Minggu, 05 Februari 2012

Pemikiran-pemikiran dasar umum Satya Buddha II

7.
Empat Jenis Mara dalam pemahaman esoteris
Empat Jenis Mara dalam pemahaman esoteris :

Ada empat jenis Mara yang dikenal dalam pemahaman esoteris, yaitu :
1.
Mara Skandha (panca skandha, anggota tubuh, indra) - internal
2.
Mara Kilesa (loba, dosa, moha) - internal
3.
Mara Mrtyu (kematian) - eksternal
4.
Mara Devaputra (Mara Langit / Thian Mo) - eksternal
Dua jenis Mara yang pertama merupakan produk buatan kita sendiri, sedangkan dua jenis Mara selanjutnya merupakan faktor dari luar.

Sebenarnya, Mara adalah insan yang tidak mempunyai sifat diri, penuh ilusi dan merupakan Bodhisattva tingkat tinggi yang datang untuk menguji sesama insan sebelum mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha (bahkan ada Mara yang berasal dari Arupa Dhatu).
Jadi, Mara tidak selalu buruk. Sewaktu mereka datang menguji seseorang, sebenarnya mereka sedang berbuat kebajikan.

Mengatasi rintangan dari Mara sangat penting, Tantra memiliki ilmu / dharma penakluk yang sangat banyak ragamnya untuk hal-hal tersebut. Selama berlatih, kita harus melakukan ritual-ritual seperti perisai pelindung diri dan pembuatan perbatasan suci untuk menghindari rintangan dari Mara. Adakalanya, Tantra menggunakan dharma lain untuk mengatasi Mara, tergantung kasusnya. Mara dapat menimbulkan rintangan besar bagi seorang sadhaka bahkan mengambil nyawanya.

Sebagai seorang sadhaka Satya Buddha, harus tahu seni melindungi diri, harus selalu melakukan perisai perlindungan dalam setiap sadhana sebagai persyaratan minimal. Juga ada banyak cara perlindungan lain seperti "Altar Tubuh Avalokitesvara", "Mantera 9 Aksara" atau "Empat Langkah Perbatasan".

Apa yang dapat dilakukan bila Mara datang mengganggu ?
Pertama, harus melenyapkan akar penyebab munculnya Mara dengan menggunakan pikiran "Tiada Diri". Dengan demikian, semua Mara akan kehilangan pijakan untuk melekatkan diri mereka, otomatis mereka akan pergi lenyap dengan sendirinya. Semua sadhaka cukup menjunjung kata "Kekosongan" atau "Tiada Diri", maka Mara akan kehilangan obyek mereka.
Kedua, berpikiran welas asih, karena Mara pun mempunyai sifat ke-Buddha-an, dan terlahir oleh keberadaan kita sejak masa lampau. Bila para insan tidak berputar-putar di dalam lingkaran tumimbal lahir (kelahiran dan kematian), maka para insan tidak akan didatangi oleh Mara Mrtyu. Juga kelima Mara yang dikaitkan dengan Panca Skandha akan lenyap bila para insan tidak mempunyai keberadaan dari awalnya.

  8.
Enam Alam Kehidupan - Alam Asura
Alam Asura, salah satu dari enam alam kehidupan dilihat dari kacamata Buddhisme

Di dalam ajaran Buddhisme, dikenal adanya enam alam kehidupan (termasuk kelompok Kama Dhatu) yang terdiri dari alam dewa, alam manusia, alam asura, alam binatang, alam hantu kelaparan dan alam neraka. Bisa terlahir di alam dewa atau alam manusia, dianggap merupakan sebuah akibat yang muncul dari karma baik dari kehidupan lampau. Tetapi semua insan yang berada di dalam enam alam kehidupan tersebut sering dikatakan sebagai Pudgala atau insan yang masih berputar-putar dalam Roda Samsara dan belum dapat membebaskan diri dari segala macam Kilesa.
Pada umumnya, diyakini bila Pudgala ingin keluar dari enam alam kehidupan tersebut, harus melatih diri (pikiran, ucapan dan perbuatan) menekuni bhavana secara benar dibawah bimbingan seorang Guru yang mau mengajarkan pemahamannya secara tepat.

