Selasa, 26 Juni 2012

Riwayat Dewa Ankura dan Dewa Indaka

Riwayat Dewa Ankura dan Dewa Indaka

Dewa Indaka yang datang setelah Dewa Santusita, duduk di sebelah kanan di dekat tempat duduk Tathagata, dan Ankura duduk di sebelah kiri di dekat Tathagata. Dewa Ankura terpaksa memberikan tempatnya bagi para dewa dan brahma yang lebih berkuasa saat mereka tiba satu per satu hingga ia berada dua belas yojana jauhnya dari Tathagata. Tetapi Indaka dapat mempertahankan tempatnya.

Riwayat Dewa Ankura
Asal mula riwayat ini diawali pada masa kegelapan (setelah lenyapnya Sasana Buddha Kassapa). Ia adalah anak termuda dari Pangeran Upasagara dan putri Devagabbha. Pangeran Upasagara adalah putra Raja Maha Sagara dari kerajaan Uttaramadhuraj, dan Putri Devagabbha adalah putri dari Mahakamsa, penguasa Asitanjana, sebuah provinsi di kerajaan Uttarapatha. Kakak laki-laki tertuanya adalah Vasudeva dan kakak perempuan tertua adalah Anjanadevi.

Saat ia dewasa, kakak laki-laki tertuanya menjadikan ia penguasa sebuah kota yang berhak menerima penghasilan dari kota itu. Kota itu adalah bagian dari rampasan atas kemenangan kakaknya menaklukkan seluruh Jambudipa dengan kekuatan politisnya. Tetapi kemudian ia menyerahkan kota itu kepada kakak perempuan tertuanya, Putri Anjana. Ia hanya memohon pembebasan pajak atas barang-barang dagangan yang ia perdagangkan di dalam provinsi mereka. Ia menjalani kehidupan sebagai seorang pedagang bebas. Ia bahagia dan puas dengan apa yang ia miliki.

Suatu kali, ia mendapat masalah besar karena kekurangan perbekalan dalam perjalanannya menyeberangi gurun pasir. Di sana terdapat dewa penjaga pohon banyan yang memiliki kesaktian dapat menciptakan barang apa pun yang diinginkan seseorang hanya dengan menggerakkan tangan kanannya. Ia adalah dewa yang tahu membalas budi dan ia memenuhi kebutuhan pangeran dan pengikutnya itu dengan menciptakan barang-barang keperluan mereka dengan mengacungkan jari tangan kanannya, sebagai balas jasa kepada pangeran yang telah berjasa kepadanya pada kehidupan sebelumnya. Pangeran, terheran-heran, bertanya kepadanya tentang kesaktiannya dan ia menjawab, Aku adalah seorang penjahit miskin yang tinggal di dekat rumah seorang kaya, Asayha, di Kota Roruva. Suatu hari si orang kaya memberikan dana kepada orang miskin dan aku dengan gembira membantu orang-orang miskin itu dengan mengacungkan jariku menunjukkan arah menuju paviliun tempat si orang kaya memberikan dana. Demikianlah aku menikmati buah dari perbuatan suka rela itu dan aku dapat menyediakan semua barang yang diperlukan manusia, seperti makanan, pakaian, yang berlimpah-limpah dari tangan kananku ini.

Untuk meniru dewa penjaga pohon banyan itu, Pangeran Ankura, setibanya kembali di kerajaan Dvaravati, memberikan dana kepada setiap orang di seluruh Jambudipa (sepuluh ribu yojana luasnya); perbuatan dana ini merugikan sistem perpajakan. Proses penarikan pajak menjadi terganggu dan kakak tertuanya terpaksa menasihatinya agar memberikan dana secara proporsional. Ia pindah ke Kota Dakkhinapatha di kerajaan Damila untuk melanjutkan perbuatan dana dalam wilayah seluas 12 yojana, di tepi laut. Di seluruh wilayah itu ia menempatkan barisan kendi-kendi yang saling bersinggungan yang berisi dana makanan. Ia hidup hingga usia sepuluh ribu tahun, dan selama itu ia selalu memberikan dana. Setelah meninggal dunia ia terlahir kembali di Surga Tavatimsa dengan nama yang sama, Ankura.
Meskipun Ankura telah memberikan dana yang cukup banyak dan dalam waktu yang sangat lama, ia tidak memperoleh jasa sebanyak perbuatannya, hal ini karena, penerima dananya adalah orang-orang yang miskin kebajikan yang hidup pada masa kegelapan Sasana, bagaikan seorang petani yang menanam benihnya di tanah yang gersang. (Demikianlah riwayat singkat kehidupan Ankura. Untuk penjelasan lengkap, dapat merujuk pada Peta Vatthu Kitab Pali: 2 - Ubbari Vagga: 9. Ankura Peta Vatthu).

