Diterjemahkan oleh: Lotus Nino
Sumber: True Buddha School - Venerable LotusChef: 20-7-2011 Kalachakra





Kalachakra – Mandala Pasir


Kalachakra (Bhs. Sansekerta: कालचक्र; TASI: Kālacakra; Bhs. Telugu: కాలచక్ర; Bhs.Tibet: དུས་ཀྱི་འཁོར་ལོ།; Transliterasi Wylie: dus-kyi 'khor-lo; Bhs. Mongolia: Цогт Цагийн Хүрдэн: Tsogt Tsagiin Hurden; Bhs. China: 時輪) adalah istilah dalam Bahasa Sansekerta yang digunakan di dalam agama Buddha Tantra untuk menunjukkan “roda waktu” atau “siklus waktu”. Saat dieja sebagai Kalacakra juga sudah benar.


Tradisi Kalachakra

Kalachakra mengacu baik pada seorang dewata Tantra (Bhs. Tibet: Yidam) Buddhisme Vajrayana maupun pada aspek filosofis dan praktek meditasi yang dijelaskan di dalam Tantra Kalachakra beserta dengan penjelasannya-penjelasannya.

Tantra Kalachakra akan lebih tepat bila disebut sebagai Laghutantra Kalachakra. Ia dikatakan sebagai ringkasan dari naskah aslinya – Mulatantra Kalachakra yang jauh lebih panjang. Beberapa guru Buddhis menegaskan bahwa Kalachakra adalah sebuah sadhana Vajrayana yang paling mendalam dan sudah pasti merupakan salah satu sistem yang paling kompleks dalam Buddhisme Tantra.

Tradisi Kalachakra berkisar seputar konsep waktu (kāla) dan siklus/roda (chakra): mulai dari siklus planet, hingga siklus pernafasan manusia. Ia mengajarkan pelatihan energi-energi yang paling halus di dalam tubuh kita dalam perjalanan menelusuri jalur pencerahan.

Yidam Kalachakra melambangkan seorang Buddha beserta dengan kesadaran-Nya yang tiada batas. Berhubung Kalachakra berarti waktu dan semua hal berada di bawah naungan waktu, maka Kalachakra mengetahui semuanya. Kalachakri atau Kalichakra, pendamping spiritual-Nya punya kesadaran akan segala sesuatu yang bersifat abadi, tidak terkekang oleh waktu ataupun di luar jangkauan waktu. Dalam modus Yab-yum, mereka menggabungkan sifat keduniawian dan non-duniawi. Dengan analogi yang sama, roda waktu juga tidak ada awal maupun akhirnya.



Yidam Kalachakra beserta dengan pendampingnya, Visvamata


Tantra Kalachakra

Tantra Kalachakra dibagi ke dalam lima bab dengan dua bab pertama dianggap sebagai “fondasi Kalachakra.” Bab pertama menjelaskan apa yang disebut sebagai “Kalachakra Luar” – yaitu dunia fisik – dan secara khusus membahas sistem kalkulasi penanggalan Kalachakra, kelahiran dan kehancuran berbagai alam semesta, sistem tata surya kita dan cara kerja elemen-elemen.

Bab kedua membahas mengenai “Kalachakra Dalam,” dan perhatian khusus diberikan pada proses kehamilan dan kelahiran, klasifikasi fungsi-fungsi tubuh dan pengalaman manusia, dan vajra-kaya (tubuh vajra); kemudian juga pada ekspresi keberadaan manusia secara fisik yaitu mengenai nadi, prana (qi/chi), bindu dan lain-lainnya. Pengalaman manusia oleh beberapa orang digambarkan dalam empat kondisi pikiran: bangun (sadar), bermimpi, tidur nyenyak, dan kondisi keempat yang hanya dapat diakses lewat energi yang dihasilkan dari orgasme seksual. Berbagai bindu yang menghasilkan kondisi tersebut dijelaskan di sana beserta dengan proses-proses kelanjutannya.

