Semoga Bacaan Singkat & Sederhana Ini Mampu Memberikan Ide2 Positif Bagi Kita Semua.
with metta, ika.
Buddhisme Selama Berabad-abad Telah Menjadi Tradisi Spiritual Yang
Dominan Di Sebagian Besar Wilayah Asia, Termasuk Di Negara-negara
Indocina, Juga Di Sri Lanka, Nepal, Tibet, Cina, Dan Jepang.
Seperti Halnya Hinduisme Di India, Buddhisme Memiliki Pengaruh Kuat Pada
Kehidupan Intelektual, Budaya, Dan Seni Di Negara-negara Ini.
Namun, Tidak Seperti Hinduisme, Buddhisme Mengacu Kepada Seorang Pendiri
Tunggal, Sidhartha Gautama, Yang Juga Disebut Buddha “Historis”.
Dia Hidup Di India Pada Pertengahan Abad Ke-6 SM, Suatu Periode Luar
Biasa Yang Telah Melahirkan Begitu Banyak Jenius Spiritual Dan Filsuf:
Confucius Dan Lao Tzu Di Cina, Zarathustra Di Persia, Dan Pythagoras Dan
Heraclitus Di Yunani.
Jika Bumbu Penyedap Hinduisme Bersifat Mitologis Dan Ritual, Maka Bumbu Penyedap Buddhisme Sepenuhnya Bersifat Psikologis.
Buddha Tidak Tertarik Untuk Memuaskan Rasa Ingin Tahu Manusia Tentang
Asal-Usul Dunia, Alam Dewa, Ataupun Pertanyaan-pertanyaan Serupa
Lainnya.
Dia Khusus Berkonsentraqsi Dengan Situasi Manusia, Dengan Penderitaan-penderitaan Dan Keputusasaan-keputusasaan Umat Manusia.
Meskipun Demikian, Doktrinnya Bukan Merupakan Salah Satu Dari Metafisika Melainkan Psikoterapi.
Dia Menunjukan Asal-Usul Keputusasaan Manusia Dengan Cara
Menghampirinya, Mengambil Konsep-konsep Tradisional India Tentang Maya,
Nirvana, Dan Lain Sebagainya Demi Mencapai Tujuan Ini Dan Memberikannya
Sebuah Tafsir Yang Segar, Dinamis Dan Relevan Secara Psikologis.
Setelah Buddha Wafat, Buddhisme Berkembang Menjadi Dua Ajaran Utama, Hinayana Dan Mahayana.
Hinayana Atau Kendaraan Kecil, Adalah Sebuah Ajaran Ortodoks Yang Setia
Kepada Surat Ajaran Buddha; Sementara Mahayana Atau Kendaraan Besar,
Menunjukan Sebuah Sikap Yang Lebih Luwes, Meyakini Bahwa Ruh Dari
Doktrin Adalah Lebih Penting Dari Rumusannya Yang Asli.
Ajaran Hinayana Didirikan Di Ceylon, Burma, Thailand, Sementara Mahayana
Menyebarluas Ke Nepal, Tibet, Cina, Dan Jepang, Dan Mungkin Menjadi
Ajaran Paling Penting Dari Kedua Ajaran Ini.
Di India Sendiri, Selama Berabad-abad, Buddhisme Telah Terserap Oleh
Hinduisme Yang Bersifat Fleksibel Dan Asimilatif, Dan Buddha Kemudian
Diadopsi Sebagai Inkarnasi Dari Dewa Berwajah Banyak, Vishnu.
Karena Buddhisme Mahayana Menyebar Luas Ke Asia, Ia Terlibat Kontak
Dengan Orang-orang Dari Beragam Budaya Dan Mentalitas Yang Berbeda, Yang
Menginterpretasikan Doktrin Buddha Dari Sudut Pandang Mereka
Masing-masing, Menelaborasi Beragam Pokok Yang Subtil Ke Dalam Begitu
Banyak Detil Dan Menambahkan Ide-ide Asli Mereka Sendiri Ke Dalamnya.
Dengan Cara Ini Mereka Mempertahankan Buddhisme Untuk Tetap Hidup Selama
Berabad-abad Dan Mengembangkan Filsafat-filsafat Yang Sangat Sempurna
Dengan Pemahaman-pemahaman Psikologis Yang Mendasar.
