Minggu, 15 April 2012

Sekte Tantra Tibet

Sekte Tantra Tibet


Reformasi sekte Tantra di Tibet dimulai oleh pandit India yaitu ATISA yang mengunjungi Tibet pada tahun 1038 M. Atisa, setelah meyakini Yoga dan aliran Tantrayana, mulai
melakukan reformasi pada jalur system Mahayana yang lebih murni dengan menyelengarakan kehidupan suci dan kesusilaan yang tinggi, dan mengutuk praktek umum yang kejam.

Tinjauan sekilas terhadap "GENEALOGICAL TREE of LAMAIST SCETS" akan menunjukan bahwa Atisa adalah satu-satunya pemberharu besar dalam lamanisme.

Sekte hasil reformasi yang pertama dikenal dengan nama KAHDAMPA, atau "yang dibatasi oleh peraturan" dan akhirnya tiga setengah abad kemudian di bawah tangan TSONGKHAPA lebih tidak mengutamakan pertapaan tetapi lebih mengutamakan pelaksanaan ritual tingkat tinggi dibawah GELUGPA, yang sekarang ini merupakan sekte besar di TIBET

Siswa utama Atisa yang berasal dari Tibet adalah Drom-ton atau "DROM BAKSHI" yang mewarisi ajaran Mahayana yang suci dan doktrin Tantra dari Asita, yang mempelajarinya sendiri dari India dan Pegu. Dua siswa utama lainya adalah K?u dan Nak, tetapi Drom-ton adalah pemimpin Kahdampa yang paling masyur, dan pada tahun 1058 ia membangun biara RA-DENG di timur laut LHASA, yang merupakan tempat suci aliran Tantra reformasi yang pertama meskipun biara T?o-din di Purang, dibangun pada tahun 1025 dipertimbangkan sebagai kelembagaan Kahdampa untuk tempat tingal Atisa, penganti Drom-ton adalah POTOVA.

Kebangkitan sekte Kahdampa (Gelugpa) segera di ikuti oleh gerakan semi reformasi dari Kargyudpa dan Sakyapa, yang berpedoman langsung pada ajaran Atisa secara keseluruhan. pendiri ke dua sekte ini adalah siswa Atisa dan sekte baru mereka dapat diangap sekte semireformasi yang disesuaikan bagi mereka yang merasakan bahwa standard yang tinggi dari Atisa terlalu menjemukan dan terlalu bersih dari mistik yang biasa mereka lakukan.

Sekte yang tidak mengalami reformasi sama sekali dan menjadi lemah karena kehilangan angota mereka yang terbaik adalah NINGMAPA atau "aliran tua" karena mereka bertahan dengan praktek yang lama, untuk mengapsahkan banyak praktek nonortodoks mereka yang telah ditingalakan ningmapa berupaya mencari terma atau wahyu yang tersembunyi


4 Aliran Tantra Tibet

Diantara aliran-aliran yang di temukan di Tibet sampai masa kini ada empat yang terkenal.
Yang pertama dikategorikan sebagai ajaran kuno dan di kenal sebagai Ningmapa, tiga yang lain berasal dari ajaran baru dan dikenal sebagai Kargyupdpa, Sakyapa, dan Gelugpa.

1 Pada tahun 810 M Acarya Padmasambhava dari Udyana datang ke Tibet, dia tingal di Vihara Samye dan menterjemahkan delapan belas buku Tantra Mahasiddhi (Pencapaiyan Agung) yang membahas praktek meditasi. dengan dihadiri Raja dan 25 orang penting lainya, Ia mendirikan Maharahasya Vadjrayanacakra. silsilah yang di mulai oleh Padmasambhava ini dikenal aliran Tantra Kuno (Ningmapa)

2 Marpa-lotsava (Sang perterjemah) dilahirkan pada tahun 1012 M dan selama masa hidupnya ia mengunjungi India tiga kali. dalam jiarah ini, dibawah bimbingan siddha Naropa dan Maitripa ia menterjemahkan dan menguraikan buku Tantra asli. Tradisi yang didirikan olehnya dan oleh muridnya Jetsun milarepa, disebut Kargyudpa.
Aliran ini di bagi 8 sub aliran, empat aliran besar dan empat aliran kecil. Pendirinya adalah Kamtsangpa, Drigungpa Taglungpa, dan Drugpa.

