Di seluruh masyarakat China, awalnya semua keluarga menjapa Amituofo, setiap rumah memuja Kwan im pusat. Sebenarnya Kuan im pusat dan Amitabha adalah bersama-sama, masih ada satu Tasece pusat, Namo Tasece pusat jarang dijapa orang, Namo Tasece pusat. Trini Arya Barat (Si fang san sen) adalah Amitabha di tengah,di sebelah kanan adalah Kuan Impusat, sebelah kiri adalah Tasece pusat. Sudah Banyak titisan Kuan Im pusat muncul, sehingga Kuan Im pusat banyak dikenal orang, sehingga kebanyakan orang tidak kenal Tasece pusat. Di dalam Sekte Sukhavati, juga ada sebuah Sutra Mahasthamamprata Kesempurnaan Japa Amituofo (大勢至菩薩唸佛圓通章)
Tasece pusat juga menganjurkan japa Amituofo, oleh karena itu, Sekte Sukhavati menganjurkan japa Nama Amituofo agar terlahir di Sukhavatiloka Barat. Di Amitābha-sūtra, Amitāyuḥ-sūtra, dan Sutra Amitābha-vyūha, juga ada sebuah Sukhāvatīvyūhopadeśa, merupakan Tiga Sutra dan Satu Sastra Sekte Sukhavati, tiga kitab Sutra dan sebuah Sukhāvatīvyūhopadeśa adalah kitab sutra utama, sebenarnya banyak kitab Sutra menyebut tentang Amitabha. Zaman Sekarang begitu para Bhiksu/ni bertemu muka, umumnya beranjali, sambil menyebut satu kata “Amituofo”. Dulu, di film, melihat bhiksu saling bertemu muka “Omituofo“, sebenarnya kita diajari secara tidak benar, seharusnya “Amituofo“. “O” homofon dengan logat Taiwan “hitam”, yakni “Omama” (artinya hitam kelam), “Omama” berubah menjadi “Obama”, repot, pelafalan mau diperbaiki sangat sulit. Sekarang masih banyak bhiksu bertemu muka “Omituofo“; yang benar “Amituofo“, nada ringan. Ringan berarti naik, berat berarti turun. Kelak kita terlahir di Sukhavatiloka Barat, japa “Amituofo“, maka naik, ada semacam kesan naik, jangan salah baca”Omituofo“, yakni menghitam, diharapkan tidak ada lagi yang menjapa seperti itu. Oleh karena itu, pelafalan juga sangat penting, kita japa pelafalan Sansekerta, seperti nada Tibet “A” dari “Om A Hum”, jelas-jelas pelafalan “A” baru benar malah berubah menjadi “O”, seperti kita japa mantra ditutup dengan kata “Suoha” adalah nada ringan, kok malah berubah menjadi “Suopohe“, “Suoha” berubah menjadi “Suopohe”, itu beda jauh. Tentu saja, pelafalan Mahaguru juga tidak baku, karena Mahaguru ada logat Taiwan, juga ada logat Mandarin, juga ada logat Kanton. Tidak peduli baku atau tidak, yang penting kalian mengerti. Amitabha adalah penguasa barat, seluruh Sekte Sukhavati menjapa Amituofo, Sekte Sukhavati sendiri adalah sebuah aliran yang besar. Awalnya, kita sebut “jalan mudah”, mengandalkan kekuatan pemberkatan Amitabha, maka bisa terlahir di alam suci, ini tentu saja sangat mudah. Namun, tiba di alam suci, hanya sebuah terminal peristirahatan, namun, tidak akan mundur. Tidak akan mundur sudah sangat baik; tidak akan mundur, maka Anda pun dapat mencapai kebuddhaan, pasti mencapai kebuddhaan.
Makna rahasia dari Amitabha Buddha adalah Cahaya Tak Terhingga, Usia Tak Terhingga, Amitabha Buddha juga merupakan satu Buddha yang paling terkenal, setiap orang mengetahuinya ; Setiap kali para bhiksu berjumpa akan menggunakan “Amituo Fo” sebagai sapaan. Tanah Suci Amitabha Buddha adalah yang terindah, dan merupakan Tanah Suci paling ternama.
Saat melafal Nama Agung , selain melafal Amitabha Buddha, juga perlu untuk melafal Nama Agung dua pengiringnya, yaitu Avalokitesvara Bodhisattva(Namo Kwan Im Pu sat) dan Mahastamaprapta Bodhisattva(Namo Tasece Pusat), inilah Trini Arya Sukhavatilokha.