Tingginya Tingkat Filsafat-filsafat Itu, Tidak Kemudian Menjadikan
Buddhisme Kehilangan Gagasan Genuine-nya, Yakni
Pemikiran-pemikiranabstrak spekulatif.
Seperti Umumnya Mistisisme Timur, Kekuatan Pikiran Dianggap Memiliki
Makna Untuk Menjelaskan Bagaimana Cara Menggapai Pengalaman Mistik
Langsung, Yang Oleh Buddhis Dinamakan “Penyadaran”.
Esensi Dari Pengalaman Ini Adalah Untuk Melampaui Jangkauan Dunia Dari
Perbedaan-perbedaan Intelektual Dan Menentang Pencapaian Dunia Acintya,
Yang Tak Dapat Dipikirkan, Dimana Realitas Muncul Sebagai “Sesuatu” Yang
Tak Terbagi Dan Tak Terbedakan.
Berikut Adalah Pengalaman Siddharta Gautama Pada Suatu Malam, Setelah Menjalani Tujuh Tahun Disiplin yang Giat Di Dalam Hutan.
Duduk Dalam Meditasi Yang Khusuk Di Bawah Pohon Bodhi, Pohon Pencerahan
yang Terkenal, Tiba-tiba Dia Mendapatkan Satu Wawasan Purna Dan Jawaban
Pasti Tentang Seluruh Pencarian Dan Semua Keraguannya Yang Menjadikannya
Seorang Buddha, Yakni Seorang “Yang Tercerahkan”.
Bagi Dunia Timur, Citra Buddha Dalam Meditasi Sama Signifikannya Dengan
Citra Kristus Yang Di Salib Di Dnia Barat Dan Telah Mengilhami Begitu
Banyak Seniman Di Seluruh Penjuru Asia Untuk Menciptakan Pahatan-pahatan
Yang Indah Tentang Buddha Yang Bermeditasi.
Menurut Tradisi Buddhis, Buddha Pergi Ke Taman Rusa Di Benares
Secepatnya Setelah Puncak Pencerahannya, Datang Untuk Mengkotbahkan
Doktrin-doktrinnya Kepada Rekan-rekan Sepertapaan Yang Selama Ini Telah
Membentuknya.
Dia Mengungkapkan Dalam Bentuk Yang Terkenal Sebagai Empat Kebenaran
Agung, Sebuah Presentasi Yang Padat Tentang Doktrin Esensial Yang Tidak
Seperti Pernyataan Seorang Dokter Fisik, Yang Mula-mula Mengidentifikasi
Sebab Penyakit Manusia, Lalu Mengafirmasikan Bahwa Penyakit Tersebut
Akan Dapat Disembuhkan, Dan Terakhir Meramalkan Kesembuhannya.
Kebenaran Agung Yang Pertama Menyatakan Karakteristik Terkemuka Dari
Situasi Manusia, Dukha, Bahwa Penderitaan Atau Keputusasaan-keputusasaan
Ini Berasal Dari Kesulitan Kita Dalam Menghadapi Fakta Dasar Kehidupan
Bahwa Semua Yang Ada Di Sekitar Kita Adalah Fana Dan Sementara. “Semua
Hal Muncul Dan Pergi (lahir dan mati),” Kata Buddha, Dan Paham Yang
Mengalir Dan Mengubah Adalah Bambaran-gambaran Dasar Dari Kehidupan Yang
Memiliki Akar Tunjang Dalam Buddhisme.
Penderitaan Muncul, Dalam Pandangan Buddhis, Kapanpun Ketika Kita
Menolak Aliran Kehidupan Dan Mencoba Menganut Bentuk-benatuk Pasti Yang
Kesemuanya Maya, Apakah Bentuk-bentuk Tersebut Berwujud Benda-benda,
Peristiwa-peristiwa, Orang-orang, Maupun Ide-ide.
Doktrin Tentang Kefanaan Ini, Juga Berarti Bahwa Tidak Ada Ego, Tidak
Ada Diri yang Merupakan Suyek Yang Kokoh Dari Pengalaman-pengalaman Kita
Yang Beragam.
Buddhisme Berpegang Bahwa Ide Tentang Satu Sosok Diri Individu Yang
Terpisah Adalah Ilusi, Sekadar Bentuk Lain Dari Maya, Sebuah Konsep
Intelektual Yang Tidak Memiliki Realitas.