3 Tahun 1034 M menyaksikan kelahiran Kon-chog-gyalpo di Tibet yang karena mendengarkan ajaran Lotsava Drogmi menguraikan jalan dna buah menurut tradisi Acarya Dharmapala. Setelah melatih diri ia menjadi guru ulung yang bergelar Mahapandita Vairupa atau Mahapandita Gayadhara aliran yang didirikan olehnya dan dikembangkan oleh murid-muridnya di sebut Sakyapa. Kemudian pada tahun 1039 M, Acarya Mahapandita Dipamkara-srijnanana dari Mahavihara Vikramasila di India datang ke Tibet, disana ia menguraikan secara terperinci ajaran yang mendalam dari Sutra dan Tantra. Dia mendirikan, dan para muridnya mengembangkan aliran yang disebut Kahdam-pa.

4 Tiga ratus tahun kemudian, pada tahun 1337 M, manusia Agung Je Tsongkhapa dilahirkan dan lalu dididik dalam aliran Kahdampa untuk mempelajari dan melaksanakan ajaran. Dia memperoleh pengertian benar tenteng Sabda Sang Buddha beserta komentar terjemahanya, ia mengajar muridnya dengan cara yang sangat meyakinkan. Aliran yang didirikanya dan yang dikembangkan oleh para bijaksana pengikutnya (seperti Khedrub-rje) dikenal sebagai Gelugpa atau Gedanpa.



Perkembangan Buddha dhamma di Tibet

Di Tibet, Dhamma sang Buddha dianut dimana-mana karena ada banyak kesalahan-pemahaman tentang praktek Buddha dhamma di Tibet, pada kesempatan ini dirasa perlu untuk menyajikan sejarah singkat mengenai perkembangan Dhamma di Tibet.

Secara Geografis, Tibet di bagi menjadi tiga bagian yaitu; U Tsang, Do Tod, dan Do Med.
Tiada tempat dalam tiga daerah ini yang tidak ada dhammanya, jadi bisa dikatakan bahwa dhamma bersinar laksana mentari di atas seluruh tanah Tibet.

Dari sudut pandang waktu, sejarah Tibet di bagi dua;
masa perkembangan kono sasana(Ajaran), dan masa perkembangan selanjutnya.


Masa perkembangan Kuno

Raja Tibet ke 32 yang bergelar Srong-tsen Ganpo (650 M) menduduki tahta pada usia tiga belas dan memerintah dengan sangat religius. Karena jasanyalah Buddha Dhamma pertama sekali di ajarkan di Tibet, dan lewat usahanya jugalah banyak Vihara yang didirikan di Lhasa, Tra-Drug (Tibet selatan), dan di tempat lain. Dia juga mengirimkan dutanya, Thon-mi-Shambota, ke India untuk belajar tata bahasa sangsekerta. Sekembalinya ke Tibet, Thon-mi-Shambota menyusun kembali apa-apa yang sudah di pelajari. Hasilnya adalah sebuah naskah dan delapan jilid buku tatbahasa yang secara Ortografi sesuai bagi orang Tibet. Raja ini juga banyak mengundang para bijaksana dan rohaniawan buddhis dari India dan Nepal untuk mengunjungi Tibet. Diantara merekaini, yang paling mashur adalah Acarya (guru) Kumara, dan Acarya Brhamana Sankara, dan Acarya Sila manju dari Nepal. Para guru ini menterjemahkan sebagian sutra dan Tantra (naskah meditasi) asli untuk mengenalkan Buddha Dhamma kepada masarakat Tibet.
Walaupun dhamma tidak di ajarkan secara meluas, Sang Raja melindungi banyak orang yang beruntung mempraktekan Dhamma terutama Ajaran Maha-karunika (yang maha pengasih, Avalokitesvara)