Tiga bab terakhir menggambarkan “Kalachakra alternatif” atau “Kalachakra lain”, dan berhubungan dengan jalur dan pencapaiannya. Bab ke-tiga menjelaskan persiapan praktek meditasi dari sistem ini: inisiasi (abhiseka pemberkatan untuk memasuki mandala) Kalachakra. Bab ke-empat menjelaskan praktek meditasi aktualnya, baik meditasi pada mandala dan para dewatanya dalam sadhana tingkat awal (kye-rim), dan tingkat kesempurnaan (dzog-rim) dari Enam Yoga. Bab ke-lima dan terakhir menjelaskan kondisi pencerahan sebagai hasil akhir pencapaian sadhana ini.

Seperti pada semua praktek vajrayana, inisiasi-inisiasi (abhiseka pemberkatan) Kalachakra diberikan kepada murid agar ia dapat melatih tantra Kalachakra dalam rangka mencapai Kebuddhaan. Di dalam tantra ini terdapat dua set abhiseka utama, dan seluruhnya berjumlah sebelas. Dua set pertama merupakan persiapan untuk meditasi Kalachakra tingkat awal (kye-rim). Sedangkan set yang kedua merupakan persiapan untuk meditasi tingkat akhir yang dikenal sebagai Enam Yoga Kalachakra. Para peserta yang hadir namum tidak bermaksud melatih sadhana ini biasanya hanya diberikan tujuh abhiseka pertama saja.

Mandala pasir Kalachara didedikasikan untuk kedamaian dunia dan individu, dan juga untuk keseimbangan fisik. Dalai Lama menjelaskan: “Ini adalah sebuah cara untuk menanamkan benih, dan benih ini akan punya efek karma. Mereka tidak perlu hadir pada upacara Kalachakra untuk mendapatkan manfaat ini.”


Kosmologi Buddhis menurut Tantra Kalachakra


Ilmu Perbintangan (Astrologi)

Frase “yang berada di luar, ternyata juga berada di dalam tubuh” sering ditemukan di dalam tantra Kalachakra untuk menekankan persamaan dan hubungan antara manusia dengan alam semesta; konsep ini adalah dasar untuk ilmu astrologi Kalachakra, tapi juga digunakan dalam hubungan dan interdependensinya yang lebih mendalam seperti yang diajarkan dalam literatur Kalachakra.

Di Tibet, sistem perbintangan Kalachakra adalah salah satu dari elemen penting dalam penanggalan astrologi Tibet. Astrologi dalam Kalachakra tidaklah seperti sistem astrologi Barat. Sistem ini menggunakan berbagai kalkulasi astronomikal yang rumit (dan yang mengejutkan adalah sangat akurat) untuk menentukan, sebagai contoh, lokasi tepat berbagai planet.


Manjushrí Kírti (Bhs. Tibet: Rigdan Tagpa), Raja Negeri Shambhala


Asal & Sejarah

Menurut Tantra Kalachakra, Raja Suchandra (Bhs. Tibet: Dawa Sangpo) dari Kerajaan Shambala memohon ajaran dari Buddha yang memampukannya untuk berlatih Dharma tanpa harus melepaskan kenikmatan dan tanggung jawab duniawinya.

Dalam menanggapi permohonan tersebut, Buddha mengajarkan tantra akar Kalachakra yang pertama di Dhanyakataka (Bhs. Tibet: Palden Drepung, jaman sekarang berada di dekat Amaravati), sebuah kota kecil di Andhra Pradesh di India tenggara, dan menurut dugaan berada pada dua lokasi pada saat yang bersamaan berhubung saat itu Buddha juga sedang membabarkan sutra Prajnaparamita di Gunung Gridhra-kuta di Bihar. Bersama dengan Raja Suchandra, 96 raja-raja kecil dan para utusan dari Shambala juga dikatakan telah menerima ajaran-ajaran tersebut. Kalachakra kemudian hanya langsung ditransmisikan di Shambala dan tradisi tersebut dijalankan secara eksklusif selama beratus-ratus tahun.