Konsep Yang Dianut Ini Mengarah Kepada Keputusasaan Yang Sama Sebagai
Ketaatan Kepada Seluruh Kategori Pasti Yang Sangat lain Dari Pemikiran.
Kebenaran Agung Yang Kedua Selaras Dengan Penyebab Semua Penderitaan, Trishna, Yang Berarti Melekat Atau Memegang.
Ia Adalah Sesuatu Yang Memegang Sesuatu Yang Sia-sia Dari Kehidupan Yang
Berdasarkan Pada Satu Sudut Pandang Yang Salah Yang Dinamakan Avidya,
Atau Pengabaian Dalam Filsafat Buddha.
Di luar Pengabaian Ini, Kita Membagi Dunia Yang Tampak Menjadi
Masalah-masalah Individu Dan Terpisah, Dan Kemudian Berusaha Untuk
Menyempurnakan Bentuk-bentuk Cair Dari Realitas Ke Dalam
Kategori-kategori Pasti Yang Diciptakan Di Atas Keputusasaan.
Mencoba Melekat Kepada Hal-hal Yang Kita Anggap Sebagai Sesuatu yang
Kokoh Dan Teguh, Tetapi Sebenarnya Fana Dan Selalu Berubah-ubah, Berarti
Kita Terjebak Ke Dalam Sebuah Lingkaran Jahat Dimana Setiap Perbuatan
Menghasilkan Perbuatan Lagi Dan Jawaban Terhadap Pertanyaan Membuahkan
Pertanyaan Baru.
Lingkaran Jahat Ini Dalam Buddhisme Dikenal Sebagai Samsara, Lingkaran
Kelahiran Dan Kematian, Dan Ia Kemudikan Oleh Karma, Rantai Sebab Dan
Akibat Yang Tak Pernah Berakhir.
Kebenaran Agung Ketiga Menyatakan Bahwa Penderitaan Dan Keputusasaan Dapat Berakhir.
Sungguh Mungkin Mengatasi Lingkaran Jahat Samsara, Membebaskan Seseorang
Dari Ikatan Karma Dan Mencapai Suatu Keadaan Dari Pembebasan Total Yang
Dinamakan Nirvana.
Dalam Situasi Seperti Ini, Paham-paham Palsu Tentang Sesosok Diri Yang
Terpisah Selamanya Akan Musnah, Dan Kesendirian Dari Seluruh Hidup Telah
Menjadi Sebuah Sensasi Yang Konstan.
Nirvana Setara Dengan Moksha Dalam Filsafat Hindu, Dan Menjadikan
Kesadaran Berada Di Luar jangkauan Setiap Konsep Intelektual Dan Lebih
Jauh Lagi, Ia Menentang Deskripsi.
Mencapai Nirvana Berarti Memperoleh Penyadaran Atau Menjadi Buddha
Kebenaran Agung Keempat Adalah Resep Buddha Untuk Mengakhiri Segala
Penderitaan, Delapan Jalan Setapak Pengembangan Diri yang Menuntun
Kepada Keadaan Menjadi Buddha.
Dalam Dua Bagian Pertama Dari Jalan Setapak Ini, Seperti Yang Telah
Disinggung, Dipusatkan Dengan Mengetahui Dan Memahami Yang Benar; Yaitu
Dengan Pemahaman yang Jelas Ke Dalam Situasi Manusia Yang Merupakan
Titik Awal Yang Penting.
Empat Bagian Yang Berikutnya Selaras Dengan Perbuatan Yang Benar.
Keempat Jalan Ini Memberikan Peranan-peranan Kepada Cara Hidup Buddha,
yang Merupakan Suatu Jalan Tengah Antara Titik-titik Puncak Yang
Bertentangan.
Dua Bagian Terakhir Fokus Pada Kesadaran Dan Meditasi Yang Benar Dan
Mendeskripsikan Pengalaman Mistik Langsung Dari Realitas yang Merupakan
Tujuan Akhirnya.
Buddha Tidak Mengembangkan Doktrinnya Ke Dalam Sebuah Sistem Filsafat
Yang Konsisten, Tetapi Menganggapnya Sebagai Makna Untuk Mencapai
Pencerahan.
Pernyataan-pernyataannya Mengenai Dunia Disempurnakan Untuk Menekankan Kefanaan Semua “Benda”.
