ti segera memasuki Jiu Xian Zhen yg langsung disambut oleh keempat pedang pusaka & berbagai jebakan maut lainnya. Namun rupanya kedahsyatan Jiu Xian Zhen tidak ada apanya dibanding kesaktian 4 mahaguru ini sehingga dalam waktu singkat saja benteng pemusnah dewa itupun berhasil dijebol juga.

Melihat formasi kebanggaannya hancur lebur membuat TongTian sangat malu & murka sehinga dypun segera menggempur keempat mahaguru itu dg ganasnya. TongTian JiaoZhu sebenarnya memiliki kesaktian yg hampir tidak ada bandingannya didunia ini, tp karena pertarungan ini sangat tidak adil (4 lawan 1) sehingga lama2 dypun keteteran jg & ahirnya melarikan diri....

Setelah musnahnya Jiu Xian Zhen para dewa aliran Chan bernapas lega & mengira tidak akan ada lagi gangguan dari TongTian & murid2nya, saipa tahu sesampainya di lintasan mereka kembali menjumpai sebuah formasi iblis yg bahkan lebih angker dari Jiu Xian Zhen. "Aduuuuuh mau apa lagi sih kakek tua itu, apa dy belum puas dihajar sampai lari terkencing2 seperti dulu" gerutu NeZha kesal.

Tidak lama kemudain datanglah utusan TongTian yg memberitahu bahwa formasi itu bernama Wan Xian Zhen (formasi pembantai puluhan ribu dewa) & para dewa aliran Chan diundang memasukinya untuk beradu ilmu. Berbeda dg sebelumnya, pertempuran kali ini bukan hanya melibatkan para mahaguru tp jg mengadu murid2 senior dari kedua aliran, rincian singkat jalannya pertempuran adl sebagai berikut;

-Siluman kura2 berjanggut emas (aliran Jie) mengalahkan Guang Cheng Zi & Chi Jing Zi (aliran Chan) tp dy balik dikalahkan oleh Zhun Ti
-Siluman singa biru & gajah putih (Jie)ditaklukan dewa Wen Shu & Pu Xian (Chan), kedua siluman itu kemudian dijadikan tunggangan kedua dewa itu
-Jin Gong Xian (Jie) ditaklukan CiHang DaShi (Chan)
Setelah menaklukan ketiga siluman atas petunjuk JieYin. Wen Shu, Pu Xian & CiHang DaShi memutuskan pindah keagama Budha & menjadi Bodhisatwa Manjusri, Samanthabrada & Kwan Im.
-GuLing ShengMu (Jie) mati dihisap ratusan nyamuk yg emnhisap darahnya
-JinLing SheMu yg merupakan tangankanan TongTian membunuh putri pertama kaisar langit yg bernama putri LongJi & suaminya, para dewa aliran Chan kemudian mengeroyok JinLing ShengMu yg ahirnya tewas ditangan pertapa Ran Deng (5)
-28 dewa rasi bintang (Jie) dibantai habis oleh murid2 aliran Chan

Melihat gugurnya murid2nya membuat TongTian jadi mata gelap & hendak menggunakan bendera saktinya untuk memusnahkan para dewaaliran Chan, beruntung senjata pemunah masal itu sudah dicuri & disembunyikan oleh dewa kuping panjang (mantan murid TongTian yg membelot kealiran Chan). Mengetahui pengikutnya sudah hampir habis & senjatanya jg sudah tidak ada membuat TongTian kehilangan semangat bertempurnya sehingga ahirnya dapat diringkus dan dibawa pergi untuk disuruh bertapa kembali oleh gurunya yg bernama HongJun LaoRen.

(1) Meskipun sering digambarkan jahat dilegenda2 namun dalam Taoisme yg sebenarnya aliran Jie bukanlah aliran sesat
(2) TongTian senang memanggil TaiShang LaoJun dg sebutan LiEr
(3) Jie Yin konon merupakan cikal bakal/reinkarnasi sebelumnya dari Budha RuLai
(4) Dalam sejarah yg sebenarnya belum ada Budhisme pada dinasti Shang
(5) Pertapa Ran Deng adl guru dari dewa pagoda Li Jing

TongTian JiaoZhu dalam legenda2 lain

Selain dalam novel Feng Shen Bang, TongTian jg sering muncul sebagai antagonis dalam legenda2 lainnya. Misalnya dalam cerita 8 dewa TongTian murka karena murid kesayagannya yg bernama siluman kerang berpindah kealiran Chan. TongTian kemudian membuat kekacauan dihari pengagnkatan siluman kerang menjadi dewi, tp kemabli berhasil ditaklukan oleh TaiShang LaoJun & dewa2 lain. selain itu TongTian jg muncul dalam novel jendral DiQing (seorang jendral kenamaan dr dinasti Song), disini TongTian kembali meneggelar formasi iblisnya untuk mencelakai jendral DiQing yg didukung dewa2 aliran Chan.
0 komentar

11 Buddha Rupang Paling Terkenal di Dunia


1. Borobudur Buddha


Patung-patung Buddha di Borobudur adalah maha karya dari para seniman kuno Indonesia. Semua patung Buddha disini berada dalam posisi duduk tetapi dengan sikap tangan (mudra) yang berbeda. Dari awalnya terdapat 504 patung Buddha, 300 diantaranya rusak dan 43 hilang (sejak penemuan kembali candi ini, banyak kolektor gelap yang mencuri kepala patung Buddha).

2. Hussain Sagar Buddha


Patung Buddha ini terletak di tengah-tengah sebuah danau buatan di kota Hyderabad, India. Patung ini berdiri setinggi 17 meter dan seberat 320 ton. Ini merupakan patung monolitik terbesar di India, yang dipahat oleh para seniman hanya dari sebongkah batu besar. Tragisnya, pada saat pemasangan patung Buddha pada tahun 1992, patung ini jatuh ke dalam danau dan menyebabkan kematian 8 orang pekerja. Pemerintah kemudian memperbaiki patung dan sekarang menjadi salah satu daya tarik wisatawan di kota Hyderabad.

3. Tian Tan Buddha


Buddha Tian Tan terletak di Pulau Lantau, Hong Kong. Terbuat dari perunggu dan selesai tahun 1993. Patung ini merupakan daya tarik utama dari Vihara Po Lin, yang mensimbolkan harmonisasi antara manusia, alam, masyarakat dan agama.

Patung ini dinamakan Tian Tan karena bagian bawahnya merupakan replika dari Kuil Tian Tan (Kuil Surga) di Beijing. Patung dengan sikap duduk ini memiliki tinggi 34 meter dan mengambil postur yang melambangkan ketenangan.

4. Monywa Buddha


Monywa adalah sebuah kota di tengah Myanmar yang terletak di pinggiran Sungai Chindwin. Disini anda dapat melihat Monywa Buddha – patung Buddha berbaring terbesar di dunia. Patung ini memiliki total panjang 90 meter. Kepala patung ini memiliki tinggi 60 kaki.

Patung Buddha Monywa ini dibuat tahun 1991 dan berlubang didalamnya, sehingga pengunjung bisa masuk ke dalam.
Terdapat pula sebuah patung Buddha berdiri yang dibangun di atas Bukit Po Kaung. Dengan tinggi 132 meter, patung ini menjadi salah satu patung Buddha tertinggi di dunia.

5. Ayutthaya Buddha Head


Kota Ayutthaya di Thailand memiliki salah satu patung Buddha yang tidak biasa di dunia. Di antara reruntuhan Wat Mahathat (Vihara Relik Agung) terdapat sebuah patung yang seluruh badannya telah lenyap oleh waktu dan hanya tersisa kepalanya saja di antara belitan pepohonan. Ini adalah salah satu patung yang sangat indah tercipta oleh berlalunya waktu.

6. Gal Viharaya


Terletak di Sri Lanka, Polonnaruwa merupakan situs salah satu patung Buddha yang paling terkenal di dunia – Gal Viharaya. Vihara batu ini dibuat oleh Parakramabahu Agung di abad 12 Masehi. Di tengah-tengah vihara terdapat 4 patung Buddha berukuran besar. Di antara ke-4 patung Buddha ini adalah sebuah patung Buddha berbaring sepanjang 14 meter dan sebuah patung Buddha berdiri setinggi 7 meter.

7. Ushiku Daibutsu


Ushiku Daibutsu terletak di kota Ushiku, Jepang. Selesai tahun 1995, patung ini merupakan salah satu patung tertinggi di dunia, bediri setinggi 120 meter termasuk 10 meter pondasi dan 10 meter platform berbentuk teratai.