Raja-raja Shambala selanjutnya, Manjushrí Kírti dan Puṇdaŕika, dikatakan telah mengkompres dan menyederhanakan ajaran-ajaran tersebut menjadi “Shri Kalachakra” atau “Laghutantra” beserta dengan komentar utamanya “Vimalaprabha”, yang hingga hari ini masih ada dan disebut sebagai inti dari sastra Kalachakra. Potongan-potongan dari tantra aslinya masih bertahan hingga kini dan yang paling signifikan adalah “Sekkodesha” yang telah dikomentari oleh Mahasiddha Naropa.

Manjushrí Kírti (Bhs. Tibet: Rigdan Tagpa) dikatakan lahir pada 159 SM dan memerintah Shambhala serta menaungi 300.510 pengikut beragama Mlechha (Yavana atau “bagian barat”) yang hidup di sana. Beberapa dari pengikut beragama Mlechha tersebut memuja matahari. Ia dikatakan telah mengusir semua pengikut aliran sesat dari daerah kekuasaannya, namun memperbolehkan mereka untuk kembali setelah mendengar petisi dari mereka. Untuk kebaikan mereka dan juga para insan, ia kemudian menjelaskan ajaran-ajaran Kalachakra. Pada tahun 59 SM, ia menyerahkan tahtanya kepada anaknya, Puṇdaŕika. Segera setelah itu ia meninggal dan memasuki Kebuddhaan Sambhogakaya.

Di masa ini ada dua tradisi utama Kalachakra: dari silsilah Ra (Bhs. Tibet: Rva-lugs) dan silsilah Dro (Bhs. Tibet: ‘Bro-lugs). Meski ada banyak terjemahan naskah Kalachakra dari Bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Tibet, terjemahan Ra dan Dro dianggap sebagai yang paling dapat diandalkan (dua silsilah dijelaskan lebih lanjut di bawah). Ada sedikit perbedaan dari dua silsilah tersebut mengenai penjelasan bagaimana ajaran-ajaran Kalachakra kembali ke India dari Shambala.

Dalam kedua tradisi tersebut, Kalachakra beserta dengan komentar-komentarnya (kadang disebut sebagai “Bodhisattvas Corpus” – Tubuh Bodhisattva) dibawa kembali ke India pada 966 M oleh seorang pandita India. Dalam tradisi Ra, figur ini dikenal sebagai Chilupa, dan dalam tradisi Dro dikenal sebagai Kalachakrapada Sang Tetua. Cendekiawan seperti Helmut Hoffman berpendapat bahwa dua nama tersebut adalah orang yang sama. Guru-guru pertama di dalam tradisi telah menyaru dengan nama-nama samaran, sehingga tradisi oral dari India yang didokumentasikan oleh orang-orang Tibet berisi banyak kontradiksi.

Chilupa/Kalachakrapada dikatakan berangkat ke Shambala untuk menerima ajaran-ajaran Kalachakra, dan sepanjang perjalanannya dia bertemu dengan Raja negeri Kulika (Shambala) bernama Durjaya yang bermanifestasi sebagai Bodhisattva Manjushri, yang memberikan abhiseka pemberkatan Kalachakra kepadanya karena melihat motivasinya yang tulus dan murni.

Saat kembali ke India, Chilupa/Kalachakrapada dikatakan telah mengalahkan Nadapada (Bhs. Tibet: Naropa), kepala biara Universitas Nalanda, sebuah pusat agama Buddha pada waktu itu, dalam sebuah debat. Chilupa/Kalachakrapada kemudian memberikan abhiseka pemberkatan Kalachakra kepada Nadapada (yang kemudian dikenal sebagai Kalachakrapada Muda). Dari dua guru inilah tradisi tersebut berkembang di India dan Tibet. Nadapada mengesahkan ajaran-ajaran ini ke dalam komunitas Nalanda, dan memberikan abhiseka pemberkatan Kalachakra kepada guru-guru seperti Atisha (yang kemudian memberikan abhiseka pemberkatan ini kepada seorang ahli Kalachakra bernama Acharya Pindo (Bhs. Tibet: Pitopa)).

