Jumat, 09 Desember 2011

Memilih dan Menggunakan Mala (Kalung Manik bundar)

Menjapa satu mantra; gerakkan jempol dan telunjukmu
sepanjang butiran mala berikutnya
dari untaian tersebut; kemudian ulangi.
Mala Budhisme Tibetan, atau yang sering juga disebut sebagai japamala atau niànzhū dalam bahasa Mandarin, merupakan alat untuk membantu praktisi dalam menghitung jumlah penjapaan mantra sekaligus membantu seseorang untuk dapat menjaga konsentrasi dan kesadaran agar tetap fokus. Ketika seseorang menggerakkan butiran mala dengan jarinya pada saat menjapa mantra dan memvisualisasikan sosok suci, maka orang tersebut sedang menjapa mantra dengan melibatkan tubuh, ucapan, dan pikiran sekaligus.
Instruksi dasar untuk menggunakan mala cukup sederhana. Bagaimanapun juga, meskipun terdapat banyak kemiripan antara ritual dalam tradisi Budhisme Tibetan dan Bön, terdapat juga banyak perbedaan pada satu tradisi dengan tradisi lainnya, bahkan pada sekolah Budhis itu sendiri. Adalah lebih baik jika anda mengonsultasikan mengenai serangkaian tatacara ritual dengan orang yang berpengetahuan di dalam tradisi anda.
Beberapa Dasar mengenai Mala

Mala dipegang dengan kelembutan dan penghormatan, umumnya di tangan kiri. Satu butiran melambangkan satu kali penjapaan mantra, dimulai dengan butiran pertama yang tersusun di dalam lingkaran untaian setelah butiran “Guru” – butiran yang paling besar dan lebih terdekoratif pada akhir untaian mala, dan butiran sunyata, yang terletak setelah butiran “Guru”. Butiran pertama pada lingkaran untaian dipegang di antara jempol dan jari tengah. Setiap satu kali penjapaan, jempol menarik butiran yang lainnya menggantikan posisi butiran sebelumnya pada posisi di antara jari tengah dan jempol.
Setelah menyelesaikan satu untaian penuh dari mala, praktisi memutar mala 180 derajat (hal ini memerlukan latihan) dan memulai kembali penjapaan seperti sebelumnya, dalam arah penarikan butiran yang berlawanan dengan yang sebelumnya. Jika penjapaan putaran pertama menggunakan jempol tangan kiri untuk menarik butiran, maka penjapaan putaran kedua menggunakan jempol tangan kanan untuk menarik butiran, dan demikian untuk putaran berikutnya secara bergantian. Hal ini dilakukan sebagai simbol untuk menghindari melangkahi butiran “Guru”, sama halnya seperti seorang praktisi tidak boleh melangkahi (catatan penerjemah: “melangkahi” dalam konteks ini memiliki arti meremehkan atau tidak menghormati) Gurunya sendiri.
=dalam gambar ini, butiran Guru adalah butiran yang bermotif, butiran sunyata adalah butiran setelah butiran Guru (yang lebih pipih)=
Menurut the Office of Tibet, kantor perwakilan Yang Mulia Dalai Lama di London, butiran Guru melambangkan kebijaksanaan dari sunyata. Butiran sunyata yang mengikuti butiran Guru dan terletak sebelum butiran pertama penjapaan adalah butiran yang melambangkan sunyata itu sendiri; bersama, kedua butiran ini melambangkan telah menundukkan semua lawan/rintangan.