Metode pelafalan Nama Buddha yang digunakan dalam Sekte Tanah Suci, mengutamakan Mahasadhana Amitabha, yaitu Melafalkan Nama Buddha, disebut juga Jalan Yang Mudah Dilalui. Cara pelafalan Nama Buddha yang paling mudah adalah melafal satu hirupan dan satu hembusan nafas , total 10 kali, ini disebut Metode Sepuluh Pelafalan.
Dalam pelafalan Nama Buddha ada Pelafalan Nama Buddha Empat Aksara, ada juga Pelafalan Nama Buddha Enam Aksara, Dharmaraja Liansheng memperagakan pelantunan beberapa jenis pelafalan Nama Buddha, serta memberitahukan bahwa kita boleh memilih salah satu nada pelantunan yang kita sukai.
Dharmaraja Liansheng memberikan petunjuk dalam pelafalan Nama Buddha, jika sedang berada diluar, dapat memvisualisasikan Amitabha Buddha sebesar pohon Song, bahkan setinggi langit, sambil melafal Nama Buddha, sambil memvisualisasikan Amitabha Buddha.
Saat melafal di dalam Vihara maupun di dalam ruangan, dapat memvisualisasikan Amitabha Buddha sebesar ibu jari, sekujur tubuh keemasan, berada di Cakra-ajna sadhaka (diantara kedua alis mata), bahkan diri sendiri berubah menjadi Amitabha Buddha, memvisualisasikan dengan mendetail dan jelas, maka akan timbul anubhava , diri sendiri juga akan mengetahui apakah Amitabha Buddha hadir.
Setiap hari saat Dharmaraja Liansheng memimpin semua umat bersama melakukan paradaksina sambil melantunkan Nama Agung Buddha, maka Amitabha Buddha pasti hadir, ini merupakan fenomena yukta.
Setelah beryukta, maka kelak diakhir hidup, asalkan sepenuh hati mengenang Buddha, pada saat-saat yang paling mendesak tersebut Amitabha Buddha akan menjemput Anda terlahir di Tanah Suci !
Oleh karena itu, asalkan telah beryukta, selamanya tidak akan pergi !
Mahaguru tidak basa-basi, to the point, menjelaskan tentang Amitabha harus langsung ke pokok permasalahan. Ada 2 poin penting, satu adalah “sepenuh hati tidak galau”, sepenuh hati tidak galau adalah poin penting. Yang terpenting di dalam Amitābha-sūtra, kita harus japa nama Buddha, maka harus sepenuh hati tidak galau, ini adalah poin penting. Jika hati galau, japa nama Buddha tidak berhasil, memanjatkan Sutra juga tidak berhasil. Sebenarnya, kita japa nama Buddha, japa mantra, japa Sutra, banyak yang tidak berhasil, mengapa tidak berhasil? Karena hati Anda galau. Ada sebagian bhiksu juga menganjurkan lebih baik japa tanpa konsentrasi daripada tidak japa sama sekali, Anda japa, japa, japa, sudah tidak konsentrasi, pikiran menerawang ke tempat lain, namun, masih japa Buddha, japa “Amituofo! Amituofo!….” tiba-tiba, guntur menggelegar, Anda terkejut, lalu spontan dengan suara keras japa, “Amituofo….” nah yang satu ini adalah yang sejati. Oleh karena itu, di antara penjapaan yang tidak konsentrasi juga bisa menghasilkan yang sejati.
