GATE GATE PARA GATE PARASAMGATE BODHI SVAHA
Pada saat Yang Arya Bodhisatva Avalokitesvara sedang dalam kegembiraan yang mendalam atas meditasi perenungan Kebijaksanaan Sempurna (Prajnaparamita),
Beliau memandang dari atas dan tertampaklah bahwa panca skandha (lima kelompok penopang kehidupan) itu sebenarnya kosong. Hingga akhirnya, Ia mengatasi semua penyakit dan penderitaan.
Wahai Sariputra, bentuk (rupa) tidaklah dapat dibedakan dari kekosongan (sunyata), dan kekosongan tidak dapat dibedakan dari bentuk. Bentuk adalah kosong dan kosong adalah bentuk. Demikian juga perasaan (vedana), pencerapan (sanna), pikiran (sankhara), kesadaran (vinnana).
Wahai Sariputra, segala sesuatu (dharma) bercorak sunyata; mereka tak muncul, juga tak berakhir; tidak kotor, juga tidak murni bersih, tidak kurang, tidak
lengkap/bertambah.
Oleh karena itu, di dalam kekosongan, tiada bentuk, perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. Tiada juga mata (caksuh), telinga (srotram), hidung
(grahnam), lidah (jihva), badan (kaya), batin (manasa). Tiada bentuk (rupa), suara (sabda), bau (gandah), rasa, sentuhan (sparstavyam), maupun dhamma. Tiada unsur penglihatan (caksu dhatu), hingga tiada unsur pikiran
dan kesadaran (mano-vinnanam dhatu). Tiada kebodohan (avijja), tiada akhir kebodohan (avijja-ksayo), hingga tiada usia tua dan kematian (jaramaranamksayo), tiada akhir dari usia tua dan kematian. Demikian pula, tiada penderitaan (dukkha), asal mula dukkha (samudayah), lenyapnya dukkha (nirodha), jalan menuju lenyapnya dukkha (marga). Tiada kebijaksanaan (jahna), pencapaian (prapti), dan akhir pencapaian (abhi samaya).
Demikianlah, karena bodhisatva tidak mempunyai apa yang perlu dicapai, Ia berada dan berdiam di dalam prajnaparamita. Tiada rintangan dalam pikiran. Tanpa rintangan dalam pikiran, Ia tidak memiliki rasa takut serta tiada rintangan kesempurnaan. Hingga akhirnya, Ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibbana Sejati.
Buddha dari ketiga masa --- lalu, sekarang, mendatang -- dengan bersandar pada Prajnaparamita mencapai kebuddhaan pada tingkat yang tiada tara, yaitu
samyaksambodhi. Oleh karena itu Prajnaparamita adalah mantra pengetahuan agung, mantra tiada tanding, mantra tertinggi, mantra yang pasti dapat melenyapkan semua dukkha, yang di dalamnya tiada cacat, harus dipahami sebagai kebenaran.
Kita akan membedah dan mengambil saripati dari Sutrabuddhis ini, bukan untuk mengagungkan suatu agama, namun untuk mencari jawaban dari apa yang Dee tanyakan. Umat Buddha melihatnya dalam perspektif keimanan, sedangkan kita akan meng4nalisanya secara jernih dan lirih dalam perspektif filsafat, sebab lewat filsafat barat dan timurlah saya mendapat perpektif baru dalam hidup ini
Latar Belakang Sutra Hati
Sutra Hati Prajna Paramita mungkin adalah sutra yang paling pendek, sederhana, ringkas, namun juga paling tinggi nilai pencerahannya. Itulah mengapa ia disebut hrdaya sutra atau Sutra Inti, Sutra Hati, atau Sutra Jantung; jantung dari Jalan Pencerahan Para Buddha.
Secara umum banyak ahli yang mengatakan bahwa Sutra Hati ini adalah ringkasan dari Sutra yang lebih panjang yaitu Sutra Maha Prajna Paramita. Ada juga yang mengatakan bahwa penulis Sutra Maha Prajna Paramita dan Sutra Hati Prajna Paramita itu adalah Yogi Nagarjuna, salah satu penggagas filsafat Madhyamika.
Kita tidak tahu dengan pasti. Namun yang jelas sutra Hati ini pastilah ditulis oleh seseorang dengan kemampuan ****isa dan kedalaman kebijaksanaan yang luar biasa.Kita dapat berandaiandai bahwa dalam kedalaman meditasinya, ia seakan-akankembali pada jaman Buddha Gautama ketika sedang berbicara pada Sariputra, muridnya yang paling cerdas. Buddha memaparkan rahasia inti dari jalan pencapaian menuju Nibanna
Kemunculan sutra-sutra Mahyana ini adalah sebagai berikut:
Kira-kira 400 sampai 500 tahun setelah mangkatnya Pertapa Gautama, Buddhisme telah tersebar di berbagai tempat di anak benua India sampai ke tempat sejauh Mesir dan Persia. Sekalipun demikian Buddhisme di India mengalami degradasi. Banyak para petapa yang mementingkan keheningan pertapaan dari pada memberi dampak nyata pada manusia sekitarnya. banyak pula para pertapa yang menjadikan pertapaan sebagai pelarian kekanak-kanakan dari beratnya hidup. Banyak bikkhu dan kaum awam yang menjadikan
kehidupan membiara sebagai ladang mencari nafkah. Antara satu sekte dengan sekte lain sibuk mengagungkan sutra dan vinaya mana yang lebih asli, lebih agung dan lebih adiluhung. Dan mereka meninggalkan panggilan untuk berbuat dan berbuah bagi m****ia lainnya, yaitu kaum awam.
Di sisi lain agama Brahmana, agama inti dari Hinduisme, yang darinya Buddhadharma lahir justru lebih mendapat tempat di hati masyarakat. Brahmanisme, bukannya menyusut setelah Buddhisme lahir dan berkembang, justru Brahmanisme makin kuat tertancap di hati masyarakat India. Mengapa? Karena berbeda dengan Buddhisme yang terlalu rasional, kering dalam perayaan dan terlalu berfokus pada kehidupan membiara, Brahmanisme justru agama perayaan, agama rakyat dan agama penyembahan. Rakyat tidak butuh rasionalitas yang tajam tapi kering. Rakyat butuh sesuatu yang darinya kita mencerminkan moral dan harapan, dan mencerminkan permasalahan dari
kehidupan sehari-hari.
Ada pepatah yang mengatakan :
?Jika kita hendak merubuhkan pagar di depan rumah kita,hendaknya kita bertanya dahulu pada ayah dan kakek kita, kenapa mereka dulu mendirikan pagar tersebut.?
Kiranya hal ini terjadi pada Buddhisme. Pada awal kelahirannya, Buddhisme, sekalipun melalui cara-cara yang intelek dan beradab, berusaha ?membunuh? ajaran tentang para dewa dan segala tek-tek bengek persyaratan pemujaannya.
