Selasa, 14 Agustus 2012

TOKOHTOKOH BUDDHIS DUNIA MEWUJUDKAN BUDDHADHARMA



Sukong adalah panggilan yang kerap digunakan untuk menyebut Bante Ashin Jinarakkhita. Nama kecil Sukong adalah The Boan An (lahir di Bogor pada 23 Januari 1923; adalah Bhikkhu Indonesia pertama dalam 500 tahun saat ia ditahbiskan pada tahu...n 1953. Sebagai seorang Bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi Bhikkhu, beliau mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan beliau untuk `terbang' dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists.
Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.
Di usia tua beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet.Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap `mengajarkan` kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari sampai kemudian meninggal di tahun 2002.

http://www.facebook.com/?sk=messages#!/photo.php?fbid=130955320312046&set=o.129845410403350&type=1&theater
Y.M MAHASTHAVIRA ASHIN JINARAKKHITA
(1923-2002)
Oleh
Tim Buddhakkhetta

Sumber
Profil 8Tokoh Pejuang Agama Buddha, Setia Wijaya, S.Psi, Keluarga Karyawan Buddhis Vidya Mitra.
http://harpin.wordpress.com/pic-history/



SEJARAH SINGKAT

Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira, yang lahir di kota Bogor, 23 Januari 1923, wafat 18 April 2002  di Rumah Sakit Pluit Jakarta dalam usia 80 tahun,disemayamkan di Vihara Ekayana Jl. Mangga II, Tanjung Duren, Jakarta barat, diperabukan di krematorium Yayasan Bodhisattva, Lempasing, Bandar Lampung.

Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira dengan nama The Boan An, bagaikan mengikuti perjalanan waktu menelusuri sejarah perkembangan agama Buddha di Indonesia. Sang PELOPOR KEBANGKITAN AGAMA BUDDHA di INDONESIA, itulah julukan yang disandangnya.

Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira diusulkan Penerima Anugerah Bintang Maha Putra oleh Menteri Agama, Prof Dr Said Agil Al Munawar.

Abu jenazah Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira dibawa pulang ke tanah Jawa dan disemayamkan di Vihara Sakyawanaram Pacet, Jawa Barat, tempat selama ini Bhante Ashin bermukim. Di sana pula akan dibangun sebuah Aula yang akan diberi nama Ashin Jinarakkhita Graha oleh Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).
Bhante Ashin, demikian panggilan umat Buddha yang ditujukan kepada Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. Beliau menyelesaikan sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada awal tahun 1946, beliau meneruskan pendidikannya di Belanda sebagai pelajar pekerja. Di Belanda beliau kuliah di Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Beliau mendalami Ilmu Kimia yang memang menjadi pelajaran favoritnya.
Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, ia sering membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya kepada teman-teman sepermainannya.
Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran.
Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya. Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan.
Ketika di negeri Belanda beliau juga mengikuti kuliah filsafat, belajar bahasa Pali dan Sansekerta, dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri Belanda ini pula minatnya pada Buddha Dharma semakin kuat, sehingga sebelum menyelesaikan pendidikannya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Buddha Dharma. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi seorang Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.
Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide brelian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai meyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia.
Beliau mendalami Dharma dari seorang mahabhiksu yang berdiam di Vihara Kong Hoa Sie. Pada bulan Juli 1953, beliau ditahbiskan menjadi seorang sramanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang).
Atas anjuran guru yang pertama ini untuk mendalami Dharma di luar negeri, beliau pergi belajar ke Burma. Selama beberapa bulan beliau menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Dalam waktu kurang dari sebulan, beliau mendapat kemajuan yang amat pesat. Beliau mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23 Januari 1954 Sramanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang sramanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Beliau tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih mendalami Dharma dan meditasinya.
Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam diri. Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia.
Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.
Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.
Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsep Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.
Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada pribadi masing-masing umatnya. "I am just a servant of the Buddha", ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama.
Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia.
Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuan beliau yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan beliau untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.
Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet. Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap ‘mengajarkan’ kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.
Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau. Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia. Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Hasil perbincangan dengan Y.M. Bhikkhu Ashin di kediamannya di Lembah Cipendawa, Pacet - Cianjur Jawa Barat tanggal 25 Januari 1994. Pada saat Upacara peringatan ulang tahun ke 72 dan 40 tahun pengabdian.

Apakah latar belakang pemberian nama Bhante Ashin Jinarakkhita?
Dengan bercanda Bhante mengucap : Ashin itu artinya kan banyak makan garam) begini, yang memberikan nama Ashin Jinarakkhita adalah Guru pembimbing Dhamma Yakni Y.A. Mahasi Sayadaw. Kenapa diberi nama itu, ya harus bertanya pada beliau Y.A.Mahasi Sayadaw dikenal sebagai guru meditasi Vipassana (Burmuse Methot) yang memiliki reputasi Internasional. Lahir pada tahun 1904 di sebuah desa makmur yang terletak di Burma. Sejak berumur 6 tahun beliau dikirim ke vihara untuk belajar Dharma. Beliau mulai menjadi bhikkhu pada usia 19 tahun dengan nama Ashin U Shobana yang artinya "memberi harapan sukses"; sebuah nama yang disesuaikan dengan ketegarannya, sikap yang mengesankan prilakunya yang agung dan tenang, Sebagai penghargaan atas pencapaian spiritual dan intelektualnya yang istimewa, beliau dianugerahi gelar Angga Maha Pandita yang berarti telah             mencapai kebijaksanaan luhur" oleh Presiden Burma pada tahun 1952.

Bagaimana Bhante memperdalam Buddha Dharma?
Melalui buku-buku, setelah itu mencari guru. Misalnya untuk memperdalam meditasi, belajar dengan Y.M Mahasi Sayadaw Sedangkan belajar Abhidhamma dengan guru Abhidhamma. Namanya Y.A. Patthana Sayadaw.

Bagaimana Ceritanya Bhante bisa menjadi Anggota Sangha?
Kalau orang sekarang mungkin mengatakan itu panggilan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau nggak, mana mungkin begitu lama. Mungkin setengah jam lagi         saja sudah jadi umat awam lagi karena disiplin yang ketat.

Siapa orang yang paling berpengaruh atas keinginan Bhante menjadi Bhikkhu?
Keluarga tidak ada. Semua orang menentang kecuali guru Ven. Pen Cing yang mendorong dan memberikan biaya ke Burma. Pada zaman dahulu cia-cay (vegetarian) saja orang sudah nentang, karena cara pemikiran pada masa itu orang cia-cay dianggap jasmaninya lemah. Nggak sehat. Pada saat berumur 13 tahun, saya sudah vegetarian, tidak ada yang mengajarkan.

Apakah pandangan Bhante terhadap Agama Buddha pada waktu itu?
Saat itu, kita melihat agama lain banyak yang telah maju. Waktu itu agama Buddha belum resmi, bahkan dulu   pernah dilarang di Jakarta Timur di mana Klenteng-klenteng ditutup atas perintah Pangdam Jakarta Timur. Sekarang keadaannya lebih baik. Agama Buddha sudah resmi. Malah hari besar agama Buddha yakni Hari Waisak dijadikan hari libur nasional.

Lalu, Apakah yang membuat Bhante tertarik pada agama Buddha?
Waktu dulu, agama lain juga dipelajari. Melihat yang baik, diambil, dan dijalankan. Namun pelajaran agama Buddha itu kok cocok dengan hati. Ya, diteruskan!

Dan, kita sebagai umat awam   harus berperan bagaimanakah dalam rangka ikut
memajukan agama Buddha?
Dasarnya Dharma. Banyak memperhatikan, belajar, mengerti, melaksanakan serta mengamalkan Buddha Dharma. Itulah tugas kita semua. Kalau bukan kita yang membantu, siapa lagi yang akan memajukan agama Buddha?

Kalau Bhante mulai hidup ini dari awal lagi, Bhante ingin menjadi apa?
Tidak mau menjadi apa-apa. Kalau bisa jangan kembali lagi.

Bhante dikenal sebagai "Sang Pelopor kebangkitan Agama Buddha di Indonesia ". Bagaimana pandangan Bhante terhadap sebutan tersebut?
Tidak gembira! Bikin repot saja! Kalau kita berbuat hendaknya tinggalkan ke "Akuan" kita. Itu yang harus dipraktekkan. Jangan "aku" yang ditonjolkan. Itu bukan ajaran Buddha.

Menurut Bhante, apakah ada perbedaan motivasi seseorang menjadi bhikkhu antara dulu dengan sekarang?
Ada. Di Indonesia dulu orang takut menjadi Bhikkhu, kenapa? Karena dulu ajaran Kong Hu Cu mengajarkan orang harus berkeluarga, harus cari duit, punya rumah, punya harta banyak. Jadi kalau mau jadi bhikkhu, orang akan mengatakan, "apa apaan nih jadi bhikkhu? Sekarang kita lihat orang tidak takut lagi. Malah ada orang tua yang mendukung anaknya menjadi bhikkhu.

Apakah saran Bhante terhadap mereka yang berniat menjadi bhikkhu?
Perhatikan ajaran Sang Buddha terlebih dahulu, kalau belum merasa tertarik, jangan memaksakan diri, jangan menjadi bhikkhu karena pelarian. Jadi sudah menyimpang dari tujuan agama Buddha yaitu merealisasikan kesempurnaan.

Apakah Bhante percaya kalau ada yang mengatakan dia tidak bisa membantu vihara, atau lebih luasnya, tidak mempunyai waktu lagi untuk belajar Buddha Dharma serta menjadi pengurus?
Tidak percaya! Satu hari ada 24 jam. Untuk belajar Buddha Dharma tidak perlu berjam jam. Kalau kita ambil 30 menit saja masih cukup untuk tidur, dan untuk mencari nafkah. Tergantung orangnya mau atau tidak mengatur waktunya. Kalau tidak mau, ya tidak mempunyai waktu.  (Bhante, kami setuju dengan ucapan Bhante). Memang pada dasarnya tidak ada seorang manusia pun yang dapat memaksa kita untuk membantu vihara serta belajar Buddha Dharma. Semua perbuatan yang ada, kitalah yang mengatur, dan kita pulalah yang akan menerima akibatnya.)

Apakah pesan Bhante untuk mereka yang saat ini menjadi pengurus?
Ada macam-macam pengurus. Ada yang untuk mencari nama, bukannya mengabdi. Jadi kalau tidak dituruti ngomel. Jadi kalau mengabdi, mengabdilah tanpa pamrih. Jangan mengharapkan apa-apa. Kalau membantu, harus membantu dengan tulus. Perdalamlah Buddha Dharma dan praktekkan. Dharma itu penting. Jangan kita beragama Buddha namun kurang pengertian tentang Dharma. Hidup sederhana, berikanlah contoh yang baik. Jangan sering emosi. Hati-hati kalau bicara, jangan  membuat sakit hati orang, jagalah lidah yang tidak bertulang.

Bagaimanakah ceritanya Bhante dapat berkenalan dengan Bhiksu Prajnavira?
Saya kenal sejak Bhiksu Prajnavira masih anak-anak. Di Medan waktu itu. Saya juga kenal seluruh keluarganya.

Mohon bimbingan Dharma dari Bhante !
Nih, dengar baik-baik. Anda patuh sila, samadhi, dan panna. Taatilah sila dan Samadhi (meditasi). Kalau kita laksanakan sila dan samadhi maka panna (kebijaksanaan) akan timbul dengan sendirinya. Tidak susah ! Yang penting jalani ajaran-ajaran Sang Buddha.

Harapan Bhante?
Semua selamat, semua bisa sadar. Semua umat Buddha dapat melaksanakan ajaran agama Buddha demi kepentingan seluruh umat manusia.



DOKUMENTASI PERJALANAN Y.M ASHIN JINARAKKHITA


Anagarika The Boan AnAnagarika The Boan An
Anagarika The Boan An, semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.

Konferensi Pers Waisak Nasional Pertama
Konferensi Pers Waisak Nasional Pertama. Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide berlian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan.

Bersama Guru Mahayana
Jakarta, Juli 1953 bertempat di Wihara Kong Hua Sie(skr W.Vaipulya Sasana) beliau ditahbiskan menjadi seorang samanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana(cha'n) di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang)-tengah.

Ashin Jinarakkhita
Myanmar, 23 Januari 1 954 Samanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang samanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya).

sukong4
sukong5
Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada Pada hari Asadha 2499 atau 4 Juli 1955 di Wihara Buddha Gaya Watugong- Ungaran,  Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.

sukong2
Bersama Romo Mangunkawatja
Borobudur-Jawa Tengah 1956, Memimpin Prosesi Waisak Buddha Jayanti 2500 bersama Romo Mangunkawatja.

Di tahun 1956 umat Buddha sedunia merayakan Buddha Jayanti, genapnya masa 2,500 tahun perjalanan sejarah agama Buddha terhitung sejak Buddha Gotama wafat. Selama ini beredar ramalan yang menyatakan bahwa setelah 2,500 tahun agama Budha akan lenyap, atau sebaliknya akan berkembang kembali. Melalui perayaan ini tersirat harapan agama Buddha bangkit di zaman modern. Di Indonesia perayaan Buddha Jayanti ditandai semangat kebangkitan kembali agama Buddha yang pernah terkubur di bawah reruntuhan kerayaan Majapahit.

penahbisan
Penahbisan Bhikkhu
tahun 1959 Biku Ashin Jinarakkhita mengundang 13 biku dari luar negeri, yaitu Y.A. Mahasi Sayadaw dari Myanmar, Y.A. Mahathera Narada dan 6 biku lain dari Sri Lanka, 3 biku dari Thailand, dan 2 biku dari Kamboja.

Indonesia membutuhkan banyak bhikkhu. Menurut Vinaya atau peraturan Sanggha, penahbisan bhikkhu, yaitu upasampada dapat dilakukan dengan syarat paling kurang dihadiri oleh 5 bhikkhu senior. Ketika itu yang ditahbiskan adalah Ong Tiang Biauw yang kemudian diberi nama Jinaputta. Ia adalah pendiri sekolah Buddhis yang pertama di Indonesia. Sekolah yang terletak di Jakarta ini asalnya Batavia English School (1931), pernah ditutup pada zaman penjajahan Jepang, kemudian dibuka kembali dengan nama Sin Hwa English School (1945), dan terakhir menjadi Sekolah Sariputra pada tahun 1955.

Sebelum menjadi bhikkhu, Tee Boan An pernah juga mengajar di sekolah ini. Sekolah Sariputra memiliki sebuah vihara, tempat ibadah Buddhis pertama di Jakarta yang tidak bercorak klenteng. Di sana pada tanggal 17 Mei 1959 Ong ditahbiskan menjadi samanera dan selanjutnya 5 hari kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhu di Watugong, Jawa Tengah. Bersamaan dengan itu ditahbiskan pula Ktut Tangkas dari Singaraja  dan Ki Sontomihardjo dari Banyumas menjadi samanera. Tahun-tahun selanjutnya calon-calon bhikkhu dan bhiksuni dikirim untuk ditahbiskan di luar negeri.

Bersama Gurunya Mahasi Sayadaw di Bandung
Vihara Vimala Dharma-Bandung 1959, Mengundang gurunya Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera/Mahasi Sayadaw ke Indonesia.

Bandung, 19.. Mengundang biku Narada ke Indonesia
Bandung, 1959 Mengundang bhikkhu Narada ke Indonesia untuk acara penahbisan bhikkhu di Indonesia.

Singaraja-Bali, November 1960.
Singaraja-Bali, November 1960.

Palembang 1960
Palembang April 1960, Buddha Dharma mulai bergema lagi di Palembang sekian lama setelah jatuhnya kedatuan Sriwijaya.

Bengkulu Maret 1960, Penyebaran Agama Buddha menyeberang ke Sumatra
Bengkulu Maret 1960, Sayadaw Ashin.

Bersama Romo Kumarasamy, Medan 1960
Ashin Jinarakkhita memulai Pembabaran Buddha Dharma di Sumatra.
Bersama Romo Kumarasamy, Medan 1960.

Peresmian Vihara Dharmakirti, 1962
Palembang , Dua tahun kemudian Vihara Dharmakirti berdiri dan diresmikan Sayadaw Ashin Jinarakkhita pada 8 Juli 1962.

Padang 1962, Buddha Dharma mulai dikenal di kota Padang. Sayadaw Ashin Jinarakkhita dibantu murid yang dikasihinya Samanera Giri (kemudian dikenal dengan B.Giri Rakkhito).
Padang 1962, Sayadaw Ashin Jinarakkhita dibantu murid yang dikasihinya Samanera Giri (kemudian dikenal dengan B.Girirakkhito) mulai memperkenalkan Buddha Dharma di kota Padang.

Bandung 1969
Mengundang DharmaDuta Thailand
Bandung 1969. Untuk kepentingan pengembangan Buddha Dharma di tanah air, atas Undangan Ashin Jinarakkhita Mahathera dari Maha Sangha Indonesia, tibalah rombongan bhikkhu dari Thailand di Indonesia.

Keterangan foto: Di barisan depan kiri ke kanan: Kepala Vihara Wat Bovoranives Bangkok Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana, Wakil Kepala Vihara Wat Bovoranives Chao Kun Dhamma, Ketua Maha Sangha Indonesia Bhikkhu Ashin Jinarakkkhita, Bhikkhu Khantipalo dari Inggris. Beberapa tahun kemudian Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana yang menjadi guru agama Raja Thailand, diangkat menjadi Sangharaja Kerajaan Thailand.

Cipanas 1969
Cipanas 1969.

Thai dharmaduta
Bandung 1969, Bhante Ashin Jinarakkhita bersama 4 Dharmaduta Thailand yang diundang beliau. Keempat orang Dhammaduta dari Thailand ini diharapkan membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn(yang juga akrab di panggil bhante Vin), Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Ven. Phra Maha Prataen Khemadas, dan Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo.

Tiga dari keempat Dhammaduta itu hanya tinggal beberapa bulan di Indonesia. Tapi Dhammaduta yang ke-4, Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn(yang juga akrab di panggil bhante Vin), menetap di Indonesia selama beberapa tahun. Setelah itu masih bolak-balik ke Indonesia, sampai meninggal beberapa tahun lalu.


Penahbisan Bhikkhu
Dengan bantuan Dharma Duta Thailand ini, tahun 1970 bersamaan perayaan waisak di Borobudur diadakan penahbisan bhikkhu. Sayadaw Ashin Jinarakkhita menyerahkan murid-murinya yang masih samanera  mengambil sisilah Dhammayuttika dari Kepala Vihara Wat Bovoranives Bangkok Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana (sekarang Sangharaja Thailand). 5 orang biku yang ditahbis adalah: B.Aggajinamitto, B.Uggadhammo, B. Jinadhammo, B. Sirivijayo (lepas), B.Saccamano (lepas).
Karena Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana harus kembali ke Bangkok, pembimbingan biku-biku muda ini diserahkan pada Bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin) yang kemudian  sering berada di Indonesia.

Bersama Murid
Bersama murid yang dikasihinya B.Jinapiya (sekarang B.Thitaketuko).

Bersama murid-murid
Bersama murid-murid yang dikasihinya, Bhikkhu Agga Jinamitto dan Biku Girirakkhito.

Menado 1981
Menado 1981.

Cipendawa 1982, Sederhana dan bersahaja.
Cipendawa 1982, Sederhana dan bersahaja saat menjamu Thrangu Rinpoche. Sederhana, teladan hidup Sayadaw Ashin  Jinarakkhita.