Sebuah sejarah Tibet, Pag Sam Jon Zang, begitu juga dengan bukti arsitektural, menunjukkan bahwa Mahavihara Ratnagiri di Orissa dulunya adalah sebuah pusat penting dalam pembabaran tantra Kalachakra di India.

Tradisi Kalachakra, beserta dengan semua Buddhisme Vajrayana, menghilang dari India sebagai konsekuensi dari invasi Muslim, dan hanya bertahan di Nepal saja.



Rupang Kalachakra di Museum Sejarah Alam Amerika, New York


Penyebaran ke Tibet

Silsilah Dro didirikan di Tibet oleh seorang murid Kashmir dari Nalendrapa yang bernama Pandita Somanatha, yang berkunjung ke Tibet pada tahun 1027 (atau 1064 M, tergantung pada jenis penanggalan yang digunakan), dan nama sililah ini diambil dari nama si penerjemahnya – Droton Sherab Drak Lotsawa. Silsilah Ra, di sisi lain, dibawa ke Tibet oleh seorang murid Kashmir lain dari Nadapada yang bernama Samatashri, dan diterjemahkan oleh Ra Choerab Lotsawa (atau Ra Dorje Drakpa).

Silsilah Ra menjadi sangat penting di dalam Ordo Sakya dalam Buddhisme Tibet dan ia diteruskan oleh para guru terkemuka seperti Sakya Pandita (1182-1251), Drogon Chogyan Pagpa (1235-1280), Budon Rinchendrup (1290-1364), dan Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361). Dua guru terakhir, yang juga meneruskan silsilah Dro, dikenal sebagai ekspositor (yang memberikan penjelasan) Kalachakra di Tibet. Sadhana dari silsilah Ra memberikan pengaruh yang besar terhadap penjelasan Dolpopa mengenai sudut pandang Shentong (salah satu bagian ordo filosofis dalam Buddhisme Tibet). Penekanan yang kuat pada sadhana Kalachakra dan penjelasan sudut pandang Shentong adalah karakter utama membedakan Ordo Jonang dari ordo lainnya, yang saat ditelusuri akan kembali pada Dolpopa.

Ajaran Kalachakra kemudian disempurnakan oleh cendekiawan utama Jonang yang bernama Taranatha (1575-1634). Pada abad ke-17, pemerintah Tibet yang dipimpin oleh Ordo Gelug menyatakan Ordo Jonang sebagai ilegal dan menutup atau mengkonversi biara-biara mereka dengan paksa. Karya-karya tulis Dolpopa, Taranatha, dan para cendekiawan terkemuka Shentong dilarang untuk dipelajari. Sungguh ironis karena pada waktu itu juga silsilah Gelug banyak menyerap tradisi Kalachara dari Jonang.

Hari ini, Kalachakra dipraktekkan oleh semua (empat) ordo Buddhis di Tibet, meski terutama oleh silsilah Gelug. Ia adalah sadhana tantra utama untuk Ordo Jonang, yang hingga kini beberapa biaranya di Tibet bagian timur masih berdiri. Berbagai usaha sedang dilakukan agar tradisi Jonang secara resmi dinyatakan sebagai tradisi ke-lima dalam Buddhisme Tibet.


Kalachakra dengan sepuluh simbol berkekuatan dharma


Praktek Kalachakra masa kini di dalam Ordo-ordo Buddhis Tibet

Buton Rinchen punya pengaruh yang cukup kuat pada perkembangan tradisi Kalachakra selanjutnya dari Gelug dan Sakya, begitu juga Dolpopa terhadap perkembangan tradisi dari Jonang yang digunakan oleh Kagyu, Nyingma, dan Tsarpa (cabang dari Sakya). Nyingma dan Kagyu sangat mengandalkan komentar-komentar tantra Kalachakra yang panjang dengan pengaruh Jonang yang diberikan oleh Ju Mipham dan Jamgon Kongrul Yang Agung. Kedua guru tersebut punya ketertarikan yang kuat pada tradisi Jonang. Tsarpa, sebagai cabang dari Sakya, mempertahankan silsilah sadhana untuk enam cabang yoga Kalachakra dari tradisi Jonang.