Pertapa Gautama, seorang pangeran yang sangat intelek, menolak ketuhanan yang bersifat pribadi dan menjinakan kekuasaan para dewa dalam benak rakyat India. Dengan menolak suatu ketuhanan yang berpribadi maka sebenarnya Gautamalah yang lebih dulu mendeklarasikan tuhan telah mati ? jauh sebelum Nietzsche melakukannya.
Seperti seorang teman saya pernah katakan ?Buddha Gautamalah yang telah berhasil membunuh tuhan secara beradab, dan tradisi pembunuhan tuhan itu dilestarikan dalam semangat Theravada.?
Sebelum masa Gautama rakyat India terilusi dengan dewa-dewi sebagai suatu pribadi-pribadi yang ajek, nyata, faktual dan secara signifikan mengurusi hajat hidup m****ia. Namun setelah Gautama membabarkan dharmanya, rakyat India mulai sedikit demi sedikit mengarahkan perhatiannya dari dewa-dewi sebagai pribadi yang ajek - kepada gambaran yang lebih abstrak yaitu potensi sifat-sifat luhur dari dirinya sendiri. Dewa-dewi adalah simbol dari nilai-nilai luhur dari manusia itu sendiri.
Dalam kisah-kisah Theravada dan juga Mahayana dikisahkan bagaimana para dewa dan para Brahma sendiri menghormat kepada Buddha, yang adalah seorang manusia.
Apakah artinya ini? Ini berarti bahwa yang lebih mulia dari semua yang ada adalah manusia itu sendiri, manusia yang telah sadar, manusia yang memancarkan semua hakekat kebijaksanaan dan semangat altrusitik.
Buddha adalah simbol dari manusia yang telah tercerahkan, sehingga dewa-dewa, yang adalah simbol dari elemen-elemen semesta dan nilai-nilai luhur manusia, dan para Brahma, simbol dari kesadaran alam semesta yang halus, tunduk pada Buddha.
Manusialah yang memunculkan kisah-kisah kedewaan dan sifat-sifat luhur itu, tanpa manusia semua itu tidak akan muncul. Maka dari pada itu, tujuan dari memuja sifat-sifat luhur itu tiada lain adalah terwujudnya manusia yang berintegritas, manusia yang memiliki karakter yang luhur, mulia dan suci. Itulah Buddha. Dan kepada manusia dengan kesadaran tinggi sedemikian itu, semua elemen semesta dan kesadaran luhur bersinergi dan berharmoni.
Ini adalah rahasia. Inilah pengetahuan tingkat tinggi. Dan ini terlalu rasional sekaligus terlalu samar, bukan saja bagi kaum awam, tetapi juga bagi para bikkhu yang kesadarannya belum mencapai inti ajaran Buddha.
Para bikkhu dari aliran Utara merasakan hal yang sama. Mereka menyadari betapa Buddhisme telah begitu jauh dari rakyat, betapa para bikkhu telah begitu eksklusif dengan kehidupan biara mereka. Padahal rakyat yang awam tidak banyak meminta. Rakyat awam tidak banyak menuntut bikkhu untuk menjabarkan hal yang mendetil dan samar. Rakyat hanya membutuhkan jawaban real dari permasalahan mereka. Rakyat membutuhkan jawaban doa, rakyat membutuhkan pegangan moral, rakyat membutuhkan ia yang dengannya manusia bisa mencurahkan segala keluh kesah kehidupan, segala beban derita yang ditimbulkan dari permasalahan keluarga, permasalahan mencari nafkah dsb. Dan hal itu kurang mendapat respon dari para sebagian bikkhu yang seakan-akan terlalu remeh untuk menanggapi permasalah psikologis m****ia.
Para Bikkhu dan yogi dari Aliran Utara menyadari bahwa secara psikologis pantheon dewa-dewi yang dulu ditundukkan oleh Buddhisme ternyata masih diperlukan bagi umat awam, asalkan umat disadarkan bahwa ujung dari perjalanan rohani bukanlah pemujaan kepada dewa-dewi melainkan pada pemekaran diri yang berbuahkan sifat-sifat mulia. Dengan demikian maka para yogi dan bikkhu Aliran utara mendekonstruksi dan mereinterpretasikan ajaran Buddha dengan kearifan lokal saat itu, demikianlah para Boddhisatva dan Buddha ahistoris sebagai simbol dari sifat-sifat mulia dimunculkan dalam wacana-wacana keagamaan, devosi dan perayaan.
Jika Buddhisme aliran Selatan berfokus pada arahat, yaitu manusia yang telah tercerahkan, yang jalannya hanya bisa dilalui lewat jalan hidup membiara, maka Buddhisme aliran Utara berfokus pada jalan Boddhisatva, yaitu manusia ideal yang sadar dan berkelimpahan dalam sifat-sifat altruistik / mulia dan tetap berada bersama-sama manusia untuk bersama-sama mencapai Nibanna.
Jalan ke-bodhisattva-an bukanlah eksklusif milik para bikkhu, tetapi suatu wahana besar, wahana umat awam dan para bikkhu dan bikkhuni. Siapapun yang yang terpanggil untuk mewujudkan sifat-sifat mulia dan cinta pada segala mahluk, tergerak untuk membebaskannya dari belenggu derita - itulah bodhisattva.
Bodhisattva adalah calon Buddha, Bodhisattva adalah perwujudan Buddha itu sendiri. Buddha dan Bodhisattva bisa mewujud dalam diri siapapun, termasuk para perumah tangga. Dan pemahaman ini tertuang dalam Sutra Vimalakirti Nirdesa. Sutra ini menerangkan tentang seorang Buddha yang konon hidup di masa Buddha Guatama hidup, yang telah mencapai pencerahan sempurna, sekalipun hidup berumah tangga dan melakukan aktivitas sebagai perumah tangga.
Sekalipun setiap orang yang rindu mewujudkan idea-idea altruistik bisa disebut bodhisattva, namun ada juga figure-figur buddha dan bodhisattva langit, yang tidak menyejarah, personifikasi dari bersatunya kesadaran luhur m****ia dan respon dari alam semesta yang berfungsi sebagai devosi dan cermin kesadaran dari manusia pemujanya.
Jadi dengan mewacanakan figure-figur bodhisattva, sebenarnya Buddhisme mengambil pola-pola kedewaan yang sama dengan agama-agama India lainnya, dalam hal ini Brahmanisme / Shivaisme. Bedanya, dewa-dewi dalam hinduisme bersifat statis dan ilahi semata, sedangkan dalam figure bodhisattva ? m****ia mengambil peran disana. Bahkan perjalanan kultivasi bodhisattva sendiri adalah menjadi Buddha, manusia yang telah tersadarkan.
Di satu sisi boddhisatva dan Buddha menjadi obyek devosi, di sisi lain dipahami bahwa kesadaran boddhisatva itu adalah kesadaran dalam diri manusia sendiri. Inilah dialektika bodhisattva dalam Mahayana, yang sayangnya tidak dipahami oleh umat awam.
Dari banyak Buddha dan Bodhisattva langit yang dikenal dalam Mahayana, yang paling besar adalah Buddha Amitabha, Bodhisatva Ksitigarba, Bodhisattva Maha Tsamaprapta dan Bodhisattva Avalokitesvara. Dan di dalam sutra ini kita akan bertemu dengan Bodhisattva Avalokitesvara.