Pernah ada sebuah kisah seperti ini, ada seorang nenek telah banyak menjapa nama Buddha, setiap kali japa sepatah, ia pun taruh sebutir beras ke dalam ember. Sampai akhirnya, ia tiba di tempat Raja Yama, Raja Yama berkata, “Berapa kali nama Buddha yang telah Anda japa?” “Saya telah japa banyak sekali, japa seember besar nama Amituofo.” Raja Yama ambil dan melihat, sekali ditekan menjadi serbuk. “Yang Anda japa adalah kosong”, tetapi di antara serbuk, masih ditemukan sebutir beras, ah? Keras sekali, “Mengapa bisa demikian?” Ternyata, pada saat ia japa Amituofo, guntur menggelegar, penjapaan nama Amituofo tersebut benar-benar memohon pada Amitabha, oleh karena itu, baru bisa keras, ini juga basa-basi. Namun, kita japa nama Buddha, harus benar-benar sepenuh hati tidak galau, japa mantra juga harus sepenuh hati tidak galau, memanjatkan Sutra juga harus sepenuh hati tidak galau, jangan sampai ada yang menggalaukan hati Anda, semua yang Anda japa, pasti terang benderang. Oleh karena itu, pada tempat penerimaan Sila, sering ditempel satu pepatah, “Jangan menggoyahkan hati sadhaka”; jangan menggoyahkan hati sadhaka, ini sangat penting. Baik pria maupun wanita, di sini banyak yang berkepala gundul, jika seorang bhiksu, seorang upasika datang, sang bhiksu tergoda, ini berarti menggoyahkan hatinya, jika seorang bhiksuni, seorang pria yang tinggi tampan, begitu bhiksuni melihat, “Wah! Tinggi sekali, tampan sekali, aduh! Mengapa saya dari awal mau menjadi bhiksuni?” Ini berarti menggoyahkan hati sang bhiksuni. Sepenuh hati tidak galau justru menjelaskan “jangan menggoyahkan hati sadhaka”. Namun, jika hati sadhaka ini begitu mudah digoyahkan, berarti bukan sadhaka sejati. Sadhaka mestinya sudah mencapai kondisi sepenuh hati tidak galau, apapun yang saya lakukan, yidam senantiasa ada di hati saya. Amitabha, Yaochi Jinmu, Ksitigarbha, yidam saya berada di dalam hati saya. Oleh karena itu, apapun yang Anda lakukan, jangan lupa yidam sendiri. Bahkan di tengah angkasa ada yidam Anda sedang melihat. Apapun yang Anda lakukan, yidam Anda senantiasa ada, ada di dalam diri Anda, di tengah angkasa, di sekeliling, dengan demikian bisa sepenuh hati tidak galau.
Ketika kita sedang menjapa nama Buddha, ada dua macam pahala yang sangat penting, ada dua macam pahala menjapa nama Buddha,
- adalah mengumpulkan bekal Anda sendiri, mengumpulkan berkah Anda, mengumpulkan bekal terlahir di alam suci;
- kedua adalah sepenuh hati dan tidak galau. Ketika Anda sepenuh hati dan tidak galau, cita-cita Anda akan tercapai. Buddha pernah bersabda, jika pikiran bisa terfokus, konsentrasi, tidak ada yang tidak terlaksana. Setiap orang dalam proses melatih diri, harus konsentrasi, sepenuh hati dan tidak galau, sangat terfokus, dengan demikian, dapat terlahir di alam suci. Jika hati Anda kacau balau, ketika meninggal dunia, berpikir ke mana-mana, seketika memikirkan hal yang sangat rumit, tidak mampu membuka simpul tersebut, anda pun tidak mampu memutuskan bermacam-macam karma duniawi dan gagal terlahir di alam suci Buddhaloka. Oleh karena itu, dua hal yang penting yang harus kita ingat, kita mesti japa nama Buddha, japa Namo Amituofo, kemudian japa pendamping-Nya “Namo Kwan Im Pusat , Namo Tasece Pusat.” Boleh menjapa 3 kali, lalu namaskara 3 kali, menjapa dan bernamaskara dengan sangat tulus, bahkan harus sepenuh hati dan tidak galau, ini adalah poin penting dari menjapa nama Buddha. Kelak di dalam buku saya akan menulis tentang Dharma Sukhavati, mengajari Anda metode japa nama Buddha. Setelah metode menjapa nama Buddha ini ditulis, kalian jalankan metode ini, manula juga boleh menekuninya. Saat muda, Anda harus banyak mendengarkan Dharma! Saat usia setengah baya, harus mendalami satu metode; saat usia lanjut, memohon dapat terlahir di Buddhaloka, ini paling penting, juga merupakan ajaran dari pendahulu kita, ini baru bisa sepenuh hati dan tidak galau. Kita melatih diri, ada pada pangan, sandang, papan, transportasi, pendidikan, hiburan, termasuk pendidikan dan kebahagiaan, semua dilakukan atas dasar yidam, Anda pun tidak melanggar Sila. Pangan adalah persembahan, penyeberangan; sandang adalah perisai perlindungan diri; papan adalah simabandhana; berjalan adalah sambil dengan tekun japa nama Buddha, japa mantra; pendidikan, saat bersekolah, juga visualisasi yidam di tengah angkasa, di antara berbagai cara mendengar, juga visualisasi yidam bersama dengan Anda; lagi senang, saat paling bahagia, juga jangan melupakan yidam, ini barulah melatih diri yang sesungguhnya. Hari ini, sekian tentang Amitabha.