Alam asura merupakan alam dari roh-roh halus yang dimasa sebelumnya pernah melakukan bhavana (pelatihan spiritual dari berbagai ajaran yang tersedia di dunia) tetapi berjalan di arah yang tidak sesuai dengan keyakinannya sehingga memiliki pandangan yang tidak tepat, baik disadari maupun yang tidak disadari oleh Pudgala tersebut. Keadaan di dalam alam asura sangat rumit dan kompleks, mereka umumnya sering campur tangan ke dalam alam manusia. Alam asura sendiri memiliki tingkatannya masing-masing, secara garis besar, yaitu : alam surga tanpa bentuk, alam surga yang memiliki bentuk, alam surga yang penuh kegembiraan hingga tingkat Arupha Dhatu.

Demikian pula alam neraka dan alam surga yang keberadaan dan tingkatannya lebih banyak dari alam asura. Alam asura membentuk suatu lingkungan yang besar, yang terdiri dari bagian-bagian yang kecil. Bila dapat dibayangkan, maka di alam tersebut terdapat penguasa-penguasa asura besar serta bermacam-macam raja asura kecil, dimana di antara mereka sendiri saling bertikai, juga saling berperang dengan dewa lainnya untuk mengejar reputasi.

Kata "asura" diterjemahkan sebagai roh-roh halus yang melakukan pelatihan bhavana dan masih belum memperoleh hasil yang tepat di dalam latihannya tetapi telah memiliki unsur-unsur kekuatan metafisika / gaib yang telah dicapai saat melakukan latihan bhavananya tersebut. Bahkan beberapa asura memiliki kekuatan yang melebihi dewa maupun manusia, tetapi ada juga yang kekuatannya bahkan lebih rendah dari manusia. Beberapa sebutan lain asura : Raksasa, Yaksa, Naga, Siluman, Gandharva, Jin dan sebagainya (termasuk kelompok iblis dan Mara).

Keberadaan alam asura sangat beragam, ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang sesat dan ada yang benar. Demikian pula kekuatannya masing-masing berbeda. Penyebab munculnya alam asura dapat disebabkan oleh empat sebab, yaitu :
1.
Bila ada seorang insan yang selama hidupnya belum pernah mendengarkan ajaran-ajaran yang benar dan layak untuk diyakininya (Islam, Nasrani, Hindu, Buddha / Tao), atau, meskipun mendengarkan tetapi tidak mempercayainya (atheisme), tetapi malah bersikap menantang dan mencoba-coba melakukan latihan yang sebaliknya / sesat. Akan tetapi, meskipun melakukan latihan yang sesat tersebut dan berhasil, insan yang bersangkutan tidak berniat melakukan kejahatan, hatinya penuh dengan amal kebaikan yang dilakukan dengan tulus. Sehingga jalan mencapai ke-Buddha-an terputus karena melatih latihan yang sesat serta memiliki sifat yang buruk, tetapi juga tidak terlahir di alam dewa, manusia, hantu maupun alam neraka karena telah berbuat amal kebaikan yang tulus. Oleh karena itu, pada saat kelahirannya kembali setelah insan tersebut meninggal dunia, maka dia akan dilahirkan di alam asura ini.
2.
Jika ada seorang insan, meskipun telah melatih dan berbuat banyak kebajikan, tetapi kebiasaan-kebiasaan buruknya seperti kebencian, iri hati, pandangan yang sempit masih belum mampu diatasi secara maksimal, maka setelah meninggal dunia tidak bisa dilahirkan di alam dewa, alam samsara maupun alam manusia. Sehingga pada saat kelahirannya kembali setelah insan tersebut meninggal dunia, maka dia akan dilahirkan di alam asura ini. Karena dia menjadi roh yang baik dalam dimensi tersendiri, dan juga karena keadaan bumi yang mendukung, maka roh halus tersebut pada umumnya juga dapat ikut melakukan kebajikan besar juga mungkin kejahatan skala kecil. Sehingga keadaan roh halus tersebut masih sering tampil / muncul di alam manusia dan senang menerima persembahan dari manusia.
3.
Bila terdapat seorang insan, khususnya Bhiksu atau Bhiksuni yang didalam proses latihan bhavananya masih memiliki iri hati terhadap orang lain, atau, meskipun memiliki amal kebaikan dan tidak melakukan kesalahan tetapi karena pandangannya yang sempit sering menimbulkan kemarahan, kebencian, konflik, pernah memfitnah ataupun menyerang orang lain sehingga tidak mencapai tingkat ke-Buddha-an tetapi juga tidak mencapai tingkat kesucian atau dewa, dan tidak masuk dalam kategori penghuni neraka karena selama hidupnya melatih diri dalam kebajikan. Oleh karena itu, pada saat kelahirannya kembali setelah insan tersebut meninggal dunia, maka dia akan dilahirkan di alam asura ini.
4.
Bila seorang sadhaka bersifat asura yang secara khusus mempelajari sebuah Dharma yang bertujuan untuk menolong orang lain, meskipun mempunyai jasa tetapi lebih mengutamakan pada ilmu yang berbentuk (melekat pada kekuatan batin / kesaktian) dan tidak mau mempelajari Dharma yang murni secara mendalam, juga, pelaksanaan kesaktiannya ada yang benar dan ada yang salah, keduanya berimbang serta memiliki kekuatan batin yang memadai. Sehingga pada saat kelahirannya kembali setelah insan tersebut meninggal dunia, maka dia akan dilahirkan di alam asura ini.