Dari banyak Buddha dan Bodhisattva langit yang dikenal dalam Mahayana, yang paling besar adalah Buddha Amitabha, Bodhisatva Ksitigarba, Bodhisattva Maha Tsamaprapta dan Bodhisattva Avalokitesvara. Dan di dalam sutra ini kita akan bertemu dengan Bodhisattva Avalokitesvara. Sutra Hati adalah sutra yang mengisahkan tentang penjelasan Dharma dari Buddha Gautama kepada muridnya yang paling cerdas, yaitu Sariputra, tentang bagaimana Bodhisattva Avalokitesvara mencapai pencerahan sempurna.
Pada saat Yang Arya Bodhisatva Avalokitesvara sedang dalam kegembiraan yang mendalam atas meditasi perenungan Kebijaksanaan Sempurna (Prajnaparamita),
(*) Siapakah Yang Arya Avalokitesvara ? Yang Arya berarti Yang Mulia, suatu gelar yang diberikan kepada seseorang yang dianggap luhur dan bijaksana. Avalokitesvara, sebagaimana yang kita ketahui adalah figur bodhisatva langit yang dimunculkan dalam wacana Mahayana.
Nama Avalokitesvara berasal dari 3 kata :
? Avalok = yang melihat ke bawah (ditengarai bahwa kata ?look?
dalam bahasa Inggris berasal dari kata Sanskrit ? lok)
? Lokite = dunia (dari sinilah kata local berasal)
? Isvara = tuhan / dewa (memakai istilah dari brahmanisme,
merujuk pada Shiva)
Jadi Avalokitesvara adalah tuhan yang melihat ke bawah, mendengar dan menjawab keluh kesah dunia. Avalokitesvara adalah paralelisme Shiva dalam kesediaannya untuk menanggung penderitaan dunia, yang juga disebut Nilakanta. Avalokitesvara juga adalah paralelisme Visnu dalam kesabaran, cinta kasih dan pengayoman segala mahluk hidup.
Jadi avalokitevara adalah personifikasi dari kerahmanian dan kerahiman alam semesta ini. Dalam berbagai budaya Avalokitsvara diasimilasikan dalam konteks kelokalan, di China menjadi Dewi Welas Asih atau Kuan Yin, di Indonesia jadi Dewi Sri, Dewi Kesuburan bumi, yang adalah sebutan lain bagi Bodhisattva Tara Hijau.
Avalokitesvara mengambil banyak bentuk sesuai dengan aspirasi si pengusung. Ada Avalokitesvara sebagai pemberi anak bagi mereka yang menginginkan anak. Ada Cintamani Cakravarti Avalokitesvara, sebagai pemberi keberkahan.
Avalokitesvara dikenal sebagai ia yang bertangan seribu dan bermata seribu, sebagai simbol dari kesediaannya untuk membantu dan mengayomi seluruh mahluk. Bagi para sadhaka Tantra, Avalokitevara juga dikenal sebagai Baghavati Cundi - Bunda Milyaran para Buddha, paralelisme dari Dewi Durga, yang membantu para sadhaka mencapai penyempurnaan sampai kesadaran para buddha. Singkatnya Avalokitesvara adalah personifikasi dari Isvara, Hare / tuhan, Brahma, Shiva dan Visnu.
Namun di dalam sutra ini, Avalokitesvara bukan sematamata suatu figur ilahi yang terpisah dari manusia. Avalokitesvara adalah simbol dari kesadaran manusia yang inheren. Avalokitesvara adalah tipologi dari manusia-manusia unggul yang terpanggil untuk menapaki jalan kemuliaan, mencapai kesadaran dan membawa sebanyak mungkin manusa ke dalam jalan kebajikan. Inilah dialektika ala Buddhisme. Di satu sisi Avalokitesvara dipuja sebagai Isvara / tuhan, di sisi lain ia tunduk pada Buddha, ia terus menerus mengumpulkan parami / kebijaksanaan untuk memberkahi manusia. Ia tidak lelah menambah pengetahuan dharma dan terus menerus menetap di bumi untuk menolong umat manusia. Lihatlah, konsep tuhan yang sungguh berbeda dengan tuhan ala hindu dan samawi yang sangat statis berada di langit. Mengapa? Karena Avalokitesvara adalah gambaran kesadaran laten yang ada pada manusia itu sendiri.
Merujuk kepada konsep Tiga Suciwan dari Barat :
1. Amitabha melambangkan kerinduan akan kesempurnaan ? summum bonum.
2. Maha Stamaprapta melambangkan kecerdasan dan kebijaksanaan ? sophia.
3. Avalokitesvara melambangkan cinta kasih dan pengayoman ? agape.
Jadi dalam Sutra Hati ini penulis sutra mencoba membawa para pembacanya untuk menempatkan dirinya sebagai Avalokitesvara yang tengah bergembira dalam perenungan Prajna Paramita yang mendalam itu.
(*)Prajna Paramita
Apakah Prajna Paramita? Prajna berarti Kebijaksanaan. Paramita berarti sempurna.
Bodhisattva bukanlah orang yang mencari ilmu mejik, atau mencari pengalaman mistis, atau pengalaman metafisik paranormalik, sama sekali bukan. Bodhisattva adalah mereka yang kesadarannya telah terpanggil untuk bertransformasi, keluar dari cangkang kedirian yang sempit dan membuahkan sesuatu yang bernilai luhur bagi dirinya dan segala mahluk.
Dalam transformasi itu ada perenungan akan enam kesempurnaan yang harus direalisasikan, yang disebut sad paramita (enam kebijaksanaan sempurna):
1. Kesempurnaan dalam Kemurahan Hati (Dana Paramita)
2. Kesempurnaan dalam Perbuatan Baik (Sila Paramita)
3. Kesempurnaan dalam Kesabaran (Ksanti Paramita)
4. Kesempurnaan dalam Semangat (Viriya Paramita)
5. Kesempurnaan dalam Perhatian (Dyana Paramita)
6. Kesempurnaan dalam Kebijaksanaan (Panna Paramita)
Mengatasi Segala Penderitaan
Dan dalam perenungan yang mendalam atas transformasidiri ke arah yang lebih mulia ternyata ?..
Beliau memandang dari atas ke bawah / mendapat pemahaman; tertampaklah, bahwa panca skandha (lima kelompok kehidupan) itu sebenarnya kosong. Hingga akhirnya, Ia mengatasi semua penyakit dan penderitaan.
Dalam wacana awal budhisme, manusia dipahami sebagai entitas yang terdiri dari nama dan rupa, yang berarti mental dan bentuk. Nama rupa ini disebut sebagai 5 khanda / gugus yang menopang kehidupan manusia. yaitu:
1. rupa (bentuk jasmani)
2. vedana (perasaan),
3. samjna (pencerapan),
4. samskara (bentuk-bentuk mental), dan
5. vijnana (kesadaran akan kedirian).