Riwayat Dewa Indaka
Pada masa Buddha Gotama kita, dan selagi Dewa Ankura menikmati kehidupan sebagai dewa di Alam Tavatimsa, seorang pemuda bernama Indaka dengan penuh keyakinan mempersembahkan, sesendok nasi, kepada Thera Anuruddha yang sedang mengumpulkan dana makanan.
Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali sebagai dewa yang berkuasa di Surga Tavatimsa yang memiliki sepuluh hak istimewa makhluk surga sebagai buah dari kebajikannya yang ia lakukan semasa Sasana Buddha Gotama, bagaikan seorang petani yang menanam benihnya di tanah yang subur. Ia dikenal dengan nama Indaka. Sepuluh hak istimewa makhluk surga adalah (1) dapat melihat objek-objek surga, (2) dapat mendengar, (3) dapat mencium, (4) dapat mengecap, (5) dapat menyentuh, (6) panjang usia, (7) banyak pengikut, (8) berpenampilan elok, (9) kaya atau makmur, dan (10) keunggulan.
Dewa Ankura harus memberikan tempatnya kepada para dewa dan brahma yang lebih berkuasa yang menghadiri festival besar Abhidhamma, dan ia terpaksa mundur hingga 12 yojana jauhnya dari Tathagata, sedangkan Dewa Indaka dapat mempertahankan tempatnya tanpa harus memberikan kepada makhluk-makhluk surga lainnya.
Saat Tathagata mengetahui perbedaan status Dewa Ankura dan Dewa Indaka, Beliau berpikir adalah baik sekali diceritakan, untuk memberikan pendidikan kepada makhluk-makhluk, perbedaan manfaat yang diperoleh dari kebajikan yang dilakukan pada saat berkembangnya Sasana para Buddha dan kebajikan yang dilakukan pada masa tidak adanya Sasana. Oleh karena itu, Tathagata, bertanya kepada Ankura, "Ankura? mengapa engkau harus berada 12 yojana jauhnya dari-Ku, padahal engkau telah memberikan dana makanan yang diletakkan dalam barisan kendi-kendi sepanjang 12 yojana selama sepuluh ribu tahun?"

Mahadanam taya dinnam
Ankura dighamantare
atidure nisinnosi
agaccha mama santike

O umat awam Ankura...mengapa engkau harus mundur dan memberikan tempatmu kepada para dewa dan brahma yang berkuasa saat mereka tiba di festival Abhidhamma ini, padahal engkau telah memberikan dana makanan yang diletakkan dalam barisan kendi-kendi sepanjang 12 yojana selama sepuluh ribu tahun? Sekarang engkau berada 12 yojana jauhnya dari-Ku. Datanglah dan duduk di depan-Ku!
Kata-kata Buddha yang diucapkan dalam syair yang berbentuk pertanyaan ini terdengar hingga ke alam manusia di bumi.(merujuk pada Komentar Dhammapada).
Jawaban Dewa Ankura atas pertanyaan Tathagata terdiri dari satu setengah bait (6 pada) dan setengah bait lagi (dua baris) ditambahkan oleh Thera Sangatikaraka sehingga berjumlah dua bait, dan tercatat pada Konsili Buddhis dalam bahasa Pali sebagai berikut:

Codito bhavitattena
Ankuro etadabravi
kim mayham tena danena
dakkhineyyena sunnatam
Ayam so Indako yakkho
dajja danam parittakam
atirocati amhehi
cando taragane yatha