Bila seseorang yang tidak pernah melatih batinnya sedikitpun tetapi memiliki rasa iri hati, pandangan yang sempit, kebencian, kebodohan, kesombongan, memfitnah dan menyerang orang lain, maka dia tidak akan masuk ke dalam alam asura, tetapi ke dalam alam hantu kelaparan atau neraka. Alam asura hanya diperuntukkan bagi insan yang pernah melatih dirinya sendiri secara spiritual hingga mencapai tingkat kebatinan tertentu.
  9.
Lima Jalan Dharma dalam Buddhisme esoteris
Lima Jalan Dharma dalam Buddhisme esoteris

Di dalam Buddhisme, dikenal adanya metode Lima Jalan Dharma yang terdiri dari :
1.
Jalan Sekular atau Manusia.
Dengan mematuhi Pancasila, yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berjinah, tidak berbicara palsu dan tidak minum-minuman yang ber-alkohol. Kelima sila tersebut merupakan Dharma yang paling dasar.
2.
Jalan Dewata.
Dengan melakukan Dasa Kusala Karma (Sepuluh Karma Baik), yaitu gemar beramal dan bermurah hati, hidup bersusila, sering melakukan meditasi atau perenungan atau introspeksi diri, rendah hati dan hormat, berbakti, cenderung untuk selalu membagi kebahagiaannya kepada insan lain, bersimpati terhadap segala kondisi, sering mendengarkan ajaran Dharma, gemar menyebarkan ajaran Dharma dan tidak memiliki kegelapan batin. Serta menjauhi Dasa Akusala Karma (Sepuluh Karma Buruk), yaitu pembunuhan, pencurian, perbuatan a-susila, berbicara palsu, bergunjing atau memfitnah, berucap kasar dan kotor, omong kosong, serakah, pendendam dan memiliki kegelapan batin.
Jalan Manusia dan Dewata masih mengalami kelahiran kembali di enam alam kehidupan. Mereka masih harus melatih diri lebih lanjut agar bisa terlepas dari lingkaran tumimbal lahir. Oleh karena itu, Jalan Manusia dan Dewata bukanlah tujuan yang terakhir.
3.
Jalan Sravaka.
Melatih diri tentang Empat Kesunyataan Mulia (yaitu Duhkha, asal mula Duhkha, lenyapnya Duhkha dan jalan menuju lenyapnya Duhkha) serta memahami 12 hukum sebab akibat yang saling bergantungan hingga mencapai penerangan.
12 hukum sebab akibat yang saling bergantungan adalah sebagai berikut :
ketidak-tahuan (avidya) sebagai sebab timbulnya bentuk-bentuk karma atau batin,
dari bentuk-bentuk karma atau batin sebagai sebab timbulnya kesadaran,
dari kesadaran sebagai sebab timbulnya batin dan tubuh jasmani,
dari batin dan tubuh jasmani sebagai sebab timbulnya enam landasan indera,
dari enam landasan indera sebagai sebab timbulnya kontak,
dari kontak sebagai sebab timbulnya perasaan atau pencerapan,
dari perasaan atau pencerapan sebagai sebab timbulnya kemelekatan,
dari kemelekatan sebagai sebab timbulnya penerimaan obyek luar,
dari penerimaan obyek luar sebagai sebab timbulnya kejadian atau keinginan,
dari kejadian atau keinginan sebagai sebab timbulnya kelahiran,
dari kelahiran sebagai sebab timbulnya sakit, usia tua dan kematian.
Dengan melalui pencapaian bhavana pada tingkat Dhyana pertama, Dhyana kedua, Dhyana ketiga dan Dhyana keempat serta telah merealisasikan tentang kekosongan dari Pudgala, akhirnya mampu keluar dari tiga Dhatu. Jalan ini merupakan pembebasan diri sendiri, setelah itu baru dapat membebaskan insan-insan lainnya di tingkat Pratyeka atau Arahat (telah terlepas dari lingkaran tumimbal lahir).
4.
Jalan Bodhisattva.
Melaksanakan Sad Paramita, yang kemudian dilanjutkan dengan mengembangkan Bodhicitta di tingkat ini. Sad Paramita merupakan sebuah pengembangan cita-cita luhur untuk menyelamatkan semua insan yang terdiri dari :
I.
Dana Paramita.
Kesempurnaan mengenai Pemberian, yang terdiri dari dana materi, dana Dharma dan dana anggota tubuh.
II.
Sila Paramita.
Kesempurnaan mengenai Moralitas, yaitu melaksanakan Bodhisattva Sila seperti yang tertulis di Brahmajala Sutra tentang 10 peraturan besar dan 48 peraturan ringan.
III.
Ksanti Paramita.
Kesempurnaan mengenai Kesabaran, yaitu dapat menahan segala macam serangan dan penderitaan.
IV.
Virya Paramita.
Kesempurnaan mengenai Semangat, yaitu dengan semangat yang ulet dan gigih untuk berjuang mencapai ke-Buddha-an dan menyelamatkan para insan.
V.
Dhyana Paramita.
Kesempurnaan mengenai Meditasi, yaitu dengan ber-Samadhi untuk memperoleh pandangan terang.
VI.
Prajna Paramita.
Kesempurnaan mengenai Kebijaksanaan, yaitu dengan kebijaksanaan mencapai tingkat ke-Buddha-an, membebaskan diri sendiri dan insan-insan lainnya.
5.
Jalan ke-Buddha-an.
Penekanannya adalah pada intisari kebenaran yang paling mendasar sehingga mencapai penerangan sempurna sebagai seorang Buddha.