8. Temple of the Reclining Buddha


Terletak di Bangkok, Wat Pho terkenal dengan patung Buddha berbaringnya yang besar. Vihara ini merupakan salah satu vihara terbesar dan tertua di Bangkok, dibangun sekitar 200 tahun setelah Bangkok menjadi ibukota Thailand.

9. Great Buddha of Kamakura


Buddha Agung Kamakura atau dalam bahasa Jepang biasa disebut Daibutsu Kamakura merupakan sebuah patung perunggu monumental dari Amida Buddha (Buddha Amitabha) di kota Kamakura, Jepang.

Patung ini berdiri dengan damai di atas tanah Kotokuin yang merupakan sebuah kuil buddhis aliran Tanah Suci, dan patung Buddha ini menjadi salah satu ikon penting dalam pariwisata dan kehidupan sosial masyarakat Jepang.

Patung setinggi 13,35 meter dan berat 93 ton ini menjadi patung Buddha monumental terbesar kedua di Jepang (yakni setelah patung Buddha di Todaiji, Nara) dan bagi banyak orang, merupakan patung yang paling impresif.

Patung ini dibuat pada tahun 1252 di Kamakura dan pada mulanya berada di dalam kuil, sepertihalnya patung Buddha di Nara. Tetapi karena sebuah tsunami besar yang menghanyutkan semua bangunan dari kayu pada akhir abad ke-15, patung ini tetap dibiarkan berada di alam terbuka.

Patung Buddha Agung ini duduk dengan posisi teratai dan dengan tangan membentuk Dhyani Mudra, pola yang melambangkan konsentrasi/meditasi. Dengan sebuah ekspresi yang damai dan sebuah pemandangan bukit di belakangnya, Daibutsu jelas menawarkan sebuah pemandangan yang spektakular.

Daibutsu sendiri adalah Amida Buddha, yang merupakan fokus dalam ajaran Buddhisme Tanah Suci. Berasal dari Cina, aliran ini memperoleh banyak pengikut di Jepang sejak abad 12 Masehi dan masih sangat popular hingga saat ini.

Inti ajarannya adalah seputar rasa bhakti terhadap Amida Buddha, mengekspresikannya melalui mantra-mantra dan dengan setulus hati, seseorang akan pergi menuju Tanah Suci atau “Surga Barat” setelah kematian – sebuah keadaan yang mana akan mempermudah pencapaian Nirvana.

10. Temple of the Emerald Buddha


Vihara terkenal lain di Bangkok adalah Wat Phra Kaew, Vihara Buddha Zamrud. Di dalam vihara ini terdapat patung Buddha Zamrud, salah satu patung Buddha tertua dan paling terkenal di dunia.

Menurut legenda, patung ini dibuat di India sekitar 43 SM di kota Pataliputra dan berada disana selama 300 tahun. Pada abad ke-4 M, patung ini dibawa ke Sri Lanka oleh para biksu buddhis untuk menyelamatkannya dari peperangan yang terjadi. Kemudian patung ini dibawa ke Thailand dan dipindahkan ke Wat Phra Kaew di tahun 1779.

11. Leshan Giant Buddha


Patung Buddha raksasa Leshan adalah sebuah maha karya umat manusia. Patung Buddha dipahatkan di sebuah lembah yang langsung menghadap ke laut di Sichuan, bagian barat Cina.

Mulai dibuat selama Dinasti Tang tahun 713, patung ini baru selesai tahun 803 (90 tahun) dan melibatkan usaha dari ribuan seniman dan pemahat. Sebagai salah satu patung terbesar di dunia, patung ini juga disebut-sebut dalam puisi, lagu dan cerita.
0 komentar

Asal Usul Kipas Bulu Bangau Zhu Ge Liang

Zhuge Liang adalah ahli strategi militer dari negara Han pada zaman Tiga Negara (220-280 A.D.). Dia adalah ahli strategi yang paling cerdik dan terkenal dalam sejarah Tiongkok.

Dia acapkali dilukiskan sedang memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung bangau. Ketika Zhuge Liang berumur 9 tahun, dia masih tidak dapat berbicara. Keluarganya sangat miskin. Ayahnya menyuruh dia menggembalakan domba di dekat sebuah bukit di sebuah gunung.



Di atas gunung ada sebuah kuil Pendeta Tao dimana tinggal seorang Pendeta Tao tua dengan kepala penuh dengan uban. Setiap hari Pendeta Tao tersebut berjalan-jalan santai di luar kuil. Ketika ia berjumpa Zhuge Liang, dia mencoba berkomunikasi dengan anak laki-laki tersebut dengan menggunakan isyarat tangan.

Zhuge Liang juga senang berkomunikasi dengan Pendeta Tao tersebut dengan isyarat tangan. Pendeta Tao itu menjadi sangat menyayangi Zhuge Liang yang pintar dan menawan itu. Dia mulai mengobati masalah kebisuan anak laki-laki itu. Tidak lama kemudian Zhuge Liang bisa berbicara!

Zhuge Liang sangat gembira ketika akhirnya dia bisa bicara. Dia pergi mendaki menuju ke kuil Pendeta Tao tersebut untuk mengucapkan terima kasih. Pendeta Tao tersebut memberitahukannya, Ketika kau pulang ke rumah, katakan pada orang tuamu bahwa saya mengangkatmu sebagai murid dan saya akan mengajari kamu membaca.

Saya juga akan mengajarimu seni astronomi, geografi dan menerapkan teori Ying dan Yang di dalam strategi militer. Jika orang tuamu setuju, kamu harus hadir di sekolah setiap hari dan kamu tidak boleh membolos!

Sejak saat itu, Zhuge Liang menjadi murid Pendeta Tao tua tersebut. Hujan atau terang, Zhuge Liang akan mendaki gunung untuk menerima pelajarannya. Dia adalah seorang anak yang sangat pintar dan rajin yang sangat serius dalam pelajarannya. Dia juga mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Pendeta Tao tersebut tidak pernah harus mengajari segala sesuatunya sampai dua kali. Dengan sendirinya Pendeta Tao tersebut menjadi semakin menyayanginya.

Delapan tahun berlalu dengan cepatnya dan Zhuge Liang menjadi seorang remaja. Suatu hari ketika Zhuge Liang seperti biasanya turun gunung, dia melewati sebuah biara yang telah ditinggalkan, terletak di tengah-tengah gunung. Tiba-tiba datang hembusan angin yang sangat kuat, diikuti dengan badai petir.

Zhuge Liang tiada pilihan lain selain berlari masuk ke biara yang telah ditinggalkan itu untuk menghindari badai. Di sana ada seorang wanita muda yang belum pernah dijumpai keluar untuk bertemu dengannya. Dia memiliki sepasang mata yang besar dan alis yang tipis. Dia begitu cantiknya sampai-sampai Zhuge Liang hampir salah mengiranya adalah seorang dewi.

Dia segera tertarik dengan wanita muda tersebut. Ketika badai berhenti, wanita cantik itu menemui dia di depan pintu dan berkata padanya dengan tersenyum, Karena sekarang kita sudah saling berjumpa. Kamu bebas untuk mampir dan menikmati secangkir teh kapanpun kau ingin beristirahat dalam perjalananmu turun atau naik ke gunung. Begitu Zhuge Liang berjalan keluar dari biara itu, dia merasa curiga. Mengapa saya tidak mengetahui ada orang yang tinggal di biara ini sebelumnya pikirnya.

Sejak hari itu, Zhuge Liang mulai sering mengunjungi biara tersebut. Setiap kali wanita cantik itu selalu menghiburnya dengan ramah tamah. Dia memasak makanan yang enak untuknya dan selalu membujuknya untuk tinggal lebih lama. Setelah makan malam mereka selalu berbincang-bincang dengan seru dan bermain catur. Dibandingkan dengan kuil Pendeta Tao, biara tersebut bagaikan surga.

Selalu memikirkan wanita itu mengalihkan perhatiannya dari pendidikannya dan dia mulai kehilangan semangat untuk belajar. Dia semakin lama semakin kurang perhatiannya terhadap ajaran dari Pendeta Tao. Dia juga menjadi pelupa dan mengalami kesulitan dalam mempelajari buku pelajaran baru.

Pendeta Tao tua itu menemukan masalahnya. Suatu hari dia memanggil Zhuge Liang dan menarik napas panjang. Lebih mudah menghancurkan sebuah pohon daripada menanam sebuah pohon ujarnya.Saya telah menyia-nyiakan banyak tahun untuk kamu Zhuge Liang menundukan kepalanya karena malu dan berkata, Guru, saya tidak akan mengecewakan anda lagi atau menyia-nyiakan ajaran anda! Saya tidak mempercaimu,kata Pendeta Tao tua. Saya tahu kamu adalah seorang anak yang sangat cerdas, karena itu saya ingin mengobati penyakitmu dan memberimu sebuah pendidikan yang layak.