Sisa Perabuan berupa relik warna-warni berkilau.
Sisa Perabuan Ashin Jinarakkhita berupa relik warna-warni berkilau. Kepercayaan Masyarakat Myanmar tempat beliau ditabhis menjadi biku Theravada dan Umat Buddha umumnya, jika memiliki relik setelah perabuan, sudah pasti beliau adalah Arahanta.

http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat9/Sub29/Art58/baca.php?com=1&id=158

Y.M  Bhikkhu Jinadhammo Mahathera
Bhante Jinadhammo itu titisan Raja Sriwijaya. Ia membuat Buddha Dharma berkilau di Pulau Sumatera. Kilaunya sampai ke seluruh  pelosok nusantara. Demikian pernah disampaikan oleh seorang aktivis Buddhis terkemuka. Pernyataan tersebut jika direnungkan secara mendalam bukanlah sesuatu yang berlebihan. Di tangan bhikkhu yang dikenal sangat disiplin dalam tata susila (baca : vinaya-Red) inilah, bergulir banyak sejarah, mulai dari pembangunan vihara, guru dan dosen Agama Buddha, aktivis-aktivis Buddhis, sekolah, proyek sosial, dan  sederet kegiatan lainnya. Semuanya mengukir prestasi yang monumental.
Bhikkhu Jinadhammo merupakan salah satu dari lima bhikkhu yang pertama kali ditahbiskan setelah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, di Candi Borobudur pada tahun 1970. Beliau juga termasuk sebagai  bhikkhu dengan vassa tertua di Indonesia yang masih tetap lincah dan bersemangat dalam mengembangkan Buddha Dharma, khususnya di Indonesia. Ia dikagumi  Umat  Buddha bukan saja karena kesederhanaan hidupnya tetapi juga keteguhan prinsipnya.
Bhikkhu  Jinadhammo dilahirkan di Desa Gempok. Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, pada tanggal 3 September 1944, dengan nama kecil Sunardi.  Ayahnya, Adma M. dan ibunya, Sadiem, bukanlah Buddhis.
Sunardi kecil adalah sosok anak yang sering sakit-sakitan. Ditambah lagi dengan kondisi negara yang baru saja merdeka, memaksa keluarga  Sunardi untuk selalu berpindah-pindah ke berbagai pelosok di daerah Jawa.
Meski  berasal dari keluarga susah, Sunardi tetap bisa menamatkan Sekolah Rakyat (sekarang disebut  Sekolah Dasar-Red). Ia melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Dari kecil, semangat belajar Sunardi cukup tinggi. Untuk menambah uang saku, sepulang sekolah ia  bekerja sebagai tukang cukur rambut. Sebagaimana anak yang tumbuh remaja, Sunardi juga kerap mengunjungi tempat-tempat keramaian, terutama pertunjukkan wayang kulit. Ia betah menonton pagelaran wayang kulit berhari-hari dan tentunya sampai hapal dengan lakon dan tokoh wayangnya.
“Bhante Jinadhammo itu menguasai sekali masalah perwayangan, “ demikian disampaikan Rudiyanto Tan, Pimpinan Redaksi Majalah Dhammavira. “Satu kali, kami pernah membahas hal ini, mulai dari Ramayana, Mahabrata, sampai dengan lakon Asmara Bhumi.”
Agama Buddha mulai dikenal Sunardi saat ia bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan, yang tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Diam-diam ia penasaran dengan kemegahan candi tersebut. Pertanyaan itu terjawab ketika Sunardi membaca Majalah Mutiara Minggu yang membuat tentang agama-agama besar di Indonesia. Sunardi tertarik sekali dengan Agama Buddha dan sejak itulah ia rutin mempelajari Agama Buddha melalui majalah yang sederhana  tersebut.
Tertarik dengan Agama Buddha, akhirnya Sunardi bertemu dengan Bhikkhu  Ashin Jinarakkhita di Bandung. Dari Bhikkhu Ashin, Sunardi giat mempelajari Paritta-Paritta suci dan Buddha Dharma secara mendalam. Keseriusan Sunardi membawa berkah. Ia malah dipilih sebagai pemimpin kebaktian untuk mahasiswa-mahasiswi di Vihara Vimala Dharma, Bandung, awal tahun 1960. Hal ini pula yang membawa Sunardi bergabung dalam organisasi Agama Buddha di Bandung pada tqahun 1962.
Setelah satu tahun di Kota Kembang ini, Sunardi ditugaskan oleh Bhikkhu Ashin untuk mengembangkan Buddha Dharma di wilayah Sumatera, khususnya Medan, Padang dan Pekanbaru.
Setelah Sunardi ditahbiskan sebagai upasaka oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, ia kerap mendampingi Bhikkhu Ashin berkeliling Sumatera bahkan Indonesia. Dan ini suatu kebanggaan tersendiri  pada masa itu, karena siapa yang bisa terpilih sebagai upasaka Bhikkhu Ashin, merupakan hal yang sangat jarang terjadi.
Upasaka Sunardi ditahbiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Dhammasushiyo. Selang beberapa waktu  kemudian, samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi Bhikkhu. Tepat pada Hari Waisak, tanggal 9 Mei 1970, pukul 14.00 WIB, bertempat di Candi Borobudur, bersama empat orang Samanera lainnya, yaitu Samanera  Jinasuryabhumi (U.P.Dhamapala alias Nirihuwa Bermandus-kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Aggajinamitto), Samanera Dhammasila (Tan Hiap Kik-kemudian dikenal  sebagai Bhikkhu Uggadhammo), Samanera Dhammavijaya (Tiong Khouw Siw-dikenal dengan Bhikkhu Sirivijoyo, telah lepas jubah), dan Samanera Dhammabhumi (Djumadi, dikenal sebagai Bhikkhu Saccamano, telah lepas jubah)  - Samanera Dhammasushiyo ( dikenal sebagai nama Bhikkhu Jinadammo) diupasampada menjadi bhikkhu.
Selang  beberapa waktu setelah diupasampada, Bhikkhu Jinadhammo berlatih meditasi di Wat Ban Tad, Daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari Kota Bangkok, dibawah pengawasan Ajahn Boowa, seorang meditator tersohor, selama kurang lebih tiga tahun. Wat Ban Tad adalah salah satu nama vihara sekaligus pusat pelatihan meditasi termasyur di Muangthai, selain Wat Ba Phong, tempat meditator  legendaris Ajahn Chah melatih murid-muridnya.
Setelah tiga tahun belajar meditasi di Muangthai, Bhikkhu  Jinadhammo kembali  ke Indonesia dan bertugas untuk membina Umat Buddha di Pulau Sumatera. Beliau bermukim di Vihara Borobudur, Medan.
Bersama dengan Bapak Wirawan Giriputra dan Bapak Otong Hirawan, Bhikkhu Jinadhammo bekerja keras memajukan Agama Buddha di Kota Medan. Atas jasa Bhikkhu Jinadhammo pulalah mulai didatangkan tenaga pengajar Agama Buddha dari pulau Jawa ke Sumatera, khususnya Medan dan sekitarnya. Beliau juga mengangkat guru-guru Agama Buddha tersebut sebagai upasaka pandita agar dapat  mewakili Sangha, yang pada masa itu tercatat masih sangat minim jumlahnya. Dari guru-guru agama tersebut, tercatat nama-nama seperti  Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang memiliki peranan besar dalam mendirikan Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Pandita Kumala Kusumah yang berjasa besar dalam memajukan pendidikan Agama Buddha di Kisaran atau Pak Dharmanto di Medan.
Selain menggerakkan  pembangunan banyak Vihara di Sumatera, Bhikkhu Jinadhammo juga sangat antusias dalam melaksanakan program latih diri terhadap Umat Buddha, beberapa diantaranya adalah Program Latih Diri Vipassana Bhavana yang dilaksanakan secara rutin. Pekan Penghayatan Dharma, Latih diri Atthangasila/Pabbaja Samanera-Samaneri, dan banyak lagi. Bhikkhu  Jinadhammo juga memberi perhatian besar terhadap dunia pendidikan. Didukung oleh Romo Ombun Natio, Bhikkhu Jinadhammo juga menggagas pendirian Institut Agama Buddha  Smaratungga Cabang Medan (saat ini bernama Sekolah Tinggi Agama Buddha Bodhi Dharma-Red), yang banyak melahirkan sarjana Agama Buddha yang kini tersebar baik sebagai penyuluh Agama Buddha di Departemen Agama Republik Indonesia, guru agama di berbagai sekolah, maupun aktivis Buddhis terkemuka. Beliau juga memiliki banyak anak asuh yang berasal dari keluarga kurang mampu tetapi masih memiliki keinginan untuk sekolah.
Agama Buddha di Tanah karo dan Semangat Non Sekterian
Tak banyak Umat Buddhis di Sumatera Utara yang mengetahui bahwa jasa Bhikkhu Jinadhammo dalam merintis Agama Buddha di Tanah Karo sangat besar. Sep;erti kita ketahui bersama, banyak pandangan awam yang mengtahui bahwa Agama Buddha hanya milik orang Tionghwa saja. Tentu saja ini salah besar! Selain Tionghwa, Tamil dan Jawa, ternyata Agama Buddha banyak dipeluk oleh masyarakat Batak karo. Tercatat nama-nama tokoh Buddhis yang berasal dari Batak Karo, diantaranya Bhikku Kanthadehammo, Channa Surbakti, Ndriken Sitepu, Gancih Sitepu (alm), Densi Ginting, Nenteng Barus, dan banyak lagi. Upaya ini telah mulai dirintis oleh Bhikku  Jinadhammo sejak tahun 1984. Saat ini, jumlah masyarakat Batak karo yang memeluk Agama Buddha semakin meningkat. Bahkan diantara mereka ada yang telah fasih dalam melafalkan Paritta dan menjadi Tokoh Agama Buddha. Untuk inilah, Bhikkhu Jinadhammo juga merintis vihara-vihara untuk masyarakat Batak karo, antara lain Cetiya Sakya Kirti (Tanah Karo), Vihara Kassapa (Desa Turangi), Vihara Sangha Ramsi (Sibiru-biru) dan Vihara Sriwijaya (desa Parangguam Baru).
Ada satu hal yang patut dipuji dari Bhikkhu Jinadhammo Mahathera, dalam pengabdian yang luar biasa dalam bidang Buddha Dharma, Beliau dikenal sebagai sosok yang tidak terikat kepada sekterian dalam pengertian yang sempit. Meski tercatat sebagai salah satu senior di Sangha Agung Indonesia, Beliau juga merupakan penasehat dari Cetiya Maha Sampatti dan Vihara Maha Sampatti yang merupakan vihara di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia. Beliau juga kerap memberi ceramah dan menghadiri perayaan hari besar Agama Buddha di vihara-bihara Mahayana.
Dalam usia yang makin menua, Bhikkhu Jinadhammo masih terus giat membabarkan Buddha Dharma di berbagai pelosok daerah.
(Dari Berbagai Sumber / Tim Thammavira) – Majalah Dhammavira


 Bhante Uttamo adalah salah seorang Bhikkhu Sangha Theravada Indonesia yang cukup aktif, walaupun baru beberapa tahun menjadi bhikkhu. Dalam membina umatnya, beliau tidak pernah mengenal lelah. Didukung gaya ceramahnya yang demikian menarik, tidaklah heran bila beliau cukup terkenal di kalangan umat Buddha Indonesia, terutama di Jawa Timur. 

 Ikutilah hasil wawancara reporter kami agar dapat mengenal beliau lebih dekat —Redaksi.
Kalau tidak salah, dulunya bhante bukan seorang umat Buddha. Apa sebenarnya yang mendorong bhante untuk menjadi bhikkhu?

Mulanya bukan apa yang mendorong saya menjadi bhikkhu, tapi apa yang mendorong saya memilih Agama Buddha. Ketika saya mempelajari agama yang terdahulu, pertanyaan saya mengenai kepincangan-kepincangan dalam hidup ini (ada yang kaya, miskin, pintar, bodoh, sehat, sakit-sakitan, dan lain-lain) hanya dijawab bahwa itu adalah rahasia Tuhan. Lalu saya renungkan, kalau hidup ini saja rahasia, apakah ada jaminan bahwa setelah mati akan masuk surga? Kalau itu juga suatu rahasia, untuk apa saya memuja yang serba rahasia, itu 'kan tidak masuk akal! Nah, mulailah saya mencari agama-agama lain. Bukan hanya masuk untuk pasif, tapi ikut aktif di dalamnya, tapi saya tetap tidak puas. Lalu saya pikir, bagaimana ya, kalau saya masuk Agama Buddha?

Jadi, bukan karena diajak teman?

Oh bukan, melainkan rasa ketidak-puasan dan keingin-tahuan saya yang besar itulah. Lalu saya mencari alamat vihara, dapat di Jogya, di Cetiya Buddha Prabha.

Kenapa harus di Jogya?

Karena saya berasal dari Jogya, lahir di Jogya, tinggal di Jogya, sekolah di Jogya, dan kerja di Jogya. Kemudian pada Tahun Baru Imlek 1980, saya mulai melangkahkan kaki ke Cetiya Buddha Prabha. Dan bukan ajarannya yang pertama memasuki hati dan pikiran saya, tapi irama membaca parittanya (paritta Karaniyametta Sutta yang dilagukan) yang walaupun asing di telinga, demikian menyentuh hati dan perasaan saya. Demikian damai.... saat itulah saya berpikir, di sinilah tempat saya, lalu saya mulai belajar Agama Buddha sedikit demi sedikit. Setelah mempelajari bermacam agama inilah, saya simpulkan bahwa hanya Agama Buddhalah yang dapat menjawab dengan jelas segala pertanyaan itu dalam salah satu ajarannya (Hukum Karma dan Tumimbal Lahir).

Bagaimana tanggapan keluarga bhante tentang hal ini?

Ketika saya bertekad menjadi bhikkhu pada tahun 1982, saya minta ijin pada ibu saya (ayah saya sudah meninggal). Tentu saja beliau menolak mati-matian, karena tidak ada keluarga kami yang Buddhis saat itu (kecuali saya, tentunya), dan kalaupun Buddhis, kenapa harus hidup sebagai bhikkhu, tanyanya. Saat itu saya hanya bisa menunggu waktu. Tiga tahun kemudian, saya bertanya padanya, "Apakah orang tua menginginkan anaknya bahagia?" "Tentu saja", jawabnya. "Saya bahagianya menjadi bhikkhu, bagaimana?" kata saya selanjutnya. Beliau tidak dapat menjawab, lalu dengan setengah hati melepaskan saya untuk menjadi bhikkhu. Tapi selalu saya tekankan bahwa menjadi bhikkhu adalah menjadi orang baik, jadi tidak perlu disedihkan, malah harusnya didukung. Juli 1985 saya ditahbiskan menjadi samanera dan akhir vassa 1986 saya dikirim ke Thailand untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dengan perpisahan ini, ibu saya mulai bisa menerima bahwa kita tidak bisa menggenggam sesuatu terus menerus, suatu ketika pasti akan berpisah.

Apakah bhante putra tunggal?

Bukan, saya putra bungsu, kakak saya dua, lelaki semua.

Setelah bhante menjadi bhikkhu, bagaimana bubungan bhante dengan keluarga?

Mula-mula mereka memang masih keberatan. Suatu ketika saya diundang dalam reuni keluarga dan ketika saya diminta berceramah, saya mencoba menjelaskan secara singkat apa sesungguhnya Agama Buddha. Bahwa itu bukanlah agama kelenteng, bukanlah agama upacara, bukanlah agama kuno, tapi adalah agama yang sederhana yang dapat diterapkan dalam hidup sehari-hari. Sejak itu mereka mulai tertarik dan kini mulai mengerti akan ajaran Agama Buddha. Sering saya dengar mereka menyetel kaset khotbah saya di pagi hari.

Ketika pertama kali bertemu mereka dengan berjubah kuning, apakah bhante merasa canggung?

Tidak, biasa-biasa saja, karena saya memang suka yang nyentrik-nyentrik. Juga tentang jubah saya yang warnanya lain sendiri ini, saya tidak merasa canggung, 'kan tidak melanggar sila.

Apakah sejak kecil bhante kurang mendapat pendidikan agama non-Buddhis?

Justru penuh! Sejak belum bersekolah (4 tahun), saya sudah ïkut sekolah minggu agama terdahulu. Mempelajari ajarannya mulai kelas 5 SD, Masuk SMP, anak-anak belum nakal, saya sudah nakal; anak-anak mulai nakal, saya sudah baca buku-buku filsafat.

Di antara semua ajaran Sang Buddha, materi/bidang ajaran apa yang paling bhante suka?

Selain ajarannya tentang Hukum Karma dan Tumimbal Lahir, saya paling suka dengan meditasi, karena sejak SMP saya memang suka meditasi (bahkan yang aneh-aneh) cuma arahnya tidak jelas. Nah, sejak mendapat bimbingan dari Bhante Jinaphalo (bhikkhu tertua di Indonesia yang meninggal pada usia 113 tahun) di tahun 1980 —sebagai guru pertama— saya baru mempelajari meditasi Buddhis yang sesungguhnya. Karena usianya juga sudah lanjut beliau mengajarkan jurus-jurus meditasi yang kuno-kuno, yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Bila ditinjau secara Buddhis, apakah benar, bhante?

Waktu itu saya tidak mengerti secara Buddhis, tapi yang jelas saya mempunyai hal yang bisa memberikan alasan/jawaban yang masuk akal, jadi saya mantap.

Mengapa bhante tertarik dengan meditasi?

Ini ada hubungannya dengan hal lain. Setelah mempelajari Agama Buddha lebih lanjut, saya sampai pada satu kesimpulan bahwa Agama Buddha adalah agama praktek, bukan agama teori. Meskipun hafal seluruh isi perpustakaan Narada ini, tapi kalau tidak dipraktekkan, tidak ada gunanya bagi hidup, paling-paling untuk diskusi Dhamma, untuk debat. Padahal Dhamma ajaran Sang Buddha adalah ajaran untuk hidup, bukan ajaran untuk diperdebatkan, untuk ditonjolkan, tapi untuk dilaksanakan sehingga memberikan ketenangan batin. Sarana yang paling cepat dalam hal ini adalah dengan meditasi, dan meditasi yang bisa 'fulltime' (penuh) adalah dengan menjadi bhikkhu, jadi ini erat kaitannya.

Apakah benar bhante dikenal sebagai bhikkhu hutan?

(Beliau tersenyum sejenak sebelum menjawab...)

Ceritanya begini: Ketika di Thailand itu, saya belajar meditasi satu setengah tahun di bawah bimbingan Lueng Phu Thate, di daerah Nonkhai. Karena meditasi membutuhkan tempat yang tenang agar pikiran tidak mudah menyimpang, maka saya coba tinggal di hutan bersama guru saya. Dan karena seorang bhikkhu yang melatih meditasi tinggalnya di hutan, maka sering disebut bhikkhu hutan.

Hutan biasa atau hutan khusus, bhante?

Hutan biasa, di tepi sungai Mekhong, kurang lebih 2 km dari rumah penduduk terdekat. Sebagian sudah ada yang dibangun dhammasala, uposathagara dan kuti-kuti, sehingga para bhikkhu dapat tinggal di sana walaupun jarak antar kuti cukup jauh. Setiap pagi kami menyeberangi sungai Mekhong untuk berpindapatta ke desa, walaupun terkadang umat suka masak di vihara.

Bagaimana dengan binatang buas yang ada di hutan itu?

Binatang buas yang paling banyak adalah ular, termasuk yang berbisa. Di atas atap kuti tempat saya tinggal, berdiam tiga ekor ular hijau berekor merah yang cukup beracun. Kalau saya diam bemeditasi, ular-ular itu juga diam tenang, tapi begitu saya berniat mengusirnya, baru saja ambil kayu, ular itu sudah turun dan mau menyerang saya. Dari sini saya simpulkan bahwa sesungguhnya kalau pikiran kita positif, semua hasil yang kita terima akan positif, tetapi kalau pikiran kita negatif, hasilnya juga negatif. Ada ular merayap di kaki, kalau kita berpikir positif dan tenang, ular tidak akan menggigit, diam saja, tapi kalau kita ingin mengusir, pasti digigit. Ini cara berpikir positif yang langsung diterapkan. Inilah satu manfaat dengan tinggal di hutan, belajar langsung dari alam bagaimana seharusnya kita berbuat, belajar langsung dari kehidupan aslinya untuk hidup. Belajar hidup dalam kehidupan untuk hidup.

Bagaimana perasaan bhante ketika pertama kali masuk hutan?

Pertama ngeri juga, tapi kemudian timbul pikiran: Kenapa saya harus ngeri, apa yang saya takutkan? Apakah saya takut mati karena ular, dsb? Kenapa harus takut mati, bukankah orang hidup cepat atau lambat akan mati juga?

Tapi 'kan kita berusaha untuk menghindarinya, bhante?

Ya, tapi itu perlu direnungkan! Kemudian berpikir lagi: Semuanya sudah ditinggalkan, kenapa saya masih harus melekat dengan badan ini, dengan kehidupan ini? Mati pun suatu ketika akan saya alami, karena itu saya jalani saja, dan buktinya juga tidak mati sampai sekarang, masih bisa berbincang-biricang dengan kalian.

(Kamipun langsung tertawa).

Sekarang bhante masih suka meditasi di hutan?

Sementara tidak, karena di Indonesia belum ada hutan yang sesuai. Tapi bersamaan dengan pembangunan vihara di Blitar, akan dibangun pula pusat latihan meditasi untuk kawasan Jawa Timur di dekat desa Wlingi, Blitar yaitu suatu hutan, bukit kecil seluas 8500 m2.

Apakah menjadi bhikkhu itu enak, bhante?

Memang banyak orang bilang bahwa jadi bhikkhu itu enak, makan gratis, tidur gratis, pakaian gratis, obat-obatan gratis dsb. Lalu kalau enak, kenapa bhikkhunya tidak ribuan orang? Memang yang diceritakan enaknya saja, tanpa melihat sisi lainnya. Seperti halnya dua sisi mata uang logam, demikianlah seorang bhikkhu mempunyai dua misi dalam kehidupannya. Karena itu jubah dibuat dua, kanan dibuka, kiri ditutup. Walaupun hal ini telah dijelaskan oleh Sang Bhagava, bagi saya mempunyai arti yang lain yaitu untuk mengingatkan antara lahir dan batin. Bahwa yang dibuka adalah tulang dan daging yang bertekad melepas, meninggalkan keduniawian, mengurangi lobha, dosa, dan moha dengan memperdalam meditasi dan menjalankan dhamma dan vinaya. Sedang yang ditutup adalah fungsi di dalam masyararakat bahwa seorang bhikkhu harus menyantuni/melayani umat, harus menyebarkan dhamma dan mengemban misi khusus dalam masyarakat Buddhis. Kadang-kadang kedudukannya tidak seimbang antara pribadi dan fungsinya ini. Karena itu kalau ia seorang bhikkhu yang sungguh-sungguh, kanan dibuka kiri ditutup, ada satu manfaat, ada satu jalan. Jalan Tengah dalam kebhikkhuan. Jadi kalau mengatakan jadi bhikkhu enak, memang fisiknya enak, tapi batin harus lebih dijaga, karena tugas seorang bhikkhu adalah mengikis lobha, dosa, moha, mengurangi kejahatan, menambah kebaikan dan menyucikan hati dan pikiran.