=Japamala Tibetan (lengkap dengan Vajra Dorje, Vajra Gantha, Butiran Caturmaharajakayika, Butiran Guru, Butiran Sunyata, dan Rumbai benang Tangan Teratai=
Untuk membantu penghitungan penjapaan mantra, kebanyakan mala Tibetan dilengkapi dengan butiran pembatas dengan warna yang berbeda, yang membatasi lingkaran untaian dalam empat bagian yang sama. Pemakai juga dapat menambahkan sepasang ikatan penghitung pada mala sebagai alat tambahan untuk membantu penghitungan. Masing-masing ikatan tersebut terdiri dari benang ganda yang dikaitkan dengan sepuluh lempengan cincin kecil, yang biasanya terbuat dari perak, emas, atau perunggu, di mana ikatan ini biasanya digunakan untuk menghitung butiran ke sepuluh dan keseratus dari lingkaran untaian mala.
Alat penghitung ketiga juga dapat ditambahkan pada mala untuk mengawasi jumlah lingkaran penjapaan yang telah dilakukan. Seringkali menggunakan simbol roda atau batu permata, penghitung ini ditempelkan pada benang di antara dua butiran, yang kemudian dapat direlokasikan dari butiran yang satu ke butiran yang lainnya untuk menandai jumlah lingkaran penjapaan yang telah dilakukan.
=salah satu contoh pembatas jumlah lingkaran penjapaan pada japamala=
Pemilihan Mala
Sebuah mala yang dilengkapi 108 butiran dalam satu untaian lingkarannya digunakan untuk tujuan umum oleh kebanyakan praktisi Budhisme Tibetan. Butiran dari biji bodhi secara umum dipertimbangkan baik untuk digunakan dalam pencapaian berbagai tujuan dari latihan maupun penjapaan mantra, dan kayu cendana merah atau biji teratai juga direkomendasikan secara luas untuk pemakaian universal.
Umumnya, mala terdiri dari 108 butiran untuk satu lingkaran untaian, yang dibagi dalam empat bagian yang sama, di mana setiap bagiannya terdiri dari 27 butiran. Jadi, setiap satu lingkaran penuh untaian mala melambangkan 108 kali penjapaan mantra. Angka 108 ini melambangkan banyak makna yang penting, menurut Robert Beer*, sebagai berikut:
“Oleh zaman sebelum berkembangnya Budhisme, angka keramat 108 merupakan angka klasik yang melambangkan jumlah makhluk suci atau dewata dalam agama Hindu. Sebagai hasil kali dari 12 dengan 9, angka ini melambangkan sembilan planet yang berada dalam ruang cakupan 12 zodiak. Sebagai hasil kali 27 dengan 4, angka ini juga melambangkan empat bagian bulan pada setiap 27 mansion atau konstelasi bulan. Sembilan juga merupakan angka ajaib, di mana setiap angka yang dikalikan dengan sembilan akan menghasilkan serangkaian angka yang jika dijumlahkan akan menghasilkan angka sembilan juga. Dalam Pranayana Yoga, terhitung bahwa seseorang melakukan pernafasan sebanyak 21.600 kali dalam siklus 24 jam, yang terdiri dari 60 periode dari 360 kali pernafasan; maka dari itu, siklus 12 jam pada siang hari sama dengan 10.800 pernafasan. Jumlah 108 butiran juga memastikan bahwa sedikitnya seratus kali penjapaan mantra telah dilakukan dalam satu lingkaran penuh untaian mala.”
Di samping kegunaan mala yang telah dideskripsikan di atas, ada beberapa jenis mala yang dianggap cocok digunakan untuk berbagai tujuan.
Mantra dapat dijapa untuk empat tujuan yang berbeda: untuk menenangkan, untuk meningkatkan, untuk mengatasi, atau untuk menjinakkan sesuatu secara paksa, menurut the Office of Tibet di London, yang mana juga menawarkan pedoman tambahan dalam memilih mala yang tepat untuk tujuan-tujuan tersebut:
Mala yang digunakan menjapa mantra untuk menenangkan harus terbuat dari butiran-butiran kristal, mutiara atau induk mutiara, dan setidaknya harus berwarna putih atau bening. Mala yang digunakan untuk tujuan ini harus memiliki setidaknya 100 butiran seperti itu. Mantra yang dihitung pada butiran-butiran ini bermanfaat untuk menghapus rintangan, seperti penyakit dan bencana lainnya, dan memurnikan seseorang dari ketidaksehatan.
Mala yang digunakan menjapa mantra untuk tujuan peningkatan harus terbuat dari emas, perak, tembaga, atau biji teratai, dan seluruh 108 butiran mala harus terbuat dari bahan-bahan tersebut. Mantra yang dihitung pada butiran ini bermanfaat untuk meningkatkan rentang hidup (memperpanjang umur), pengetahuan, dan status sosial (jabatan/kehormatan).
Mala yang digunakan menjapa mantra untuk tujuan mengatasi dibuat dari kayu cendana, kunyit, dan bahan-bahan alami lainnya yang memiliki keharuman. Mala ini terdiri atas 25 butiran. Mantra yang dihitung pada butiran ini bertujuan untuk menjinakkan yang lain, namun motivasi melakukannya haruslah merupakan keinginan yang murni untuk membantu makhluk hidup lainnya dan tidak dengan maksud untuk keuntungan pribadi.