Ada yang berpendapat bahwa Jalan Bodhisattva dan Jalan ke-Buddha-an adalah sama dan satu adanya, tetapi yang sebenarnya adalah Jalan Bodhisattva merupakan sebuah sebab dan Jalan ke-Buddha-an merupakan sebuah akibat. Semua sadhaka esoteris yang telah menerima Abhiseka, harus memahami kelima metode Jalan Dharma tersebut berdasarkan kemampuan dan kerelaannya untuk memilih salah satu metode tersebut dan menekuninya.
  10.
Antara menjalani "Kehidupan Suci" dan "Berbakti kepada Keluarga"
Antara menjalani "Kehidupan Suci" dan "Berbakti kepada Keluarga"

Pemikiran ini agak rumit untuk dimengerti, jadi, harap berhati-hati dan tidak berprasangka dalam merenungkannya.

Pada suatu masa, ada seorang sadhaka yang sedang melakukan penyepian diri untuk berusaha menjadi seorang Bhiksu, dan tidak berapa lama berselang, ibunya meninggal dunia. Si sadhaka yang telah menjadi Bhiksu sama sekali tidak meninggalkan pertapaannya untuk menghadiri pemakaman ibunya, sehingga dia dikecam sebagai anak yang durhaka oleh semua orang. Padahal begitu si sadhaka yang telah menjadi Bhiksu mendengar kabar kematian ibunya, dia langsung menggunakan metode penyeberangan arwah yang diketahuinya untuk mengantarkan ibunya ke alam surga.
Dari luar terkesan bila si Bhiksu adalah seorang anak yang durhaka, tetapi sesungguhnya dia adalah anak yang paling berbakti yang harus menahan segala macam hinaan, cercaan dan godaan Mara dalam pelatihannya menjadi seorang Bhiksu serta kutukan dari orang-orang yang salah paham dengan kondisi pemahamannya. Bagi para seluruh insan manusia, "rasa berbakti" berarti bertekad untuk menolong semua orang tua dan keluarga kita yang berasal dari kehidupan lampau, kini dan mungkin yang akan datang, secara hormat dan tulus. Cara yang dipraktekkan oleh Bhiksu diatas biasa disebut sebagai "Vajra Tanpa Penyesalan", karena memang tidak ada hal-hal yang patut membuatnya menyesal dan malu.