Manfaat apa yang terutama bhante terima selama menjadi bhikkhu hingga saat ini?

Yang jelas, ketika saya menjadi bhikkhu, saya mempunyai kesempatan untuk melaksanakan sila sebaik-baiknya. Keinginan saya sejak SMP terpuaskan, karena orang tidak akan heran bila seorang bhikkhu puasa karena tugasnya memang melatih diri mengurangi lobha, dosa, moha. Kalau bhikkhu lain ada yang makan dua kali sehari, terserah. Saya cukup sehari sekali. Malah kadang saya puasa untuk mengurangi lobha terhadap makanan, dan tetap terjaga setelah jam 12.00 tiap malam.

Apa tidak ada maksud lain dalam berpuasa?

Ya itu tadi, untuk mengurangi lobha, dosa, moha, karena saya belum mencapai taraf yang lebih tinggi yang dapat mengatasi nafsu itu.

Tidak mengganggu kesehatan, bhante?

Saya sudah menjalankan ini dua setengah tahun, bukan satu dua minggu saja, tapi tidak apa-apa (bhante memang tampak sehat dan penuh vitalitas hidup), karena saya sudah mempunyai takaran sendiri, tidak memaksakan. Selain itu juga, saya lebih meningkatkan latihan meditasi saya.

Apakah mempunyai jadwal khusus untuk bermeditasi?

Jelas, karena meditasi adalah untuk mengatur cara berpikir, melatih daya berpikir, bukan untuk kesaktian, bukan untuk berdoa, bukan untuk mengatur nafas. Jadi harus disiplin. Kalau kita bisa disiplin dengan badan kita, kita juga harus bisa disiplin dengan batin kita yang lebih halus. Karena itu Vinaya memang menentukan. Kalau vinayanya tetap dan penuh, kemungkinan (tidak selalu) untuk mengembangkan meditasi lebih besar. Tapi kalau vinayanya saja sudah kendor, ya susah deh.

Di luar itu semua, selama ini bhante pernah ke daerah mana saja (di Indonesia)?

Karena saya mempunyai daerah pembinaan di Jawa Timur —sebagai Ketua Bhikkhu Daerah Pembinaan Jawa Timur— maka sebagian besar aksi saya di Jawa Timur, khususnya di Blitar yang merupakan basis Agama Buddha di Jawa Timur, dan di Banyuwangi.

Bagaimana perkembangan umat Buddha di sana?

Umat Buddha di sana seratus prosen pribumi, tapi mereka mempunyai semangat juang yang besar sekali. Tidak setiap tahun mereka memperoleh seorang bhikkhu, tidak setiap saat mereka dapat melihat seorang bhikkhu, tapi semangat mereka mempertahankan dhamma, baik sekali. Dalam satu kecamatan saja bisa berdiri dua vihara (yang sangat sederhana) karena banyaknya umat. Masing-masing selalu penuh setiap kali kebaktian. Keinginan mereka demikian besar untuk dapat mendirikan vihara yang besar yang dapat menampung mereka menjadi satu, tapi mereka tidak mempunyai uang. Karena itu mereka menjual sapi, beras, dll untuk didanakan sebagai dana pembangunan vihara. Ini suatu semangat yang luar biasa yang mungkin orang-orang di kota yang punya jutaan pun belum tentu mau. Dan menurut rencana, vihara yang diidam-idamkan itu akan dibangun bulan September ini, bertempat kurang lebih 400 meter sebelah Selatan makam Bung Karno, Blitar. Vihara yang besar, yang representatif. Dengan harapan bila orang mengunjungi makam tersebut, tentu akan tertarik untuk mengunjungi vihara ini. Bila ia bukan Buddhis ia dapat mencari informasi tentang Agama Buddha di vihara ini. Vihara ini mempunyai prospek yang cukup bagus dan diharapkan akan menjadi pusat perkembangan Agama Buddha di Jawa Timur.

Apakah ada kesulitan dengan penduduk sekitar atau pemerintah setempat?

Tidak ada sama sekali, karena kepala desanya juga Buddhis. Bahkan dulu pemerintah setempat hendak memberikan sebuah bukit untuk dibangun vihara. Tapi karena umat tidak mampu, tidak diterima dan sekarang sudah didirikan sekolah. Kini, bila umat mampu, bisa beli tanah di sana, dan sudah ada listrik dan air. Meskipun tempatnya kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut, pemandangannya indah sekali, dikelilingi jurang dan gunung-gunung (Gunung Kelud dan Gunung Kawi) dan di hadapannya tampak desa Wlingi dan di kejauhan terlihat kota Malang.

Bagaimana pandangan bhante tentang umat Buddha dewasa ini?

Cukup memberikan titik cerah, karena banyak umat Buddha yang kini aktif dalam kegiatan keagamaan.

Apa bedanya antara yang di desa dengan di kota?

'Sense of belonging' itu yang beda, meskipun tidak semua. Secara global saya katakan bahwa pada umat Buddha di desa, rasa memiliki keagamaan lebih besar daripada di kota. Bila yang khotbah bukan pandita, mereka mau dengar, kalau yang khotbah pandita, lebih mau dengar; kalau samanera, lebih mau dengar lagi; apalagi kalau bhikkhu. Tidak demikian halnya dengan umat Buddha di kota. Mereka (sebagian besar) cenderung melihat nama di atas dhamma. Ya, mungkin karena tingkat pemikiran orang-orang di kota lebih canggih, tingkat intelektualnya lebih tinggi, sehingga tidak mau dengar kalau yang ceramah hanya pandita-pandita biasa. 

http://www.facebook.com/#!/photo.php?fbid=200247913351837&set=o.228904016742&type=1&theater
 
 

Dalai Lama – Biksu Sederhana Pelaku Perdamaian

Dengan hanya sedikit negara yang peduli pada tindakan China dan bertanggung jawab terhadap puluhan ribu warga Tibet yang mengikuti pemimpin mereka hingga ke pengasingan, beliau menghadapi tugas yang sulit untuk melindungi warga Tibet beserta tradisi mereka.

Beliau kini dikenal sebagai salah satu figur pemimpin spiritual, YM. Dalai Lama sangat dikenal sebagai tokoh yang karismatik, sangat toleran, dan mengabdikan hidupnya demi perdamaian.

Pemimpin muda

Dalai Lama terlahir dengan nama Lhamo Thondup (ada yang menyebut Dhondup) pada tanggal 6 Juli 1935 di Takster, sebuah desa di sebelah utara Tibet. Lhamo Thondup ditemukan pada tahun 1937 oleh partai tradisi Tibet yang memiliki visi khusus mencari calon Dalai Lama. Ketika ditunjukkan beberapa benda kepunyaan Dalai Lama sebelumnya, Lhamo Thondup berkata, “Itu punyaku, itu milikku.”

Kemudian anak kecil yang baru belajar berjalan ini dibawa ke kota suci Lhasa untuk memulai latihan. Keluarganya juga ikut serta dan diberi tunjangan uang dan hadiah, dan diberi kesempatan mengunjungi anak mereka pada saat-saat tertentu di Istana 1000 kamar Potala Palace. Pada Februari 1940, beliau diberi nama Jetsun Jamphel Ngawang Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso -yang berarti Raja Suci, Keagungan Lembut, Pembela Berbelas Kasih dari Keyakinan dan Samudera Kebijakan- dan kemudian ditahbiskan menjadi Dalai Lama ke-14.

Bukanlah hal mudah menjadi seorang Dalai Lama. Dalai Lama muda sering menonton anak-anak lain bermain dari balik istana, merasa terkungkung dan kesepian. Beliau bermain hanya dengan pelayan istana, dan kadang menangis bila kalah dalam permainannya. Beliau sangat tertarik dengan bendabenda mekanik, terutama dengan jam. Beliau suka sekali mengoleksi jam tangan. Dalai Lama muda telah belajar dan mengerti banyak tentang dunia mekanik dan otomotif secara otodidak.

Pada 1950, tentara China memasuki Tibet dengan mengatasnamakan misi membebaskan Tibet dari imperialisme dan agama. Para pemimpin Tibet pada saat itu memutuskan untuk mengangkat Dalai Lama menjadi pemimpin negara sementara. Saat itu, Dalai Lama baru berusia 15 tahun, padahal untuk menjadi pemimpin, seorang Dalai Lama harus menunggu hingga berusia 18 tahun. Selama 9 tahun berikutnya, Dalai Lama melakukan usahanya yang terbaik untuk mengakomodasi keinginan China dan menjaga bangsa Tibet tetap aman. Namun, Mao Tse Tung menghapus usaha rekonsiliasi Tibet-China ketika mereka bertemu di Beijing. Dia mengatakan kepada Dalai Lama bahwa agama adalah racun.

Masa-masa sulit

YM. Dalai Lama pergi ke India dengan berjalan kaki, sambil diikuti puluhan ribu pengikutnya. Kini rumah pemerintahan Tibet adalah di pengasingan. Di pengasingan inilah Dalai Lama memulai tugasnya untuk menolong orang-orang Tibet dalam pengasingan serta tetap menjaga kemurnian kultur Tibet. Beliau membuat sistem untuk mengedukasi anak-anak Tibet dalam hal bahasa dan kultur, serta mendirikan Institut kebudayaan Tibet. Dan beliau memberitahu publik dunia tentang kondisi sulit yang dihadapi oleh warga Tibet.

Beliau mengajukan permintaan keadilan kepada PBB dan membujuk Dewan Umum untuk memberikan resolusi perlindungan terhadap orangorang Tibet pada tahun 1959,1961, dan 1965. Beliau telah bertemu dengan sejumlah pemimpin politik dan pemimpin religius di seluruh dunia, antara lain mengunjungi Paus John Paul II. Pemerintah China berulang kali mencoba mendiskreditkan Dalai Lama dan menghapus segala hal yang berhubungan dengannya, namun semangat para pengikutnya tidak pernah pudar. Pada sebuah kesempatan pertemuan Dalai Lama dengan para pengikutnya di Dharamsala, beliau berpidato, “Ini adalah masa-masa yang paling sulit bagi kita semua. Namun begitu, dalam masa-masa sulit ini, kalian tidak boleh kehilangan harapan. Jangan pernah kehilangan keyakinan pada kebenaran. Pada akhirnya, semua akan baik-baik saja.” Kemudian beliau menyalami para pengikutnya satu persatu. Pada kesempatan lainnya, seorang biksu muda datang dari tempat yang sangat jauh untuk menemui Dalai Lama. Ketika akhirnya biksu itu bertatap muka dengan Dalai Lama, beliau langsung memeluk biksu muda itu mengusap kepalanya seolah-olah sedang bersama keponakan beliau. Inilah cara Dalai Lama mencoba merespon emosi orang-orang yang ingin bertemu dengannya, emosi yang timbul dari persepsi orang-orang terhadap kekuatan harapan dan inspirasi seorang Dalai Lama.

Mempertahankan kedamaian

Beliau merekomendasikan “Jalan Tengah” sebagai solusi atas masalah Tibet-China. Pada 1987, Beliau mengajukan 5 poin kesepakatan, di mana beliau mengumumkan bahwa wilayah Tibet sebagai wilayah kedamaian. Beliau juga meminta untuk menghentikan pemindahan massal orang China (suku Han) ke wilayah Tibet. Beliau mendapat penghargaan berupa Nobel Perdamaian pada tahun 1989 untuk konsistensi beliau dalam melawan penindasan terhadap Tibet. China, bagaimanapun, tidak terlalu antusias dengan penghargaan tersebut, dan tetap melihat Dalai Lama sebagai ancaman separatis.

Walaupun begitu, Dalai Lama terus mencoba untuk bisa berdialog dengan China. Pembicaraan antara kedua belah pihak berakhir pada tahun 1993, dan kemudian tidak ada dialog lagi selama hampir satu dekade. Namun pada September 2002, perwakilan dari Dalai Lama melakukan perjalanan ke Beijing dan Lhasa untuk memecah kebuntuan. Diskusi antara kedua belah pihak berjalan, namun tetap tidak menunjukkan kemajuan yang substansial.

Kesabaran

Pada Juni 2004, beliau mengunjungi Skotlandia, beliau memberitahu kru BBC bahwa kesabaran adalah sangat penting. “Jika Anda menggunakan akal sehat, adalah lebih baik untuk tetap menjaga kesabaran, harapan, dan determinasi Anda. Sekali Anda menggunakan kekerasan, segala hal dengan mudah akan lepas kontrol.”, kata beliau.

Pada Maret 2006, untuk memperingati invasi pada tahun 1959, beliau menekankan bahwa tujuan Tibet adalah menjadi daerah Otonomi Tibet. “Saya ingin menekankan bahwa kami akan mencoba segala hal yang mungkin dapat membantu proses dialog untuk mencari solusi bagi masalah China- Tibet,” kata Dalai Lama.

Kerendahan hati dan biksu sederhana

Sang Samudera Kebijakan ini adalah pria sederhana dengan rambut hitam tipis, dan kacamata yang tebal. Beliau sehari-hari hanya mengenakan kaos kaki berwarna gelap, dengan sepatu kulit coklat di balik jubah merah tua. Sangatlah sukar untuk menolak keberadaan seseorang yang memiliki kerendahan hati dalam menghadapi segala macam penghormatan yang ditujukan kepadanya. “Saya memiliki beban. Saya harus memeriksa diri saya sendiri. Semakin banyak orang yang memujamu, maka akan ada bahaya untuk berkembangnya arogansi dan kesombongan.”, kata Dalai Lama.

Beliau juga selalu menolak anggapan yang mengatakan bahwa beliau adalah raja dewa. “Beberapa menyebut saya sebagai Buddha hidup.” Beliau menyanggahnya, “Itu omong kosong. Itu konyol. Itu salah.”

Ketika Dalai Lama berada di AS untuk menerima hadiah Nobel Perdamaian, banyak media penting yang mendesak untuk mewawancarai beliau. Namun beliau menolak untuk menyusun kembali jadwal kegiatannya untuk digantikan dengan wawancara. Menurut beliau, ketertarikan media terhadapnya adalah hal yang baik, namun apakah orang yang akan bertemu dengannya adalah orang penting atau bukan, beliau berpikir bahwa tidak benar untuk membatalkan janji yang telah dibuat.

Pada saat Dalai Lama berbicara di sebuah universitas kecil di Findlay, Ohio, seorang wartawan bertanya kepadanya mengapa beliau mau datang ke tempat yang terpencil, sementara Nelson Mandela datang berkunjung ke Atlanta, Washington, dan New York. Dalai Lama menjawab bahwa beliau akan menerima undangan yang menurutnya akan bermanfaat. Jika suatu kunjungan, undangan dari Yale atau Harvard sekalipun, jika tidak membawa manfaat, beliau tidak akan menerimanya. Pada 1995, Dalai Lama menghadiri sebuah konferensi tentang demokrasi baru di Nikaragua. Meski pada saat itu, setiap pertemuan selalu dimulai terlambat, Dalai Lama selalu berusaha untuk hadir tepat waktu. Beliau berkata, “Jika orang lain terlambat, itu hak mereka. Namun kita tidak seharusnya terlambat hanya karena orang lain tidak tepat waktu. Jadi kita selalu tepat waktu.”

Dalai Lama sama sekali tidak tertarik untuk mengubah seseorang untuk berpindah keyakinan. Beliau berkata, “Jangan menjadi seorang Buddhis, Kristiani, Muslim, Yahudi, bagaimanapun kamu dibesarkan. Latihlah meditasi Buddhis, namun tetap dijaga dalam kerangka keyakinanmu yang utama.”

Ketika sedang dalam perjalanannya, Dalai Lama selalu menyempatkan diri untuk mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin spiritual lain. Beliau juga suka bertemu dengan para ilmuwan, namun beliau mengaku kesulitan jika berhadapan dengan komputer. “Saya adalah screensaver untuk untuk komputer.” Beliau menyinggung kenyataan bahwa namanya sering digunakan dalam perjuangan atas hak-hak rakyat Tibet. Hari-hari Dalai Lama dimulai pukul 3.30 dengan meditasi dan membaca doa, seringkali diakhiri dengan menonton kehidupan satwa liar di televisi. Orang-orang sering memperhatikan tawa beliau yang dalam, dan selera humornya yang membumi.

“Orang-orang terlalu serius. Mereka terlalu serius sepanjang waktu.”, kata Dalai Lama kepada Asiaweek. Menurut Robert A.F. Thurman, seorang profesor kajian Indo-Tibet di Universitas Columbia, Dalai Lama memiliki tawa yang memukau dan selera humor yang baik. Dan itu menular. Beliau adalah orang yang memiliki rasa damai di dalam dirinya sendiri. Banyak sekali tekanan terhadapnya, namun di dalam hati beliau selalu santai dan tenteram. Thurman berpendapat bahwa Dalai Lama sungguh orang yang sehat.

Dalai Lama mengatakan bahwa hal yang paling ingin dilakukannya adalah menyendiri untuk bermeditasi
dan hidup sebagai biksu sederhana sebagaimana yang telah beliau jalani sebelumnya. Namun prioritas utama
beliau sekarang adalah memperjuangkan status Tibet. Beliau mengusulkan Tibet memperoleh otonomi sendiri,
dengan pemerintahan yang terpisah dari China. Setelah itu, beliau tidak bersedia untuk masuk ke dalam
pemerintahan, beliau hanya bersedia menjadi pemimpin spiritual saja.
“Saya akan kembali ke Tibet yang merdeka. Begitu juga rakyatku.”, ujar Dalai Lama. “Ya, saya punya perasaan
yang kuat akan hal itu.”


Master Cheng Yen lahir pada 11 Mei 1937 di kota Qing-shui, kabupaten Taichung, Taiwan, dengan nama awam Wang Jin-yun. Ketika masih kanak-kanak, beliau dijadikan anak asuh pada keluarga pamannya, selanjutnya pindah bersama orangtua asuhnya ke kota Feng-yuan, kabupaten Taichung. Pembawaan lahir Master Cheng Yen sangat pintar, apalagi selaku anak tertua dalam keluarga, maka sebelum berusia 20 tahun, Master Cheng Yen telah ikut membantu usaha keluarga, di saat bersamaan juga membantu ibunya membereskan urusan rumah tangga.

Jalinan jodoh dengan agama Buddha

Master Cheng Yen memiliki watak bawaan sederhana, berbakti, baik hati dan lembut. Ketika berusia 15 tahun, ibunya menderita penyakit perforasi lambung akut dan perlu menjalani operasi. Pada masa itu, operasi masih beresiko besar, dalam kondisi penuh kerisauan, Master Cheng Yen sering berdoa demi ibunya, dengan melafalkan nama “Bodhisattva Alalokitesvara” dengan tulus, beliau berjanji jika ibunya sembuh, akan menjadi seorang vegetarian, juga rela jika panjang usianya berkurang selama 20 tahun, demi menambah panjang usia ibunya. Mungkin wujud baktinya telah menggugah Tuhan, ternyata penyakit ibunya tidak perlu dioperasi lagi, sembuh hanya dengan memakan obat saja, sejak saat itu Master Cheng Yen mulai menjadi seorang vegetarian.

Pada bulan Juni 1960, ayahnya yang kala itu masih berusia dibawah 40 tahun tiba-tiba meninggal dunia karena sakit, dari awal menunjukkan gejala sakit sampai menghembuskan nafas terakhir tidak sampai 24 jam, hal ini memberikan pukulan batin sangat dahsyat pada diri Master Cheng Yen. Master Cheng Yen bertanya dalam hati, dari manakah sebetulnya asal kehidupan dan kemana pula perginya sesudah mati? Master Cheng Yen mulai berusaha mencari jawabannya, beliau sering belajar ajaran Buddha dari Master Xiu-dao dari Vihara Ci-yun.

Pada ketika itu, Master Cheng Yen mendapatkan pemahaman bahwa bukan ibu rumah tangga yang berkuasa untuk mengatur duit keluarga saja yang dapat disebut berbahagia, “Wanita bukan hanya perlu bersumbangsih demi sebuah keluarga, semestinya sama saja dengan pria, dapat memikul tanggung jawab terhadap masyarakat, di mana perasaan iba terhadap masyarakat dapat disebarkan kepada seluruh umat manusia, ‘kasih terhadap keluarga’ diperluas menjadi kasih terhadap masyarakat dan semua makhluk hidup, demikian barulah dapat disebut kebahagiaan sesungguhnya”, Master Cheng Yen beberapa kali mencoba meninggalkan rumah dan urusan duniawi, namun menemui kegagalan, setelah berkelana ke banyak tempat, beliau masih saja belum menemukan tempat pelatihan yang sesuai, terakhir Master Cheng Yen tinggal di vihara Pu-ming, sebuah vihara kecil di kecamatan Xiu-lin, kabupaten Hualien, walau kehidupan dilalui dengan susah payah, namun tekad Master Cheng Yen untuk belajar ajaran Buddha tidak pernah padam.