Setelah raja yang bijaksanaini, penguasa ke 37 yang bergelar Tri-tsong-de-tsen (756-804 M) juga seorang penguasa yang sangat bijaksana dan adil. Dalam dirinya terdapat itikad yang sangat kuat untuk menyebarkan Buddha Dhamma ke seluruh daerah kekuasaanya.
Demi usahanya inilah ia mengundang guru-guru buddhis dari India. Karena undangan-nyalah Upadhhayaya Santarak-sita dan Guru Padmasambhava dating ke Tibet. Guru-guru lainya yang dating adalah Acarya; Vimalamitra, Santi-Garbha, Dharmakirti, Buddha-guhya, Kamalasila, Vibuddhasiddha. Di Tibet, para guru terpelajar ini dan guru-guru lainya di kenal baik dengan nama 108 Pandit. Mereka ini banyak menterjemahkan naskah-naskah ke dalam bahasa Tibet lewat kerja sama dengan para guru Tibet seperti Vairocana, Nyag Jyanakumara, Kawa Pal-Tseg dan Ghogro Lu Gyaltsen.
Tiga bagian Tipitaka, yaitu Vinaya , Sutra,dan Abhidhamma bersama banyak komentar penting lainya diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Pada saat yang bertepatan, guru-guru ini juga mendirikan banyak Vihara sebagai tempat belajar dan berlatih.

Penguasa besar selanjutnya adalah Raja ke-41 yang bergelar; Tri-ral-pa-tsen (9817-836 M) selama masa pemerintahanya ia menunjuk tujuh buah keluarga untuk mendukung setiap orang bhikshu, ia juga membangun lebih dari seribu Vihara. Dia begitu penuh keyakinan terhadap Buddha Dhamma, sehingga guru-gurunya di jinkan berdiri di atas ujung mahkotanya sementara ia melayani mereka dengan sepenuh hati. Dia benar-benar menjalankan Ajaran sang Jina dengan cara yang mulia. Seperti dua Raja sebelumnya, ia jugamengundang guru-guru buddhis India ke Tibet dan diantara mereka yang datang ini terdapat Acarya dan Upadhyaya; Jinamitra, Surendrabodhi, Silendrabodhi, Danasila, dan sebagainya.
Sang Raja juga mengijinkan Upadhyaya Tibet Ratnaraksita, Dharmatasila, Lotsava (Penterjemah) Jnanasena dan Jayaraksita untuk merevisi hasil terjemahan lama yang telah dilakukan pada masa Raja sebelumnya.
Dia juga menyuruh mereka untuk menetapkan istilah Tibet yang paling sesuai bagi istilah Sangsekerta sejauh tidak diterjemahkan baik dalam litab Hinayana maupun Mahayana.

Guru-guru ini lalu menyiapkan, dengan seijin Raja, eman belas jilid kitab berjudul "IBUNDA AGUNG" , yang dalam bahasa Sangsekertanya; Satasahasrikaprajnaparamita sutra(Sutra seratus ribu sair tentang Kebijaksanaan Sempurna).
Begitulah, terjemahan-terjemahan lama di revisi dan ditulis ulang dalam bahasa pada masa itu sehingga mendorong perkembangan Roda Dhamma di tanah Salju. Ini mengakhiri penjelasan singkat tentang periode kuno perkembangan Dharma.


Masa Perkembangan Selanjutnya.

Setelah mangkatnya Raja yang terakhir, Raja ke-42 yaitu Lang-dar-ma (836-842M) membenci ajaran buddhis.Dia banyak bertindak brutal terhadap umat Buddha dan menyiksa mereka demgam sangat kejamnya sehingga Buddha sasana hampir lenyap selama masa kekuasaanya. Karena takut terhadap Raja ini, tiga orang pengikut dari tradisi Acarya Santaraksita melarikan diri ke wilayah Khamba di Tibet timur dan disana mereka menerima ordinasi sebagai bikshu dari seorang guru. Mulai saat itu dan disebabkan perpindahan Acarya Dharmapala dan Sadhupala dari Tibet barat ke Timur, jumblah bikshu meningkat kembali secara bertahap. Hasil kegiatan para guru ini adalah, berbarengan dengan kedatangan Mahapandita Sakyasri dari Kashmir, bertambah banyaklah jumblah bhikshu sehingga Buddha Dharma dapat berkembang kembali di Tibet.