Dia Memaksakan Kemerdekaan Kekuasaan Spiritual, Termasuk Dirinya
Sendiri, Konon, Bahwa Dia Hanya Mampu Menunjukan Jalan Menuju Menjadi
Buddha, Sehingga Ketika Sampai Kepada Setiap Individu Untuk Menjejaki
Jalan Ini Menuju Tujuan Harus Mengandalkan Kemampuan Mereka Sendiri.
Kata-kata Terakhir Buddha Di Atas Ranjang Kematiannya Merupakan Karakteristik Dari Pandangan Dunia Dan Sikapnya Sebagai Guru.
“Reruntuhan Tidak Dapat Bersatu Padu Dalam Benda-benda Yang Bercampur,” Katanya Sebelum Wafat, “Berusahalah Dengan Giat.”
Pada Abad-abad Pertama Setelah Mangkatnya Buddha, Beberapa Dewan Agung
Dibentuk Oleh Para Pendeta Utama Buddhis Yang Memerintahkan Bahwa
Keseluruhan Ajaran Harus Diceritakan Dengan Keras Dan
Perbedaan-perbedaan Dalam Interpretasi Ditetapkan.
Pada Tahun Ke 4 Dari Dewan Ini, Yang Mengambil Tempat Di Pulau Sri Lanka
Pada Abad Ke 1 Masehi, Doktrin Yang Telah Diajarkan Secara Lisan Selama
Lebih Dari Lima Ratus Tahun Kembali Diingat Dan Untuk Pertama Kalinya
Dicatat Dalam Bahasa Pali, Dikenal Sebagai Wahyu-wahyu Pali Dan
Membentuk Dasar Ajaran Ortodoks Hinayana.
Di Satu Sisi, Ajaran Mahayana Didasarkan Pada Sejumlah Hal Yang
Dinamakan Sutra, Salinan-salinan Tentang Dimensi Raksasa, Yang Ditulis
Dalam Bahasa Sanskerta Pada Sekitar Satu Atau Dua Ratus Tahun Kemudian
Dan Menghadirkan Ajaran Buddha Dalam Sekumpulan Cara yang Sangat Teliti
Dan Subtil Dibandingkan Dengan Wahyu-wahyu Pali.
Ajaran Mahayana, Menyebut Dirinya Sendiri Sebagai Kendaraan Besar Dari
Buddhisme Karena Ia Menawarkan Kepada Pengikutnya Sejumlah Metode Yang
Beragam, Atau ‘Tujuan/Arti Berpengalaman/Kecakapan” Untuk Mencapai
Keadaan Buddha.
Semua Ini Berbasis Dari Doktrin-doktrin Yang Menekankan Keyakinan
Religius Dalam Ajaran-ajaran Mengenai Buddha, Untuk Mengelaborasi
Filsafat-filsafat Yang Meliputi Konsep-konsep Yang Sangat Dekat
Menghampiri Pemikiran Ilmiah Modern.
Penjelas Pertama Tentang Doktrin Mahayana, Dan Merupakan Salah Seorang
Dari Pemikir Yang Palingn Hebat Di Kalangan Para Kepala Keluarga
Buddhis, Adalah Ashvagosha, Yang HIdup Pada Abad Ke 1 M.
Dia Mengutarakan Pemikiran-pemikiran Fundamental Dari Buddhisme
Mahayana-Khususnya Pemikiran-pemikiran Yang Berhubungan Dengan Konsep
Buddhis Tentang “Sesuatu”-Dalam Sebuah Manuskrip Kecil Yang Berjudul The
Awakening Of The Faith. Manuskrip Itu Berisi Untaian Ajaran Yang Sangat
Indah, Yang Mengingatkan Kepada Satu Teks Bhagavad Gita; Sebuah
Manuskrip Yang Menjadi Uraian Pertama Yang Paling Representatif Tentang
Doktrin Mahayana Dan Telah Menjadi Handbook Di Seluruh Sekolah Buddhisme
Mahayana.
Ashvagosha Barangkalai Memiliki Pengaruh Yang Kuat Atas Nagarjuna,
Seorang Filsuf Mahayana Yang Paling Cerdas, Yang Menggunakan Dialektik
Tinggi Yang Sempurna Untuk Menunjukan Keterbatasan-keterbatasan Seluruh
Konsep Realitas.