Musim gugur tahun 1962, pada usia 25 tahun, Master Cheng Yen mencukur sendiri rambutnya tanpa guru pembimbing, beliau dengan hening melangkah masuk ke dalam kehidupan pelatihan sebagai biksuni. Pada Februari 1963, Vihara Lin-ji di Taipei membuka pendaftaran untuk penahbisan biksu-biksuni baru, sebelum memasuki lokasi penahbisan, Master Cheng Yen terlebih dahulu mengakui Master Yin-shun sebagai guru di Dharmaloka Hui-ri, Master Yin-shun berpesan: “Jalinan jodoh di antara kita sangat istimewa, karena engkau hendak menjadi biksuni, engkau harus senantiasa berbuat demi agama Buddha dan demi semua makhluk hidup.” Master diberikan nama tahbis “Cheng Yen”, aksara “Hui-zhang”. Setelah melalui upacara mengambil perlindungan pada Triratna secara sederhana, Master Cheng Yen segera menuju Vihara Lin-ji dan berhasil mengikuti upacara penahbisan biksu-biksuni baru.

Sekembalinya ke Hualien, Master Cheng Yen menempati sebuah rumah kecil berdinding kayu seluas 13 meter persegi di belakang Vihara Pu-ming, beliau mulai melakukan kebaktian “Lotus Sutra”, belajar ajaran dan makna bunga Dharma. Karena Master Cheng Yen tidak mau menerima persembahan dari umat, maka kehidupannya sangat susah. Pada Oktober 1963, Master Cheng Yen pindah ke Vihara Ci-shan di Hualien dan membabarkan “Ksitigarbha Bodhisattva Sutra“, selama delapan bulan berada di sana, banyak umat yang datang mengikuti kebaktian, banyak dari para biksuni dan perumah tangga di griya perenungan sekarang ini, dulunya adalah pengikut Master Cheng Yen di Vihara Ci-shan. Belakangan, Master Cheng Yen membawa beberapa orang muridnya kembali menumpang tinggal di Vihara Pu-ming, mereka bersama-sama melatih diri di belakang aula Vihara Pu-ming.

Master Cheng Yen menetapkan aturan pelatihan diri, harus hidup mandiri tanpa menerima persembahan dari umat, aturan ini berlangsung sampai sekarang ini, semua pengeluaran biaya di griya perenungan ditutupi dengan penghasilan dari para biksuni dan perumah tangga yang bekerja membuat lilin, bubuk makanan sehat dan honor penerbitan buku, tidak pernah menghabiskan satu sen pun dari dana sumbangan amal di dalam Yayasan Tzu Chi. Tahun 1966, Master Yin-shun menerima undangan untuk menjadi dosen di Chinese Culture University, Taipei, beliau harus meninggalkan Vihara Miao-yun di kota Jia-yi, Master Yin-shun berharap Master Cheng Yen dapat pindah bersama para muridnya ke Jia-yi dan memimpin Vihara Miao-yun. Akan tetapi, Master Cheng Yen sudah menetap di Hualien selama puluhan tahun, karena dua orang muridnya yang berusia lanjut dan 30 orang umat lain yang biasanya mengikuti Master tidak rela Master Cheng Yen meninggalkan mereka, semua membuat surat untuk Master Yin-shun meminta Master Cheng Yen tetap dibiarkan tinggal di Hualien. Master Cheng Yen terperangkap dalam kondisi serba sulit, tetapi karena telah ada jalinan jodoh, Master Cheng Yen akhirnya tetap tinggal di Hualien, serta memulai kegiatan Tzu Chi.

Asal Mula “Yayasan Buddha Tzu Chi”

Pada tahun 1966, disebabkan terjadinya peristiwa sebercak darah, Master Cheng Yen mulai berikrar untuk mendirikan organisasi amal demi melayani warga miskin. Kebetulan ada tiga orang biarawati Kristen dari Sekolah Menengah Hai-xing Hualien datang berkunjung kepada Master Cheng Yen, mereka membahas tentang guru manusia, tujuan dan makna agama. Sebelum meninggalkan Master Cheng Yen, biarawati berkata: “Hari ini akhirnya saya mengerti kalau kewelas asihan Sang Buddha melingkupi segala jenis kehidupan, benar-benar sangat agung. Namun, walau cinta kasih universal Tuhan dalam agama Kristen hanya demi umat manusia saja, tetapi kami mendirikan begitu banyak gereja, rumah sakit dan panti jompo di dalam masyarakat, lalu apa saja karya nyata dari agama Buddha bagi masyarakat?” Seketika hati Master Cheng Yen terasa terbenam, penganut agama Buddha sering berbuat amal tanpa mau diketahui orang, namun masing-masing berbuat sendiri tanpa mau bersatu. Sayang sekali semua hati cinta kasih melimpah ini tercerai berai tanpa terorganisir. Master Cheng Yen memutuskan untuk menyatukan semua kekuatan ini, dimulai dari upaya menolong orang miskin.

Tanggal 14 Mei 1966 (tanggal 24 bulan 3 penanggalan lunar), “Yayasan Amal Penanggulangan Kesusahan Tzu Chi” resmi didirikan.

Jarum dan benang membentuk miniatur Tzu Chi

Kegiatan amal Tzu Chi dimulai dengan enam orang murid Master Cheng Yen yang setiap orang setiap hari membuat sepasang sepatu bayi lebih banyak. Master juga membuatkan 30 buah celengan dari pohon bambu yang tumbuh di belakang rumah, celengan bambu diberikan kepada 30 orang muridnya yang berumah tangga, Master Cheng Yen meminta setiap orang menabungkan NT 50 sen setiap harinya ke dalam celengan bambu.

Para murid merasa heran, kenapa tidak setiap bulan menyumbangkan NT$ 15 sekaligus saja. Master mengatakan: “Saya berharap ketika kalian akan berbelanja ke pasar, terlebih dahulu memasukkan NT 50 sen ke dalam celengan bambu, sehingga sebelum keluar rumah, kalian telah memiliki niat kebajikan untuk menolong orang, dengan menghemat NT 50 sen, kalian dapat memelihara kebiasaan berhemat, juga hati cinta kasih untuk menolong orang.”

Sejak saat itu, setiap bertemu orang, ketiga puluh ibu rumah tangga ini menyebarkan kabar ini dengan suka cita, “Kami setiap hari menabungkan NT 50 sen untuk disumbangkan ke yayasan, agar kami bisa menolong orang lain.” Kabar “NT 50 sen bisa menolong orang” dengan sendirinya beredar luas, orang yang ikut berpartisipasi semakin lama semakin banyak, kemampuan untuk menolong orang susah juga berkembang dengan cepat. Pada bulan kedua berdirinya yayasan, Tzu Chi telah mampu membantu kehidupan seorang wanita lanjut usia sebatang kara asal Tiongkok, Tzu Chi mengupah orang untuk setiap hari mengantarkan makanan dan membersihkan rumah nenek tua ini, sampai saat nenek tua meninggal dunia, Tzu Chi membantu pemakamannya. Sebuah proyek maha agung namun penuh kesulitan telah dimulai sejak saat itu.

Pada saat ini, banyak umat datang ke hadapan Master Cheng Yen untuk minta menjadi muridnya, demi merekrut lebih banyak anggota yang memiliki kesungguhan hati, Master Cheng yen menetapkan dua kriteria pokok: pertama, orang yang ingin menjadi murid Master, mesti menjadi donatur tetap “Yayasan Amal Tzu Chi”, kedua, donatur yang telah menjadi murid Master, harus ikut dalam kegiatan menolong orang susah dari “Yayasan Amal Tzu Chi”. Pada masa awal berdirinya Yayasan Amal Tzu Chi, Master Cheng Yen dan para muridnya berdesakan dalam Vihara Pu-ming yang luasnya tidak sampai 67 meter persegi, satu sisi tetap bekerja untuk membuat barang-barang demi menutupi biaya hidup, di sisi lain juga harus mengurus kerja yayasan, lokasi yang ada sungguh tidak memadai. Belakangan pada tahun 1969, dengan bantuan ibu kandungnya, Master Cheng Yen pindah ke alamat dimana griya perenungan sekarang berada, Master Cheng Yen tetap berpegang pada prinsip kemandirian. “Griya perenungan” yang bersuasana hening, hikmat dan sederhana ini merupakan sandaran Tzu Chi selama-lamanya, juga merupakan kampung halaman batiniah bagi insan Tzu Chi seluruh dunia.

Ketika sepasang mata melihat, ribuan pasang mata ikut melihat.
Ketika sepasang tangan bergerak, ribuan pasang tangan ikut bergerak.

Cita-cita Tzu Chi adalah melakukan perbuatan menolong orang dalam derita dengan berlandaskan empat sifat luhur, memberi kebahagiaan dengan mencabut penderitaan orang. Semangat Tzu Chi adalah “ketulusan, kebenaran, keyakinan dan kejujuran”, berharap dengan kebijaksanaan dalam menangani masalah, dapat mengundang partisipasi dari semua orang budiman dari seluruh dunia untuk sama-sama menggarap lahan kebajikan, rajin menanam benih kebajikan, agar tercipta masyarakat penuh cinta kasih.

“Saya percaya pada sabda Sang Buddha bahwa sifat mendasar manusia adalah bajik. Semua makhluk setara adanya, seberapa besar hati cinta kasih dan hati welas asih Sang Buddha, sedemikian besar juga hati cinta kasih dan hati welas asih dari setiap makhluk. Seberapa besar kebijaksanaan Sang Buddha, sedemikian besar juga kebijaksanaan yang dapat dicapai setiap makhluk, asal dapat dibangkitkan, tentu kondisi batin akan mencapai taraf paling bijak dan kebahagiaan paling nyata. Pada umumnya, orang menganggap orang kaya tentu berbahagia, sebab orang miskin sulit terhindar dari sakit dan derita. Benar-benar tidak tahu bahwa orang kaya juga harus disadarkan kalau berdana akan lebih beruntung daripada menerima bantuan. Penyakit lahiriah tidak begitu menakutkan, lebih mengkhawatirkan lagi adalah penyakit batiniah, raga ini bagai sebatang pohon pisang, selapis demi selapis dikuliti, pada akhirnya akan hampa jadinya, hanya dengan memiliki empat sifat luhur yang langgeng dan sejati, barulah bisa mencapai taraf paling indah di dunia ini.” Master Cheng Yen menambahkan: “Ajaran Buddha adalah kebenaran, Tzu Chi adalah urusan duniawi, melalui penanganan urusan akan terungkap kebenaran, dengan urusan sebagai penggerak, kembali kepada kebenaran.”

Dari itu, misi-misi Tzu Chi bemula dari Misi Amal, Misi Pengobatan, Misi Pendidikan dan Misi Budaya Humanis, kemudian berkembang sampai Misi Bantuan Internasional, Misi Donor Sumsum Tulang, Misi Relawan Komunitas dan Misi Pelestarian Lingkungan, yang disebut “Delapan Jejak Dharma Master”. Insan Tzu Chi saling berpadu dengan kebijaksanaan, saling mendukung dengan hati cinta kasih, memberi bantuan dimana saja ada jeritan penderitaan, dengan segera menghilangkan penderitaan, dapat memainkan fungsi “Ketika sepasang mata melihat, ribuan pasang mata ikut melihat. Ketika sepasang tangan bergerak, ribuan pasang tangan ikut bergerak”, sehingga asal Tzu Chi bisa mencapai suatu tempat, setiap keluarga di sana akan hidup tenang dan sehat dan setiap pelosok penuh kehangatan.

Bhikkhu Shravasti, seorang Profesor Buddhis yang dilahirkan di Australia pada tahun 1951. Ia ditahbiskan sebagai bhikkhu di India, kemudian bermukim di Srilanka. Usahanya beliau sangat besar di dalam memperkenalkan Agama Buddha kepada dunia.

Ia menetap di Singapura tahun 1985, sebagai guru pembimbing Organisasi Perkumpulan Dhamma Mandala dan kelompok-kelompok pengkaji agama Buddha lainnya. Ia juga aktif dalam lembaga pendidikan terutama pengembangan kurikulum dan siaran televisi. Karya tulis beliau diantaranya adalah; Matrceta's Hymns to The Buddha, All about Buddhism (yang telah diterjemahkan dan beredar di Indonesia sekitar awal tahun 90-an dengan judul buku Dasar Pandangan Agama Buddha, diterjemahkan oleh Dr. Arya Tjahjadi. Dalam waktu dekat, buku itu akan diterbitkan kembali dalam cetakan baru.

Buku ini menjawab masalah-masalah yang menarik mengenai alam semesta; kamma, yang sering diterjemahkan oleh masyarakat umum dengan sulit-sulit dan susah-payah, padahal artinya hanyalah "action", dan Bhikkhu Shravasti menjelaskannya di sini, kita juga sering mendengar kata "jalan tengah berunsur delapan" yang kita tahu hanyalah pikiran benar, pandangan benar, ucapan benar, mata pencaharian benar, ... dan seterusnya. Tetapi kita tidak pernah tahu apa isi dari kedelapan unsur jalan tengah tersebut. Bhikkhu Shravasti menjelaskan delapan unsur jalan tengah ini, yang telah saya baca dan ternyata indah sekali pelajarannya. Jalan tengah berunsur delapan ini, yang dulunya saya anggap adalah ajaran yang kaku, dan jauh dari yang saya bisa lakukan, tetapi ternyata setelah melihat uraian Beliau, saya baru jelas mengenai maknanya.

"Good question good answers" (buku ini berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan umat dan publik umum mengenai kehidupan serta agama Buddha khususnya, anggapan-anggapan keliru di masyarakat awam, seperti membakar-bakar kertas,dan sebagainya.

Buku ini dibuat atas minat yang besar dari warga Singapura akan Ajaran Sang Buddha, lalu Bhikkhu menuturkan ulang pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan kepadanya oleh kalangan "non Buddhis" (yang belum mengenal dan mengerti Dhamma, dengan pertanyaan-pertanyaan ataupun spekulasi-spekulasi mereka mengenai Ajaran Sang Buddha, dan dijawab oleh Bhikkhu Shravasti) serta disusun di dalam buku tersebut yang telah diterbitkan di dunia dalam berbagai bahasa, diantaranya bahasa Inggris, Mandarin, Spanyol (atas permintaan umat Buddha di Argentina), dan Indonesia. Hal ini sangat baik bagi pemula, yang ingin belajar, mengetahui dan mengerti mengenai Ajaran Sang Buddha, yang telah beredar di Indonesia melalui Yayasan Dhammadipa �r�ma cabang Surabaya),

Buddha vacana (di dalam buku ini, beliau menulis berupa renungan-renungan harian, dari bulan Januari sampai Desember yang cocok sekali untuk dibawa. Buku ini juga telah beredar di Indonesia dengan judul yang sama).

Encounter with Buddhism, middle land middle way, The Buddha and his disciple, dan Gemstone of the Good Dhamma (yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Vajira Siek Bing Twan dengan editor Ir. Lindawati T. dan diterbitkan oleh MUTIARA DHAMMA, Jl. Sutomo 14 Denpasar-Bali 80118). Dhammapada telah dikenal oleh kalangan Buddhis dunia, yang berisikan syair-syair kesucian, kebijaksanaan dan cinta kasih. Demikian pula didalam buku ini, dengan sistem penyusunan sebagai Prosa maupun syair terdiri dari dua puluh enam bab dengan berbagai pokok pembahasan.

 Bhikkhu Amaro lahir di Kent, Inggris pada tahun 1956, dengan nama Jeremy Horner. Ia belajar Psikologi dan Fisiologi (ilmu faal atau cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau organ, sel, dan jaringan) di Bedfrod College, Universitas London, dan berhasil mendapatkan gelar Sarjana Muda. Minat religius pertamanya mulai tumbuh pada saat membaca karya Rudolph Stiner.

Ketika dalam menyelesaikan gelarnya, dia memiliki kesempatan untuk berkeliling ke Asia, seorang teman menawarkannya pekerjaan sebagai perawat kuda di transportasi kapal muatan untuk kuda balap yang akan menuju Malaysia.

Sesuai dengan pemberitahuan dan petunjuk dari beberapa orang yang dia temui di dalam perjalanan, kemudian ia pergi ke timur laut Thailand mencari tempat untuk menetap beberapa malam sebelum pergi ke Jepang. Dan pada saat itu, ia mendengar mengenai Vihara Pah Nanachat dan para bhikkhunya yang berasal dari Barat, lalu ia mengunjungi vihara tersebut.

Kunjungannya sangat berkesan buat Jeremy - dia langsung merasakan keakraban dengan para bhikkhu di sana, dengan segera merasa seperti rumah sendiri (merasa nyaman), dan memutuskan untuk tinggal.

Pada tahun 1978 Jeremy Horner menjadi seorang anagarika, dan menjadi samanera empat bulan kemudian. Tahun berikutnya ia diupasampada oleh YM. Ajahn Chah dengan nama Amaro. Bhikkhu Amaro menetap di Thailand selama dua tahun, sebelumnya keluarganya yang sedang sakit sempat memintanya pulang ke Inggris.

Setelah itu Bhikkhu Amaro bergabung dengan Bhikkhu Sumedho di Vihara Chithurst yang ketika itu baru dibangun.

Suatu hari ketika di London, beliau memutuskan untuk menemui "saudara" nya yang dia sendiri belum pernah bertemu, seorang sarjana termasyur, presiden dan penerjemah dari Pali text Society, I.B. Horner. Sayangnya ia telah meninggal sebelum pertemuan mereka diadakan.

Pada tahun 1983 Bhikkhu Sumedho memintanya untuk menempati Vihara Harnham. Dan Bhikkhu Amaro meminta agar perjalanannya ke Vihara Harnham ini dilakukan dengan berjalan kaki yang berjarak sepanjang delapan ratus tiga puluh mil (permintaan ini diijinkan).

Bhikkhu Amaro menulis sebuah buku mengenai perjalanan panjangnya itu dengan judul "Tudong _ The long road North", tahun 1984. Di tahun-tahun sekarang ini ia bervassa di California utara untuk beberapa bulan di tiap musim dingin. Dalam waktu dekat Bhikkhu Amaro akan tinggal secara tetap di California pada 120 Akre dari tanah perhutanan di lembah Redwood, daerah kabupatan Mendocino, 16201 Tomki Road, di mana sebuah Vihara didikan Theravada dibangun dengan nama Vihara Abhayagiri. Tanah yang diberikan kepada Bhikkhu Sumedho, ketua atau pimpinan dari vihara Amaravati, dan Yayasan Sanghapala oleh pendiri "Kota 1000 Buddha", Master Hua. Di mana sekarang ini Bhikkhu Amaro ditemani oleh Bhikkhu Pasanno, Bhikkhuni Jitindriya, Bhikkhu Karunadhammo, Bhante Jotipalo, Bhante Pasuko, Tan Dhammadaso, Tan Obhaso, Anagarika Leif, dan Anagarika Chris.

Bhikkhu Munindo lahir pada tahun 1951 di Teawamutu (Selandia Baru). Nama kecilnya Keith Morgan, ia dibesarkan di kota Morrinsville, Selandia Baru (New South Wales). Ia adalah putra dari seorang pendeta Presbiterian dan cucu dari dua pendeta yang telah dinobatkan. Pertama kali beliau mengenal agama Buddha ketika sedang membaca buku psikologi di Universitas Waikato.

Ketika dalam perjalanannya ke Australia pada tahun 1972, ia bertemu dengan para bhikkhu di Vihara Thai, Sydney. Ketika tinggal di New South Wales utara, ia menghadiri pertemuan meditasi dengan Bhikkhu Khantipalo.

Ia meninggalkan Australia pada tahun 1973 menuju Indonesia dengan tujuan akhir tiba di Jepang untuk memperaktikkan Zen.

Ia mengajar Bahasa Inggris untuk sementara waktu di Bangkok dan bertemu dengan Bhante Sumedho beserta para bhikkhu lainnya dari Vihara Bovornives. Beliau akhirnya memutuskan menjadi samanera. Ia diupasampada di sana oleh Phra Somdet �anasamvara pada tahun 1974 dan menjalani vassa pertamanya dengan Bhikkhu Thate di Vihara Hin Mark Peng di perbatasan daerah Laotian (Laos).

Setelah melewati beberapa waktu di sebuah Rumah Sakit di kota Bangkok dengan masalah kesehatan yang serius. Beliau bertemu dengan Bhikkhu Sumedho lagi dan pergi ke Vihara Pah Pong. Beliau kemudian ditahbiskan kembali oleh Y.M. Ajahn Chah pada tahun 1975.

Kesehatan yang buruk menyebabkannya kembali ke Selandia Baru selama enam bulan pada tahun 1979.

Selama di sana, timbul keinginan untuk mengajak para bhikkhu yang tinggal di daerah Auckland dan Wellington untuk menetap secara permanen (sesuai dengan peraturan residen para bhikkhu yang telah disepakati).