Kepada setiap meditator pertapa Gautama selalu menekankan pentingnya perenungan akan tiadanya ?aku? sebagai entitas yang ajek. ?Baik dari apa yang dirasakan, dilihat, dikecap, disadari, dicerap, ketahuilah oh para bikkhu, bahwa tiada aku (I), diriku (me), dan kepunyaanku (mine) disana.?
Maksud dari Pertapa Gautama adalah jelas, bukan berarti tidak ada kedirian itu, tetapi menyadari bahwa kedirian itu bersifat sementara, hanya suatu momen kini dan di sini saja. Namun banyak penganut buddhis menangkapnya sebagai
kenihilan diri yang bersifat dogmatis.
Apa yang disebut kedirian adalah suatu arus pembentukan yang dirajut oleh begitu banyak elemen, momen dan kondisi. Karena ia dirajut oleh begitu banyak elemen, maka ia tidak memiliki suatu inti yang kekal. Kedirian ini adalah wadah yang terus berubah sesuai dengan kondisi elemen-elemen yang menggagasnya.
Dengan memahami hal ini secara gradual dan konsisten maka terbebaslah para meditator dari kemelekatan akan konsep diri sebagai ADA yang utuh yang berdiam dalam tubuh, tidak berubah dan selalu mengembara dari satu bentuk kehidupan kepada bentuk kehidupan.
Ia yang terilusi dengan adanya aku yang utuh, kekal, abadi, dan berada terpisah dari tubuh akan mengalami ketakutan ketika datang momen-momen kehilangan, sakit penyakit, penuaan dan kematian.
Sebaliknya ia yang sadar bahwa kita hanyalah penjadian, proses kemenjadian yang terkena akan proses-proses alam, akan menyambut setiap kebahagiaan, kesedihan, pertemuan, perpisahan, kelahiran dan kematian.
Dua Sisi Berbeda Dari Koin Yang Sama
Wahai Sariputra, bentuk (rupa) tidaklah dapat dibedakan dari kekosongan (sunyata), dan kekosongan tidak dapat dibedakan dari bentuk. Bentuk adalah kosong dan kosong adalah bentuk. Demikian juga perasaan (vedana), pencerapan (sanna), pikiran (sankhara), kesadaran (vinnana).
Banyak orang yang keliru memahami kata-kata ini.
Benarkah kosong itu sama dengan bentuk? Bagaimana mungkin ada sama dengan tidak ada? Mana mungkin tidak ada uang didompet bisa dibilang ada uang? Bukan. Bukan demikian maksud penulisan Sutra Hati ini.
Kita harus memahami khazanah berpikir Buddhisme. berbalik tolak pemikiran Buddhisme ada pada Tilakhana atau tiga corak umum kenyataan kesegalaan yang ada. Menurut Buddhisme
segala yang ada bersifat :
1. Anica (ketidak kekalan),
2. Dukkha (ketidak memuaskan),
3. Anata (ketiadaan inti yang kekal).
Seperti yang tertuang dalam Dhammapada sloka 277,278,279
Segala sesuatu yang berkondisi adalah anicca. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian. Segala dhamma (kebenaran) adalah anatta. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Darimana penderitaan itu datang? Dari pengharapan kita yang tidak realistis akan nature dari hidup.
? Kita mengharapkan segala sesuatu langgeng, menguntungkan bagi pihak kita.
? Kita berharap segala sesuatu itu berpihak pada kita dan menjamin kebahagiaan kekal.
? Kita berharap segala sesuatu ada tetap, tidak berkembang, menyusut dan layu.
? Dengan segala usaha kita menutupi kenyataan yang ada bahwa hidup ini tidak abadi, tidak menjamin kepuasan sempurna dan tidak statis.
Apa yang dipakai sebagai ukuran bahagia, menyenangkan, menyukakan, ternyata tidaklah real. Ia ada, memang ada, namun ditopang oleh berbagai kondisi.
Mereka yang menyadari hal ini, yaitu bahwa segala sesuatu bersifat tidak kekal, tidak menjamin kepuasan mutlak, dan tiada hakekat inti, dengan sendirinya terlepas dari ilusi untuk terus mempertahankan status quo. Ia bebas lepas menghadapi, menjalani dan merayakan kehidupan ini apa adanya.
Wahai Sariputra, segala sesuatu (dharma) bercorak sunyata; mereka tak muncul, juga tak berakhir; tidak kotor. juga tidak murni bersih, tidak kurang, tidak lengkap / bertambah.
Bagi saya pribadi, inilah puncak pemahaman mereka yang tercerahkan. Gautama, bukanlah Buddha omong kosong, sebab ia mengilhami kita dengan pencerahan yang luar biasa pada masanya dan menancapkan pemahaman yang begitu dalam dan halus bagi orang-orang sesudahnya. Di sebelah barat banyak para nabi dan tokoh agama besar lahir setelah Pertapa Gautama, namun tak ada mampu yang melebihi kebijaksanaan dan kedalaman dan kehalusan dharma dari Gautama yang mampu membelah dualitas.
Sebagian besar keyakinan lain sampai sekarang masih terjerembab dalam perdebatan idea tentang yang suatu tuhan yang absolute, mutlak benar, berfirman begini begitu dan mengangkat nabi ini dan itu. Sementara agama-agama timur, yang lahir dari kedalaman perenungan, telah beranjak naik dari kesumpekan dualitas.
Kepada Sariputra, muridnya yang terpandai, ia nyatakan bahwa biarpun ada kebenaran yang harus dicapai, ada disiplin yang harus diterapkan, ada tata nilai dan etika yang harus diemban, namun pada dasarnya semua bentuk kebenaran, prinsip, metoda, sabda, dharma adalah sunyata, kosong, tiada inti.
Ingatlah Sariputra, segala bentuk dharma, metoda, jalan, prinsip, tata nilai ? bersifat kosong ? tiada inti. Segala dharma / prinsip kebenaran / metoda ada karena diadakan. Diadakan oleh siapa? Diadakan oleh elemen-elemen yang mendukung pemunculan dharma itu.
Tidak ada kebenaran yang muncul dari langit, sebagai hadiah dari seorang dewa atau ilah atau tuhan yang bertahta di surga sana. Semua kebenaran dipahami dan dipeluk oleh m****ia, dalam horizon ruang dan waktu sebagai usaha m****ia dalam pencarian makna hidupnya di ****i ini.
Banyak orang di dunia ini yang masih terilusi dengan adanya suatu kebenaran agama yang mutlak. Padahal mutlak atau tidak mutlak berada di pikiran si pemercayanya saja. Ketika pemikiran si pemercaya itu berkembang, apa yang mutlak sekarang, belum tentu mutlak nantinya. Mengapa? Karena segala kebenaran itu bersifat sunyata, kosong, tiada inti, ia dimunculkan karena adanya faktor-faktor yang mendukung kemunculannya. Jika tidak ada faktor faktor pendukung kemunculan itu, maka sirnalah kebenaran itu.
Anda mau contoh lebih real? Mari kita ambil salah satu petikan -edited- yang konon, menurut mitos, diberikan xxx di gunung:
?Janganlah engkau membunuh!?