Disamping itu, seorang Bhiksu tidak akan pernah dapat menghidupi keluarganya dalam hal keuangan sehingga dia akan dianggap egois dan tidak memiliki sifat welas asih karena telah mengacuhkan keluarganya. Kebanyakan orang akan berpikir bahwa dia melarikan diri dari keduniawian untuk kepentingan dirinya sendiri, dalam hal ini tentang hal pelatihan diri yang ingin dilakukan oleh Bhiksu tersebut.

Di lain pihak, bila Bhiksu tersebut benar-benar mengabdikan seluruh hidupnya untuk berlatih dan akhirnya kembali untuk menyelamatkan seluruh keluarga dan leluhurnya, maka tindakan penyelamatan yang dilakukannya dapat dianggap sebagai rasa berbakti yang dilandasi oleh welas asih yang besar.

Sewaktu Yang Mulia Sakyamuni Buddha meninggalkan istana untuk memulai kehidupan rohani, Beliau meninggalkan seluruh keluarganya. Beliau tidak merawat ayah-Nya, istri-Nya dan anak-Nya. Beliau dianggap sebagai insan yang egois pada mulanya. Tapi begitu Beliau mencapai penerangan, Beliau segera menyelamatkan keluarga-Nya dan dianggap sebagai insan suci yang memiliki welas asih yang besar. Dari awal, Beliau harus berlatih "Vajra Tanpa Penyesalan Yang Tidak Tergoyahkan" untuk bertahan terhadap segala macam hinaan dan prasangka buruk yang ditujukan pada-Nya. Jadi, rasa berbakti dan welas asih tidak dapat diukur dalam ukuran jangka pendek.

Umur kita sebagai insan manusia di dunia ini sungguh sangat pendek, dalam sekilas waktu bagaikan mimpi, tiba-tiba kita sudah berusia 40 atau 50 tahun. Segala perjalanan hidup sangat tidak dapat diperkirakan, kapan sukses diraih, kapan jatuh menimpa, kapan merasakan sedih atau bahagia dan sebagainya. Dalam waktu yang singkat kita akan meninggal dunia. Kita bisa tinggal bersama orang tua, menikah dan memiliki keturunan karena adanya ikatan karma. Karena timbulnya kemelekatan kita terhadap cinta, kita terlahir sebagai insan manusia. Ikatan karma jugalah yang menjadi alasan utama terbentuknya hubungan antara kakek, ayah ibu, putra-putri, sahabat ataupun musuh dan sebagainya. Kebanyakan dari kita mempunyai ikatan karma cinta, bila waktunya belum memungkinkan, bisa berjumpa dalam kehidupan yang akan datang. Jodoh karma sangat rumit.

Bagi mereka yang ingin menjalankan kehidupan yang suci, berpuasa, melatih diri atau bhavana, hidup selibat maupun kehidupan murni yang lainnya, baik untuk jangka waktu yang sebentar ataupun lama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, mereka harus berusaha melepaskan kemelekatan mereka terhadap cinta. Umur insan manusia sangat pendek, segala bentuk cinta duniawi seperti apapun tidak akan berlangsung secara kekal.

Bila kita dapat memahami cinta dan mampu melepaskan kemelekatan pada cinta, bila kita dapat sepenuhnya memahami sifat cinta dan mengabaikannya, kita pasti akan mencapai keberhasilan rohani yang besar. Jika khususnya, seorang insan manusia, dalam hal ini seorang sadhaka, dia hidup di dalam lingkungan suasana yang mendukung seperti itu, maka dia dapat berlatih "Maha Vajra".

Secara umum, kebanyakan insan manusia pasti memiliki sebuah keluarga. Bila semuanya mengikuti jejak Junjungan-Nya untuk hidup suci secara penuh, ... Waah ... bisa kacau, siapa lagi yang akan membuka situs jasaumum ini ?

