7. Perwujudan Avalokitesvara Lainnya

(1) Àrya Avalokitesvara (Sheng Guanyin; Jep.: Sho Kannon)

Istilah ‘ärya’ diterjemahkan jadi ‘mulia’ seperti dalam Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Beruas Delapan yang berarti kebenaran atau ajaran universal yang bermanfaat bagi seluruh makhluk hidup. Gelar tersebut kemudian ditaruh di depan nama Avalokitesvara untuk membedakan bentuk aslinya dari perwujudan ini. Ini adalah bentuk non-Tantra yang mewujudkan sifat karunä Sang Buddha. Dia memiliki satu wajah dan dua lengan yang biasanya saling rangkap dalam sikap añjali. Dia digambarkan duduk atau berdiri di atas teratai. Kadang-kadang lengan kirinya diperlihatkan sedang memegang teratai dan yang kanan membentuk mudra memberi, atau yang kiri memegang jambangan ( kamandalu) dan yang kanan membentuk mudra abhaya (tanpa rasa takut).

(2) Cintämanicakra Avalokitesvara (Ruyilun Guanyin, Jep. Nyoirin Kannon).

Ini adalah salah satu perwujudan Avalokiteÿvara yang paling awal serta muncul dalam bentuk Tantra dan non-Tantra (seperti di Jepang), yaitu, berlengan dua dan berlengan banyak. Dia ditemukan tahun 605 di Jepang semasa kekaisaran Suiko. Akan tetapi, di Turkestan dan Cina hanya ditemukan bentuk yang non-Tantra saja. Dalam Guhyasamaja Tantra, dia muncul sebagai emanasi Buddha Ratnasambhava dari Panca Dhyani Buddha. Di sini dia memegang Permata Berkah ( cintämani). Mula-mula bentuk ini hanya punya dua lengan, tetapi yang selanjutnya punya dua belas. Permata melambangkan Pikiran Cerah; tetapi bagi orang awam, permata melambangkan berkah materi (yang bisa dipakai sebagai jalan menuju pencerahan).

Cintämanicakra di Asia Timur

Di Cina dan Jepang, Cintämanicakra sering dilukiskan duduk di tepi laut seperti Avalokitesvara ‘bulan dan air’ (Shuiyue Guanyin, Jep. Suigetsu Kannon)

. Dalam bentuk ini, biasanya dia memakai jubah berkepala tinggi, acap kali dengan mustika di dahi (kalau tidak dia tidak memakai hiasan apa pun). Dia biasanya telanjang dada dengan penutup badan yang tergantung longgar dari pinggang sampai mata kaki. Kadangkadang bahunya tertutup, dan kepalanya bersandar di tangan kanannya yang memegang sebuah teratai kuncup. Dalam bentuk Tantra Jepang, Nyoirin Kannon mempunyai enam lengan dan duduk dalam posisi santai para raja (lutut kanan diangkat, kaki kiri dalam posisi teratai). Kepalanya bersandar di atas tangan kanan utamanya dengan sikut terkadang bertumpu di atas lutut kanan. Lengan kiri utamanya membentuk mudra memberi. Lengan kanannya yang lebih rendah memegang Permata Berkah di depan dadanya, sementara yang kiri dalam mudra mengajar dan memegang teratai kuncup. Lengan kanan yang ketiga tergantung memegang tasbih sementara yang kiri terangkat menyeimbangkan sebuah roda di atas jari telunjuk (sesuai dengan namanya). Walaupun Tantra, bentuk ini berkarakter Jepang serta membangkitkan perasaan damai dan bahagia yang besar.

Padmacintämani Dhärani Sütra (Ruyilin Tuoluoni Jing) diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh penerjemah berikut ini:

• Ratnacinta - antara 693 dan 706
• Siksänanda - antara 700 dan 704
• Bodhiruci - 709
• Yijing - 710
• Dänäpäla - dinasti Song utara (960-1126).

(3) Avalokiteÿvara Sebelas Wajah (Ekädaÿamukha Avalokitesvara, Shiyimian Guan-yin,Jep. Juichi-men Kannon)

Perwujudan ini pertama kali dibahas dalam Samantamukha Parivarta (Pumenpin, Bab Pintu Semesta) dari Saddharmapundarìka Sütra atau Sütra Teratai Putih, terjemahannya ke dalam bahasa Cina dilakukan pertama kali di tahun 255; tiga yang lain dilakukan di tahun 265 (Dharmaraksha), 286, dan 335. Tetapi hanya terjemahan Dharmaraksha (290 —sama seperti edisi tahun 265), Kumarajìvä (405-406), dan Jñänagupta dan Dharmagupta (601-602) saja yang masih bertahan. Samantamukha Parivarta terdiri atas 24 bab dalam naskah Sanskrit dan 25 bab dalam naskah Cina. Istilah samantamukha berarti ‘menghadap ke semua arah’ yang berarti memperlihatkan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup di semua penjuru.