Pada tahun 1980, beliau berkeliling Inggris dan bergabung dengan perkumpulan Chithurst. Tiga tahun kemudian, Bhikkhu Munindo diberikan tanggung jawab atas pembangunan vihara di Devon, barat daya Inggris. Sekitar tahun 1989, ia menetap di Chithurst, membantu pimpinan (Sangha) dengan pengajaran dan pelatihan kepada bhikkhu-bhikkhu baru.

Sejak tahun 1990, beliau memegang jabatan tinggi di Vihara Aruna Ratanagiri, Harnham Hall Cottages, Harnham, Belsay, Northumberland. Vihara ini merupakan bagian dari vihara-vihara yang didirikan sesuai dengan anjuran dan didikan guru beliau yaitu Bhante Ajahn Chah. Di sana tinggal pula dua orang bhikkhu lainnya yaitu Bhikkhu Punnyo yang berasal dari Ampleforth di North Yorkshire dan diupasampada oleh Bhante Maha Amon di Thailand tahun 1996. Ia kembali membantu Aruna Ratanagiri sejak bulan April 1998 hingga sekarang 2002, dan Bhikkhu Abhinando berasal dari Hamburg-Jerman, diupasampada menjadi bhikkhu pada tahun 1994 oleh Bhante Sumedho. Ia bergabung di Aruna Ratangiri baru beberapa bulan beserta para anagarika, Yuri (dari Rusia yang bergabung sejak November 2001), Richard (dari Leeds, Inggris sejak Agustus 2001), Jaroslav (dari Slovakia sejak Agustus 2001), dan Vladimir (dari Republik Czech sejak September 2001).



Saya lahir di Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kakek dari ibu saya adalah seorang kapiten. Oleh karena seorang kapiten adalah sesepuh masyarakat, maka beliau dianggap sesepuh di klenteng. Waktu itu tugas kapiten mengurus berbagai macam hal, termasuk upacara agama. Tidak hanya Locu, kalau kapiten datang sembahyang di klenteng, tambur juga harus di pukul.

Setelah jaman Belanda, meskipun sudah tidak menjadi kapiten, masyarakat tetap menganggap beliau sebagai sesepuh. Karena pengaruh dari kakek, ibu saya tidak dekat dengan agama kr****n, meskipun bersekolah di sekolah Belanda. Ayah saya juga tidak pernah dekat dengan agama kr****n. Sehingga anak-anaknya menjadi umat klenteng, meskipun tidak mengerti apa yang diajarkan oleh agama. Dunia saya adalah dunia sembahyang, baik di klenteng ataupun di rumah. Orangtua saya menjadi pengurus klenteng ketika saya akhir SMP atau awal SMA.

MENGENAL AGAMA BUDDHA
Saya mengenal ajaran Agama Buddha dari guru sejarah SMP saya, Bapak Suprapto, ketika saya duduk di kelas 1. Memang sebelumnya saya sudah mendengar adanya ajaran Buddha tetapi tidak mengetahui apa yang diajarkan. Pak Suprapto adalah orang yang pertama kali menjelaskan apa yang diajarkan oleh Agama Buddha, tentang Empat Kesunyataan Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan sebagainya. Sejak itu saya tertarik dan merasa cocok dengan ajaran Agama Buddha karena merasa ajaran Agama Buddha sangat logis dan jelas sekali inti ajarannya.

Di tahun 1965, ketika saya kelas satu SMP, terjadi G 30 S. Waktu itu terjadi perubahan kurikulum sehingga saya duduk di SMP kelas satu selama satu setengah tahun. Semua orang harus menentukan agama apa yang dianut. Sebelumnya agama tidak menjadi keharusan. Lalu saya mulai ikut kebaktian pada hari Minggu jam empat sore di Klenteng Hok Tik Bio Blora. Klenteng itu dipakai untuk kebaktian Agama Buddha. Di sana terdapat altar Sang Buddha.

Pada tahun 1967, beberapa bulan setelah mengikuti kebaktian , Bhante Narada Mahathera datang ke Blora. Beliau adalah bhikkhu pertama yang saya lihat dalam kehidupan saya. Dari Beliaulah saya menjadi upasaka dengan nama Tejavanto. Pada awal suatu ceramah, beliau mengajukan pertanyaan-pertanyaan Dhamma. Kepada yang bisa menjawab—terutama generasi muda dan anak-anak—beliau memberi hadiah, antara lain kartupos Buddhis atau buku-buku Dhamma kecil.

Pada suatu kesempatan, beliau bertanya, ”Guru Agung Buddha Gotama sudah lama parinibbana, sudah tidak bersama kita lagi. Apakah Anda masih bisa melihat Beliau?” Saya ingat suatu kalimat yang artinya adalah: kalau Anda melihat Dhamma, Anda akan melihat Buddha. Itulah jawaban saya atas pertanyaan Bhante Narada Mahathera. Bhante Narada membenarkan jawaban itu, tetapi karena hadiahnya habis, sebagai gantinya beliau memberikan semacam harapan kepada saya dengan mengatakan, “Benar sekali jawabanmu. Semoga engkau menjadi bhikkhu yang baik untuk bangsamu.” Saya ingat sekali kalimat yang diterjemahkan oleh penterjemahnya itu, sampai hari ini. Beliau memberi inspirasi kepada saya untuk menjadi bhikkhu. Harapan Bhante Narada yang bagi saya dan masyarakat yang mendengarkan ceramah beliau pada waktu itu dianggap tidak lazim, terpatri pada pikiran saya. Hanya keinginan untuk menjadi bhikkhu belum muncul. Waktu itu saya masih duduk di SMP kelas 2.


Saya tekun mengikuti kebaktian sore yang dipimpin oleh Upasaka Pandita Muda Gunapriya. Nama Tionghoanya adalah Ong Seng Hiap. Dia adalah salah seorang tokoh awal, tokoh pertama yang mengenalkan Agama Buddha di Blora. Ada seorang lagi yang bernama Tan Bo Siu, nama buddhisnya Upasaka Bodhiphala Mulyono. Saya lebih banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, meskipun juga dengan Upasaka Pandita Muda Gunapriya, Ong Seng Hiap. Om Bo Siu mempunyai toko bahan makanan. Setiap saya pulang sekolah dan tidak ada pelajaran tambahan atau les sore, saya selalu berkunjung ke tokonya. Selama tidak sibuk, sambil menunggu pembeli, saya berdiskusi tentang dhamma dan tentang aktivitas buddhis dengan om Bo Siu. Kemudian belakangan muncul lagi Upasaka Pandita Dharmapriya, seorang pensiunan angkatan darat, yang sempat menjadi anggota DPRD dari buddhis. Dia mengikuti aktivitas di Gabungan Tridharma Indonesia di Blora. Waktu saya aktif di Blora, sudah tidak ada lagi Perbudi maupun PUUI di Blora.

Setelah banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, bergaul dengan om Seng Hiap, dan dengan Romo Dharmapriya, kemudian saya ikut mengasuh sekolah minggu pada Minggu Pagi. Lalu kedekatan dan kecintaan saya pada ajaran Agama Buddha bertambah. Pengertian saya juga bertambah. Kurang lebih 3 tahun kemudian timbullah keinginan untuk menjadi bhikkhu.

KEINGINAN MENJADI BHIKKHU
Saya melihat bermacam-macam kebahagiaan yang bisa dirasakan banyak orang. Tapi toh kebahagiaan itu akhirnya selesai, tidak kekal, berubah. Pikiran seperti itu muncul dalam pemikiran saya, dan itulah yang mendorong timbulnya keinginan untuk menjadi bhikkhu.

Saya menyampaikan keinginan itu kepada orangtua. Namun, orangtua sangat berkeberatan. Apalagi saya tidak mempunyai saudara laki-laki, baik kakak maupun adik. Saya anak pertama laki-laki dan tiga adik saya perempuan. Ini membuat orangtua semakin berat untuk mengijinkan saya menjadi bhikkhu. Orangtua menganjurkan dan meminta dengan keras supaya saya melanjutkan studi terlebih dahulu, selesai SMA dan sampai ke perguruan tinggi semaksimal mungkin, baru nanti dipikirkan kembali keinginan untuk menjadi bhikhu tersebut.

Sebagai seorang anak muda yang mempunyai keinginan—dan keinginan itu berkembang—ditambah lagi dengan harapan Bhante Narada yang terpatri, memperkuat timbulnya keinginan menjadi bhikkhu. Permintaan orangtua untuk studi dulu sampai maksimal, terasa sebagai penghalang. Akan tetapi, setiap tahun saya menyampaikan lagi keinginan itu, setiap tahun pula orangtua juga menyampaikan permintaannya. Sehingga seperti tarik-menarik antara orangtua dengan saya. Banyak nasihat yang diberikan kepada saya dari berbagai pihak untuk tidak tergesa-gesa menjadi bhikkhu. Nasihat bahwa melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan umum adalah sangat berguna, agar kelak kemudian bisa memahami Dhamma dan mengajarkan Dhamma kepada masyarakat dengan baik. Namun, banyak juga pihak yang memberikan nasihat kepada orangtua saya, untuk memahami keinginan sang anak, karena keinginan untuk menjadi bhikkhu juga keinginan yang luhur. Bahagia di dalam kehidupan spiritual, tidak kalah bila dibandingkan dengan kebahagiaan sukses di kehidupan duniawi.

Pada waktu kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, saya banyak bertemu dengan para bhikkhu. Saya membantu para bhikkhu mengetik terjemahan naskah-naskah Dhamma dari bahasa Inggris. Membantu para bhikkhu ketika memberikan latihan meditasi. Mengikuti para bhikkhu ke pelosok-pelosok daerah di Jawa Tengah untuk membabarkan Dhamma. Semuanya itu memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Saya melihat para bhikkhu hidup sederhana. Tidak disibukkan dengan mencari materi sebagaimana layaknya masyarakat dan tidak mempunyai banyak materi. Bahkan sangat sederhana. Tetapi para bhikkhu mempunyai kehidupan yang bahagia. Dan kehidupannya juga bermanfaat bagi orang banyak, tidak hanya bagi lingkungan kecil, keluarganya sendiri, seperti para perumah tangga.

Alasan-alasan itulah—yang saya lihat dengan mata kepala sendiri dan saya ikut terlibat dalam kehidupan para bhikkhu sehari-hari di Yogyakarta yang juga memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Akhirnya orangtua mengijinkan saya untuk menjadi bhikkhu.


Setelah saya menjadi bhikkhu, harapan orangtua yang dahulu meminta saya untuk studi dulu, menunda menjadi samanera, yang dahulu saya anggap sebagai penghalang cita-cita luhur menjadi bhikkhu, sekarang saya membuktikan bahwa harapan orangtua itu ternyata sangat berguna sekali. Dengan pengetahuan yang meskipun tidak banyak — yang saya dapat pada waktu menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada — membekali saya untuk mampu menyampaikan Dhamma dengan lebih baik. Memang dalam dunia di mana sains, ilmu pengetahuan berkembang dan digunakan dengan baik oleh masyarakat luas, para bhikkhu yang ingin menjadi Dhammaduta, menyampaikan bimbingan Dhamma kepada masyarakat, sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang memang tidak harus banyak, tetapi cukup membantu dalam pengabdian para bhikkhu memberikan pembinaan Dhamma kepada masyarakat. Oleh karena itu, sekarang saya sungguh berterima kasih bahwa orangtua mendorong saya untuk menyelesaikan sekolah saya sampai maksimal melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi.

MEMASUKI KEBHIKKHUAN

Pada tahun 1969 datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah :


* Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn

* Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya

* Ven. Phra Maha Prataen Khemadas

* Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo
Para Dhammaduta Thailand bersama YA MNS Ashin Jinarakkhita di Vihara Vimala Dharma, Bandung

Bhante Vidhurdhammabhorn yang juga akrab di panggil Bhante Wim, menjadi upajjhaya yang mentahbiskan saya menjadi samanera di Vihara Dharmasurya, desa Kaloran, Temanggung pada tanggal 24 November 1974. Waktu pentahbisan saya sebagai samanera, di Kaloran, hadirlah Bhante Girirakkhito dan Bhante Jinapiya. Meskipun mereka sudah bergabung dalam Sangha Agung Indonesia, hubungan dengan Sangha Agung Indonesia sudah tidak harmoni lagi. Hadir juga Bhante Khemasarano, dan beberapa samanera yang tentu bukan anggota Sangha Theravada Indonesia karena Sangha Theravada Indonesia belum berdiri.

Bhante Vidhurdhammabhorn yang akrab dipanggil Bhante Wim, waktu itu mondar-mandir di Tangerang, di Jakarta di beberapa rumah yang disediakan oleh umat, dan di Malang di Dhammadipa Arama. Hubungan beliau dengan Sangha Agung Indonesia yang merupakan satu-satunya sangha waktu itu, tidak harmoni. Beliau bukan anggota Sangha Agung Indonesia. Apalagi beliau bhikkhu dari luar negeri. Sebagai samanera, saya bukanlah anggota sangha. Saya bertanggung jawab pada upajjhaya saya, Bhante Vidhurdhammabhorn dari Wat Bovoranies Vihara. Samanera adalah tanggung jawab penuh upajjhaya.

Waktu itu Vihara Mendut belum ada. Saya tinggal di Yogyakarta. Di suatu kuti kecil di belakang rumah umat, Ibu Soepangat Prawirokoesoemo. Tanggal 2 Januari 1976, saya pindah ke Vihara Mendut, yang tanahnya masih sekitar 200 meter. Vihara Mendut adalah milik Yayasan Mendut, yang waktu itu pendiri atau pengurusnya antara lain: Ibu Soepangat, Bapak Suradji.

Setelah lebih dari 2 tahun menjadi samanera, tepatnya tanggal 21 Februari 1977, saya ditahbis menjadi bhikkhu di Wat Bovoranives Vihara, Bangkok. Upajjhaya saya adalah His Holiness Somdeth Phra Nyanasamvara. Beliau adalah Sangharaja Thailand yang sekarang.

Sumber :
Forum Komunikasi Pelajar Buddhist Ananda


Riwayat hidup Bhikkhu Jinadhammo Mahathera
Tanggal : 18 October 2002
Pengarang : DHARMA PRABHA©2000

PERJALANAN SOSOK PENGABDI BUDDHA DHAMMA DI BUMI ANDALAS Riwayat Y.M. Jinadhammo
Maha Thera Kelahiran dan Masa Remaja Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan
Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada
yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka
kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal akan menjadi seorang anggota
Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.

Bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah.
Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain
keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak
memungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai
negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu
berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang
penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan
yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung. Pada
waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut
disyukuri dan terasa sangat nikmat.
Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan
pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat,
Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu dan batok
kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjai topi dll, setidaknya dapat
menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain mempunyai kelebihan di
kerajinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga yang
dipilih yakni atletik, lompat jauh dan lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang
menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu
orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk
mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya
merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau
sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.

Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat,
Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau
terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan belajar yangkeras.
Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan menjadi tenaga cukur bayaran.
Sunardi paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu
harus dekat dengan warung makanan. “Upahnya tak beli in kue,
habis...”, kenang Beliau sambil tertawa.

Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih digunakan.
“Bhante itu kalau mencukur cepat sekali,” aku salah seorang anggota
pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari kecil, Sunardi
paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu
pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit, mengidolakan tokoh Arjuna,
tapi tak pernah melewatkan tokokh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada
acara Wayang dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga malam
melarut dan walaupun menjelang subuh.

Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi
Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi tersebut
banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang dinding
candi. Setelah melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut, sejumlah
pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya ? Untuk apa
bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa
menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah
berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah
Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar di Indonesia
yakni Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Setelah membaca majalah tersebut barulah
Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap
pertanyaan yang timbul tentang relief-relief dan patung-patung tersebut
menggambarkan kebesaran agama Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni
zaman Sriwijaya dan Majapahit.

Ternyata Sunardi tidak puas dengan jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari
agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak
yang dibaca dan dihayati maka akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari
ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi
merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan,
membahagiakan. Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang
(Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin
Jinarakkhita Maha Thera. Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari
paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif
mempelajari Buddha Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap
agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta
suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian
mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala Dharma Bandung.

Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh
Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan agama
Buddha baik dari pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.

Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk
mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun,
Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi
upasaka di Pekan Baru. Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah bimbingan langsung
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta lainnya mengikuti
suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif. Pelatihan berlangsung dengan
disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah berlatih lebih kurang 2
minggu mengalami kejadian lucu dan unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice
cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia
membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak
peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal
dalam pelatihan.

Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan tersebut.
Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan
tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang
laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak untuk
membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin
telah menggeledek : “Pergunakan waktumu sebaik-baiknya, goblok !”
Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah
pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang lainnya yang dinyatakan lulus
di antara sekian puluh orang peserta.

Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang
patut dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian
tak akan dicela. (Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)

Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upataka dan orang yang
bisa menjadi Upataka Bhante Ashin pada waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah
dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia. Pada masa 1960 sampai 1970-an,
Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidka
heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang
menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit
sering memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota
Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama Buddha yang
tertidur selama 5 abad.

Sunardi pada waktu menjadi pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk
segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang
sampai kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi
samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin berkata
pada pemuda Sunardi: “Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto ? Mengapa
Jenderal Sumantri ? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi
Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha ? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu ?
Itu karena saya membayar hutang.” Demikian pertanyaan yang dilontarkan
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau
sendiri.

Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah
Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa
tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan
tekadnya mendapat restu dari orang tuanya dan saudara.

Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin
dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera, Bhante
Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, "Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi
seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma.”
Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang
Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhammasushiyo di
Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:S. Jinasuryabhumi (U.P.
Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu :
Aggajinamitto). S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari
1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20
Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.S. Dhammasushiyo (Sunardi), lahir
Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo. S. Djumadi, lahir Jumat 19
Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.

Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang
mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :

1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa
sekarang Sangha Raja. 2.Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \
Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta). 3.Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma
Sobhana) 4.Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5.Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia) 6.Upa. Saksi (Ven.
Subhato/Indonesia)

Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit seakan
berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya
upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore. Belajar ke
Wat Bovoranives Vihara Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris
(hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu
Jinadhammo) kemudian berangkat ke “Negara Gajah Putih” Muanthai.
Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan
guru-guru beliau.

Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih
meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar
di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang
terkenal keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari
kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang
dipimpin oleh Ajahn Buah, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wan Ban Tad
(Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini
merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat
Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad.
Ajahn Buah adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan
abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Buah melakukan gerakan
“Rakyat Menyelematkan Negara”. Beliau berkampanye mengumpulkan
sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada negara yang sedang
mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai
berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Buah. Sudah milyaran dolar Amerika
(dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn buah kepada
pemerintah. Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air
hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu,
Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)

Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan
para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima
dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima
nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah
“daging kodok rebus” atau “ulat kelapa” (orang Jawa
bilang : Gendon)

Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat
termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu
hanya menerima makanan dari daging apabila :
1.Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2.Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3.Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk
dirinya.

Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin
dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante
Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha
dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil
“Om Yan” oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng
Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal
di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun
mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin.
Bhante Jin belum tidur waktu itu. “Ada apa Om Yan ? Tengah malam kok
ngintip-ngintip ?” tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa
terbahak-bahak.

“Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di
gubuk.”

Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di
sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah
kamar “aneh” untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak
batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin
menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.

Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya. “Apakah Bhante merasa
tenang tinggal di vihara ini ?” tanya Om Yan. “Tenang. Tenang
sekali.” Jawab Bhante Jin. “Bhante bisa tidur nyenyak ?” tanya
Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil. “Oh ... bisa... bisa.” Jawab
Bhante Jin. “Kenapa rupanya ?” tanya Bhante Jin kembali. “Ah,
tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja.” Jawab Om Yan senyum-senyum
mencurigakan.

Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa.
Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar
senyap.

Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang
rada-rada “aneh”. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau
jika diajak tidur di kamar berlantai “aneh” tempat Bhante Jin.

“Saya tak berani tidur di situ.” Katanya polos.
“Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas.” Kata Bhante Jin.
Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara.
Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan
bertanya tentang kesehatan Bhante. “Apa Bhante sehat-sehat saja ?”
tanya Om Yan sambil tersenyum. “Sehat !” jawab Bhante Jin singkat.
“Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ?” tanya Om
Yan dengan nada menyelidiki.
“Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq.”
“Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar
itu.”
“Lho, ada apa dengan kamar itu ?”
“Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai.
Bhante tahu batu apa itu ?” tanya Om Yan serius.
“Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat
?” “Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya
lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya.” Jawab Om Yan. “Oh !
Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ?”
“Ha... ha ... ha... Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak
diberitahu.” Jawab Om Yan gembira.

Bertugas di Sumatera Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian
menugaskan Bhante Jin ke Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera
Utara, Riau, Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.

Pada saat itu (1970-an) masih sedikit sekali vihara dan cetiya. Seiring
perjalanan waktu dan pengabdian Bhante Jin, di daerah-daerah pun mulai berdiri
vihara-vihara dan cetiya. Semangat umat Buddha kian hari kian menggelora.
Sekolah-sekolah pun mulai meminta tenaga guru agama Buddha.