Jadi kita, sebagai insan manusia yang biasa, hendaknya mampu merawat orang tua kita, keluarga kita, mendidik anak-anak kita dan sebagainya. Kita harus berusaha sebaik mungkin melakukan hal-hal tersebut. Kita juga harus berusaha untuk menyeimbangkan waktu kita yang berharga untuk melatih diri (ada keseimbangan antara kehidupan keluarga dan kehidupan melatih diri).
Setelah itu, bila kita merasakan adanya sebuah panggilan hati yang kuat, saat itu, barulah kita menjalani kehidupan suci yang sesuai dengan keyakinan kita masing-masing.
  11.
Melaksanakan Ritual Api Homa
Melaksanakan Ritual Api Homa untuk Orang Lain - Tanggung Karma

Ritual Api Homa bisa digunakan untuk menolak bala, menyembuhkan penyakit, mendatangkan kesejahteraan duniawi dan lain-lain. Bahan persembahan yang berbeda digunakan untuk mencapai tujuan yang berbeda pula.
Misalnya untuk penyembuhan penyakit, kita mempersembahkan obat-obatan, karena Bhaisajyaguru Buddha dikenal atas kemampuan penyembuhan-Nya, Beliau selalu diundang datang dan menjadi Yidam Buddha utama saat Ritual Api Homa penyembuhan penyakit dilakukan.
Buddha Panjang Umur, Tara Putih dan sebagainya diundang untuk menghalangi kedatangan Mara kematian dan memperpanjang usia orang yang sedang sakit dan sudah tua.
Bodhisattva Acalanatha dan Ucchusma, dua Dharmapala utama Satya Buddha biasanya dimintai tolong untuk mendamaikan konflik dan kesalahan yang kita perbuat kepada hantu, setan bahkan dengan dewa.
Pertolongan para Dakini biasanya diminta untuk bertahan terhadap serangan roh-roh jahat.

Bahan-bahan persembahan yang digunakan juga menentukan tujuan dari Ritual Api Homa yang dilakukan. Untuk penyembuhan, digunakan obat. Untuk panjang umur, digunakan bambu khusus. Untuk perdamaian dari sebuah konflik, digunakan daging-daging hewan tertentu, dan sebagainya.

Kita harus mencamkan akibat sampingan dari Ritual Api Homa yang kita lakukan bila ritual tersebut untuk kepentingan orang lain. Bila kita bukan seorang sadhaka yang mahir / berpengalaman, kita mungkin harus menanggung akibat dari apa yang kita lakukan.
Misalnya, sewaktu Mara kematian terpaksa meninggalkan tubuh calon korbannya, dia (Mara kematian) akan membalas dendam pada orang yang telah menyelamatkan calon korbannya. Dalam hal ini, Acarya yang melakukan penyelamatan tapi hal itu berdasarkan permohonan kita, maka kitalah yang akan dituju oleh Mara kematian.
Begitu pula bila kita ingin melakukan Ritual Api Homa lainnya seperti penaklukan roh, penyembuhan penyakit dan sebagainya bagi kepentingan orang lain, kita sendiri harus cukup kuat dalam bertahan dari serangan hantu atau Mara kematian dan yang lainnya juga, bila tidak, kita sendiri yang akan terkena akibatnya seperti diikuti hantu, berpenyakitan, nasib sial atau bahkan kematian.
Jadi laksanakan Ritual Api Homa untuk diri kita sendiri dulu sebelum melaksanakan Ritual Api Homa untuk orang lain.

Dengan membantu orang lain, kita harus menanggung karma orang lain. Jadi, sangat penting untuk menasehati mereka yang akan kita bantu untuk banyak berbuat kebajikan, berusaha menyebarkan Dharma Buddha, menjapa nama para Buddha atau Bodhisattva setiap saat, dan kita sendiripun harus melaksanakan sadhana harian kita. Kita hanya akan mengundang masalah bila kita tidak melakukan Ritual Api Homa untuk diri sendiri.

Bantulah mereka yang mampu kita bantu, dan bukan acap kali setiap kita dimintai bantuan.
Bila kita dimintai bantuan dalam hal bisnis yang berkaitan dengan pembunuhan binatang (seperti restoran, etc.), kita harus siap menerima tumpukan karma buruk bila usaha bisnis orang itu menjadi maju dan berkembang setelah upacara ritual kita lakukan. Jadi kita harus cukup bijaksana untuk memutuskan kapan saat yang tepat untuk menolong dan kapan saatnya untuk tidak menolong.
Tentunya pandangan ini hanya diperuntukkan bagi para sadhaka pemula yang masih belum mempelajari dan memahami esoteris secara mendalam. Diluar kondisi tersebut malah terjadi yang sebaliknya, harus berkorban demi insan lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;