Perintah ini, tidak akan pernah ada kalau tidak ada elemen-elemen yang mendukung kemunculannya. Apakah elemen tersebut?
? karena adanya subyek yang melakukan pembunuhan
? karena adanya kegiatan pembunuhan pada si obyek.
? karena adanya obyek yang terbunuh, atau dicoba dibunuh.
? karena adanya sebab dan kondisi yang memungkinkan adanya pembunuhan itu.
? karena adanya sakit yang ditimbulkan dari terbunuhnya seseorang bagi keluarga dan handai taulan yang ditinggalkan.
Jika tidak ada orang yang membunuh, tidak ada contoh kasus pembunuhan, tidak ada yang dibunuh, tidak ada sebab dan kondisi yang memungkinkan mengacu pada pembunuhan itu, jika tidak ada orang yang merasa dirugikan dari terbunuhnya seseorang, adakah larangan itu muncul? Tidak.
Siapakah yang memberi hukum itu? M****ia sendiri. Tepatnya m****ia yang mencari nilai-nilai yang dianggapnya benar, menjamin keadilan dan ketentraman bagi dirinya dan sesama. Jelas ini bukan diberikan oleh suatu pihak ilahi diseberang sana.
M****ialah yang memunculkan kesadaran tentang sesuatu yang dianggap baik, bernilai, bermakna bagi dirinya, seturut dengan evolusi kesadarannya.
"Tanpa Nama demikianlah awal ****i dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda.
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya;
keduanya berpasangan walau namanya berbeda;
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"
Demikianlah penggalan ayat-ayat awal dari kitab Tao Te Ching, karya Lao Tze, yang hidup hampir sejaman dengan Pertapa Gautama.
Tanpa deskripsi, tanpa penamaan, tanpa penilaian, itulah hal ihwal dari segalanya. Dengan kita mendeskripsikan, memberi nama atau label, menilai ? dari sinilah konsep diciptakan.
Dalam upaya untuk mendeskripsikan dan memaknai kehidupan, maka terciptalah segala penilaian dan pembedaan. Tanpa motif demikian - dari mana pembedaan itu tercipta?
Ketika m****ia mengenal bahasa ia melabeli segala sesuatu dalam dualitas
? ada murni ? maka ada kotor
? ada tinggi ? maka ada rendah
? ada suci ? maka ada yang tak suci
? ada halal ? maka ada yang haram
Kehidupan menjadi seperti yang kita pahami, rasakan dan persepsi manakala kita memandang dan menilai-nilai kehidupan. Tanpa penilaian seperti demikian kehidupan adalah kehidupan tiada label pembeda. Kehidupan hanyalah arus penjadian tanpa label. Tanpa nilai.
Kehidupan menjadi seperti demikian dan demikian, manakala dipahami dengan persepsi demikian. Tanpa persepsi demikian, tidak akan ada kehidupan yang sedemikian.
Baik itu memakai persepsi atau tidak, dua-duanya merajut nilai dan makna hidup. Ada dan tidak ada adalah dua sisi dari koin yang sama.
Dari manakah konsep muncul dan tidak muncul, berakhir dan tidak berakhir, kotor dan bersih, murni dan bernoda, kurang dan lengkap itu berasal ? Jawabnya : dari penilaian kita, dari persepsi kita dalam memaknai kehidupan.
Dan persepsi itu ternyata tidak berdiri sendiri, tidak mutlak ada. Persepsi ada karena ada kondisi yang melahirkan persepsi itu, yaitu karena ada pemikiran, karena ada kita, m****ia yang melabeli kehidupan.
Tanpa ada m****ia, maka tidak akan muncul konsep kemunculan dan ketidakmunculan, kelahiran dan kematian, kesucian dan ketidaksucian, kemurnian dan ketidakmurnian.
Life is life with or without humankinds who always bother to value life on their own tastes.
Hidup adalah hidup, dengan atau tanpa m****ia yang selalu ribut menilai-nilai segala sesuatu seturut seleranya.
Tesa - Anti Tesa dan Sintesa, Serta Semangat Dekonstruksi Ala Gautama
Oleh karena itu, di dalam kekosongan, tiada bentuk, perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. Tiada juga mata (caksuh), telinga (srotram), hidung
(grahnam), lidah (jihva), badan (kaya), batin (manasa). Tiada bentuk (rupa), suara (sabda), bau (gandah), rasa, sentuhan (sparstavyam), maupun dhamma. Tiada unsur penglihatan (caksu dhatu), hingga tiada unsur pikiran dan kesadaran (mano-vinnanam dhatu). Tiada kebodohan (avijja), tiada akhir kebodohan (avijja-ksayo), hingga tiada usia tua dan kematian (jaramaranamksayo), tiada akhir dari usia tua dan kematian. Demikian pula, tiada penderitaan (dukkha), asal mula dukkha (samudayah), lenyapnya dukkha (nirodha), jalan menuju lenyapnya dukkha (marga). Tiada kebijaksanaan (jahna), pencapaian (prapti), dan akhir pencapaian (abhi samaya)
Pada tahun awal-awal pengabdiannya Pertapa Gautama tak lelah-lelahnya membangung psikologi m****ia berdasarkan perspektif yang ia tempuh. Ia memformulasikan ajaran-ajaran fundamentalnya secara mengesankan dalam 4 Kesunyataan / Kebenaran / Kenyataan Luhur, yaitu :
? kebenaran tentang adanya penderitaan (Dukkha)
? kebenaran tentang adanya sebab-sebab penderitaan (Dukkha Samudaya)
? kebenaran tentang adanya lenyapnya penderitaan (Dukkha Niroda)
? kebenaran tentang jalan berunsur 8 menuju akhir Dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga)
Jalan berunsur delapan menuju lenyapnya penderitaan adalah :
1. Pengertian Benar
2. Pikiran Benar
3. Ucapan Benar
4. Perbuatan Benar
5. Mata Pencaharian Benar
6. Usaha Benar
7. Perhatian Benar
8. Konsentrasi Benar
Dalam mengembangkan Perhatian dan Konsentrasi Benar, Pertapa Gautama menekankan pentingnya kewaspadaan dalam melihat unsur-unsur yang membentuk persepsi m****ia, yaitu :
? mata (caksuh) dan aktvitasnya penglihatannya, apa yang menarik/tidak menarik bagi mata dan apa yang netral.
? telinga (srotram) dan aktivitas pendengarannya, apa yang menimbulkan ketertarikan bagi telinga untuk mendengarnya/tidak menyukakan bagi telinga, dan apa yang netral.
? hidung (grahnam) dan aktivitas penciumannya, apa yang menimbulkan kegembiraan/ketidak sukaan bagi hidung untuk menciumnya, dan apa yang bersifat netral.
? lidah (jihva) dan aktivitas pengecapannya, apa yang menimbulkan selera/ ketidakseleraan bagi lidah untuk dikecap, dan apa yang bersifat netral.
? badan (kaya) dan aktivitas ragawi yang dilakukan badan, apa
yang menimbulkan kenyamanan/ketidaknyamanan untuk dilakukan badan, dan apa yang netral.