Dengan Argumantasi-argumentasi Yang Cemerlang, Dia Merubuhkan
Dalil-dalil Metafisik Zamannya Dan Mendemonstrasikan Bahwa Realitas,
Pada Dasarnya, Tidak Akan Dapat Dicapai Dengan Konsep-konsep Dan
Ide-ide.
Sejak Saat Itu, Dia Menamakannya Sunyata, “Kosong” Atau “Kehampaan”,
Sebuah Istilah Yang Setara Dengan Tathata Atau “Sesuatu” Dari
Ashvagosha; Ketika Ketidakbergunaan Seluruh Pemikiran Konseptual
Disadari, Maka Realitas Dialami Sebagai Sesuatu Yang Murni.
Pernyataan Nagarjuna Bahwa Alam Esensial Dari Realitas Adalah Kehampaan
Menyebabkan Ucapannya Itu Sering Dianggap Sebagai Pernyataan Seorang
Nihilis.
Padahal Ia Hanya Bermaksud Bahwa Setiap Konsep Tentang Realitas Yang Dibentuk Oleh Pemikiran Manusia Pada Dasarnya Kosong.
Realitas Atau Kehampaan Itu Sendiri Bukan Merupakan Ketiadaan Sejati,
Tetapi Sesuatu Yang Bersumber Dari Seluruh Kehidupan Dan Zat Inti Dari
Setiap Bentuk.
Pandangan Buddhisme Mahayana Yang Ada Sejauh Ini Merefleksikan Sisi Intelektual Dan Spekulatifnya.
Meskipun Demikian, Hal INi Hanyalah Salah Satu Dari Sisi Buddhisme.
Kesadaran Religius Buddhis Meliputi Keyakinan, Cintam, Dan Keprihatinan.
Kebijakan Pencerahan Sebenarnya (bodhi) Dalam Mahayana Dianggap Sebagai
Keadaan Yang Terdiri Dari Dua Elemen Yang Oleh DT Suzuki Diungkapkan
Sebagai “dua Pilar Yang Menunjang Bangunan Besar Buddhisme” (two pillars
supporting the great edifice of Buddhism).
Elemen-elemen Tersebut Adalah Prajna, Yang Merupakan Kebijaksanaan
Transendental Atau Kecerdasan Intuitif, Dan Karuna, Yang Merupakan Cinta
Atau Keprihatinan.
Tepatnya, Alam Esensial Dari Seluruh Benda yang Dideskripsikan Dalam
Buddhisme Mahayana Tidak Hanya Lewat Istilah-istilah Metafisika Abstrak,
Sesuatu Dan Kosong, Tetapi Juga Lewat Istilah Dharmakaya, “Tubuh Wujud”
Yang Menggambarkan Realitas Ketika Ia MUncul Dalam Kesadaran Religius
Buddhis.
Dharmakaya Mirip Dengan Brahman Dalam Hinduisme.
Ia Menembus Semua Materi Dalam Alam Semesta Dan JUga Direfleksikan Dalam
Pikiran Manusia Sebagai Bodhi, Kebijaksanaan Pencerahan.
Jadi Dalam Waktu Yang Bersamaan, Ia Adalah Sesuatu Yang Bersifat Spiritual Dan Material.
Penekanan Pada Cinta Dan Keprihatinan Sebagai Bagian-bagian Esensial
Kebijaksanaan Telah Menemukan Ungkapan Terkuatnya Dalam Tujuan
Bodhisatva, Salah Satu Karakteristik Perkembangan-perkembangan Buddhisme
Mahayana.
Seorang Bodhisatva Adalah Seorang Manusia Yang Tumbuh Pesat Berada Di
Atas Jalan Untuk Menjadi Buddha, Yang Tidak Mencari Pencerahan Bagi
Dirinya Sendiri Tetapi Telah Bersumpah Untuk Menolong Semua Wujud
Lainnya Guna Mencapai Keadaan Buddha Sebelum Ia Memasuki Nirvana.
Asal-usul Ide Ini Berada Dalam Keputusan Buddha-Hadir Dalam Tradisi
Buddhis Sebagai Kesadaran Dan Sama Sekali Bukan Merupakan Sebuah
Keputusan Yang Mudah-Bukan Sekadar Masuk Nirvana, Tetapi Kembali Ke
Dunia Dengan Maksud Menunjukan Jalan Setapak Menuju Penyelamatan Bagi
Rekan Sesama Umat Manusianya.