Jadi ada banyak pengaruh lain dan berbagai tambahan yang diberikan antar tradisi yang berbeda (silang tradisi), dan Dalai Lama juga mengatakan bahwa hal tersebut tidak masalah bagi mereka yang telah mendapatkan abhiseka pemberkatan dari salah satu tradisi Kalachakra untuk melakukan sadhana dari tradisi lain.


Vajravega beserta dengan 60 pelindung, lukisan milik Biara Shank di Mongolia


Kontroversi

Tantra Kalachakra kadang masih menjadi sumber kontroversi di Barat karena ada interpretasi dari bagian-bagian dalam literatur tersebut yang menjelekkan agama Islam. Hal ini terutama karena naksah tersebut berisi nubuat tentang perang suci antara penganut agama Buddha dengan mereka yang disebut sebagai “orang barbar” (Bhs. Sansekerta: mleccha). Satu ayat dari Kalachakra (Shri Kalachakra O. 161) menyebutkan, “Sang Chakravartin akan muncul pada akhir jaman, dari kota kuno tempat tinggal para dewa di Gunung Kailasa. Beliau, dengan empat divisi pasukannya, akan mengalahkan semua orang barbar di atas bumi ini dalam peperangan”

Meski Kalachakra meramalkan sebuah perang religius di masa mendatang, hal ini terkesan seperti bertentangan dengan sumpah ajaran agama Buddha Mahayana dan Theravada yang melarang tindakan kekerasan. Menurut Alexander Berzin, Kalachakra tidak mendukung kekerasan terhadap sesama manusia namun terhadap agresi batin dan emosional yang menghasilkan intoleransi, kebencian, kekerasan dan perang. Komentator Gelug pada abad ke-15, Kaydrubjey, menginterpretasikan “perang suci” ini secara simbolis. Ia mengajarkan bahwa hal tersebut mengacu pada peperangan dalam batin si praktisi religius melawan berbagai kecenderungan barbar dan jahatnya. Itulah solusi terhadap kekerasan, karena menurut Kalachakra, kondisi-kondisi eksternal bergantung pada (dipengaruhi oleh) kondisi internal aliran pikiran para insan. Saat dilihat dari sudut pandang seperti itu maka perang yang diramalkan akan terjadi di dalam hati dan emosi. Perang tersebut digambarkan sebagai transformasi dari mentalitas khusus yang suka melakukan kekerasan atas nama agama dan ideologi menjadi kekuatan moral, wawasan dan kebijaksanaan spiritual yang luhur.

Ikonografi Tantra yang meliputi senjata-senjata tajam, perisai, dan mayat juga nampak bertentangan dengan prinsip tanpa kekerasan; namun ia melambangkan berubahnya sifat agresif menjadi sebuah metode untuk mengatasi ilusi dan ego. Baik Kalachakra maupun pelindung dharma-Nya, Vajravega, memegang sebuah pedang dan perisai di tangan kanan dan kiri mereka yang ke-dua. Ini adalah ekspresi kemenangan Buddha atas serangan Mara dan juga perlindungan yang diberikan-Nya kepada semua insan. Periset simbolisme, Robert Beer, menulis hal berikut tentang ikonografi tantra yang berupa senjata dan dia juga menjelaskan mengenai tanah tempat pembuangan mayat:

Banyak peralatan dan senjata ini yang berasal dari arena peperangan yang dipenuhi dengan hawa kemarahan dan alam yang menyeramkan di lokasi pembuangan mayat. Sebagai citra utama yang melambangkan penghancuran, penjagalan, pengorbanan, dan ilmu hitam; senjata-senjata ini direbut dari tangan para iblis dan dirubah – sebagai simbol – untuk melawan akar utama dari sifat iblis tersebut, yaitu: identitas konseptual yang menyayangi diri sendiri yang ternyata malah memunculkan lima racun – kebodohan, hasrat, kebencian, kesombongan, dan iri hati. Di tangan para siddha, dakini, yidam yang marah dan setengah marah, dewata pelindung dan pelindung dharma; alat-alat seperti ini berubah menjadi simbol yang suci, senjata yang mampu merubah (sifat jahat menjadi kesucian), dan sebuah ekspresi welas asih yang penuh kemurkaan para dewata yang tidak segan-segan menghancurkan berbagai macam ilusi yang dihasilkan dari membesarnya ego manusia.

Nubuat ini juga dapat dipahami dan mengacu pada serangan umat Islam ke Asia tengah dan India yang dengan sengaja menghancurkan agama Buddha di daerah-daerah tersebut. Ia juga berisi gambaran-gambaran mendetil tentang para penyerbu di masa mendatang, begitu juga dengan berbagai metode (tanpa kekerasan) yang dianjurkan bagi ajaran-ajaran Buddha agar bisa selamat dari gencarnya serangan ini.

Sebuah interpretasi dari ajaran Buddha yang menggambarkan konflik militer – seperti elemen-elemen Tantra Kalachakra dan Epik Gesar – adalah bahwa ajaran tersebut bisa diberikan (diajarkan) kepada mereka yang punya kecenderungan karma berupa nafsu suka berkelahi, sehingga hati mereka bisa menjadi tenang. Ayat-ayat Kalachakra yang berhubungan dengan peperangan dapat dilihat sebagai ajaran untuk menjauhi ajaran religius manapun yang membenarkan adanya perang dan kekerasan (atas nama agama), dan untuk merangkul ajaran kasih sayang dan welas asih.

Sebuah bagian lain dari ajaran Kalachakra menggambarkan wanita dalam cara yang sangat negatif. Dalai Lama, saat memberikan ajaran Kalachakra di Illinois tahun 1999, bahkan sempat berhenti sebentar saat menafsirkan ajaran ini hingga meminta maaf berhubung naskah tersebut terdengar cukup kasar saat membahas mengenai wanita dan beliau memberikan catatan bahwa bagian tersebut ditujukan kepada para bhiksu yang harus menghindari wanita. Kontroversi lebih lanjut, terutama di Barat, berkisar pada dimensi seksual dari ajaran tersebut dan juga pada pasangan yang bersatu yang digambarkan secara vulgar dalam lukisan-lukisan Kalachakra. Kondisi gembira dari persenggamaan adalah bagian mendasar dalam Tantra Yoga Tertinggi – di mana Kalachakra termasuk dalam kategori ini, tapi semua orang telah diperingatkan untuk tidak melatih sadhana ini karena faktor-faktor bawaan manusia akan dengan mudah mengotori apa yang seharusnya merupakan sadhana yang bersih dan mulia.

Ayat-ayat yang kontroversial mengenai perang suci, yang kemungkinan besar telah dimasukkan ke dalam tradisi Kalachakra saat penyebaran agama Islam secara besar-besaran di India bagian utara di mana agama Buddha telah mengalami kemunduran, kemudian di jaman moderen dibajak dan digunakan oleh beberapa penyiasat yang neko-neko (punya agenda terselubung) dari Sayap Kiri dan Sayap Kanan untuk kepentingan politik mereka. Berbagai aktivitas yang patut dipertanyakan ini, begitu juga dengan ayat-ayat yang disebutkan di atas dari literatur kuno Kalachakra mengenai perang suci dan penggunaan seksualitas untuk keperluan ritual, memicu Victor dan Victoria Trimondi, dua orang penulis dan ahli filosofi dari Jerman, untuk melancarkan kritik yang radikal mengenai tradisi Kalachakra secara keseluruhan. Namun di sisi lain, Alexander Berzin, salah satu murid terkemuka dalam Buddhisme Tibet, mencoba memberikan penjelasan yang seimbang dan jelas mengenai tradisi yang sama.