Delapan tahun terakhir ini kamu telah sangat dalam pendidikanmu, jadi saya berpikir bahwa kerja keras untuk mendidikmu adalah pantas. Tetapi sekarang kamu melalaikan pendidikanmu. Bagaimanapun pandainya kamu, kamu tidak dapat kemana-mana jika kamu terus-menerus seperti ini! Sekarang kamu berjanji padaku untuk tidak akan pernah lagi mengecewakan aku. Bagaimana saya dapat mempercayai kata-katamu?

Pendeta Tao tua melanjutkan, Semua ada penyebabnya.Kemudian dia menunjuk ke sebatang pohon yang terbungkus oleh banyak tumbuhan merambat yang tebal di halaman. Lihat pohon itu,katanya. Mengapa kamu pikir pohon itu setengah hidup dan sedang berjuang dalam setiap pertumbuhannya? Tanaman merambat yang melilit pohon menghalangi pertumbuhannya!jawab Zhuge Liang.

Tepat sekali! Pohon ini mengalami kesulitan untuk tumbuh di gunung cadas dengan tanah yang sedikit ini. Tetapi dia tetap tumbuh karena dia teguh untuk mengembangkan akar dan cabangnya. Dia tidak takut udara panas maupun dingin. Tetapi, ketika tanaman merambat membungkusnya, dia tidak dapat tumbuh lebih tinggi lagi. Lucukan bagaimana tanaman merambat yang lembut itu bisa mengalahkan pohon yang tinggi dan tegap itu!

Zhuge Liang sangat pintar, jadi dia segera memahami apa yang dimaksud oleh Gurunya. Dia bertanya, Guru, anda mengetahui kunjungan saya ke biara itu. Pendeta Tao tua berkata, Hidup di dekat air, seseorang akan mempelajari sifat alami ikan. Hidup di gunung, seseorang akan mempelajari bahasa burung. Saya telah mengamati kamu dan tingkah lakumu. Bagaimana mungkin hubungan asmaramu luput dari perhatianku?

Dia berhenti sebentar sebelum memberitahukan muridnya dengan tatapan yang serius, Biar kuberitahu kamu kebenaran mengenai wanita cantik itu. Dia bukan manusia. Dia adalah burung bangau dewa di surga. Dia telah diusir keluar dari istana langit sebagai hukuman karena telah mencuri dan memakan buah persik Ratu Langit.

Dia datang ke dunia manusia dan menjelma menjadi seorang wanita cantik. Dia adalah bangau dewa yang telah rusak moralnya yang tahunya hanya mencari kesenangan. Kamu telah terpedaya oleh penampilannya, kamu telah menyia-nyiakan tidak hanya waktumu saja. Jika kamu membiarkan dirimu kehilangan kemauanmu, kamu akan kehilangan segalanya! Selain itu, jika kamu tidak menuruti kehendaknya, akhirnya dia akan menyakitimu. Sampai waktu itu Zhuge Liang baru menyadari keseriusan dari petualangannya. Dengan cemas dia meminta gurunya cara mengatasinya.

Pendeta Tao tua berkata, Bangau dewa tersebut mempunyai kebiasaan pada tengah malam menjelma kembali ke bentuk semulanya dan terbang ke sungai langit untuk mandi. Ketika dia menjauhi biara, kamu harus masuk ke kamarnya dan bakar jubahnya. Dia mencuri jubah tersebut dari Istana Langit.

Tanpa jubah, dia tidak akan dapat menjelma menjadi seorang wanita cantik. Zhuge Liang berjanji untuk mengikuti instruksi Gurunya. Sebelum ia pergi, Gurunya memberikan sebuah Pedang kayu dengan ukiran kepala naga di ujung atasnya.

Dia memberitahu Zhuge Liang, Ketika bangau dewa tersebut mengetahui kebakaran di dalam biara, dia akan segera terbang kembali dari sungai langit. Dia akan menyadari bahwa kamu telah membakar jubahnya dan akan menyerang kamu. Ketika itu terjadi, kau harus memukulnya dengan pedang kayu ini! Sangatlah penting untuk kau ingat dan mengerjakan apa yang telah aku beritahukan kepadamu!


Tengah malam, diam-diam Zhuge Liang pergi ke biara tersebut. Dia membuka kamar wanita itu dan menemukan jubahnya di atas ranjang. Dia segera membakar jubah tersebut. Ketika bangau dewa sedang mandi di sungai langit, tiba-tiba dia merasa jantungnya sakit. Dia melihat ke arah biara dan melihat api.

Dia segera terbang ke bawah dan melihat Zhuge Liang telah membakar jubahnya. Dia menghampiri Zhuge Liang dan berusaha menyerang matanya dengan paruh. Zhuge Liang mempunyai reflek yang cepat. Dia mengangkat pedang kayunya dan memukul jatuh bangau dewa. Kemudian dia menangkap ekor bangau itu. Bangau dewa itu memberontak dan berhasil meloloskan diri, tetapi dia kehilangan bulu ekornya pada Zhuge Liang.

Dia menjadi seekor bangau dengan ekor botak. Dia menjadi malu dengan penampilannya, sehingga dia berhenti mandi di sungai langit. Dia juga tidak berani memasuki Istana Langit untuk mencuri jubah lagi, jadi dia tidak punya pilihan lain selain tetap tinggal di dunia manusia selamanya dan hidup diantara bangau biasa. Untuk mengingatkan dirinya sendiri akan pelajaran ini, Zhuge Liang menyimpan bulu ekor bangau itu.

Sejak hari itu, Zhuge Liang menjadi semakin rajin. Dia akan menghafal semua yang diajarkan oleh Gurunya dan semua buku pelajaran. Dia benar-benar menyerap apa yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkannya dengan mudah. Setahun telah lewat. Tepat pada hari ia membakar jubah bangau dewa setahun yang lalu, pendeta Tao tua memberitahukannya dengan sebuah senyuman lebar, Muridku, kau telah belajar dibawah pengawasanku selama sembilan tahun.

Saya telah mengajarimu semua yang harus kau pelajari dan kamu telah mempelajari semua buku pelajaran di sini. Ada sebuah pepatah, Guru membawamu ke pintu masuk, dan terserah padamu untuk berlatih kultivasi.Sekarang kamu berusia 18 tahun. Sudah saatnya kamu meninggalkan rumah dan mengembangkan karirmu!

Ketika Zhuge Liang mendengar bahwa ia telah menyelesaikan pendidikannya, dia memohon gurunya untuk mengajarinya lagi. Guru! Semakin banyak saya belajar, saya merasa semakin rendah hati. Saya merasa masih banyak yang harus saya pelajari dari anda!

Pendidikan sejati berasal dari kehidupan nyata. Kau harus belajar menerapkan pengetahuanmu didalam kehidupan dan merancang pemecahan yang berbeda untuk situasi yang berbeda! Sebagi contoh, kau telah belajar sebuah pelajaran yang penting dari kunjunganmu dengan bangau dewa bahwa seseorang tidak seharusnya tergoda oleh nafsu atau perasaan. Ini adalah pelajaran berguna yang diperoleh dari pengalaman nyata. Dengan hal itu didalam pikiran, kamu tidak akan dibuat binggung oleh permukaan maya dari dunia ini.

Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu. Kamu harus melihat segalanya dalam bentuk sejatinya. Ini adalah nasihat perpisahan saya kepadamu! Saya akan meninggalkanmu hari ini.Guru, kemana Anda akan pergi?dengan heran Zhuge Liang bertanya,dimana saya dapat menemuimu atau mengunjungimu di kemudian hari? Saya akan keliling dunia dan tidak akan menetap lagi.

Tiba-tiba Zhuge Liang merasakan air mata yang hangat menetes dari matanya. Dia berkata, Guru! Sebelum anda pergi, anda harus memberikan aku kesempatan untuk bersujud kepada anda dan berterima kasih kepada anda atas pendidikan yang anda berikan padaku! Kemudian Zhuge Liang bersujud kepada Gurunya. Ketika dia berdiri, Pendeta Tao tersebut telah menghilang.