Tujuan Bodhisatva Juga Konsisten Dengan Doktrin Buddhis Tentang Non-Ego,
Karena Bila Ada Diri Individu Yang Terpisah, Ide Tentang Individu Yang
Memasuki Nirvana Seorang Diri Pada Dasarnya Akan Sangat Tidak Masuk
Akal.
Elemen Keyakinan, Pada Akhirnya, Ditekankan Ke Dalam Sesuatu yang JUga Dinakan Ajaran Tanah Murni Buddhisme Mahayana.
Dasar Dari Ajaran Ini Adalah Doktrin Buddhis Bahwa Alam Asli Dari
Seluruh Umat Manusia Adalah Alam Asli Seorang Buddha, Dan Ia Berpegang
Bahwa Dengan Tujuan Masuk Nirvana Atau Tanah Murni, Yang Harus Dilakukan
Oleh Semua Orang Adalah Memiliki Keyakinan Terhadap Alam Buddha Orang
Lain.
Puncak Dari Pemikiran Buddhis Telah Dicapai, Menurut Sebagian Besar
Penulis, Dalam Sesuatu Yang Dinamakan Avatamsaka Yang Didasarkan Pada
Sutra Dengan Nama Yang Sama.
Sutra Ini Dianggap Sebagai Pusat Dari Buddhisme Mahayana Dan Dipuji Suzuki Dalam Ungkapan Yang Sangat Antusias:
“ Adapun Sutra Avatamsaka, Sungguh Merupakan Kesempurnaan Pemikiran
Buddhis, Perasaan Buddhis, Dan Pengalaman Buddhis. Menurut Saya, Tak Ada
Literatur Religius Di Dunia Yang Pernah Bisa Mendekati Kebesaran
Konsepsi Ini, Kedalaman Perasaan, Dan Skala Raksasa Dari Komposisi
Seperti Yang Dicapai Suitra Ini. Ia Adalah Mata Air Abadi Kehidupan
Dari Suatu Tempat Dimana Tak Ada Lagi Pemikiran Religius Yang Akan
Mengubah Rasa Haus Atau Hanya Puas Secara Parsial “.
Sutra Inilah Yang Menstimulasikan Pemikiran-pemikiran Cina Dan Jepang
Daripada Sesuatu Yang Lain, Ketika Buddhisme Mahayana Menyebar ke
Seluruh Asia.
Di Satu Sisi Terdapat Perbedaan Menyolok Antara Cina Dan Jepang, Lalu
Dengan India Di Sisi Lain; Perbedaan Itu Tampak Timpang Sehingga Mereka
Dianggap Mewakili Dua Kutub Dari Pemikiran Manusia.
Sementara Pendiri Cenderung Bersikap Praktis, Pragmatis, Dan Sosial,
Para Pengikut Justru Cenderung Bersikap Imajinatif, Metafisis, Dan
Transendental.
Ketika Para Filsuf Cina Dan Jepang Mulai mengalihbahasakan Dan
menginterpretasikan Avatamsaka, Salah Satu Manuskrip Terbesar Yang Telah
Dihasilkan Oleh Jenius Religius India, Kedua Kutub Ini Bergabung Untuk
Membentuk Sebuah Kesatuan Dinamis Yang Baru, Dan Hasilnya Adalah
Filsafat Hua-Yen Di Cina Dan Filsafat Kegon Di Jepang, Yang Menurut
Suzuki, “ Klimaks Dari Pemikiran Buddhis Yang Telah Berkemang Di Timur
Jauh Selama Dua Ribu Tahun Terakhir “.
Tema Sentral Avatamsaka Adalah Kesatuan Dan Keterkaitan Dari Semua Benda
Dan Peristiwa; Sebuah Konsepsi yang Tidak Hanya Sangat Esensial Dari
Pandangan Dunia Timur Jauh, Tetapi Juga Merupakan Salah Satu Elemen
Pandangan Dunia Yang Meluas Dalam Fisika Modern.
Kemudian Dianggap Bahwa Suitra Avatamsaka, Manuskrip Religius Kuno Ini,
Menawarkan Paralel-paralel Yang Paling Tegas Kepada Model-model Dan
Teori-teori Fisika Modern.
with metta, ika.