? batin (manasa) dan aktivitas mencerap dan menginternalisasikan
nilai pengalaman-pengalaman subyektif, apa yang enak, indah dan berkenan, apa yang tidak dan apa yang netral.
Jika bahasan tadi di atas menyoal m****ia sebagai subyek yang beraktivitas, sekarang Buddha menyoal tentang obyek, nilai dan persepsi yang ditimbulkan dari aktivitas si subyek, yaitu bentuk (rupa), suara (sabda), bau (gandah), rasa, sentuhan (sparstavyam), maupun dhamma (konsep).
Semua arus kemunculan dan pengembangan, penyusutan dan hilangnya fenomena bathin dalam indra dan pikiran di****isa dalam meditasi pandangan terang, meditasi kebijaksanaan yang membelah dualitas. Dari semua fenomena itu diperiksa, adakah sebenar-benarnya aku, diriku, dan kepunyaanku (I, me, mine) yang kekal dan tak terkondisi?
Demikianlah sebagian inti fondasi Budhisme dalam kacamata psikologi meditasi. Namun di akhir pengabdiannya justru Buddha menegasikan sendiri fondasi yang dahulu ia formulasikan. Mengapa? Karena ia melihat bahwa bathin sebagian muridnya sudah cukup tinggi untuk menangkap makna terdalam dari pengajarannya. Dulu ia menawarkan tesa, sekarang ia menyuguhkan an****esa, agar tercipta sintesa dari semua ajarannya.
Tesa, anti tesa dan sintesa adalah elemen dari evolusi peradaban, entah itu dalam ranah materi, ataupun dalam laku spiritual. Tesa dan anti tesa adalah dua sisi dari satu keping uang yang sama. Dan sintesa itu adalah nilai kegunaan dari si koin itu tadi, yang tidak akan ada tanpa salah satu sisi koinnya.
Tesa itu diadakan karena suatu kondisi dan permaksudan, begitu pula an****esa. Tanpa permaksudan maka tidak akan hadirsemua fenomena konsep / dharma.
Pertapa Gautama memformulasikan ajaran karena adanya kondisi, permaksudan dan kemendesakan, yang jika kondisikondisi ini berubah, maka akan berubah pula bentuk dharma ini.
Sebagaimana rakit, oh para bikhu, diperlukan manakala kita akan menyebrang (kondisi, maksud dan kemendesakan), seketika kita sampai di seberang (kondisi, maksud dan kemendesakan yang baru), perlukah kita terus menyeret-nyeret rakit itu di sepanjang jalan menuju rumah?
Demikianlah salah satu alegori yang selalu Buddha ajarkan kepada murid-muridnya tentang dharma. Dharma bagaikan rakit, yang dipakai ketika hendak menyebrang. Ketika kita telah menyeberang kita tidak perlu rakit, kita hanya perlu jalan saja.
Konon menurut kisah buddhis, suatu saat pertapa Gautama ditanya oleh muridnya, ?Guru telah empat puluh lima tahun guru mengajarkan dharma yang tak tertandingi, tak terhitung dharma mendalam yang telah anda babarkan. Jika itu harus disimpulkan dalam suatu rangkaian kalimat, seperti apakah dharma yang terdalam itu, ya Guru??
Buddha tersenyum dan menjawab:
?Engkau keliru oh muridku, jika engkau katakan bahwa selama empat puluh lima tahun ini aku telah membabarkan dharma yang absolut, engkau keliru. Sebab tak sepatah Dharma yang aku ucapkan dari mulutku.?
?Mengapa, wahai muridku? Karena Hakekat Dharma yang sesungguhnya adalah tak terkatakan, hakekat dharma yang sejati mengatasi dualitas dharma dan adharma. Hakekat dharma yang dikatakan bukanlah dharma sejati. Dharma yang Sejati adalah tak terkatakan, tak tergambarkan, tak terperikan. Dalam Dharma yang sejati tidak ada tinggi dan rendah, panjang dan pendek, lebar dan sempit, hina dan mulia.?
Semua kebenaran yang bisa ditangkap oleh bahasa, sebenarnya kebenaran yang dualitas. Kebenaran yang mengatasi dualitas adalah ketidakhadiran nilai subyektif dari m****ia.
(*)Pada Mulanya Adalah Kata-kata
Kita harus memahami bahwa semua berasal dari bahasa, dari konsep, dari upaya m****ia untuk memaknai hidup. Untuk itu ia harus diakhiri dengan kesadaran bahwa bahasa itu sendiri adalah konsep, bahasa itu terbatas, suatu wadah yang berisikan persepsi yang menunjuk pada realitas, bukan realtas itu sendiri.
Menyadari hal ini, bagaimana mungkin kita bisa menerima bahwa ada suatu firman yang kekal tentang suatu yang haram dan halal, suatu yang suci dan tidak suci yang difirmankan oleh suatu tuhan yang absolut? Semua hanyalah konsep yang dibuat oleh m****ia dalam kadar kesadaran yang rendah dan terbatas.
Kalau anda menemukan seonggok tahi ayam di jalan, lalu anda membuang muka, merasa jijik dan sebal, lalu menjauhinya dan meludah. Sekarang pikirkan, benarkah tahi ayam itu menjijikan? Apakah konsep jijik itu melekat pada si tahi ayam atau pada pikiran anda? Jika anda suka daging ayam, mengapa anda merasa jijik dengan tahi ayam yang adalah produk satu paket dari kehidupan si ayam?
Bagi lalat dan bakteri yang ada di dalam tahi ayam itu, tahi ayam adalah berkah, surga makanan. Bagi tanah, mineral yang terkandung dalam tahi ayam akan diserap dan didaur ulang demi kelangsungan hidup lainnya. Coba anda posisikan diri anda menjadi lalat, bakteri dan tanah, maka kata jijik itu akan hilang.
Tolong bedakan antara membersihkan suatu tempat dari kotoran karena alasan higienis, dengan menilainya kotoran tersebut sebagai kejijikan dalam pikiran kita. Jijik dan tidak jijik ternyata penilaian subyektif kita sendiri, yang telah dipermak oleh konsep yang ditanam oleh lingkungan dan diri kita sendiri.
Dari manakah logika babi itu haram? Adakah itu kebenaran absolut? Pernahkah terpikir bila anda terlahir jadi babi yang diharamkan dan dijijik-jijkan oleh milyaran m****ia sepanjang jaman?
Pernahkah anda terpikr bila anda terlahir jadi orang yang anda sekarang anggap kafir, kaum yang dilaknat xxx, dsb? xxx macam apa itu yang melaknati ciptaannya sendiri (dengan meminjam logika penciptaan ala mereka)? Bukannya mendamaikan m****ia malahan memfirmankan hukum-hukum yang tidak karuan. Jelas bahwa semua itu adalah produk pemikiran m****ia, tepatnya m****ia yang masih berkesadaran rendah dan terjerambab dalam dualitas. Namun kepongahannya gak ketulungan.