Bhante Jin sering diminta oleh daerah-daerah untuk mengirimkan tenaga pengajar
Agama Buddha, baik untuk sekolah maupun vihara. Bhante Jin kemudian bersama-sama
dengan Bapak Giriputra berusaha mendatangkan tenaga-tenaga pengajar Agama Buddha
dari Pulau Jawa.

Guru-guru Agama Buddha yang datang dari Pulau Jawa kemudian dikirim bertugas ke
daerah-daerah. Dan mereka-mereka ini diangkat sebagai upasaka pandita oleh
Bhante Jin agar dapat memberikan pelayanan kepada umat mewakili Sangha.

Tersebutlah Romo Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang berjasa merintis
pendirian Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Romo Pandita Kumala di
Kisaran, Pak Dharmanto di Kota Medan, dan lain-lain. Pabbajja-Samanera

Pada masa awal Bhante Jinadhammo tinggal di Vihara Borobudur Medan, beliau
sering harus masak sendiri. Waktu itu belum ada yang bantu masak di vihara.
Vihara Borobudur sendiri di awal 1970-an masihlah sangat sederhana. Dapurnya
masih berdinding triplek dan beratap rumbia. Tidak setiap hari umat memasak
untuk Bhante. Kadang Bhante Jinadhammo hanya makan mie instant. Bhante
Jinadhammo Maha Thera tinggal di vihara bersama Bapak Wirawan Giriputra dan
Bapak Otong Hirawan. Mereka dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang
saling “bahu-membahu”
memajukan agama Buddha di Medan dan
daerah-daerah lainnya.

Bhante sering dibonceng pakai sepeda motor saja oleh almarhum Romo Dharmavirya
atau Romo Dharmaloka ke vihara-vihara lain, seperti : Vihara Dharma Wijaya
Medan, Vihara Buddha Ramsai Deli Tua, dan lain-lain. Hasil latihan di Muangthai
maupun kebiasaan hidup sederhana sejak kecil, sangatlah membantu Bhante dalam
menjalani pengabdian kepada Buddha-Dhamma dan umat. Bhante Jin adalah Bhikkhu
yang sangat mudah dilayani, fleksibel, simpel, dan humoris. Tidak neko-neko.
Tetapi ketat terhadap vinaya yang dilatih pada diri sendiri.

Mulai awal 1980-an, sudah ada yang tertarik mengikuti pelatihan
Pabbajja-Samanera di bawah bimbingan Beliau. Orang pertama, seorang pilot
bernama Diono yang berlatih selama 3 minggu. Selanjutnya Romo Kumala Kusumah,
guru agama Buddha di Perguruan Diponegoro Kisaran, berlatih selama 1 bulan.
Orang ke-3 mahasiswa UDA Medan yang “Drop-out”. Yang ke-4, Kassapa
dari Riau. Yang ke-5 dan 6, dua putra Romo Surya dari Rantau prapat. Orang ke-7
dan ke-8, Yap Ik Sen dan Edy dari P.M.B. Dhammacari Medan. Ke-9, Tolip. Ke-10
dan ke-11, Cin Huat (Albert Kumala) dan Sin Kiat (sekarang Bhikkshu Nyana
Prabhassa).

Pada thaun 1988 telah diselenggarakan program pabbajja-Samanera massal pertama
untuk Rayon I Sangha Agung Indonesia, diselenggarakan di Vihara Avalokitesvara
yang berada di tepi laut Teluk Tapian Nauli Sibolga. Angkatan I ini diikuti oleh
38 peserta. Angkatan II tahun 1989, di tempat yang sama, diikuti 37 orang
peserta dari Sangha Agung Indonesi Rayon I, Rayon II, dan Rayon XII (seluruh
Sumatera). Dan Angkatan III tahun 1990, di tempat yang sama, diikuti oleh 108
orang peserta dari seluruh Indonesia.

Program Pabbajja-Samanera massal ini telah berlanjut setiap tahun secara rutin.
Semua itu berkat inisiatif Romo U.P. Padmajaya Ombun Natio dan Romo Pandita W.
Giriputra.

Dalam setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera tersebut, juga diikuti
oleh peserta wanita yang menjalankan Atthangika-Sila dan berjubah putih. Dan
yang menjadi “Uppajjhaya” (Guru pentahbis) dalam setiap angkatan
adalah Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera.
Dari setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera massal (nasional)
tersebut, selalu ada peserta yang tidak lepas jubah. Beberapa orang tetap
menjadi samanera di bawah bimbingan Bhante. Beberapa tahun terakhir ini beberapa
samanera tersebut dikirim Bhante untuk belajar ke Muangthai. Mereka di
Upasampada menjadi Bhikkhu di Wat Bovoranives Vihara. Tampaknya
“benih” yang ditanam Bhante Jinadhammo Maha Thera mulai berbuah
sekarang. Jatah lima belas kepala Bagi peserta Pabbajja-Samanera yang sempat
dicukur oleh Bhante Jinadhammo, tentu memiliki kesan yang tak dapat dilupakan.
Bhante Jinadhammo benar-benar terampil dan ahli di dalam mencukur
“botak” kepala calon Samanera maupun Bhikkhu. “Crak ! Crok !
Craaak !! Croook!!!...,” demikian suara yang ditimbulkan pisau cukur yang
digunakan Bhante di kepala yang sedang dibotak licinkan. Orang yang sedang
dicukur bisa “kembali” endengarnya. Serasa kulit kepala ikut
terkelupas. Tetapi herannya
tidak terasa sakit, hanya agak “aneh”. Namun sepanjang pencukuran
yang berlangsung cepat sekali. “Craak! Crook! Crak! Crok!”, jantung
ini terasa “ketar-ketir” dan “empot-empotan”.
Tak banyak orang tahu bahwa Bhante Jinadhammo Maha Thera mempunyai reputasi
tersendiri di dalam mencukur botak-licin kepala Bhikkhu dan Samanera. Beliau
bahkan sempat dipuji oleh seniornya dari Inggris yang terkenal, Bhikkhu
Khantipalo, yang bertugas mengawasi Bhikkhu-Bhikkhu Internasional di Wat
Bovoranives, Bangkok, Muangthai.
“Jinadhammo, kamu lebih hebat dari saya meskipun saya lebih senior. Kamu
bisa mencukur rambut sendiri, sedangkan saya harus dibantu orang lain,”
berkata Bhikkhu Khantipalo suatu kali. Itu terjadi setelah telinga beliau
tercukur pisau ketika ia mencoba bercukur sendiri. Telinganya mengeluarkan
banyak darah. Untung saja tidak sampai dijahit dokter.
“Lho, Bhante kan sudah berlatih vippassana. Kalau hati-hati tentu bisa
mencukur sendiri,” jawab Bhante Jinadhammo.
Karena memiliki keahlian mencukur rambut, maka Bhante Jinadhammo kemudian
dipercaya untuk mencukur rambut 15 orang Bhikkhu dan Samanera setiap bulannya.
Jadi setiap bulan menjelang haru Uposattha, bulan purnama, Bhante Jinadhammo
diberi “jatah” mencukur botak 15 kepala Bhikkhu dan Samanera yang
tinggal di Wat Bovoranives.
Pekan Penghayatan Dharma Setelah diselenggarakan program Pabbajja-Samanera
massal, yang biasanya dilaksanakan pada bulan Juni-Juli ketika liburan sekolah,
kegiatan pelatihan lainnya di Rayon I Sangha Agung Indonesia (Sumut – Riau
– Aceh – Padang) mulai ikut terdorong.
Pada akhir bulan Desember 1990, telah diselenggarakan SADHARSI (Sapta Dharma
Ratana Ramsi) Angkatan I di Vihara Buddha Ramsi Delitua, Deli Serdang. Pelatihan
berlangsung selama 7 hari diikuti 23 orang peserta, melaksanakan Atthanga-Sila
dan berjubah putih. Kegiatan ini dipimpin dan dibimbing oleh Bhikkhu Jinadhammo
Maha Thera dan Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (almarhum). Materi pelatihan meliputi
: sila, pembacaan Paritta dan Sutra, Dharma Class, dan vippassana-bhavana
intensif 3 hari. Pelatihan yang berlangsung sepekan ini kemudian juga diadakan
di daerah-daerah lainnya. Bahkan kemudian ada pelatihan yang berlangsung 3 hari
dan satu hari dengan memanfaatkan hari-hari libur nasional, seperti yang
dilakukan oleh PMV Dharma Wijaya Medan dengan bimbingan Bhikkhu Kampiro. Program
Latih Diri Vippassana – Bhavana Pada akhir Desember 1996, Bhante
Jinadhammo membimbing pelatihan Vippassana-Bhavana intensif selama 7 hari di
Hutan Kebon Sawit milik Pak Husin, Rantau Prapat-Labuhan Batu,
Sumut. Lokasi tempat berlatih cukup terisolir. Medannya cukup menggetarkan
nyali orang kota yang jarang turun ke desa, kebun, dan hutan. Apalagi bagi yang
sama sekali belum pernah turun ke desa/hutan.
Tanggung jawab guru pembimbing sungguh berat dalam pelatihan ini. Lokasi
pelatihan berada di tengah-tengah alam kebun sawit yang berdampingan dengan
hutan. Peserta yang pria dan wanita semua tidur dalam pondok masing-masing,
menjalankan Atthanga Sila, makan satu kali sehari. Tidak boleh berbicara,
mengurangi tidur. Mengembangkan kesadaran terhadap segala fenomena yang timbul
dan tenggelam. Peserta diberi kesempatan bertanya pada waktu sore hari kepada
pembimbing jika ada hambatan yang tidak dapat diatasi. Malam hari di lokasi
diberi penerangan dengan lampu badai (lampu kapal). Suara satwa hutan siang dan
malam terus menerus memainkan orkestra alam, nyanyian alam itu bisa terdengar
seperti suara pembacaan sutra (nien cing; liam keng). Sebagai pembimbing, Bhante
Jinadhammo siang malam mengawasi dan menjaga semua peserta dari
gangguan-ganggguan yang tidak diharapkan. Beliau bahkan sempat tidak tidur. Pada
Vippassana-Bhavana Angkatan I masih banyak peserta yang belum mampu melaksanakan
latihan secara baik. Dan banyak gangguan yang dialami. Namun sekitar 30 orang
peserta latihan semuanya sehat selamat sampai akhir pelatihan. Bhante Jin
sendiri berkata, “Semua peserta bisa keluar dengan selamat, sudah boleh
dikatakan sukses pelatihan ini.” Pelatihan Angkatan II diselenggarakan di
Kebun Sawit Pak Kasim di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Jumlah peserta juga
berkisar 30 orang. Jika peserta angkatan I umumnya dari medan dan Rantau Prapat,
angkatan II pesertanya meliputi wilayah Sumatera Utara. Pada angkatan II mulai
nampak peningkatan kesungguhan berlatih peserta dan lebih tertib. Tampaknya
gangguan yang ada relatif sedikit dibandingkan dengan pada angkatan I. Hanya
faktor cuaca yang dingin di malam hari terutama dini hari, sedang siangnya panas
menyengat sebab pohon sawit yang ada masih setinggi lebih kurang satu meter.
Peserta sebagian besar tidur dalam tenda, sebagian kecil dalam pondok. Selesai
latihan, peserta dibawa berziarah ke Candi Bahal
Portibi, Gunung Tua. Setelah pelatihan Angkatan II, tercetus ide untuk
mendirikan vipassana centre, yang kelak diharapkan dapat menjadi tempat berlatih
yang lebih baik dalam program Vipassana Bhavana yang akan datang. Pembangunan
Vipassan Bhavana Centre di Sibolangit ini sedang dilaksanakan dan Bhante
Jinadhammo diangkat sebagai penasehat Panitia Pembangunan Vippassana Centre
tersebut.