Pendeta Tao itu meninggalkannya sebuah jubah dengan gambar patkwa. Zhuge Liang sering memikirkan Gurunya; karena itu, ia sering memakai jubah dengan gambar patkwa sebab memberikannya perasaan bahwa Gurunya berada di sampingnya. Zhuge Liang tidak pernah lupa nasihat Gurunya, terutama nasihat perpisahannya. Dia membuat kipas dari bulu ekor bangau dewa untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk sangat berhati-hati seumur hidupnya. Ini adalah cerita dibalik kipas bulu terkenal yang dibawa oleh Zhuge Liang.
0 komentar

Sariputta Thera


Yang Ariya Sariputta lahir dari orangtua brahmana dari desa Upatissa; sehingga ia diberi nama Upatissa. Ibunya bernama Sari. Teman dekatnya adalah Kolita, seorang brahmana muda, anak dari Moggali. Kedua anak muda ini sedang mencari ajaran yang benar, yang akan mengantar mereka menuju kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Keduanya mempunyai keinginan yang kuat untuk memasuki kelompok religius.

Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan tanpa kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu akan memberitahu yang lain.

Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan rombonganpara bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera sedang berjalan menerima dana makanan, Upatissa melihat sang thera, ia sangat terkesan dengan wajah dan penampilan thera yang mulia. Sehingga Upatissa dengan penuh hormat mendekati sang thera dan bertanya siapakah gurunya, ajaran apakah yang diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan ajarannya kepada dirinya.

Assaji Thera menjawab Upatissa tentang kedatangan Sang Buddha dan perjalananNya di Vihara Veluvana dekat Rajagaha. Sang thera juga mengutip satu bait yang terdapat dalam ‘Empat Kebenaran Mulia’. Syair itu demikian :

Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan tanpa kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu akan memberitahu yang lain.

Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan rombonganpara bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera sedang berjalan menerima dana makanan, Upatissa melihat sang thera, ia sangat terkesan dengan wajah dan penampilan thera yang mulia. Sehingga Upatissa dengan penuh hormat mendekati sang thera dan bertanya siapakah gurunya, ajaran apakah yang diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan ajarannya kepada dirinya.

Assaji Thera menjawab Upatissa tentang kedatangan Sang Buddha dan perjalananNya di Vihara Veluvana dekat Rajagaha. Sang thera juga mengutip satu bait yang terdapat dalam ‘Empat Kebenaran Mulia’. Syair itu demikian :

Ye dhamma hetupppa bhava
tesam hetum tathagato aha
tesanca yo nirodho
evam vadi maha samano

Yang berarti :

Sang Tathagata telah menjelaskan sebab dan juga terhentinya semua fenomena yang muncul dari suatu sebab. Ini adalah ajaran yang telah disampaikan oleh pertapa Agung.

Ketika saat pertengahan syair ini diucapkan, Upatissa mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Seperti telah dijanjikan bersama, Upatissa pergi menemui temannya Kolita untuk memberitahukan bahwa ia telah menemukan Dhamma sejati. Kemudian dua sahabat tersebut, disertai dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menemui Sang Buddha yang waktu itu berada di Rajagaha. Ketika mereka tiba di Vihara Veluvana, mereka mohon izin untuk memasuki pasamuan bhikkhu, dan keduanya, Upatissa dan Kolita, beserta dua ratus lima puluh pengikutnya, diterima sebagai bhikkhu. Upatissa, anak dari Sari, dan Kolita, anak dari Moggali, kemudian dikenal sebagai Sariputta dan Moggallana.

Segera setelah penerimaan mereka dalam pasamuan bhikkhu, Sang Buddha menjelaskan Dhamma secara terperinci kepada mereka. Moggallana dan Sariputta mencapai tingkat kesucian Arahat masing-masing pada akhir hari ke tujuh dan hari ke lima belas.

Y.A.Sariputta selalu mengingat bahwa ia telah dapat bertemu dengan Sang Buddha, dan mencapai keadaan tanpa kematian melalui Y.A.Assaji. Jadi, ia selalu menghormat dengan cara membungkukkan badan dimana gurunya berada dan selalu tidur dengan kepala menghadap ke arah yang sama.

Bhikkhu-bhikkhu lain yang tinggal bersamanya di Vihara Jetavana salah mengartikan tindakannya dan berkata kepada Sang Buddha, “Bhante! Y.A.Sariputta masih menyembah ke bermacam-macam arah Timur, Selatan, Barat, Utara, Atas, dan Bawah, seperti yang dilakukannya sebagai seorang brahmana muda. Nampaknya ia belum meninggalkan kepercayaan lamanya.”

Sang Buddha memanggil Yang Ariya Sariputta dan, Sariputta menjelaskan pada Sang Buddha bahwa ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, Y.A.Assaji, dan ia tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Sang Buddha puas dengan penjelasan yang diberikan oleh Y.A. Sariputta dan berkata kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain, “Para bhikkhu! Sariputta tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, karena melalui dialah ia dapat mencapai ‘Keadaan Tanpa Kematian’. Adalah hal yang benar dan tepat baginya untuk menghormat kepada guru seperti itu.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 392 berikut :

Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha, maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.

Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian: “Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar.”

Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai padanganan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.

Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai padanganan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.

Pada saat Y.A. Sariputta sedang berpindapatta, muncullah brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan. Sang Thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi.

Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang Thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, mengakui bahwa ia telah bersalah memukul sang Thera, dan meminta maaf. Brahmana itu kemudian melanjutkan, “Yang Ariya, hendaknya engkau memaafkanku, dengan senang hati datanglah ke rumahku untuk menerima dana makanan.”

Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.

Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 389 dan 390 berikut :

Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana,tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.

Tak ada yang lebih baik bagi seorang ‘brahmana’selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan. Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahat,maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.


Pada suatu akhir masa vassa; Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan memfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya.



Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan apakah hal itu benar?

Sariputta menjawab, “Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan kejahatan terhadap bhikkhu pengikutnya? Saya seperti tanah yang tidak merasa senang ketika bunga-bunga tumbuh, dan tidak juga merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan dengan tanduk yang patah; saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu”.

Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat tertekan dan menderita. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu. Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf. Sariputta Thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah.

Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh; seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih”.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 95 berikut:

Bagaikan tanah, demikian pula orang suci. Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.
Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian: “Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar.”

Karena ini sering dikatakan mengenai Y.A. Sariputta, seorang brahmana yang mempunyai pandangan salah mengatakan bahwa itu karena tidak ada yang mengganggu Sariputta Thera, lalu ia mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.



Sariputta Thera Pada saat itu, Y.A. Sariputta yang sedang berpindapatta, lewat disana. Brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau keras-keras dengan tangannya.

“Apa itu?”, kata Sang Thera, dan tanpa menoleh untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, ia meneruskan berjalan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang Thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut dan menyesal. “Oh, betapa luhurnya kualitas Sang Thera!”, kata brahmana itu. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, dan berkata, “Maafkan saya, Bhante.”

“Apa yang engkau maksudkan?” tanya Sang Thera.
“Karena ingin menguji kesabaranmu, aku telah memukulmu,” jawab brahmana itu.
“Baiklah, aku memaafkanmu” kata Sang Thera.
“Jika Bhante memaafkanku, sudilah datang dan menerima dana makanan di rumahku.”

Kemudian brahmana itu mengambil patta (mangkuk) Sang Thera, yang diberikan oleh Sang Thera dengan senang hati, mengajak Sang Thera ke rumahnya, dan memberikan dana makanan untuk Sang Thera.

Orang-orang yang melihat pemukulan itu, sangat marah. “Orang itu,” kata mereka, “memukul Thera kita yang mulia, sungguh tak boleh dibiarkan! Kita akan membunuhnya disini sekarang juga.” Sambil membawa gumpalan tanah, tongkat dan batu-batu di tangan mereka, mereka menunggu di depan rumah brahmana itu.

Ketika Sariputta Thera bangkit dari tempat duduknya, beliau meletakkan pattanya di tangan brahmana itu*. Orang-orang yang melihat brahmana itu keluar bersama Sang Thera, berkata, “Bhante, suruhlah brahmana yang memegang pattamu untuk kembali.”

“Apa yang engkau maksudkan, oh perumah tangga?” tanya Sang Thera.
“Brahmana itu telah memukulmu, dan kami akan memberi ganjaran kepadanya”, jawab mereka.
“Apa yang engkau maksudkan? Apakah dia memukulmu, atau memukulku?”, tanya Sang Thera.
“Memukulmu, bhante” jawab mereka.
“Jika ia memukulku, ia telah meminta maaf kepadaku; kalian pulanglah.” Demikian jawab Sang Thera membubarkan kerumunan itu, dan setelah mempersilakan brahmana itu kembali ke rumahnya, Sang Thera kembali menuju ke vihara.

Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.

Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian ketiga, Anagami.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

Na brāhmaṇassa pahareyya
nāssa muñcetha brāhmaṇo,
dhī brāhmaṇassa hantāraṃ,
tato dhī y’assa muñcati.
Na brāhmaṇas’ etad akiñci seyyo
yadā nisedho manaso piyehi,
yato yato hiṃsamano nivattati
tato tato sammati-m-eva dukkhaṃ.

Janganlah seseorang memukul brahmana,
juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya.
Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana,
tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang
menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.
Tak ada yang lebih baik bagi seorang `brahmana`
selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan.
Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahat,
maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.

0 komentar

DEVADATTA


Suatu ketika kedua murid utama Sang Buddha: Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Maha Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana, orang-orang Rajagaha mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.

Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengharapkan mereka mengatur dan menggunakan pemberiannya untuk upacara itu. Kalau masih terdapat kelebihan, diberikan kepada siapa saja dari para bhikkhu yang dianggap layak. Hal itu juga terjadi jika tidak terdapat kekurangan maka kain tersebut akan diberikan pada salah satu dari para Thera. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta, yang tinggal menetap di Rajagaha.

Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.

Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian menghubungkannya dengan kisah berikut ini.

Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam hutan tertentu, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari, sang pemburu memperhatikan gajah-gajah ini berlutut kepada Paccekabuddha. Setelah mengamatinya, sang pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah kuning, lalu menutupi badannya dan memegangnya. Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati.

Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Paccekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat. Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. Ia bunuh gajah-gajah pada barisan terakhir satu persatu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga berhari-hari.

Sang Bodhisatta (Calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Dia menangkap sang pemburu dengan belalainya dan melemparkan pemburu itu ke tanah. Melihat jubah kuning, dia berhenti dan menyelamatkan hidup sang pemburu.

Sang pemburu tidak berhasil membunuh dengan menggunakan tipuan jubah kuning dan perilaku seperti itu adalah perbuatan buruk. Sang pemburu jelas tidak berhak memakai jubah kuning.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 9 dan 10 berikut ini:

Barang siapa belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin, yang tidak memiliki pengendalian diri serta tidak mengerti kebenaran, sesungguhnya tidak patut ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin, teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri serta mengerti kebanaran, maka sesungguhnya ia patut mengenakan jubah kuning.
Banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapati, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Suatu saat Devadatta menetap bersama Sang Buddha di Kosambi. Selama tinggal di sana ia menyadari bahwa Sang Buddha menerima banyak perhatian dan penghormatan maupun pemberian. Dia merasa iri hati terhadap Sang Buddha dan bercita-cita untuk memimpin Sangha yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu.

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana di dekat Rajagaha, dia mendekati Sang Buddha dan dengan alasan bahwa Sang Buddha sudah semakin tua, dia sangat berharap Sangha akan dipercayakan kepada pengawasannya.

Sang Buddha menolak usulnya serta menegur, bahwa dia telah menelan air ludah orang lain. Sang Buddha kemudian meminta Sangha melaksanakan rencana melakukan pengumuman (pakasaniya kamma) sehubungan dengan kelakuan Devadatta.

Devadatta merasa tersinggung serta bersumpah membalas dendam dan menantang Sang Buddha. Tiga kali, dia mencoba untuk membunuh Sang Buddha.

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana di dekat Rajagaha, dia mendekati Sang Buddha dan dengan alasan bahwa Sang Buddha sudah semakin tua, dia sangat berharap Sangha akan dipercayakan kepada pengawasannya.

Sang Buddha menolak usulnya serta menegur, bahwa dia telah menelan air ludah orang lain. Sang Buddha kemudian meminta Sangha melaksanakan rencana melakukan pengumuman (pakasaniya kamma) sehubungan dengan kelakuan Devadatta.

Devadatta merasa tersinggung serta bersumpah membalas dendam dan menantang Sang Buddha. Tiga kali, dia mencoba untuk membunuh Sang Buddha.

Pertama, dengan menggunakan beberapa pemanah sewaan. Kedua, dengan memanjat ke atas bukit Gijjhakuta dan menjatuhkan sebuah batu besar kepada Sang Buddha; dan ketiga, dengan memabukkan Gajah Nalagiri untuk menyerang Sang Buddha.

Pemanah sewaan kembali setelah mencapai tingkat kesucian sotapatti, tanpa menyakiti Sang Buddha.


Batu besar yang didorong jatuh oleh Devadatta melukai sedikit jari kaki Sang Buddha, dan ketika Gajah Nalagiri lari menuju Sang Buddha, ia dibuat jinak oleh Sang Buddha.

Dengan demikian Devadatta gagal untuk membunuh Sang Buddha. Dia mencoba siasat lainnya, mencoba memecah belah Sangha dengan cara membawa pergi beberapa bhikkhu baru, menyingkir bersamanya ke Gayasisa.

Bagaimanapun juga, banyak di antara mereka telah dibawa pulang kembali oleh Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera.
Kemudian, Devadatta jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama sembilan bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana.

Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah.

Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi. Devadatta tidak memiliki kesempatan untuk melihat Sang Buddha karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan terhadap Sang Buddha. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici (Avici Niraya), tempat yang penuh dengan penyiksaan terus-menerus.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 17 berikut:

Di dunia ini ia menderita, di dunia sana ia menderita; pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu. Ia meratap ketika berpikir, “Aku telah berbuat jahat”, dan ia akan lebih menderita lagi ketika berada di alam sengsara.
 
Delapan tahun sebelum Sang Buddha sendiri mencapai Parinibbana. Ketika itulah Devadatta dengan paksa ingin mengambil-alih pimpinan Sangha dari Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut :

Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddhodana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah dengan Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha.

Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddhodana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah dengan Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha.

Devadatta ditahbiskan menjadi bhikkhu bersama-sama dengan Ananda, Bhagu, Kimbila, Bhaddiya, Anuruddha dan Upali di Anupiya, sewaktu Sang Buddha dalam perjalanan dari Kapilavatthu menuju Rajagaha, pada tahun ketiga setelah memperoleh Penerangan Agung.

Pada vassa berikutnya, Devadatta berhasil memperoleh Puthujjanika-iddhi, yaitu kekuatan gaib tertinggi yang dapat dicapai oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian. Untuk beberapa waktu lamanya, Devadatta mendapat tempat terhormat dalam Sangha, bahkan Sang Buddha sendiri pernah memujinya sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib yang tinggi.

Tetapi di kemudian hari, Devadatta mempunyai maksud yang tidak baik terhadap Sang Buddha karena ia merasa iri atas kemasyhuran Sang Buddha.

Pertama, ia mencoba untuk mempengaruhi Pangeran Ajatasattu. Ia bersalin rupa menjadi anak kecil dengan memakai kalung dari beberapa ekor ular. Tiba-tiba ia jatuh diatas pangkuan Ajatasattu, sehingga membuat Ajatasattu ketakutan. Kemudian anak kecil itu lenyap dan Devadatta berdiri di depan Ajatasattu. Peristiwa tersebut memberi kesan yang dalam sekali di hati Ajatasattu, sehingga Beliau sangat menghormat pada Devadatta.

Tiap pagi dan petang hari, Ajatasattu mengunjungi Devadatta dengan diiringi lima ratus kereta, di samping memberikan lima ratus piring makanan setiap hari. Kejadian ini menggembirakan sekali hati Devadatta, sehingga timbul niat jahatnya untuk mengambil alih kedudukan Sang Buddha sebagai Ketua Sangha.

Seorang murid Mogallana, yang bertumimbal lahir sebagai Manomayakayikadeva, mengetahui niat jahat Devadatta tersebut dan memberitahukan kepada Moggallana. Moggallana menceritakan hal tersebut kepada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa persoalan itu tidak perlu dibicarakan sekarang, karena kelak sebelum waktunya, Devadatta akan membocorkannya sendiri.

Tidak lama kemudian, di hadapan pertemuan para bhikkhu, Devadatta mohon kepada Sang Buddha agar Sang Buddha menunjuknya sebagai Ketua Sangha, berhubung Sang Buddha sekarang sudah lanjut usianya. Atas permohonan itu Sang Buddha menjawab, “Aku tidak akan mengalihkan Pimpinan Sangha kepada Sariputta atau Moggallana, maka mustahil Aku akan mengalihkannya kepada engkau, seorang yang hina-dina.”

Pada waktu itulah Ajatasattu dihasut oleh Devadatta untuk membunuh ayahnya, sedangkan ia sendiri akan membunuh Sang Buddha.

Ajatasattu menyetujui dan memerintahkan beberapa orang pemanah istana untuk membantu Devadatta membunuh Sang Buddha. Para pemanah istana tersebut ditempatkan di berbagai tempat dan diatur sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada seorang pun yang masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.