Bagi yang telah sadar maka semua fenomena di dunia ini tidaklah ajek, tidaklah berinti. Kematian sebenarnya bukan akhir, sama seperti kelahiran bukanlah awal. Semua hanyalah rentetan penjadian yang terus menerus seturut dengan kondisi dan potensi yang mendukungnya.
Tiada Lagi Rintangan Pikiran
Demikianlah, karena bodhisatva tidak mempunyai apa yang perlu dicapai, Ia berada dan berdiam di dalam prajnaparamita. Tiada rintangan dalam pikiran. Tanpa rintangan dalam pikiran, Ia tidak memiliki rasa takut serta tiada rintangan kesempurnaan. Hingga akhirnya, Ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibbana Sejati.
Dalam semesta berpikir Buddhisme, meditasi dianggap sebagai perjalanan menuju suatu tahapan bodhicitta.
? bodhi artinya ketercerahan, yang bangun, yang terjaga, yang mengetahui.
? citta artinya pikiran atau juga kesadaran.
Jangan sampai tertukar antara vinnana (kesadaran akan kedirian / ahankara) dengan citta (pikiran dan kesadaran yang lebih halus). Vinnana adalah kesadaran akan keberadaan diri, ego yang masih berfokus pada kepentingan diri sendiri, sedangkan citta adalah kesadaran altruistik yang mengenali keterkaitan kesegalaan yang ada dengan dirinya.
Jadi tujuan dari meditasi dan laku hidup ini adalah meraih pemahaman yang benar, suatu olah batin, transformasi dari perenungan mulia, kepada realisasi kehidupan sehari-hari.
Perenungan mulia dalam meditasi adalah suatu tahapan evolutif yang sering disimbolikkan sebagai alam-alam kehidupan. Seperti yang terdapat dalam tingkatan di candi Borobudur. Yaitu Kammadatu, Rupadatu, dan Arupadatu (pembagian 31 alam)
Kita tidak akan berkutat dalam tafsir keimanan, bagi anda yang memahaminya, silahkan saja percayai itu. Tapi seperti yang saya katakan di awal, kita akan menelaahnya dalam kerangka filsafat, bukan kerangka keimanan.
Bagi saya pribadi :
> >
Mereka yang masih terjerat dalam konsep akan terus menerus mencari satu konsep kepada konsep lainnya,membandingkan, meng****isa, mencantelkan, dan bersukacita pada konsep itu. Seperti misalnya pemikiran tentang : Benarkah ada yang namanya Dewa Shiwa / Brahma / Wisnu? Benarkah ada
yang namanya Avalokitesvara, Samantabadra dan Ksitigarba? Dimanakah sorga mereka? Siapa saja yang bisa masuk ke sorga mereka? Apa yang harus dilakukan di dunia ini agar saya bisa terlahir di sorga mereka? Berapakah panjang umur para mahluk di sana, dll. Inilah surga-surga konsep.
Dalam meditasi sering ditemukan adanya ?alam-alam? dan pemandangan yang indah, menyejukan dan menyenangkan, dimana si meditator ingin tetap tinggal di sana. Setiap kali ia bermeditasi ingin merasakan kembali berada di sana. Mengapa? Karena ia terikat dengan ?bentuk, rasa, dan suara? yang memikat dari ?alam-alam? ini.
> merasakan suatu ketidak-berdayaan ditengah-tengah kemahaluasan
alam semesta.
Menurut Buddha ada empat alam dalam arupadatu yang akan dilalui oleh meditator, yaitu :
1. alam ruang tanpa batas
2. alam kesadaran tanpa batas
3. alam kekosongan tanpa batas
4. alam bukan pencerapan ? bukan pula non-pencerapan.
Dan dari setiap alam itu meditator harus tetap menyadari bahwa itu bukanlah tahapan terakhir. Ia harus tetap lirih melihat bahwa dari semua pengalaman itu tetap tiada didapati aku, diriku dan kepunyaanku baik di dalam maupun diluar semua itu, terkait maupun terlepas dari semua itu.
Bagi saya pribadi, inilah kawasan pikiran yang sangatsangat halus dimana si meditator digoda untuk mendeskripsikan apa yang ia ?lihat ? rasa ? sentuh ? kecap dan tangkap / persepsi?, ketika ia dapati kegirangan disitu, ia digoda untuk terus melekat ke arah situ. Ketika ia mendapatkan kehampaan dan ketandusan, bahkan kengerian, ia digoda untuk menjauh dari kawasan itu.
Buddha secara tak langsung mengajar muridnya akan luasnya alam semesta yang tak terbatas ini. Alam semesta bersifat enigmatik, bagaikan buku yang setelah begitu lama kita habiskan waktu untuk membacanya, ternyata tidak kita dapati halaman terakhir. Seketika kita pikir ini adalah halaman terakhir, ternyata ini adalah halaman baru di bab berikutnya.
Dengan konsep yang ditanamkan pada diri kita, nafsu untuk mengupas alam semesta sampai batas terakhir ? adalah siasia. Dari pada bernafsu untuk menaklukan yang tidak bisa ditaklukan, mengapa tidak kita nikmati saja samudera kehidupan ini dengan tiada beban dan nilai? Lepas dari semua lekatanlekatan penilaian ? itulah nibanna ? kedamaian yang tak tergoyahkan. Penghentian dari segala kerisauan. Hilangnya rasa dahaga seketika air minum itu kita tenggak. Ahhhhhhh ? itulah nibanna.
Dengan penjelasan lain, empat alam arupaloka memiliki paralelnya pada perenungan Empat Kediaman Mulia atau Catur Brahma Vihara, yaitu :
1. Metta : perhatian, cinta kasih yang dipancarkan kepada semua mahluk hidup tanpa syarat
2. Karuna: bela rasa atau empati yang dipancarkan kepada segala mahluk yang menderita
3. Mudita: kegembiraan yang tulus atas keberhasilan orang lain, tanpa cemburu dan iri atas pencapaiannya.
4. Uppekha : ketenang seimbangan, suatu ketenangan yang timbul dari pembatinan atas perenungan pada sebab akibat. Ketidakgoyahan perasaan dan pikiran karena kegembiraan dan kesedihan, penerimaan dan penolakan, pujian dan celaan.
(.) Realization is to Release and to Realize
Demikianlah, karena bodhisatva tidak mempunyai apa yang perlu dicapai, Ia berada dan berdiam di dalam prajnaparamita.
Jikalau dalam tahap awal, Buddha Gautama tidak lelahnya memotivasi muridnya untuk mencapai ketenangan, mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, mencapai disiplin diri, mencapai kebiasaan mulia, sekarang justru Gautama mengatakan bahwa bodhisattva tidak mempunyai apa-apa yang perlu dicapai. Mengapa?
sebenarnyan pencerahan mereka dari awal sudah secara gradual mereka dapatkan ketika mereka sedikit demi sedikit meninggalkan LMD, begitu pulalah m****ia. Ia harus diajari dulu sesuatu yang perlu dicari, dikejar dan dicapai. Jika kebiasan baik sudah dibatinkan, maka semua sifat mulia itu bukan berasal dari tuntutan syariah, atau kitab-kitab ini itu, namun mengalir sendiri secara alamiah dalam dirinya. Sifat-sifat mulia itu, yang tadinya hanya idea, sekarang menjadi bagian dari hidup, terpancar secara alami dari bathin yang telah diolah.