Ditanya oleh Buddha yang telah melatih dua jenis meditasi yang mendukung ketenangan batin dan jasmani, Dewa Ankura, yang telah melakukan kebajikan pada masa kegelapan yang kosong dari Sasana dalam waktu yang lama, dengan penuh hormat menjawab, sebagai berikut, "Yang Mulia Tathagata...itu adalah karena kebajikan yang kulakukan pada masa gelap yang kosong dari Sasana saat tidak ada seorang pun yang layak menerima dana. Bagaimana mungkin kebajikanku yang kulakukan dalam waktu yang lama selama masa kegelapan yang hampa Sasana, dapat membantuku mendapatkan tempat yang baik!"
Dewa Indaka, yang berada di hadapan-Mu, hanya memberikan sesendok nasi kepada Thera Anuruddha, dengan penuh keyakinan, ia menerima balasan yang jauh melebihiku bagaikan bulan keperakan yang sinarnya mengalahkan bintang-bintang; dan oleh karena itu, ia beruntung dapat menikmati sepuluh hak istimewa para dewa yang lebih unggul daripada mereka yang sepertiku, yang, melakukan kebajikan selama masa gelap yang hampa Sasana!
Selanjutnya, Tathagata bertanya kepada Dewa Indaka, "Indaka..engkau duduk di sebelah kanan-Ku tanpa berpindah. Mengapa engkau tidak bergeser dan memberikan tempatmu kepada para dewa yang lebih berkuasa saat mereka tiba?" Indaka menjawab, "Yang Mulia Tathagata, yang terjadi padaku dapat diumpamakan seperti seorang petani yang menanam sedikit benihnya di tanah yang subur, aku beruntung dapat bertemu dengan seorang yang layak menerima persembahan," dan ia melanjutkan dengan mengucapkan empat bait syair pujian terhadap kualitas penerima dana:

Ujjangale yatha khette
bijam bahumpi ropitam
na phalam vipulam hoti
napi toseti kassakam.
Tatheva danam bahukam
dussilesu patitthitam
na phlam vipulam hoti
napi toseti dayakam.

Meskipun sejumlah besar benih ditanam di sepetak tanah di bukit berbatu, asin, panas, kering, dan gersang, hasilnya tidak berarti dan mengecewakan si petani. Demikian pula, meskipun banyak persembahan diberikan kepada penerima yang miskin kebajikan selama masa kegelapan yang hampa dari Sasana, manfaat yang diperoleh adalah tidak berarti dan mengecewakan si pemberi.

Yathapi bhaddake khette
bijam appampi ropitam
Samma dharam pavecchante
phalam toseti kassakam

Tatheva Silavantesu
gunavantesu tadisu
appakam pi katam karam
punnam hoti mahapphalam

Yang Mulia Tathagata..bagaikan hasil panen yang memuaskan seorang petani yang bekerja keras dalam menanam benih di tanah yang subur (tanah kelas satu) yang disirami oleh hujan setiap lima belas hari; atau (tanah kelas dua) yang disirami oleh hujan setiap sepuluh hari, (tanah kelas tiga) yang disirami hujan setiap lima hari.
Demikian pula, hasil yang diperoleh dari kebajikan memberikan dana kepada Ariya Puggala, yang mulia dan penuh pengendalian diri, akan memberikan kekayaan dan kemakmuran, bagaikan hasil panen dari benih yang tumbuh di tanah yang subur.

Demikianlah Indaka menjelaskan perbedaan antara kebajikan yang dilakukan kepada dua jenis penerima pada dua masa yang berbeda, dalam bentuk syair empat bait. Selanjutnya Tathagata berkata, Ankura..sebaiknya seseorang memilih barang yang akan didanakan dan siapa penerima dana itu: Buah yang diharapkan hanya dapat terwujud dengan memilih barang yang akan didanakan dan siapa yang akan menerima dana itu, bagaikan benih yang baik yang ditanam di tanah yang subur. Tentu saja, engkau tidak dapat memberikan dana dengan cara demikian karena engkau terlahir pada waktu yang salah saat tidak ada Sasana, bukan pada waktu yang tepat, saat berkembangnya Sasana. Demikianlah, kebajikanmu tidak berbuah banyak seperti Indaka. Empat bait syair berikut ini diucapkan oleh Tathagata sebagai penjelasan:

Viceyya danam databbam
yattha dinnam mahapphalam
viceyya danam datvana
saggam gacchanti dayaka
viceyya dinam sugatappasattham
ye dakkhineyya idha jivaloke
etesu dinnani mahapphalani
bijani vuttani yatha sukhette

O Dewa Ankura..dana yang dipersembahkan kepada individu yang mulia dengan penuh keyakinan dan kedermawanan akan mengakibatkan manfaat yang berlimpah. Penerima dana harus dipilih sebelum memberikan dana. Persembahan dana kepada orang terpilih dengan penuh keyakinan dan kedermawanan selalu membawa si penyumbang ke alam dewa.

Memilih barang yang akan didanakan dan memilih siapa yang akan menerima dana adalah tindakan yang dipuji oleh para Buddha. Banyak orang-orang mulia di dunia ini. Persembahan yang diberikan kepada orang-orang mulia ini dengan penuh keyakinan dan kedermawanan akan selalu mengakibatkan kekayaan dan kebahagiaan kepada si penyumbang selagi hidup di alam manusia dan di alam dewa sebelum akhirnya mencapai tujuan akhir, Nibbana, bagaikan menanam benih-benih pilihan yang terdiri lima jenis, bijagam.

Tathagata melanjutkan membabarkan empat bait syair lagi yang mengarah ke Nibbana melalui tingkat-tingkat Jalan dan Buahnya:

Tinadosani Khettani
ragadosa ayam paja
tasma hi vitaragesu
dinnam hoti mahapphalam

Ada contoh di mana benih yang baik 'bijagam' dilemparkan ke lahan yang penuh dengan rumput dan semak belukar. Sama seperti dana yang dipersembahkan kepada manusia dan dewa yang miskin kebajikan dan penuh nafsu, raga. Oleh karena itu, dana harus dipersembahkan kepada Ariya Puggala yang bebas dari nafsu, raga dengan pikiran untuk menikmati kenikmatan duniawi di alam manusia dan dewa sebelum mencapai tujuan akhir, Nibbana.

Tinadosani Khettani
dosadosa ayam paja
tasma hi vitadosesu
dinnam hoti mahapphalam.

Seperti halnya ada tanah yang subur dan baik untuk ditanami yang penuh dengan rumput dan semak belukar, demikian pula ada manusia dan dewa yang miskin kebajikan dan penuh kebencian, oleh karena itu, seseorang harus memeriksa dan mempersembahkan dana kepada ia yang bebas dari kebencian, sehingga ia dapat menikmati kehidupan duniawi di alam manusia dan dewa sebelum mencapai tujuan akhir, Nibbana.

Tinadosani Khettani
mahadosa ayam paja
tasma hi vitamohesu
dinnam hoti mahapphalam

Seperti halnya ada tanah yang subur dan baik untuk ditanami yang secara alami penuh dengan rumput dan semak belukar, demikian pula, dana hendaknya dipersembahkan hanya kepada Ariya Puggala, yang bebas dari kebodohan, yang akan membawa kebahagiaan bagi seseorang di alam manusia dan dewa sebelum tercapainya tujuan akhir, Nibbana.

Tinadosani Khettani
Icchadosa ayam paja
tasma hi vigaticchesu
dinnam hoti mahapphalam

Seperti halnya ada tanah yang subur dan baik untuk ditanami yang secara alami penuh dengan rumput dan semak belukar, demikian pula, manusia dan dewa secara alami dikuasai oleh lima jenis nafsu kenikmatan lima indria. Oleh karena itu, persembahan harus diberikan kepada Ariya Puggala yang bebas dari iccha; kebajikan ini akan membawa kepada kehidupan yang menyenangkan di alam manusia dan dewa dan bahkan membantu dalam mencapai tujuan akhir, Nibbana.

Pada akhir khotbah itu, Dewa Ankura dan Dewa Indaka mencapai tingkat Sotapatti; khotbah ini juga membawa manfaat besar bagi para dewa dan brahma.

0 komentar:

Posting Komentar

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;