Pada pelatihan angkatan III, kembali diselenggarakan di Hutan Kebun Sawit Pak
Husin, Rantu Prapat. Kali ini partisipasi pengurus Vihara Buddha Jayanthi dan
umat cukup membanggakan seperti di Vihara Avalokithesvara Padang Sidempuan
(Angkatan II). Pesertanya pun lebih banyak (+ 50 orang) dan lebih beragam :
pemuda orang dewasa, termasuk pula ibu-ibu wanita buddhis. Angkatan III
berlangsung lebih sukses lagi. Pada hari terakhir pelatihan, Bhante Jinadhammo
mentabhiskan Saudara Gunung menjadi Samanera Giri Vicaya. Suasana yang
menggembirakan dan sekaligus mengharukan. Setelah pelatihan angkatan III, Bhante
Jinadhammo atas nama Sangha telah mendapat sumbangan tanah di atas perbukitan
Pulau Moro Riau. Maksud sumbangan tersebut adalah untuk tempat latihan
Vippassana Bhavana. Dan atas permohonan umat yang mensponsori kegiatan Pelatihan
Vippassana-Bhavana, maka telah disusun rencana pelatihan Angkatan IV tahun 1999
di Padang Sidempuan, Angkatan V di Vippassana Centre Sibolangit (2000), dan
Angkatan VI di Pulau Moro Riau (2001). Pengalaman peserta selama latihan
sungguh beraneka-ragam. Dan gangguan-gangguan selama latihan di alam terbuka
memang cukup banyak dirasakan para peserta. Tetapi semua itu masih dapat
dikendalikan di bawah pengawasan Bhante Jinadhammo Maha Thera. Para peserta
memperhatikan bahwa selama 7 hari pelatihan berlangsung, Bhante Jin barangkali
tidak sempat tidur. Beliau siang malam mengawasi dan membimbing serta melindungi
para peserta. Sungguh besar dan berat tanggung jawab guru pembimbing meditasi di
alam terbuka dan pinggiran hutan. Mengangkat Sumpah Sarjana Kedokteran dan
Pegawai Negeri Bertahun-tahun Bhante Jin selalu diminta oleh Universitas
Sumatera Utara untuk mengangkat Sumpah bagi Sarjana Kedokteran U.S.U yang
beragama Buddha. Demikian pula di Universitas Methodist Medan. Sudah tidak
terhitung lagi berapa orang banyaknya. Setiap pengangkatan pegawai negeri yang
beragama Buddha, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga yang diminta oleh
pemerintahan
daerah Wilayah Sumut dan Medan Kota. “Demi Sanghyang Adi Buddha, saya
bersumpah ......,” demikianlah selalu diucapkan oleh yang bersangkutan,
seperti juga pada waktu acara pelantikan Bimas Buddha Tingkat I Sumut, Bapak
Drs. Arifin Anwar (1994). Memberikan Bimbingan dan Bantuan Spiritual Kehidupan
di kota besar seperti Medan, kota terbesar ke-3 di Indonesia, kian hari kian
kompleks, sumpek, dan menimbulkan ketegangan jiwa bagi para penghuninya,
termasuk juga umat Buddha. Almarhum Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (murid Bhante
Jin) sering nyeletuk pada masa hidupnya, “Umat Buddha biasanya kalau sudah
ada masalah baru mau datang ke Vihara.” Ini bisa kita buktikan jika mau
nongkrong di Vihara Borobudur Medan untuk beberapa waktu. Banyak sekali umat
yang datang ke vihara menjumpai Bhante Jin. Mereka membawa beban batin dan
masalahnya masing-masing. Mulai dari broken heart sampai yang kena PHK, dari
yang broken home sampai stres berat karena uangnya dilarikan bisnis MLM
Penggandaan Uang yang menghebohkan, dari korban penjarahan hingga pengungsi
Aceh yang lari diancam bunuh oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Komplitlah segala
macam Dukkha bisa disaksikan. Ramai. Tua dan muda, pria dan wanita, semua ada.
Mereka datang mohon konsultasi dengan Bhante Jin. Ada yang minta berkah. Ada
yang minta air “aqua”. Ada yang sekedar mengharap penghiburan. Ada
yang minta dorongan. Ada yang mencari ketenangan batin. Ada yang minta
perlindungan. Ada yang minta rekomendasi alias “Katabelece”. Bahkan
yang minta duit juga banyak, apakah orang yang susah betulan, orang susah karena
malas (tipu-tipuan), atau OKP serta preman Medan. Orang yang serius datang
mencari “Dhamma” yang langka ada beberapa kasus, orang tertentu yang
berlatih meditasi tanpa guru dan mendapat gangguan psiko-fisik : kundalininya
teraktifkan, cakra tertentu terlalu aktif, gangguan dari luar (makhluk halus),
mereka datang ke Bhante Jin dan mendapat bantuan yang praktis
atau nasehat yang sederhana tetapi jitu langsung ke akar persoalan. Terkadang
Bhante Jin suka memberi petunjuk secara tidak langsung meskipun yang
bersangkutan tidak mengutarakan permasalahannya. Bagi yang waspada dan tahu
maksudnya, beruntung. Bagi yang belum tahu cara komunikasi khusus ini, biasanya
“bengong” alias tidak tahu ujung dan pangkal. Bhante Jin juga sering
memberi teguran dan peringatan kepada muridnya maupun umat dengan gaya bahasa
“Marah Anak Sindir Menantu”. Maksunya, menegur si A tetapi tujuannya
adalah memarahi/memperingatkan si B atas kesalahan dan kekeliruannya. Efeknya,
si A bisa-bisa kebingungan dan berpikir, “Apa yang terjadi ... ya ?”
Namun si B pastilah ‘merasa’, seperti bunyi pepatah, “siapa
makan cabai pasti merasakan pedasnya.” Sokongan Bhante di Bidang
Pendidikan Agama Buddha Bhante Jinadhammo juga punya perhatian yang besar untuk
kemajuan sarana pendidikan Buddhis di tanah air. Ketika Institut
Ilmu Agama Buddha “Samaratungga” berdiri di Ampel Boyolali Jawa
Tengah, Bhante Jin menyumbangkan beberapa unit perangkat komputer untuk
fasilitas mahasiswa dan institut. Juga buku-buku ensiklopedi dan buku pintar
lainnya. Ketika Institut Ilmu Agama Buddha “Samaratungga’ Cabang
Medan didirikan, Bhante Jin menjadi penasehat yayasan sekaligus dosen. Dan sejak
1993 hinggal 1996, Bhante Jin mengasuh mata kuliah Vinaya Pitaka. Mahasiswa
Bhante Jin di IIAB Samaratungga Medan pada mulanya agak bingung menerima mata
kuliah Vinaya yang diasuh Bhante. Sebab gaya ceramah Bhante Jin memiliki Style
tersendiri. Mahasiswa harus ekstra konsentrasi, jika tidak bisa-bisa tidak
menangkap alur komunikasi Bhante. Bahkan terkadang suara Bhante Jin menjadi
sangat perlahan. Hampir tidak terdengar artikulasi kalimat yang diucapkan.
Untungnya ada mahasiswa yang punya kiat tersendiri, yaitu dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan terarah. Ini mendapat jawaban Bhante yang lebih
jelas dan wawasan Bhante menjadi tersalur keluar. Terutama bila membahas
“kasus-kasus” yang berkaitan dengan Vinaya. Mengikuti perkuliahan
Bhante Jin, mahasiswa merasa rileks. Bhante Jin biasanya suka bicara humor.
Suasana jadi menyegarkan. Ada ungkapan Bhante Jin yang selalu diingat mahasiswa.
“Jangan memakai kaca pembesar dalam mempelajari vinaya.” Maknanya,
memandanglah secara proposional terhadap Vinaya, baik dari segi teoritis maupun
praktisnya ; dan haru sberlandaskan pada “Jalan Tengah” ajaran
Buddha Gautama. Di Ampel maupun Medan, Bhante Jin mempunyai beberapa anak asuh
di IIAB Samaratungga. Setelah mempunyai pekerjaan, anak asuh tersebut dilepaskan
agar belajar mandiri, bekerja sambil kuliah. Di Vihara Borobudur Medan sejak
awal 1990-an telah pula memiliki Kitab Suci Tripitaka sebanyak 2 set. Satu set
berbahasa Pali, satu set lagi berbahasa Inggris. Kitab Suci Tripitaka ini
dipesan Bhante Jin dari Muangthai. Sekarang sudah diperbanyak
oleh beberapa pihak di Medan. Keberadaan Kitab Suci Tripitaka ini telah pula
merangsang berdirinya penerbit Buddhis Pundarika. Dan berguna pula bagi bahan
perkuliahan serta penulisan skripsi mahasiswa. IIAB Samaratungga Medan telah
menerbitkan 2 Kitab Suci Sutta pitaka, yaitu Ittivutaka dan Udana. Kedua kitab
yang diterjemahkan tersebut telah pula menjadi bahan perkuliahan mahasiswa.
Kitab-kitab lain sedang dalam proses penerjemahan saat ini. Selain untuk
pendidikan Buddhis kalangan sendiri, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga sering
didatangi oleh para mahasiswa dari IAIN (Institut Agama islam Negeri) Medan.
Mahasiswa-mahasiswa itu biasanya dari jurusan Ushuluddin (Perbandingan agama)
yang mendapat tugas membuat makalah atau skripsi yang berhubungan dengan agama
Buddha. Demikian juga dari mahasiswa Sekolah tinggi Teologi Kristen. Bhante
selalu memberikan jawaban-jawaban yang lugas, dan mudah dipahami. Untuk
referensi yang diperlukan, biasanya Bhante merekomendasikan mahasiswa
tersebut ke IIAB Samaratungga Medan dan Bimas Buddha Departemen Agama Tingkat I
Sumut. VIHARA-VIHARA Vihara Swastimuni Siang itu udara begitu cerah,
burung-burung yang hinggap di atas atap Vihara Swastimuni, bersiul riuh rendah
secara serentak memberi semangat pada matahari yang sedang menyirami bumi dengan
cahayanya yang penuh kehangatan. Angin berhembus sepoi-sepoi menyamai benih
kebahagiaan. Suasana di kota kecil produsen peyek Kisaran itu begitu ceria, lain
dari biasanya. Awan putih di atas sana mengintip penuh keheranan, siapa gerangan
yang akan datang, mengapa alam tampak begitu berseri ? Tak ingin lama berada
dalam kebingungan ia pun bertanya pada ikan yang sedang menari-nari di dalam
sungai Silo, sambil sesekali mereka melompat, menghirup udara segar dan
menyemplung lagi ke dalam sungai, ikan-ikan itu tak kuasa menyembunyikan suasana
hati mereka yang sedang bahagia. Saking asyiknya mereka sampai tak mendengar
pertanyaan si Awan Putih. Beberapa saat kemudian dari peraduannya
di langit biru Awan melihat ke bawah, ada sebuah mobil yang memasuki kota
Kisaran, roda mobil itu terus berputar dan akhirnya berhenti di depan Vihara
Swastimuni. Di sana telah banyak umat yang sedang menunggu, mereka tanpa
dikomando lagi langsung merangkupkan kedua tangan di dada bersikap anjali. Salah
satu dari mereka membukakan pintu mobil tersebut. Dari dalam keluar seseorang
yang telah menggetarkan alam dengan kebajikan yang telah ditanamnya. Dengan
menyungging senyum di wajahnya yang polos beliau membalas sapaan orang-orang
yang menyambut kedatangannya. Diikuti oleh para umat beliau yang terkenal dengan
ketaatannya pada Vinaya mengayunkan langkah memasuki Vihara Swastimuni. Di dalam
bhaktisala telah tersedia alat-alat kebaktian, umat duduk dengan tenang
bersiap-siap mengikuti Kathina Puja yang akan dipimpin oleh Bhikkhu yang
sekaligus mewakili Sangha Agung Rayon I itu. Selesai kebaktian Bhikkhu yang
sudah akrab di mata umat Buddha ini berkenan memberikan Dhammadesana. Yang
Arya memberitakan asal-usul dan makna Hari Kathina. Bhikkhu Jinadhammo bukan
hanya pada hari-hari besar saja memberikan khotbah Dhamma, tetapi juga setiap
hari bagi mereka yang sedang membutuhkannya, beliau akan menjawab kegelisahan
mereka dengan Buddha Dhamma yang didukung oleh pengalaman hidupnya. Begitulah
Bhikkhu Jinadhammo yang selalu berusaha menyejukkan di saat kegerahan. Beliau
yang ramah dan disiplin sudah menjadi langganan undangan oleh vihara-vihara yang
merayakan hari-hari besar umat Buddha, termasuk juga Vihara Swastimuni di
Kisaran. Surat dari Vihara Buddha Warman Padang. Bhante Jinadhammo adalah sosok
anggota Sangha yang sudah tidak asing lagi bagi umat Buddha di Vihara Buddha
Warman, Padang dan juga umat Buddha di Sumatera Barat. Beliau adalah ibarat
Pelita Dharma bagi kami, yang senantiasa menerangi, membina, dan mengayomi kami
dalam keadaaan senang dan susah. Beliau adalah Bhikkhu senior yang sangat
sederhana dan bersahaja serta sikap beliau yang tenang, penuh
cinta kasih, dan kadangkala juga bisa humor. Mungkin kejadian yang akan kami
kisahkan ini dapat memberi gambaran betapa kesederhanaan dan bersahajanya
beliau. Pada suatu hari Bhante Jinadhammo secara mendadak tanpa kabar terlebih
dahulu berkunjung ke Vihara Buddha Warman padahal pada waktu itu vihara tidak
ada penghuni, sehingga Bhante terpaksa menunggu cukup lama sampai pintu vihara
dibuka. Sewaktu kami tanyakan pada Beliau, “Mengapa Bhante datang mendadak
dan mengapa Bhante tidak memberi kabar terlebih dahulu ?”, sambil
tersenyum Beliau balik bertanya, “Kalau kami beri kabar terlebih dahulu,
apakah mau diadakan upacara penyambutan ?” “Bukan begitu Bhante, kan
kasihan Bhante terpaksa menunggu lama, dan lagi pula kamar kuti belum
dipersiapkan.” Dengan santai Bhante menjawab,”Ah... itu tidak jadi
masalah, tidur di mana pun boleh, bahkan di meja pingpong ini pun jadilah, tidak
apa-apa kok, di desa-desa juga banyak vihar ayang belum punya kuti,
jadi tidurnya ya ... di lantai Bhaktisala saja.” Keteguhan Beliau
menjalankan sila keBhikkhuan adalah cara mengajar dan mendidik umat yang lebih
ampuh daripada hanya sekedar khotbah dengan kata-kata. Petunjuk dan nasehat
Beliau yang begitu terasa begitu spontan dan kadangkala dianggap lucu serta
kurang dimengerti oleh umat, padahal sesungguhnya mengandung makna yang sangat
dalam. Ketika masa-masa sulit dialami oleh Cetiya Buddha Warman sekitar tahun
197601978 dimana terjadi kemunduran dalam kegiatan perkembangan agama Buddha di
Padang, hanya Bhante Jinadhammo yang masih rutin mengunjungi cetiya kami, dua
atau tiga bulan sekali. Ketika kegiatan cetiya mulai bangkit kembali pada tahun
1979 dengan berdirinya Gelanggang Remaja Buddhis\Padang (yang sekarang berubah
nama menjadi Persaudaraan Muda Mudi Vihara Buddha Warman Padang), Beliau juga
sangat berperan dalam memberikan motivasi dan semangat pada generasi muda waktu
itu. Tahun 1980 Beliau pulalah yang menaikkan status cetiya
kami menjadi Vihara Buddha Warman Padang. Pada bulan Mei 1983, ketika
Gelanggang Remaja Buddhis Padang (GRBP) mengadkan Dharmasanti Waisak 2527 di
Aula SMA Don Bosko Padang Bhante Jinadhammo berkenan hadir dan menyampaikan Kata
Sambutan serta Renungan Waisak 2527. bahkan beberapa kali acara Dharmasanti
Waisak yang diadakan di Padang, beliau berkenan menghadirinya. Beliau juga
sangat berperan dalam merintis berdirinya vihara-vihara lain di Propinsi
Sumatera Barat, seperti Vihara Buddha Sasana Bukit Tinggi, Vihara Buddha Metta
Payakumbuh, dan Vihara Karuna Murti Padang Panjang. Ketika rencana kami untuk
memindahkan lokasi Vihara Buddha Warman dari jalan Kelenteng I/3 ke Jalan Muara
No. 34 terkatung-katung karena kekurangan dana untuk membeli tanah di lokasi
yang baru, Beliaulah yang dengan penuh kharisma memberikan saran dan petunjuk
serta nasehat kepada Bapak Wijaya Effendy (alm.), Ketua Yayasan Triratna Padang,
sehingga Bapak Wijaya Effendy bersedia meminjamkan uang pribadinya untuk
membeli tanah guna membangun gedung vihara yang baru. Dan ketika pembangunan
gedung baru Vihara Buddha Warman Padang dimulai, pada tanggal 29 Juli 1988 tepat
pada peringatan Hari Suci Asadha2543, beliau bersama-sama dengan Y.A. Sthavira
Aryamaitri, Y.A. Bhikshu Nyanamaitri dan seorang Samanera melaksanakan pembacaan
doa dan melakukan peletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan
gedung baru vihara. Bahkan Bhante juga membantu kami mengumpulkan dana/sumbangan
untuk pembangunan gedung baru vihara dari umat Buddha di Medan. Pada pelantikan
Pengurus Yayasan Triratna Padang dan sekaligus peringatan HUT ke-30 Yayasan
Triratna Padang tanggal 22 Agustus 1996, Beliau dan Bhante Arya Maitri berkenan
hadir untuk melantik dan memberkahi serta memberikan semangat dan motivasi pada
para pengurus yayasan yang baru. Akhir-akhir ini memang Bhante Jinadhammo tidak
punya jadwal rutin lagi untuk berkunjung dan membina umat Buddha di Padang
(Sumatera Barat), hanya sekali-sekali Beliau
masih menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Vihara Buddha Warman Padang dan
juga bilamana ada acara-acara penting yang mengharapkan kehadiran Beliau. Hal
ini dapat kami maklumi karena pada kenyataannya masih banyak umat di
vihara-vihara lain di Rayon I yang lebih memerlukan sentuhan pembinaan dan
asuhan dari Beliau. Apalagi mengingat bahwa usia Beliau juga semakin lanjut,
tentu saja Beliau tidak bisa seperti dulu lagi terlalu sering berpergian jauh ke
daerah-daerah, lagipula sekarang telah ada para Bhikkhu muda dan Samanera yang
Beliau bina untuk membantu meringankan tugas-tugas pembinaan Beliau di Rayon I.
Sampai saat ini bilamana ada masalah dan persoalan yang cukup berat harus kami
hadapi dan selesaikan, kami selalu menghubungi beliau melalui telepon untuk
mendapatkan petunjuk dan saran, serta nasehat dari Beliau yang bijaksana. Dengan
sedikit berkurangnya kesibukan Beliau membina umat, diharapkan agar Beliau
mempunyai lebih banyak waktu untuk menyendiri guna kemajuan kesucian
Beliau sebagai seorang anggota Sangha Agung Indonesia yang senior. Akhir kata
kami para murid dan umat asuhan Bhante di Vihara Buddha Warman Padang senantiasa
berdoa semoga Bhante senantiasa sehat dan bahagia dalam berkah dan lindungan
Sanghyang Adi Buddha, Sang Triratna serta para Bodhisatva. Kembalinya Buddha
Dhamma di Bumi Sriwijaya Boleh dikatakan propinsi Riau merupakan tanah
Sriwijaya, karena di sinilah kerajaan Sriwijaya dulu terpusat. Pada masa
tersebut agama Buddha tumbuh dengan subur, dan bahkan menjadi salah satu pusat
pendidikan Buddhis di dunia. Namun sejalan dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya,
agama Buddha juga seolah sirna dari daerah Riau. Sekian lama terpendam, akhirnya
agama Buddha muncul kembali di bumi Sriwijaya ini dan kembali menunjukkan
kiprahnya. Hal ini ditandai dengan munculnya vihara-vihara di daerah Riau,
seperti Vihara Buddha Sakyamuni dan vihara Buddhasasana (Andiva) yang terdapat
di Bagansiapiapi, Vihara Dharma Loka di Pekan Baru, dan Vihara Buddha
Diepa di Tanjungbalai Karimun. Suburnya tumbuh kembang vihara-vihara di Riau
pada masa sekarang ini, tak lepas dari semangat dan usaha seorang pengabdi
Dhamma, yakni Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera selaku Ketua Rayon I Sangha Agung
Indonesia. Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera ikut serta dalam berbagai kegiatan
keagamaan yang dilakukan oleh penduduk setempat, baik dalam acara peltakkan batu
pertama pendirian vihara, acara peresmian vihara, pensakralan buddha rupang,
maupun kebaktian hari besar Agama Buddha. Pada tahun 1990 Bhikkhu Jinadhammo
bersama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita melakukan upacara pensakralan Buddha Rupang
milik Vihara Buddha Diepa (yang pada waktu itu belum berdiri). Selanjutnya pada
tanggal 5 Oktober 1996 Bhante Jinadhammo disertai Samanera Nyana Kirti
menghadiri acara peletakkan batu pertama pembangunan Vihara Buddhasasana. Dan
pada tahun yang sama pula Bhikkhu Jinadhammo menghadiri acara peresmian Vihara
Buddha Diepa di Tanjung Balai Karimun bersama Bhikkhu Aryamaitri,
tepatnya pada tanggal 22 Nopember 1996. Berdiri dan berkembangnya Vihara
Sakyamuni di Bagansiapiapi juga tak terlepas dari jasa Bhikkhu Jinadhammo. Dari
daerah ini pula kemudian menelorkan seorang Bhikkhu muda, yakni Bhiksu Nyana
Prajna. Bukan hanya menghadiri acara-acara keagamaan di vihara-vihara namun yang
di luar vihara pun juga dihadiri oleh Bhikkhu Jinadhammo. Tanpa memilih tempat,
beliau menyebarkan Dhamma. Perhatiannya juga dicurahkan untuk para penduduk
transmigran yang berasal dari Kampung Sela, Jawa Tengah, yang sekarang bermukim
di daerah pemukiman penduduk transmigran di Kecamatan Kampar di Riau. Dharma
Wijaya Medan Seperti rumah ibadah umat Buddha lainnya, Vihara Dharma Wijaya pun
disinggahi oleh sang pelanglang buana Y.A. Bhante Jinadhammo Mahathera. Beliau
tak hanya singgah, tetapi juga meresmikan renovasi pertama vihara yang terletak
di jalan Wahidin tersebut. Selain itu Bhante yang selalu ramah kepada siapa saja
ini juga selalu menghadiri perayaan hari-hari besar
umat Buddha yang diadakan di vihara tersebut. Di mata muda-mudi pemutar roda
organisasi Persaudaraan Muda-Mudi Vihara Dharma Wijaya(PMVDW) sendiri, beliau
yang telah menjajaki hampir di setiap jengkal daerah Sumatera Utara, khususnya
yang berpenduduk buddhis ini adalah seorang humoris, namun bukan berarti beliau
tidak bisa diajak serius. Genap tiga puluh tahun vassa yang telah dijalaninya,
banyak sudah asam garam yang dicicipinya. Suka duka seorang penyambung lidah
Sang Buddha pun telah dirasakannya. Tak pelak lagi pengetahuannya di bidang
Buddha Dhamma semakin luas. Semua ini terungkap lewat khotbah-khotbah beliau
ataupun dalam percakapan sehari-hari dengan umat. Tak jarang kita sebagai umat
biasa yang masih jauh tertinggal di bawahnya bila diukur dengan meteran dhamma
sulit sekali mencerna kalimat-kalimat yang erlontar dari mulut beliau. Fenomena
seperti ini seharusnya dijadikan sebagai cambuk bagi kita untuk lebih giat lagi
menggali khasanah Buddha Dharma. Namun sayang obrolan
yang tidak nyambung oleh karena kadangkala pengetahuan yang kita miliki ini
sering menimbulkan kejenuhan dalam diri kita sebagai umat biasa untuk
melanjutkan obrolan tersebut. Kenyataan tersebut di atas bukan hanya diakui oleh
muda-mudi yang berkecimpung di organisasi PMVDW, tetapi juga disadari oleh kita
semua sebagai orang yang pernah bersua dengan beliau. Andai saja mau menjadikan
pengalaman hidupnya menjadi milik kita, tentu saja banyak yang dapat kita
peroleh darinya. Caranya ? Salah satu caranya dengan membaca buku biografi
tentang diri beliau yang sedang berada di genggaman kita tentunya. Vihara Bodhi
Mandapa Di daerah Sukaramai, Medan, ada sebuah vihara yang cukup bersemangat
dalam pengembangan Dhamma dalam wujud nyata berupa kegiatan sosial. Vihara itu
tak lain tak bukan adalah Vihara Bodhi Mandapa yang terletak di Jalan Perguruan
yang berdiri pada tanggal 21 Mei 1991. Dalam usianya yang masih cukup muda,
Vihara dan Generasi Muda Buddhis Vihara Bodhi Mandapa sudah memiliki
prestasi yang cukup dapat dibanggakan. Bagi para pengurus vihara dari Generasi
Muda Buddhis Vihara Bodhi Mandapa ini, semangat mereka terpacu berkat kehadiran
Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Figur inilah yang selalu membawa kesejukan,
keteladanan dan semangat bagi mereka. Kehadiran Bhikkhu Jinadhammo dalam
peletakkan batu pertama dan pemberkatan pembangunan vihara, juga memimpin doa
syukuran selesainya pembangunan vihara merupakan berkah tersendiri bagi mereka.
Apalagi “Sang Figur” bersedia dan sering memenuhi undangan khotbah
dan pemberian Visudhi Tisarana di Vihara Bodhi Mandapa. Buddha Jayanthi Vihara
Buddha Jayanthi merupakan salah satu vihara yang terkenal di daerah Rantau
Prapat. Vihara Buddha Jayanthi yang terletak di Jalan Gatot Subroto No. 12-14
Rantau Prapat merupakan vihara yang umum dikunjungi oleh Sangha Agung Indonesia
Rayon I, khususnya Yang Arya Bhante Jinadhammo Maha Thera. Vihara ini merupakan
tempat sembahyang dan kegiatan-kegiatan agama Buddha sebagian
besar umat Buddha di Rantau Prapat. Vihara ini mempunyai 4 lantai. Lantai I
dipergunakan untuk dapur, bursa Dhamma Corner, serta fasilitas lainnya. Di
lantai II terdapat Bhaktisala untuk tempat sembahyang. Lantai III dipergunakan
untuk tempat perkantoran muda-mudi, yayasan, kamar Sangha, ruangan tamu, dan
kamar mandi. Sedangkan pada lantai IV dipergunakan untuk tempat jemuran pakaian
dan sebagainya. Rencananya vihara ini akan diperluas dan dikembangkan lagi.
Perkembangan Vihara Buddha Jayanthi ini sangat maju semenjak didirikan sampai
sekarang, karena keinginan yang kuat dari umat Buddha Rantau Prapat. Umat dan
muda-mudi di vihara ini sangat kagum dan senang sekali terhadap Yang Arya Bhante
Jinadhammo Maha Thera. Setiap Bhante datang, selalu disambut dengan baik dan
ramah sambil tidak lupa menyediakan segelas juice, kopi, teh ataupun susu. Umat
ataupun muda-mudi vihara ini sering mengundang Bhante Jinadhammo dalam acara
atau kegiatan-kegiatan hari besar Agama Buddha, seperti : Hari
Raya Kathina, Hari Tri Suci Waisak, atau Pho Un. Umat Buddha dari Vihara Buddha
Jayanthi Rantau Prapat telah memberikan sedikit kesan terhadap Y.A. Bhante
Jinadhammo Maha Thera, seperti yang tertulis dalam kutipan di bawah ini.
“Kami sangat bangga dan bersyukur, mempunyai seorang Rohaniwan seperti
beliau yang begitu lemah lembut, sangat disiplin menjalankan sila dan penuh
kebijaksanaan dalam membimbing umat Buddha, khususnya di daerah kami di Rantau
Prapat.” Mutiara dari Kota Kerang Untuk pertama kalinya Bhikkhu Jinadhammo
menginjakkan kakinya di “Kota Kerang”, Tanjung Balai, pada tahun
1977, bersama ibu Nora dan ibu Neri dari Vihara Borobudur, Medan. Pada saat itu
agama Buddha dan vihara yang ada di Tanjung Balai lebih cenderung pada tradisi
orang Tionghoa daripada Buddha Dhamma. Belum ada pembacaan paritta di vihara dan
pelajaran agama Buddha. Yang baru dimasukkan dalam kurikulum sekolah pada waktu
itu pun hanya diajarkan sepintas lalu saja sesuai buku
pedoman yang ada, juga oleh guru yang juga tidak mengenal Buddha Dhamma secara
utuh dan mendalam, atau lebih tepatnya tidak memahami Buddha Dhamma. Mula-mula
kedatangan Bhikkhu Jinadhammo dirasakan sebagai momok bari guru yang
bersangkutan, sehingga sang guru tak berani menghadap beliau. Guru itu adalah
Ibu Susiani Intan (Ibu Sui Siang). Adapun sebab ketakutan tersebut adalah
perasaan malu yang menggunung, karena sebenarnya ia tak mengerti tentang Buddha
Dhamma tapi mengajar pelajaran agama Buddha, bahkan untuk membaca sebuah paritta
saja pun tak bisa. Namun Bhikkhu Jinadhammo bukanlah orang yang mudah putus asa.
Untuk kedua kalinya beliau datang ke Tanjung Balai dengan menaiki kereta api,
dan kali ini dengan perasaan yang amat berat Ibu Susiani Intan mau tak mau
datang untuk memenuhi panggilan Sang Bhante. Kendala kedua pun muncul karena
ternyata Bhikkhu Jinadhammo tidak begitu fasih berbahasa Indonesia, dan logat
Jawanya masih agak kental, di lain pihak ibu Intan juga kurang fasil
dalam bahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa. Masa-masa sulit ini akhirnya
berlalu juga. Selanjutnya setiap seminggu sekali Bhikkhu Jinadhammo datang ke
Tanjung Balai dengan naik kereta api untuk mengajari Ibu Intan membaca
paritta-paritta suci. Setiap seminggu sekali 1 paritta diajarkan, dan dengan
rasa bangga pula Ibu Intan mengajarkannya kepada siswa-siswanya di sekolah.
Suatu momen yang tak dapat dilupakan oleh umat Buddha Tanjung Balai, khususnya
bagi para pelaku sejarahnya adalah dibawanya patung Buddha Sakyamuni sebagai
hadiah dari Sang Bhante untuk umat Buddha di Tanjung Balai. Karena belum ada
tempat untuk menaruhnya, maka Ibu Intan meminta sedikit ruang dari Bihara
Avalokitesvara untuk dijadikan sebagai tempat pemujaan dan tempat kebaktian bagi
muda-mudi. Pada hari itu juga umat Buddha Tanjung Balai, khususnya muda-mudinya
untuk pertama kali merayakan hari Kathina yaitu Kathina 2521. Pernah pada suatu
perayaan Hari Waisak yang diadakan di Vihara Avalokitesvara, Bhikkhu
Jinadhammo sempat diamankankan oleh pihak berwajib karena diduga sebagai orang
aneh yang berusaha menghimpun massa. Tapi setelah diselidiki akhirnya beliau
diperkenankan untuk kembali ke vihara untuk melanjutkan Waisaka Puja. Hal ini
bisa dimengerti karena pada masa itu umat Buddha Tanjung Balai belum pernah
sekalipun menyelenggarakan acara semacam itu. Karena sebab-sebab tertentu,
akhirnya Ibu Intan dan siswa-siswanya harus mencari tempat lain untuk
melaksanakan kebaktian. Dan bersamaan pada waktu itu ada 5 orang yang cukup
berpengaruh juga bermaksud untuk mendirikan vihara baru untuk tempat kebaktian
semua umat Buddha. Atas restu dan petunjuk dari Sang Bhante serta usaha keras
dari Ibu Intan dan kerjasama dari 5 orang sahabat tersebut, akhirnya ditemukan 1
tempat yang cocok, yaitu sebuah rumah tua yang menghadap ke sungah Asahan. Rumah
ini kemudian direnovasi sedikit untuk dijadikan vihara. Vihara ini kemudian
diberi nama Vihara Tri Ratna dengan diresmikan oleh Walikota Tanjung
Balai pada masa itu, Bapak Drs. H. Ibrahim Gani pada hari Sabtu Wage, 3
Nopember 1984. dan Ketua I Yayasan Vihara Tri Ratna pada saat itu adalah Bapak
Lie Thien Cai. Tidak berhenti sampai di situ saja, Bhante masih tetap rajin
berkunjung ke Tanjung Balai untuk memberi semangat spiritual bagi umat Buddha
Tanjung Balai sampai saat ini. Sedangkan Ibu Intan sendiri sekarang sudah tidak
aktif lagi dalam kegiatan keagamaan karena usia yang semakin tua dan
kesehatannya yang semakin menurun. Namun dari usaha para pelopor ini, sekarang
Vihara Tri Ratna dan muda-mudinya sudah cukup menunjukkan prestasinya, dan ada
juga mantan muda-mudi vihara ini yang mengikuti jejak sang guru, mencurahkan
semangat, pikiran dan tenaga di bidang keagamaan. Menaklukkan Tanah Karo Secara
umum orang di bumi Andalas menganggap bahwa agama Buddha itu miliknya etnis
Tinghoa saja, sedangkan Islam miliknya orang Melayu, dan orang Karo pasti
beragama Kristen. Bila ada guru agama Buddha yang beragama Sembiring, Sitepu,
ataupun Ginting, orang akan langsung bertanya, “Apa tidak salah ?”,
dan dilanjutkan dengan pernyataan, “Pasti dia bukan beragama
buddha.” Tapi kenyataannya memang banyak juga guru agama Buddha yang
betul-betul beragama Buddha di Sumatera Utara ini yang bersuku Karo. Mengapa
bisa demikian ? Jawabannya adalah karena ada “pengabdi Dhamma” yang
telah bersusah payah mendatangi, menaklukkan, serta menabur benih Dhamma di
Tanah Karo, yakni Bhante Jinadhammo yangdibantu oleh Drs. Arifin Anwar selaku
Pembina Buddha Tingkat I Sumatera Utara. Boleh dikatakan kampung asal para guru
agama Buddha yang bersuku Karo tersebut cukup jauh dari kota Medan, tempat
Bhikkhu Jinadhammo berdiam. Belum lagi kondisi jalannya yang belum baik dant ak
bisa dicapai dengan mobil, melainkan harus dengan cara berjalan kaki sejauh + 7
km, seperti contohnya desa Parangguam, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.
Sebelum menganut agama Buddha, penduduk setempat menganut kepercayaan
Pemenah (yang berarti pertama atau wal) dan berpegang teguh pada ADAT
(Ajaran=ajaran; Dibata=Tuhan;Arah=melalui, Tua-tua=orang tua), atau ajaran
Ketuhanan melalui orang tua. Menyadari bahwa yang mereka anut masih berupa suatu
kepercayaan, tumbuh kesadaran dari mereka untuk menganut suatu agama yang diakui
pemerintah secara sah. Atau usul Bapak Dirjen Sitepu, Bapak Johan Sitepu dan
Gandih Sitepu pun mencari Bhikkhu Jinadhammo di Vihara Borobudur Medan untuk
memohon kepada beliau agar melakukan pembinaan secara Buddhis terhadap
masyarakat Karo yang ada di desa Parangguam. Maka sejak tahun 1984 sebagian
penduduk Parangguam sudah beragama Buddha dan langsung di Trisarana-kan dan
dibina oleh Bhikkhu Jinadhammo. Dalam sembilan kali kunjungan beliau ke sana,
mereka sudah cukup memahami Buddha Dhamma yang diajarkan pada mereka, karena
tidak terlalu jauh berbeda dengan kepercayaan lama mereka. Mungkin kendala bagi
mereka adalah untuk membaca dan memahami paritta-paritta yang berbahasa Pali
yang masih sangat asing bagi lidah dan telinga mereka. Tapi dalam waktu dekat
ini mudah-mudahan kendala tersebut dapat diatasi, karena di antara pemuda Karo
yang telah mengecap pendidikan di Institut Ilmu Agama Buddha telah mulai
menyadur paritta-paritta tersebut ke dalam bahasa Karo. Pada tahun yang sama
pula, atas rintisan dari Bhante Jinadhammo, Upa. Giriputra dan Ibu Marianiwaty,
dimulailah pembangunan Cetiya Sakya Kirti di atas setapak Tanah di Parangguam
Male, disumbangkan oleh penduduk setempat. Dan sekarang ini bukan hanya Cetiya
Sakya Kirti saja yang terdapat di tanah Karo, tapi juga sudah ada vihara-vihara
yang lain, seperti Vihara Kassapa yang terletak di Simpang Glugur, Desa Turangi,
dan Vihara Sriwijaya yang terletak di desa Parangguam Baru, Kecamatan Salapian,
Kabupaten Langkat. Tumbuh kembangnya kedua vihara ini juga tak lepas dari tangan
Sang Satria Jubah Kuning, Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Di Sibiru-Biru juga ada
vihara dan cetiya milik umat Buddha suku Karo,
yaitu Vihara Sangha Ramsi dan Cetiya Vanara Seta. Bertolak dari hal ini dapat
kita katakan bahwa Buddha Dhamma tidak membedakan suku maupun golongan, demikian
juga seorang pengabdi Dhamma sejati akan berusaha menyemaikan Buddha Dhamma ke
mana saja tanpa mempersoalkan kesukarannya. Sekilas Vihara Kassapa Vihara
Kassapa telah berdiri selama lebih kurang 10 tahun, dimulai dari pembelian tanah
2 Rantai yang berlokasi di simpang Glugur, desa Turangi, Kecamatan Salapian,
Kabupaten Langkat. Setelah itu dibangun bangunan semi permanen, pagar keliling,
kamar, sumur, dan sampai sekarang difungsikan sebagai vihara. Lokasi Vihara
Kasappa yang berada di simpang Glugur tersebut berdiri di atas tanah 792 m2.
Pemilihan lokasi terletak di pinggir jalan, fasilitas transportasi yang
memudahkan, fasilitas untuk latih diri (meditasi) sangat memadai, dan dapat
dijadikan sebagai tempat vassa bagi anggota Sangha. Bangunannya terdiri dari
bangunan Bhaktisala dengan luas 112,5 m2, bangunan Kuti termasuk
sebuah kamar mandi dengan luas 70 m2, dan bangunan pengelola dengan luas 36 m2.
Vihara Avalokitesvara Tebing Tinggi Di Bhaktisala Vihara Avalokitesvara, telah
berkumpul para pengurus dari Vihara Maha Dana, Cetiya Ekayana dan Vihara
Avalokitesvara sendiri. Mulai dari ketua sampai anggota muda-mudi duduk
membentuk lingkaran, mereka akan mendiskusikan suatu kegiatan yang akan diadakan
di vihara mereka. Tak lama kemudian dari balik pintu muncul seseorang yang telah
ditunggu-tunggu, lelaki berusia parubaya. Siapakah beliau ? Adakah ia salah satu
dari anggota yayasan vihara ? Tidak, ia juga bukan seorang senior di vihara itu,
namun demikian, ia mempunyai andil yang cukup besar dalam usaha mencambuk
semangat muda-mudi sebagai generasi penerus umat Buddha, khususnya di tempat
ibadah umat Buddha di atas. Tak heran bila kehadirannya hari itu begitu
diharapkan, walaupun sekedar untuk memberikan saran atu menyaring ide-ide yang
masuk. Seperti di kota-kota lainnya, di kota yang terletak di
pertengahan antara Medan dan Tanjung Balai ini pun beliau sangat dihormati,
bukan karena usia vassanya yang sudah cukup tua, atau karena jubah yang
dipakainya, melainkan karena ketulusannya membentang tangan mengajak kita untuk
sama-sama membooking tiket kapal menuju pantai seberang. Tentu saja dengan cara
melaksanakan Dharma. Berbagai usaha dilakukannya untuk menggali benih
ke-Buddha-an yang tertanam di diri kita, melalui khotbah-khotbahnya yang
menerobos relung hati. Itu pula sebabnya umat Buddha yang pernah bertemu
dengannya, yang pernah mendengarkan khotbah beliau sepakat bahwa ia pantas
menjadi salah seorang Bhikkhu panutan di Indonesia. Y.A. Bhante Jinadhammo yang
kerap dipanggil Eyang, hari itu diundang untuk merayakan Hari Suci Waisak di
Vihara Avalokitesvara, sebelum kebaktian dimulai beliau diminta kesediaannya
untuk mengikuti diskusi. Setelah memasuki bhaktisala beliau langsung
bernamaskara dan duduk di tempat yang telah disediakan. Dalam diskusi itu muncul
ide brilian
dari salah seorang pengurus, dia mengusulkan bagaimana kalau mereka mengadakan
suatu kegiatan yang lebih bersifat membina spiritual daripada kegiatan yang
heboh namun tidak begitu bermanfaat dalam membantu kita melaksanakan sila di
dalam kehidupan kita sehari-hari, contohnya mengadakan kegiatan Atthangga Sila
sebulan sekali. Ide ini langsung disetujui oleh Eyang bahkan beliau ingin
kegiatan tersebut diadakan setiap akhir pekan, sehingga muda-mudi bisa spend
their spare time dengan kegiatan positif. Itulah salah satu contoh betapa Eyang
sangat peduli pada generasi muda Buddhis. Semua peserta diskusi takjub dengan
usul beliau namun kalau diadakan setiap akhir pekan mungkin mereka akan
mengalami banyak hambatan, contohnya izin orang buta untuk menginap di vihara.
Diskusi terus berjalan seiring dengan waktu yang terus bergulir. Sampai malam
tiba, upacara peringatan Hari Suci Waisak pun diadakan. Yang Arya memasang lilin
panca warna sebagai tanda kebaktian dimulai. Tidak memandang Sekte
Pengabdi dharma sejati, yang telah berjubah kuning, seyogyanya memang tidak
membatasi diri dalam tugasnya melayani umat. Sebagai seorang Bhikkhu dari Sangha
Agung Indonesia, figur Bhante Jinadhammo Maha Thera memang cukup dikenal karena
beliau tidak lagi terikat pada sekterian atau suatu organisasi. Karena itu
pulalah sosok Bhikkhu yang satu ini bisa diterima, dihargai, dan dihormati oleh
sekte-sekte lain yang ada di Rayon I ini. Cetiya Maha Sampati dan Vihara Maha
Sampati yang notabene berada di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia tetap
memposisikan Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera sebagai penasehat dari organisasi
viharanya. Vihara Satya Buddha Purnama, yang terletak di jalan Lombok No. 1
adalah vihara dari aliran Kasogatan yang mana namanya merupakan penganugerahan
dari Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Tercatat beberapa vihara di luar vihara
Buddhaya yang sering dikunjungi oleh Bhikkhu Jinadhammo, antara lain : - Vihara
Sahassa Buddha - Vihara Bodhi Suci - Vihara Bodhi Mandapa -
Dll HARI-HARI SUCI Hari Suci Waisak Semasa pengabdian Yang Arya selama 30
vassa, beliau telah banyak mengahdiri Upacara Kebaktian Hari Suci Waisak sebagai
Perwakilan dari Anggota Sangha. Makna dari Hari Suci Waisak yang sering
diingatkan beliau pada setiap Hari Waisak adalah untuk memperingati : * Hari
lahirnya Pangeran Sidharta tahun 623 SM. * Hari Pangeran Sidharta mencapai
Kebuddhaan tahun 588 SM. * Hari Sangha Buddha mencapai Pari Nibbana (wafat)
tahun 543 SM. Semua kejadian tersebut terjadi pada hari dan bulan yang sama
yaitu di pertengahan bulan Waisak. Makna tersebut disampaikan oleh Bhante hingga
ke pelosok-pelosok yang dalam seperti di pedalaman desa yang belum beragama
Buddha. Bukan muluk-muluk yang sering dikhotbahkan Bhane di Hari Suci Waisak ini
dan janji-janji keselamtan untuk orang-orang yang merayakan Hari Suci Waisak,
namun beliau senantiasa menekankan agar kita selalu menghilangkan keegoisan diri
yang terikat pada diri masing-masing. Sebab itulah yang menjadi
penyakit terbesar dalam hidup manusia. “Maksudnya saya mau begini, kamu
menjadi begitu, ini urusan saya dan kamu tidsk berhak mencampurinya, saya musti
mendapat penghargaan atas apa yang telah saya perbuat untuk orang banyak”
dan sebagainya. Kata-kata ini sering diucapkan oleh setiap orang, dan selalu
diingatkan oleh Bhante akan bahayanya. Oleh karena kesederhanaan Bhante dalam
berkata dan bertindak inilah Bhante memberi bimbingan di Hari Suci Waisak,
selama menjalani 30 vassanya. Tidak kalah peran dari bimbingan beliau, para
Bhikkhu dan samanera yang ditugaskan beliau untuk turun ke daerah membantu tugas
anggota Sangha. Misalnya, Bhante Suhatayo, Bhante Nyana Nanda (almarhum), Bhante
Khampiro Badhrapala, Bhikshu Pratama dan samanera-samanera lainnya yang tidak
dapat disebut satu persatu.