Tetapi, saat Sang Buddha mendekati pemanah pertama yang harus membunuhnya, pemanah tersebut demikian terpesona dengan keagungan Sang Buddha, sehingga seluruh badannya menjadi kaku. Sang Buddha menegurnya dengan kata-kata yang ramah tamah, sehingga pemanah tersebut membuang panahnya dan mengaku kepada Sang Buddha, apa yang sebenarnya menjadi tugasnya.

Sang Buddha memberikan uraian Dhamma kepada orang tersebut dan kemudian menyuruhnya pulang dengan mengambil jalan tertentu. Kawan-kawannya yang letih menunggu, kemudian satu per satu meninggalkan tempat penjagaannya.

Mereka semua datang ke tempat Sang Buddha, karena tertarik oleh kekuatan gaib dari Sang Buddha. Sewaktu mereka sudah berkumpul, Sang Buddha lalu memberikan uraian Dhamma kepada para pemanah tersebut. Pamanah yang pertama pergi melapor kepada Devadatta dan mengatakan bahwa ia tidak sanggup membunuh Sang Buddha, karena Sang Buddha mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa tingginya.


Devadatta lalu mengambil keputusan untuk membunuh sendiri Sang Buddha. Suatu hari, sewaktu Sang Buddha sedang berjalan di lereng Gunung Gijjhakuta, ia mendorong sebuah batu besar yang dimaksudkan untuk menimpa mati Sang Buddha. Tiba-tiba dua tonggak besar muncul dari dalam tanah untuk menahan jatuhnya batu tersebut.

Meskipun demikian, pecahan batu tersebut masih dapat melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian diusungkan ke Ambavana, yaitu tempat tabib Jivaka untuk mendapat pengobatan seperlunya. Setelah kejadian ini, siang dan malam para murid-Nya menjaga tempat tinggal Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa hal tersebut tidak perlu, berhubung tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu membunuh seorang Buddha.

Setelah usahanya kembali gagal, Devadatta lalu membujuk seorang pawang gajah untuk melepaskan seekor gajah (yang terlebih dahulu dibuat mabuk dengan memberinya minuman arak) di jalan yang akan dilalui Sang Buddha. Gajah itu besar dan buas dan terkenal dengan nama Nalagiri.

Dengan cepat berita ini tersiar dan Sang Buddha pun diberitahu. Namun Sang Buddha menolak untuk membatalkan perjalanan-Nya. Sewaktu gajah mabuk tersebut dilepas dan memburu ke arah Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan dirinya antara Sang Buddha dan gajah dengan maksud untuk melindungi dan menjadi tameng dari Guru Junjungannya, meskipun terlebih dahulu telah dipesan dan diperingati dengan keras oleh Sang Buddha untuk tidak berbuat apa-apa.

Hanya dengan menggunakan “iddhi”, yaitu dengan membuat bumi mengerut, Sang Buddha berhasil berada di depan Ananda dan dengan pancaran cinta kasih dapat menjinakkan kembali gajah tersebut.
< Setelah ketiga usahanya gagal semua, Devadatta kemudian berusaha untuk memecah belah Sangha. Ia minta kepada Sang Buddha untuk menyetujui bahwa semua bhikkhu harus mentaati peraturan seperti di bawah ini :

1. Semua bhikkhu harus tinggal di hutan.
2. Semua bhikkhu tidak boleh menerima undangan makan di rumah umat, tetapi mereka hanya boleh makan makanan yang diperoleh dengan jalan minta-minta.
3. Semua bhikkhu harus memakai jubah dari kain bekas pembungkus mayat dan tidak boleh menerima persembahan jubah dari umat.
4. Di hutan, semua bhikkhu harus tidur di bawah pohon dan tidak boleh tidur di dalam rumah.
5. Semua bhikkhu dilarang keras makan daging dan ikan.

Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu yang ingin mengikuti peraturan tersebut boleh melakukannya, kecuali “tidur di bawah pohon” selama musim hujan. Tetapi Beliau menolak untuk membuat peraturan ini berlaku bagi semua bhikkhu.


Penolakan ini membuat Devadatta gembira karena sekarang ia mempunyai alasan untuk menyebarluaskan berita bahwa Sang Buddha dan murid-murid-Nya masih terlalu terikat kepada kemewahan dan kehidupan yang serba cukup. Meskipun sudah diperingati oleh Sang Buddha tentang akibat yang menyedihkan untuk orang yang memecah belah Sangha, namun Devadatta memberitahukan Ananda bahwa ia akan mengadakan pertemuan Uposatha tersendiri tanpa dihadiri oleh Sang Buddha. Devadatta berhasil membujuk lima ratus orang bhikkhu yang baru ditahbiskan untuk menyertainya pergi ke Gayasisa.

Di antaranya terdapat bhikkhuni Thullananda yang terus-menerus memuji Devadatta dan seorang dari suku Sakya bernama Dandapani.
Sang Buddha kemudian memerintahkan Sariputta dan Moggallana pergi ke Gayasisa untuk bicara dengan para bhikkhu yang terkena bujukan.

Ketika Sariputta dan Moggallana tiba di Gayasisa, mereka diterima dengan gembira oleh Devadatta, sebab Devadatta mengira bahwa Sariputta dan Moggallana berdua juga ingin bergabung dengannya.

Malam itu Devadatta berkhotbah sampai larut malam. Waktu merasa sudah letih sekali, Devadatta minta Sariputta untuk meneruskan khotbahnya, sedangkan ia sendiri pergi tidur. Sariputta berkhotbah di depan para bhikkhu dan menerangkan bahwa Devadatta sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Sang Buddha.

Pada akhir khotbahnya, lima ratus orang bhikkhu tersebut bersedia kembali kepada Sang Buddha dan meninggalkan Devadatta bersama-sama Sariputta dan Moggallana.
Pengikut Devadatta yang setia, Kokalika, membangunkan Devadatta dari tidurnya dan menceritakan apa yang telah terjadi.
Mendengar berita tersebut, Devadatta muntah darah dan kemudian sakit keras selama sembilan bulan.


Sewaktu Devadatta mengetahui bahwa ia tidak lama lagi dapat hidup di dunia ini, ia minta murid-muridnya membawa ia menghadap Sang Buddha.

Keitka berita itu disampaikan kepada Sang Budda, Beliau mengatakan bahwa hal itu tidaklah mungkin dalam kehidupan ini.

Devadatta dibawa dengan sebuah usungan. Waktu tiba di dekat Jetavana, ia minta rombongannya berhenti sebentar karena ia ingin membersihkan badan terlebih dahulu di sebuah telaga yang terdapat di pinggir jalan.

Sewaktu turun dari usungan dan kakinya menyentuh tanah, tanah itu membuka dan ia terjerumus masuk ke dalam tanah. Ketika ia hampir hilang masuk ke dalam tanah, ia masih sempat menyatakan bahwa ia hanya mencari perlindungan kepada Sang Buddha.
Ia masuk ke neraka Avici dan akan berada di alam tersebut selama seratus ribu kappa untuk kemudian lahir kembali ke dunia dan menjadi seorang Pacceka Buddha.
0 komentar

Asoka yang Agung

Asoka yang Agung (juga Ashoka, Aśoka, dilafazkan sebagai Asyoka) adalah penguasa Kekaisaran Maurya dari 273 SM sampai 232 SM. Seorang penganut agama Buddha, Asoka menguasai sebagian besar anak benua India, dari apa yang sekarang disebut Afganistan sampai Bangladesh dan di selatan sampai sejauh Mysore.



Nama "Asoka" berarti 'tanpa duka' dalam bahasa Sansekerta (a – tanpa, soka – duka). Asoka adalah pemimpin pertama Bharata (India) Kuno, setelah para pemimpin Mahabharata yang termasyhur, yang menyatukan wilayah yang sangat luas ini di bawah kekaisarannya, yang bahkan melampaui batas-batas wilayah kedaulatan negara India dewasa ini.

Sang penulis Britania H. G. Wells menulis tentang Asoka: "Dalam sejarah dunia, ada ribuan raja dan kaisar yang menyebut diri mereka sendiri ‘Yang Agung’, ‘Yang Mulia’ dan ‘Yang Sangat Mulia’ dan sebagainya. Mereka bersinar selama suatu waktu singkat, dan kemudian cepat menghilang.

Tetapi Asoka tetap bersinar dan bersinar cemerlang seperti sebuah bintang cemerlang bahkan sampai hari ini" (Aslinya dalam bahasa Inggris: "In the history of the world there have been thousands of kings and emperors who called themselves 'Their Highnesses', 'Their Majesties' and 'Their Exalted Majesties' and so on. They shone for a brief moment, and as quickly disappeared. But Ashoka shines and shines brightly like a bright star, even unto this day").