Mala yang digunakan untuk menjapa mantra untuk tujuan menundukkan makhluk dengan paksa harus terbuat dari biji raksha atau tulang manusia dengan jumlah 60 butiran dalam satu untaian lingkaran mala. Lagi-lagi, tujuan melakukan ini haruslah dengan dasar kepentingan orang lain, dan satu-satunya orang yang mampu melakukannya hanyalah Bodhisatva yang termotivasi oleh rasa welas asih yang besar untuk makhluk yang tidak dapat dijinakkan dengan cara lain, sebagai contohnya adalah arwah yang rasa dendamnya sangat besar, atau malapetaka universal, yang divisualisasikan sebagai bola hitam yang padat.
Butiran yang terbuat dari biji atau kayu Bodhi dapat digunakan menghitung segala jenis mantra untuk berbagai tujuan, seperti mendoakan, mengatasi stress, mengharapkan kelancaran dalam suatu proses kondisi yang berulang, dan sebagainya**.
Tradisi spiritual Tibetan yang berbeda dapat juga memberikan pedoman yang berbeda dari yang telah diberikan di atas. Sebagai contoh, dalam tradisi Bön, mala dari biji Bodhi dianjurkan untuk keempat tujuan di atas; dan untuk aktivitas penentraman, direkomendasikan untuk menggunakan mala dengan 100 butiran kristal, kulit kerang, atau lapis lazuli. Untuk aktivitas peningkatan, disarankan menggunakan mala yang terdiri dari 108 butiran emas atau perak; untuk aktivitas kekuatan mengatasi, sebaiknya menggunakan mala dengan 50 butiran batu karang, tembaga, atau kayu cendana merah; dan untuk aktivitas penaklukan, mala dengan sepuluh butiran dari biji rudraksha direkomendasikan***. Biji rudraksha adalah buah kering dari pohon rudraksha yang tumbuh di Indonesia, Nepal, dan India; bentuknya bulat dan berbintik-bintik, dengan tonjolan berbutiran kecil-kecil, dan berukuran diameternya antara seperempat inci hingga lebih dari satu inci.
=Dua contoh japamala dari biji rudraksha=
=biji rudraksha=
Sering dianjurkan bahwa mala yang terbuat dari tulang – baik tulang manusia maupun hewan –hanya boleh digunakan oleh yogi yang telah mencapai pencerahan, karena objek ritual yang terbuat dari tulang dipercayai digunakan untuk menampung efek karma.
Beberapa Kata Mengenai Mantra
Siapa yang menjapa mantra, bagaimana mantra tersebut dijapa, niat seseorang ketika menjapanya – kesemuanya merupakan pertimbangan yang sangat penting. Dalam beberapa kasus, juga perlu dipertimbangkan siapa saja yang berada dalam jarak pendengaran saat seseorang sedang menjapa mantra. Bardor Tulku Rinpoche mencatat bahwa dalam tradisi Kagyu, adalah dapat diterima dalam berbagai kondisi untuk menjapa mantra dengan lantang, bahkan ketika orang lain yang tidak mengerti atau menghormati kekeramatan dari mantra tersebut dapat mendengarnya. Bagaimanapun juga, sejumlah tradisi lainnya menetapkan bahwa penjapaan mantra tertentu yang sangat berkekuatan haruslah dirahasiakan sama sekali.
Beberapa praktik memerlukan praktisi untuk menjapa mantra tertentu sebanyak 100.000 kali, atau bahkan sejuta kali. Karena sebuah mantra merupakan kumpulan dari intisari kekuatan pengajaran spiritual yang luar biasa, yang diringkas menjadi beberapa suku kata, sehingga lebih mudah untuk menduga seberapa besar kekuatan dari menjapa hanya sebuah mantra berulang kali hingga sebanyak itu. Orang yang melakukan penjapaan dengan penuh kesungguhan hati, dengan tetap menjaga samadhi di dalam pikiran mereka saat menjapa, dan menyandarkan diri pada kekuatan pemberkahan/adhistana (blessing), kekuatan abhiseka (empowerments), dan instruksi dari Guru yang berkualitas, akan memiliki kesempatan untuk membuktikan kekuatan dari pemberkahan dan mantra dengan lebih cepat.
Catatan kaki:
*     Dari The Encyclopedia of Tibetan Symbols and Motifs, oleh Robert Beer, Boston: Shambala, 1999.
**  Dicetak ulang dengan izin dari www.tibet.com, website dari the Office of Tibet, kantor perwakilan Yang Mulia Dalai Lama di London.
*** Detil mengenai aliran Bön dalam artikel ini bersumber dari Yang Mulia Lungtok Tenpai Nyima, kepala spiritual dari tradisi Bön Tibetan; dipublikasikan dengan seizin Sherab Palden dan Judy Marz.
Penerjemahan artikel ini didedikasikan untuk semua makhluk, semoga jasa kebajikan yang diperoleh dari artikel ini dapat menjadi karma baik penyebab tercapainya penerangan sempurna bagi semua makhluk. Sadhu, sadhu, sadhu.

0 komentar:

Posting Komentar

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;