Berikut biodata singkat sang penulis Ajahn Brahm lahir di London, 1951, dan meraih gelar Sarjana Fisika Teori di Cambridge University. Pada usia 23 tahun, ia memutuskan untuk menjadi petapa dalam tradisi hutan Thai. Pada tahun 1983, ia dan kawan-kawannya membangun sebuah biara di Australia, tetapi saking miskinnya, mereka bertukang dan menyemen sendiri. Pada tahun 2004, ia mendapat Medali John Curtis dari Curtin University atas visi, kepemimpinan, dan pelayanannya bagi masyarakat Australia.Buku tersebut sangat menarik dikarenakan bercerita tentang kehidupan sehari - hari, dimana si Cacing disini diumpakan kita sebagai manusia dan kotaran kesayangan diumpamakan tentang dosa - dosa dan keburukan manusia...

Didalam buku ini sangat banyaknya cerita - cerita pengalaman sang Bikhu "AJAHN BRAHM" yang sangat memberikan sudut pandang akan kehidupan kita sehari - hari. Dimana, kita sebagai manusia selalu menginginkan segala sesuatu yang tidak kita miliki dan tidak pernah mengsyukuri akan yang telah dimiliki..

Banyaknya cerita - cerita pengalaman dari sang Bikhu ini yang sangat membuat kita serasa dipukul dan menyadarkan kita, dan membuat kita tertawa saat menyadari hal tersebut.. Hal ini dikarenakan dalam setiap kata - kata sangat memberikan inspirasi akan kehidupan ini.. 

Horeee! Guru Si Cacing Datang: Catatan Perjalanan Ajahn Brahm
Nama Ajahn Brahm mendadak menyeruak di blantika perbukuan Indonesia gara-gara buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" yang menjadi bestseller di berbagai toko buku. Penerbit dibombardir testimoni pembaca dari berbagai kalangan, yang kelihatannya bukan semata-mata ingin mendaptkan hadiah kaos, namun memang berangkat dari ketulusan lubuk hati mereka yang terinspirasi dan tertranformasi oleh buku berpenampakan aneh bin ajaib ini.

Si Cacing adalah karakter konfiguratif yang diibaratkan kita manusia yang keasyikkan berkubang dalam dunia fana ini. Rupanya, keluguan dan keapa-adaanya gaya tutur Ajahn Brahm tervisualisasi dengan pas dalam figur Si Cacing yang menjadikan makin hidup dan disayangi, barangkali seperti halnya kita menyanyangi diri kita sendiri.

Buku ini menuturkan catatan perjalanan Ajahn Brahm dalam Tour de Indonesia pada 25 Februari - 4 Maret 2009 di Palembang, Sukabumi, Jakarta, Medan, Surabaya, dan Denpasar. Buku ini memuat cerita-cerita kocak dari Ajahn Brahm, dan suka duka sepanjang roadshow. Dengan parade foto dan ilustrasi yang kocak, inilah buku yang paling banyak mengupas tentang figur, perspektif, dan keteladanan Ajahn Brahm, up close and personal!
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya (Revisi dari buku:Membuka Pintu Hati)

Selama hampir 30 tahun sebagai Bhikkhu, lahir dan dididik di Barat, namun terlatih dalam tradisi hutan Thai, Ajahn Brahm telah menghimpun berbagai kisah yang menyentuh, menggelikan, dan bermakna mendalam. Dalam kumpulan kisah-kisah pengajaran ini, terdapat banyak cerita mengenai kebenaran hidup, yang dapat digunakan untuk meluncur ke tataran kesadaran, kebijaksanaan, cinta, dan belas kasih yang lebih dalam. Dalam setiap kisah, kebenaran tampak nyata. Ajahn Brahm juga menceritakan ajaran-ajaran kebijaksanaan dari gurunya yang terkenal bagai orang suci, Ajahn Chah. Tahun-tahun dini kehidupannya di belantara Thai telah menyediakan lahan subur bagi citarasa humornya, tatkala, sebagai contoh, ia hanya mendapat nasi berlauk kodok rebus sebagai satu-satunya santapan sepanjang hari. Pada tahun 1983, ia mulai membangun sebuah Vihara di Australia, tempat ia tinggal saat ini, tetapi seperti yang diceritakannya, bahwa para Bhikkhu di sana begitu miskinnya sampai-sampai ketika tengah membangun Vihara, mereka terpaksa menggunakan daun pintu sebagai alas tidur dan harus belajar bertukang dan menyemen sendiri. Belakangan, ia telah mengajar filsafat Buddhis yang tak lekang oleh waktu kepada orang-orang Barat dari berbagai kalangan, memimpin kelompok meditasi di penjara-penjara Australia, serta memberi penghiburan bagi mereka yang tertekan, sakit, dan berduka. Kisah-kisah yang tersaji bermakna mendalam, mengundang tawa, dan mencerahkan. Diceritakan dengan jenaka dan bijak, kisah-kisah dalam buku ini mengungkapkan sifat-sifat hormat, kerendahan hati, dan ketekunan. Kisah-kisah tersebut juga memaparkan momen pencerahan, kebijaksanaan, dan belas kasih dalam kehidupan orang-orang biasa. Kisah-kisah modern mengenai pengharapan, pemaafan, pembebasan dari rasa takut, dan pengatasan derita ini, dengan cendekia menuturkan kebijaksanaan ajaran Buddha dan jalan menuju kebahagiaan sejati.

Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2!

Buku ini adalah sekuel kedua buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" yang mendapat respon heboh masyarakat dengan menjadi bestseller di Indonesia selama bertahun-tahun. Tak heran Majalah Spirituality and Health di Amerika mengomentasi buku ini sebagai salah satu buku spiritual terbaik.


Dalam buku ini, Ajahn Brahm menginspirasi kita untuk menyikapi kerentanan raga, perubahan, noda batin dengan cinta tanpa ego, damai tanpa syarat, agar menjadi pribadi yang arif dan memiliki hati bebas lepas. Buku ini sarat kiat dan siasat untuk menyelancari ombak kehidupan melalui 108 (lagi!) cerita yang makin mencerahkan.

sumber : berbagai sumber  (copas http://www.facebook.com/photo.php?fbid=199881403388488&set=o.228904016742&type=1&theater#!/photo.php?fbid=103970252979604&set=o.228904016742&type=1&theater)

0 komentar:

Posting Komentar

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;