Asoka adalah putra maharaja Maurya, maharaja Bindusara dari seorang selir yang pangkatnya agak rendah dan bernama Dharma. Asoka memiliki beberapa kakak dan hanya satu adik, Witthasoka. Karena kepandaian yang meneladani dan kemampuannya berperang, ia dikatakan merupakan cucu kesayangan kakeknya, maharaja Candragupta Maurya. Maka seperti diceritakan dalam bentuk legenda, ketika Candragupta Maurya meninggalkan kerajaannya untuk hidup sebagai seorang Jain, ia membuang pedangnya. Asoka menemukan pedangnya dan menyimpannya.

Jalan menuju kekuasaan

Maka sementara ia berkembang menjadi seorang prajurit ulung yang sempurna dan seorang negarawan lihai, Asoka memimpin beberapa regimen tentara Maurya. Popularitasnya yang naik di seluruh wilayah kekaisaran membuat kakak-kakaknya menjadi cemburu karena mereka cemas ia bisa dipilih Bindusara menjadi maharaja selanjutnya.

Kakaknya yang tertua, pangeran Susima, putra mahkota pertama, membujuk Bindusara untuk mengirim Asoka mengatasi sebuah pemberontakan di kota Taxila, di provinsi barat laut Sindhu, di mana pangeran Susima adalah gubernurnya. Taxila adalah sebuah daerah yang bergejolak karena penduduknya adalah sukubangsa Yunani-India yang suka berperang dan juga karena pemerintahan kakaknya, pangeran Susima kacau. Oleh karena itu dalam daerah ini banyak terbentuk milisi-milisi yang mengacau keamanan.

Asoka setuju dan bertolak ke daerah yang sedang dilanda huru-hara. Maka ketika berita bahwa Asoka akan datang menjenguk mereka dengan pasukannya, ia disambut dengan hormat oleh para milisi yang memberontak dan pemberontakan bisa diakhiri tanpa pertumpahan darah. (Provinsi ini di kemudian hari memberontak lagi ketika Asoka memerintah, namun kemudian ditumpas dengan tangan besi).


Keberhasilan Asoka membuat kakak-kakaknya semakin cemas akan maksudnya menjadi maharaja penerus, maka hasutan-hasutan Susima kepada Bindusara membuatnya membuang Asoka. Asoka kemudian pergi ke Kalinga dan menyembunyikan jatidirinya.

Di sana ia bertemu dengan seorang nelayan wanita bernama Karubaki, dan ia jatuh cinta. Prasasti-prasasti yang baru ditemukan menunjukkan bahwa ia kelak menjadi permaisuri selirnya yang kedua atau ketiga.

Sementara itu, ada sebuah pemberontakan lagi, kali ini di Ujjayani (Ujjain). Maharaja Bindusara mengundang Asoka kembali setelah dibuang selama dua tahun. Asoka pergi ke Ujjayani dan pada pertempuran di sana terluka, tetapi para hulubalangnya berhasil menumpas pemberontakan.

Asoka kemudian diobati secara diam-diam sehingga para pengikut setia pangeran Susima tidak bisa melukainya. Ia diurusi oleh para bhiksu dan bhiksuni beragama Buddha. Di sinilah ia pertama kalinya berkenalan dengan ajaran Buddha, dan di sini pula ia berjumpa dengan Dewi, yang merupakan perawat pribadinya dan putri seorang saudagar bernama Widisha. Maka setelah pulih, ia menikahinya.

Hal ini tidak bisa diterima oleh Bindusara bahwa salah seorang putranya menikah dengan seorang penganut Buddha, maka beliau tidak memperbolehkannya tinggal di Pataliputra, tetapi mengirimnya kembali ke Ujjayani dan membuat menjadi seorang gubernur.

Tahun selanjutnya berjalan cukup tenang untuknya dan Dewi akan melahirkan putranya yang pertama. Sementara itu maharaja Bindusara mangkat. Sementara berita putra mahkota yang belum lahir menyebar, Pangeran Susima berniat untuk membunuhnya; namun si pembunuh justru membunuh ibunya.

Menurut legenda, dalam keadaan murka, pangeran Asoka menyerang Pataliputra (sekarang Patna), dan memenggal kepala kakak-kakaknya semua termasuk Susima, dan membuangnya di sebuah sumur di Pataliputra. Pada saat tersebut banyak orang yang menyebutnya Canda Asoka yang artinya adalah Asoka si pembunuh dan tak kenal kasih.

Sementara Asoka naik takhta, ia memperluas wilayah kekaisarannya dalam kurun waktu delapan tahun kemudian dari perbatasan daerah yang sekarang disebut Bangladesh dan Assam di India di timur sampai daerah-daerah di Iran dan Afganistan di barat; dari Palmir Knots sampai hampir di ujung jazirah India di sebelah selatan India.

Penaklukkan Kalingga

Sementara tahap-tahap awal kepemimpinan Asoka terbukti cukup haus darah, ia kemudian menjadi pengikut ajaran Buddha setelah menaklukkan Kalingga, daerah yang sekarang adalah negeri bagian India Orissa. Kalingga adalah sebuah negeri yang bangga akan kemerdekaan dan demokrasinya; dengan demokrasi monarki dan parlementernya, negeri ini bisa dikatakan sebuah pengecualian di Bharata Kuna, karena di sana ada konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para pemimpin, yang secara dasar bersatu-padu dengan konsep keberanian dan Ksatriyadharma.

Asal mula Perang Kalingga (265 SM atau 263 SM) tidak jelas. Salah satu saudara Susima kemungkinan melarikan diri ke Kalingga dan mendapat suaka secara resmi di sana. Hal ini sangat membuat murka Asoka. Ia diberi saran oleh para menterinya menyerang Kalingga untuk tindakan pengkhianatan ini. Asoka kemudian meminta Kalingga untuk tunduk kepada kekuasaannya. Ketika mereka menolak diktatnya, Asoka mengirimkan salah seorang panglima perangnya supaya mereka tunduk.

Sang panglima perang dan pasukannya kalah dan melarikan diri berkat kepandaian panglima perang Kalingga. Asoka yang tercengang akan kekalahan ini, menyerang dengan sebuah pasukan yang terbesar pernah ada dalam sejarah India sampai saat itu. Kalingga melawan dengan sengit tetapi mereka bukan padanan pasukan perang Asoka yang sangat kuat.

Seluruh wilayah Kalingga dijarah dan dihancurkan: piagam-piagam Asoka di kemudian hari menyebutkan bahwa di sisi Kalingga kurang lebih 100.000 jiwa tewas sedangkan jumlah prajurit Asoka yang tewas kurang lebih 10.000. Ribuan pria dan wanita dibuang pula.

Asoka masuk Buddha

Menurut cerita legenda, satu hari setelah peperangan usai, Asoka menjelajah kota dan yang bisa dilihat hanyalah rumah-rumah yang terbakar dan mayat-mayat yang bergelimpangan di mana-mana. Hal ini membuatnya muak dan ia berteriak dengan kata-kata yang menjadi termasyhur: "Apakah yang telah kuperbuat?" Kekejian penaklukan ini akhirnya membuatnya memeluk agama Buddha dan ia memakai jabatannya untuk mempromosikan falsafah yang masih relatif baru ini sampai dikenal di mana-mana, sejauh Roma dan Mesir. Sejak saat itu Asoka, yang sebelumnya dikenal sebagai “Asoka yang kejam” (Canda Asoka) mulai dikenal sebagai sang “Asoka yang Saleh” (Dharmâsoka).


Ia lalu mempromosikan aliran Buddha Wibhajyawada dan menyebarkannnya di dalam wilayahnya dan di seluruh dunia yang dikenal mulai dari 250 SM. Maharaja Asoka bisa dikatakan adalah yang pertama dengan serius mengusahakan pembentukan satuan politik Buddha.

Dalam usahanya ini, ia dibantu oleh putranya Mahinda yang mulia dan putrinya Sanghamitta (yang berarti “mitra Sangha”) dan yang membawa agama Buddha ke Sri Lanka. Asoka membangun ribuan stupa dan vihara bagi penganut Buddha. Stupa-stupa di Sanchi sangat termasyhur dan stupa bernama Sanchi Stupa I didirikan oleh Maharaja Asoka.