Perwujudan sebelas wajah ini dibahas dalam Àryävalokitesvara Ekädaÿamukha Näma Dhäranì Sütra yang diterjemahkan antara tahun 564 dan 572 oleh Yasogupta dari dinasti Zhou utara dengan judul ‘Shiyimian guanshiin shen zhou jing’ (Nanjio 327; T 20:149) dan pada tahun 656 oleh Xuanzang dengan judul ‘Shiyimian shen zhou jing’ (Nanjio 328). Terjemahan Tibet, yang dilakukan oleh Silendrabodhi dan Ye-ses-de, muncul dua kali dalam bagian rGyud (Tantra) Kanjur dengan judul ‘(Hphags-pa) Spyan-ras-gzigs dbanphyung shal bcu-gcig-pa she-bya-bahi gzuns’ ( The Peking Tibetan Tripitaka, ed. D. T. Suzuki: 8:373; 2:524).


Lambang Tiga Tumpukan

Salah satu ciri perwujudan ini adalah enam tumpukan [melambangkan Enam Alam] —di atas wajah utama ada tiga wajah karuôä, diikuti oleh tiga wajah yang lebih menyeramkan, kemudian oleh tiga wajah bertaring, setelah itu satu wajah tertawa, dan akhirnya di puncak terdapat wajah Buddha (biasanya Amitäbha). Ketiga wajah karunä menatap makhluk yang saleh dan menolong mereka. Wajah menyeramkan menolong setan-setan yang membutuhkan
kesabaran dan kekuatan lebih. Wajah bertaring melambangkan perubahan sifat binatang dalam diri kita menjadi sifat spiritual tatkala kita memasuki kehidupan sebagai umat Buddha.

Tiga tingkat wajah ini juga melambangkan tiga alam:
alam indera, alam bentuk, dan alam tanpa bentuk, yang semuanya terjangkau oleh kasih sayang Avalokitesvara. Wajah tertawa melihat dunia khayalan dan mengubahnya jadi realitas sejati. Wajah Buddha di atas mahkota melambangkan Jalan Mahäyäna yang membimbing semua makhluk mencapai pencerahan.

Makna Sebelas Wajah

Wajah Bentuk ini mungkin berkembang di India selama abad ke-5 sebagai adaptasi simbolis dari dewa Veda Rudra yang dikatakan berjumlah sebelas atau punya sebelas kepala. Arca Avalokitesvara dengan sebelas wajah dan empat lengan ditemukan di stupa Kanheri di India.

Dalam ikonografi dan lambang psikologis Buddhis, sebelas wajah melambangkan sebelas arah (empat titik utama, empat arah di antaranya, zenith, nadir, dan pusat) yang berarti seluruh semesta. Pusat melambangkan titik permulaan dari Sifat Luhur (maitrì, karuôä, muditä, dan upeksä). Menurut A. Matsunaga, makna paling umum dari kesebelas wajah itu adalah:

(1) Sebelas tingkat pencerahan;
(2) Sepuluh Kesempurnaan ( päramì) dan Sang Tathägata;
(3) Dua belas rantai Asal Mula yang Bergantungan (termasuk wajah sang Bodhisattva sendiri);
(4) Sebelas wajah Usaha Rajin ( upaya) dan satu wajah melambangkan Kebenaran Mutlak; dan
(5) Sebelas kegelapan batin ( avidya) dari makhluk awam yang diterangi oleh cahaya kebijaksanaan. ( The Buddhist Philosophy of Assimilation, hal 123f)

Sahasrabhuja Sahasranetra Àryävalokitesvara Ekädasamukhanäma Dhäranì

Àryävalokitesvara Ekädaÿamukha Dhärasì Sütra (Khotbah Àrya Avalokitesvara Sebelas Wajah) memuat dhäranì (mantra untuk meditasi) bernama sama, yang dikatakan dilafal oleh Avalokitesvara di saat kehadiran Buddha. Dhäranì ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama berisi penghormatan awal kepada Tiga Mustika, Buddha Vairocana, semua Buddha, dan Avalokitesvara. Bagian kedua memuat isi dhäranì.

Namo Ratnatrayäya
Namo Àryaj/ñänasägaräya Vairocanavyüharäjäya Tathägatäya
Nama sarvatathägatebhyah Arhatebhyah Samyaksambuddhebyah
Nama Àryavalokitesvaräya Bodhisattväya Mahä-sattväya Mahäkarunikäya
Tadyathä:
Om dhärä dhärä dhìrì dhìrì dhürü dhürü ittì vette cale cale präcale präcale kusume kusume varä ilì milì citì jolä mapanaye svähä.


Tanda miring menyatakan bagian yang hilang dalam versi Sanskrit dan digubah ulang dari versi Tibet. Ini adalah dhäranì yang dinyanyikan pada permulaan Dharmafarer Sevenfold Puja.

Bagi umat Buddha, perwujudan ini adalah obat mujarab dan bisa mencegah penyakit menular, menangkal setan dan malapetaka, menjauhkan mimpi buruk, mencegah mati muda karena air atau api, menawarkan racun, serta melindungi harta benda, keselamatan, dan kebahagiaan.

Selain itu, para pemuja yang melafal dhäraôì dengan penuh kesadaran akan melihat Buddha di saat kematiannya dan dilahirkan di alam Sukhävati.