Semenjak itulah, para guru India dating ke Tibet, sementara banyak guru penterjemah dari Tibet yang dengan banyak penderitaan dan kesukaran melakukan perjalanan ke India dan Nepal untuk belajar Sutra dan Tantra, dengan menawarkan setumpuk emas di kaki para guru dan para bijaksana besar di jaman itu. Sekembalinya ke Tibet, mereka menterjemahkan banyak Ajaran ke dalam bahasa Tibet sehingga jumblah penganut bertambah banyak. Dengan cara inilah mereka melawan kemunduran yang sudah lama terjadi dalam tradisi belajar dan Praktek.
Begitulah, Buddhasasana kembali bersinar laksana mentari

Inilah keterangan singkat periode perkembangan Dharma selanjutnya di Tibet;

Mungkin ada orang yang menduga bahwa karena ada banyak aliran pemikiran dan praktek buddhis di Tibet, pasti ada kepercayaan, praktek, dan realisasi yang saling bertentangan sama seperti adanya perbedaan yang sangat jelas antara umat Buddha dan umat lain. Tetapi sebenarnya tidaklah demikian.

Perbedaan antara aliran tersebut hanyalah kecil sama seperti perbedaan yang ada pada pesawat terbang yang kita lihat setiap hari. Biarpun ada yang kecil dan ada yang besar serta banyak simbol berbeda yang terlihat, mereka sama-sama terbang karena tenaga dorongan mesin kehadiran udara dan lain-lain, dan semuanya disebut "pesawat terbang".

Sama juga, perbedaan sepele dan tak berarati diantara aliran buddhis di Tibet hanya terlihat dalam artian cara dan metode praktek yang di anut. Cara dan praktek tersebut didasarkan atas pengalaman para pendirinya dan sesepuh aliran-aliran yng berbeda ini, untuk membimbing para siswa ke jalan yang benar. Tujuan semua aliran ini adalah pencapaian Kebuddhaan dan dalam hal ini tiada aliran yang berbeda. Lagi pula, cara disini berarti Latihan beruas TIGA (dalam kebajikan,ketenangan, dan kebijaksanaan) dan keempat mudra untuk menyokong jalan Kebuddhaan.
Ajaran-ajaran ini dapat dipakai tampa ada pertentangan apakah seorang melatih jalan sutra, atau Tantra, atau keduanya.
Kita harus paham bahwa dalam hal ini praktek semua aliran ini sama.


Buddha Dharma Murni di Tibet

Ada orang yang berpendapat bahwa agama Tibet, adalah agama para "lama" yang di hasilkan dari sebuah sistem "lamanisme". Mereka juga berkata bahwa ini sangat jauh dari? ajaran sejati Sang Buddha. Pendapat seperti itu sangat keliru karena tidak ada 'isme' lama yang terpisah dari ajaran Sang Buddha.

Semua Sutra dan Tantra yang membentuk dasar Buddha Dharma di Tibet di ajarkan sendiri oleh Sang Buddha. Lagian, para terpelajar India telah membuat uji beruas tiga untuk menentukan arti dan keaslian Sutra dan Tantra. Harus diketahui juga bahwa para agung dan yogi mencapai pencerahan dengan melatih ajaran yang mendalam ini. Akhirnya, Raja-raja Tibet yang laksana bodhisattva, dengan para mentri dan penterjemah mereka, bahkan tidak lagi memperdulikan kehidupan mereka tidak mengejar uang dan kekayaan, demi memperoleh pengetahuan Dhamma yang benar.
Para terpelajar Tibet telah banyak menderita dan mengalami bermacam rintangan dalam perjalanan ke NEPAL dan INDIA, berulang kali pergi ke sana untuk mendapatkan naskah dan tradisi yang benar, dan kepergian serta kedatangan mereka ibarat aliran air sungai di antara kedua negara itu. Mereka belajar dan berlatih Dharma di bawah bimbingan guru terpelajar yang kepiawaiyan tak dipertayakan lagi. Mereka memuaskan para guru ini dengan melayani mereka dalam segala cara, mendengarkan Dhamma dan menterjemahkannya kedalam bahasa Tibet. Dengan dasar ajaran ini, umat buddha Tibet mendengar Dharma, memikirkanya dan mempraktekanya. Disamping dharma asli ini tiada ajaran serampangan yang berasal dari lama-lama di TIBET.

Jika keraguan yang terbersit, atau jika ada acuan yang harus dicari dalam sebuah diskusi dharma, mereka akan selalu berpikir "Apakah benar ini yang disabdakan oleh Sang Buddha' atau mungkin "apakah benar ajaran ini di berikan oleh para guru INDIA". Dharma selalu diteliti dengan cermat. Hanya dengan sabda asli Sang Buddha atau Guru Indialah suatu ajaran di kukuhkan dan diterima sebagai sebuah kebenaran.

0 komentar:

Posting Komentar

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;