Jadi pencapaian pada hakekatnya adalah pelepasan segala lekatan-lekatan kotor yang selama ini melekati batin kita sehingga bodhicitta yang seharusnya bersinar jadi tidak bersinar. Pada saat kita telah mencapai, kita sadari bahwa pencapaian itu pada dasarnya adalah perealisasian, dalam bahasa inggrisnya adalah release ? melepaskan dan realize ? menyadari dan menjadi menggenapkan suatu kenyataan.
Karena Ada Ilusi Maka Ada Pencerahan, Tanpa Ilusi Tidak Akan Ada Pencerahan
Tanpa rintangan dalam pikiran, Ia tidak memiliki rasa takut serta tiada rintangan kesempurnaan. Hingga akhirnya, Ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibbana Sejati.
Dalam tradisi Zen terdapat ujaran: Karena ada ilusi maka ada pencerahan. Tiada ilusi maka tiada pencerahan
Para m****ia yg termotivasi untuk bertemu dengan pencerahan atau Dewa tanpa nama atau yg maha atau yg lainya, dengan motivasi mereka terilusi untuk mencapainya, padahal justru keberangkatan usaha itu sendir sudah suatu pencapaian gradual. Ketika "sampai" mereka baru sadar bahwa semua kisah yang dulu mereka percayai sebagai konsep yang nyata ternyata tidak ada, semua adalah metafora. Yang ada adalah mereka yg baru, Apanya yang baru? Kesadaran mereka yang baru. Ahh, ternyata ini tohh? ? hingga akhirnya ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibanna Sejati.
Lepas - Lepas - Lepaslah Sudah
Buddha dari ketiga masa --- lalu, sekarang, mendatang --- dengan bersandar pada Prajnaparamita mencapai kebuddhaan pada tingkat yang tiada tara, yaitu samyaksambodhi. Oleh karena itu Prajnaparamita adalah mantra pengetahuan agung, mantra tiada tanding, mantra tertinggi, mantra yang pasti dapat melenyapkan semua dukkha, yang di dalamnya tiada cacat, harus dipahami sebagai kebenaran.
Saya percaya bahwa pelajaran dari Sutra Hati ini bersifat universal, dan sepanjang ada m****ia yang rindu mencari hakekat sejati, sepanjang itu pula pesan dari Sutra Hati ini tetap bergema, maka dari itu m****ia dari jaman lalu, sekarang dan yang akan datang dengan bersandar pada Perenungan Kebijaksanaan Sempurna, pasti akan mendapat berkah tiada tara.
Mengapa mantra Prajna Paramita disebut mantra pengetahuan agung, tiada tanding, tertinggi, dan dapat melenyapkan semua dukkha?
Pencapaian material, bukan untuk mendapatkan suatu
Tidak ada mantra dalam buddhisme ataupun hinduisme dengan sederet pujian yang begitu rupa selain mantra ini. Mengapa? Karena mantra ini bertujuan bukan untuk menjadi kaya, bukan untuk menjadi pintar, bukan untuk mendapatkan suatu pengetahuan adikodrati, bukan untuk dilepaskan dari suatu kemalangan, bukan untuk meminta supaya dilahirkan di surga Amitabha, surga Brahma, surga Avalokitesvara, dsb. Melainkan mantra ini meminta kelepasan dari segala avidya / ketidaktahuan atau mungkin tepatnya dari ketidak-mautahuan yang disebabkan oleh ilusi nafsu dan konsep. Inilah mantra yang paling murni, suatu jeritan, permohonan, dan kerinduan untuk mencapai kesempurnaan.
Tadyatha : "GATE GATE PARA GATE PARASAMGATE BODHI SVAHA". Demikianlah mantra ini kupanjatkan : "GATE GATE PARA GATE PARASAMGATE BODHI SVAHA?
Sungguh menarik bahwa berbeda dengan mantra-mantra lainnya, mantra ini tidak diawali dengan bijaksara suci OM. Banyak biksu dan kaum awam menambahkan kata OM pada awalannya menjadi Om Gate Gate Paragate Para sam Gate bodhi svaha. Padahal naskah awalnya tidak berbunyi demikian.
Mengapa?
Jawaban pribadi saya adalah: Karena mereka yang belum sadar OM ? yang melambangkan Tuhan / Kehidupan / Alam semesta seakan-akan suatu pihak di seberang sana ? yang darinya kita memuji dan meminta.
Namun bagi mereka yang telah sadar OM ? Tuhan / Kehidupan / Alam Semesta dan diri kita tidaklah terpisah. Tidak ada aku dan dia dalam nibanna. Bahkan keinginan untuk mengetahui dimana aku dan dimana dia tidak pernah tercetus.
Demikianlah mengapa bijaksara OM tidak dihadirkan oleh penulis sutra hati ini.
Apakah makna dari Gate Gate Para Gate Parasam Gate Bodhi Svaha? Ternyata maknanya sederhana sekali
? gate ? gate = lepas ? lepaslah
? para gate = sudah lepas (bentuk past dari gate)
? parasam gate = telah selesai lepas dengan sempurna (bentuk past partisipel dari gate)
? bodhi = tercapailah pencerahan
? svaha = jadilah pinta ku ini atau sama dengan amin atau sadhu
Dengan kata lain mantra itu berbunyi:
?Lepas lepaslah, biarkan kesadaran ini mencapai pantai seberang / peristirahatan abadinya ? nyatalah.?
Jutaan kaum budhis membaca doa ini tiap hari tanpa mengerti hakekat dari sutra ini. Apakah dengan menjapanya saja tanpa mengerti maksud dari mantra ini akan berdampak secara signifikan?
Bersyukurlah anda yang membaca artikel ini. Sebab di jaman dahulu ajaran ini diberikan kepada para bikhu-bikhu senior yang telah mencapai pemahaman yang tinggi. Sekarang dibabarkan kepada anda dengan bahasa yang mudah.
Saya berharap saya tidak sedang melakukan kesalahan fatal dengan memberikan rahasia ini kepada anda sehingga orang akan mengira bahwa semua ini murah, mudah dan tak bernilai. Sepatutnya anda bersyukur jika bisa membaca dan memahami ajaran dan penjabaran sutra ini.
Entah karma apa yang saya dan anda lakukan sehingga kita bisa membacanya hari ini. Mudah-mudahan semua ini tidak sia-sia.
Nammo Baghavate Prajna Paramita
Terpujian Baghawati Prajna Paramita
(personifikasi dari Sutra Prajna Paramita)
Nammo Arya Avalokitesvara Bodhisatvaya Mahasatvaya
Terpujilah Yang Mulia Avalokitesvara Sang Suci Yang Maha Sadar
(personifikasi dari kesadaran mulia di dalam diri kita sendiri).
OM Mani Padme Hum
Mekarlah ? mekarlah ? mekarlah kesadaran dalam diriku.