Selama sisa masa pemerintahannya, ia menganut kebijakan resmi anti-kekerasan ahingsa. Bahkan penyembelihan dan penyiksaan sia-sia terhadap hewan pun dilarang. Margasatwa dilindungi dengan undang-undang sang maharaja yang melarang pemburuan untuk olahraga dan pengisian waktu luang. Pemburuan secara terbatas diperbolehkan untuk maksud konsumsi namun Asoka juga mempromosikan konsep vegetarianisme. Asoka juga menaruh belas kasihan kepada para narapidana di penjara.

Mereka diperbolehkan mengambil cuti, sehari dalam waktu setahun. Ia berusaja meningkatkan ambisi profesional rakyat jelata dengan membangun pusat-pusat studi yang mungkin bisa disebut universitas. Ia juga mengupayakan system irigasi bagi pertanian. Rakyatnya diperlakukan secara sama, apapun derajat, agama, haluan politik, ras, sukubangsa dan kasta mereka. Kerajaan-kerajaan di sekeliling wilayahnya yang sebenarnya mudah ditaklukkan ia buat sebagai sekutu yang terhormat.

Asoka juga dipercayai membangun rumah-sakit untuk hewan dan merenovasi jalan-jalan utama yang menghubungkan daerah-daerah di India. Setelah perubahan dirinya, Asoka dikenal sebagai Dhammashoka (bahasa Pali), artinya Asoka, penganut Dhamma, atau Asoka yang Soleh. Bentuknya dalam bahasa Sansekerta adalah Dharmâsoka.

Asoka kemudian mendefiniskan prinsip-prinsip dasar dharma (dhamma) sebagai tindakan anti-kekerasan, toleransi terhadap semua sekte atau aliran agama, dan segala pendapat, mematuhii orang tua, menghormati para Brahmana, guru-guru agama dan pandita, baik hati terhadap kawan, perlakuan manusiawi terahadap para pembantu, dan murah hati terhadap semua orang. Prinsip-prinsip ini menyinggung haluan umum etika berkelakuan terhadap sesama di mana tidak ada kelompok agama atau sosial yang bisa menentang.


Beberapa pengkritik perpendapat bahwa Asoka takut akan adanya lebih banyak peperangan. Namun sebenarnya negara-negara tetangganya, termasuk kekaisaran Seleukus dan kerajaan-kerajaan Baktria-Yunani yang didirikan oleh Diodotus I, tidak ada yang bisa menyamai kekuatan Asoka. Asoka hidup pada masa yang sama dengan Antiochus I Soter dan penerusnya Antiochus II Theos dari dinasti Seleukus seperti begitu pula Diodotus I dan putranya Diodotus II dari kerajaan Baktria-Yunani.

Jika prasasti-prasasti dan piagam-piagamnya dipelajari dengan teliti, maka bisa disimpulkan bahwa ia mengenal Dunia Helenistik tetapi tidak pernah kagum. Piagam-piagamnya yang membicarakan hubungan persahabatan, memberikan Antiochus dari kekaisaran Seleukus dan Ptolemeus III dari Mesir. Tetapi kemasyhuran kekaisaran Maurya sudah tersebar semenjak kakek Asoka, Candragupta Maurya mengalahkan Seleucus Nicator, pendiri dinasti Seleukus.

Sumber banyak pengetahuan kita akan Asoka adalah prasasti-prasasti yang banyak ditinggalkannya dan dipahatkannya di pilar-pilar dan batu-batu di seluruh wilayah kekaisarannya. Maharaja Asoka juga dikenal sebagai Piyadasi (dalam bahasa Pali) atau Priyadarsi (dalam bahasa Sansekerta) yang berarti "berparas baik" atau "dikaruniai Dewa-Dewa dengan berkah baik". Semua prasastinya memiliki sentuhan kekaisaran dan menunjukkan rasa kasih sesama yang mendalam; ia menyapa rakyatnya dengan kata "anak-anakku".

Prasasti-prasasti ini mempromosikan moral sesuai agama Buddha dan memberi semangat pada tindakan non-kekerasan serta keteguhan dalam melaksanan Dharma (kewajiban atau tindakan yang bajik). Prasasti-prasasti ini juga membicarakan ketenarannya dan negara-negara taklukkan serta juga negara-negara tetangga yang berusaha menghancurkannya. Informasi tentang peperangan Kalinga juga bisa didapatkan dan juga tentang sekutu-sekutu Asoka. Lalu informasi mengenai pemerintahan sipil juga ada.

Pilar-pilar Asoka di Sarnath adalah peninggalan Asoka yang paling dikenal. Mereka dibuat dari batu granit dan merekam kunjungan Asoka kepada maharaja Sarnath pada abad ke-3 SM. Pilar ini memiliki pucuk berbentuk empat kepala singa yang berdiri membelakangi satu sama lain. Lambang India modern adalah keempat singa ini. Singa selain melambangkan kekuasaan Asoka, juga melambangkan sifat kerajaan sang Buddha (singa dianggap raja hutan yang merajai semua margasatwa dan Buddha adalah seorang pangeran mahkota).

Dalam menerjamahkan teks-teks yang berada pada prasasti di pilar-pilar ini, para sejarawan bisa mempelajari banyak tentang Kekaisaran Maurya. Namun sulit apakah yang tertulis di situ benar semua atau tidak. Yang jelas ialah teks-teks ini menunjukkan kepada kita bagaimana maharaja Asoka ingin dikenang.

Kata-kata Asoka sendiri seperti diketahui dari piagam-piagamnya adalah: "Semua orang adalah anakku. Aku seperti ayah mereka. Seperti seorang ayah menginginkan kebaikan dan kebahagian untuk anaknya, aku ingin supaya semua orang selalu bahagia.

" Edward D'Cruz mentafsirkan dharma maharaja Ashoka sebagai "agama yang dipakai sebagai lambing dari sebuah persatuan kekaisaran dan semuah semen perekat untuk mempersatupadukan unsure-unsur heterogen dan berbeda-beda kekaisaran ini".

Kematian dan warisannya

Maharaja Asoka memerintah selama 41 tahun, dan setelah mangkatnya, dinasti Maurya masih bertahan selama lebih dari 50 tahun. Asoka memiliki banyak selir dan anak, namun nama-nama mereka tidaklah diketahui. Mahinda dan Sanghamitta adalah anak kembar yang dilahirkan istri pertamanya, Dewi di kota Ujjayini.

Ia mempercayai mereka untuk menyebarkan agama Buddha di dunia yang dikenal dan tak dikenal. Mahinda dan Sanghamitta pergi ke Sri Lanka dan memasukkan Raja, Ratu dan rakyatnya agama Buddha. Mereka lalu berkeliling dunia sampai ke Mesir dunia Helenistik (Yunani). Sehingga mereka tidak bisa melaksanakan kewajiban pemerintahan. Beberapa arsip langka membicarakan penerus Asoka bernama Kunal, yang merupakan putra Asoka dari istri terakhirnya.


Masa kepemimpinan maharaja Asoka bisa saja mudah menghilang dalam sejarah, dengan berselangnya abad, jika ia tidak meninggalkan arsip sejarah apa-apa. Kesaksian maharaja ini ditemukan dalam bentuk pilar-pilar dan batu-batu karang besar yang dipahati secara megah menjadi prasasti.

Isinya adalah ajaran-ajaran dan tindakan-tindakan yang ingin ia sebar luaskan. Selain itu Asoka juga mewariskan kita bahasa tertulis pertama di India setelah kota kuna Harrapa. Namun berbeda dengan di Harrapa, teks-teks Asoka bisa kita pahami. Bahasa yang dipakai Asoka dalam menuliskan teks-teks prasastinya adalah sebuah bentuk bahasa rakyat atau bahasa Prakerta/Prakrit dan bukan bahasa Sansekerta.


Pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya Asoka, penguasa Maurya terakhir, Brhadrata, dibunuh secara keji oleh panglima perang Maurya, Pusyamitra Sunga, saat ia sedang menginspeksi pasukannya. Pusyamitra Sunga lalu mendirikan dinasti Sunga (185 SM-78 SM) dan hanya memerintah sebagian wilayah Kekaisaran Maurya yang telah runtuh.

Baru hampir 2.000 tahun kemudian di bawah kepemimpinan Akbar yang Agung dan cicitnya (buyutnya) Aurangzeb, sebuah bagian besar anak benua India yang pernah diperintah Asoka, dipersatukan lagi di bawah satu kepemimpinan. Tetapi akhirnya, orang Inggris di bawah Kekaisaran Britania Indialah yang menyatukan anak benua yang terpecah-belah ini menjadi sebuah satuan politik dan merintis jalan menuju munculnya kembali negara Bharata modern yang sembari memakai lambang Asoka, diilhami oleh ajarannya yang penuh dengan rasa kepemimpinan kuat dan rasa kasih sesama.

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;